Sabtu, 09 Februari 2008

Goenawan Mohammad / Tony Prabowo

Senin, 07 Februari 2005. BUDAYA

Mengurai Komposisi Aneka Rupa

NYAK Ina Raseuki dengan taksu sesekali memukul bedug yang ada disampingnya. Hampir barengan dengan bunyi bedug yang menggaung, dari mulut penyanyi sopran yang tenar dengan sapaan Ubiet ini mengalir komposisi "Funeral Pyre". Sepintas, olah vokal dan bebunyian yang dihasilkan dari mulut pengajar vokal AFI ini tak ubahnya mantra. Mengalir naik turun namun berirama. Tak berapa lama kemudian, Stephanie Griffin yang menggesek biola meningkahi komposisi pembuka ''Doa Persembunyian, A Prayer for Refugee". Demikianlah konser musik komtemporer yang diselenggarakan untuk memperingati 20 tahun kolaborasi Tony Prabowo dan Goenawan Mohammad, bertajuk ''A Prayer for Refugee, Doa Persembunyian'' di Graha Bhakti Budaya TIM Jakarta, 4-5 Februari, dalam repertoar pembukanya. Dalam ranah musik kontemporer, siapa yang tidak mengenal nama Tony Prabowo. Salah satu komponis terkuat di Indonesia ini, akhirnya mempertunjukkan kejenialannya di ''rumah sendiri''. Setelah beberapa tahun ke belakang, karya-karyanya kerap dipertunjukkan di Amerika Serikat, Eropa, Australia, dan Korea Selatan. Dengan menggandeng Goenawan Mohamad, lulusan Institut Kesenian Jakarta ini kembali mempertontonkan sebuah perhelatan musik yang dinukilkan dari opera "Kali". Dan siapa pula yang tidak kenal Goenawan Mohamad. Salah satu penyair dan essais terkuat di Indonesia ini memang lebih dikenal dalam ranah susastra. Tengoklah kumpulan sajaknya seperti Parikesit (1971), Interlude (1973), Asmaradana (1992), Misalkan Kita di Sarajevo (1998) hingga Goenawan Mohamad: Puisi Pilihan (2004). Lewat kekuatan diksionalnya yang naratif, penulis "Catatan Pinggir" di majalah Tempo ini kembali "menghasut" Tony Prabowo untuk kembali menginterpretasikan karya-karyanya.

Kepedihan Kurawa

Melalui petilan opera "Kali" bagian 3, 4, dan 5 (1996-2000) yang ditulis oleh Goenawan. Tony menyajikan kisah Kali yang menyuguhkan sisi lain cerita Mahabharata, yang bernarasi tentang kepedihan Kurawa menjelang kekalahannya. Dan limbretto (larik syair dalam opera) yang ditulis dalam sebuah puisi panjang tentang kematian, kepedihan dan kekejaman, mampu disajikan lewat komposisi musik komtemporer ini dengan apik. Simaklah, betapa tokoh Kali, Senjaya, Gandhari, Kunthi dan Dhastarasta mampu diambil perannya oleh para penyanyi opera terkemuka Tanah Air seperti Binu D Sukarman, Ivan Yoha, Fitri Muliati, Rosana Unsulangi, dan Daniel Christanto. Ditambah dengan besutan interpretasi ke dalam sebuah orkestrasi yang mumpuni oleh Avip Priatna, salah satu konduktor terkuat di Indonesia, yang mampu menghantarkan pertunjukan ini menjadi sebuah ajang yang berkelas. Sehingga tidak syak jika selama dua malam berturut-turut, konser yang diprakarsai oleh Dewan Kesenian Jakarta ini, mendapat sambutan hangat dari berbagai lapisan masyarakat. Ya, ini merupakan karya Tony terkini yang konon banyak terpengaruh karya-karya vokal dari komponis besar dunia seperti Arnold Schoenberg, Anton Von Webern, Alban Berg, dan Pierre Boules serta Oliver Messian. Memang tidak hanya berlandaskan kepada sebuah genre musik. Dengan mengaharmoniskan kekuatan jazz, klasik, dan musik komtemporer, Tony bahkan melangkah ke aras lintas musik. Menurut dia, di luar ranah musik kontempoerer ia banyak terpengaruh oleh sejumlah karya musik rock seperti Gentle Giant dan Van der Graff Generator. Dan hasilnya, pertunjukan yang juga pernah dipentaskan di Seatle, Amerika Serikat ini, mampu membius penikmatnya dari berbagai lintas musikalitas. Dengan kemampuan menata musik diatas bahasa dan kemudian mengalihkannya ke bentuk titi nada yang dihasilkan dari sebuah proses matematis dan struktur yang rapi, Tony, dengan komposisinya benar-benar menghasilkan bebunyian yang terperi. Menurut rencana, setelah konser yang mendapatkan sambutan hangat penggemar musik komtemporer di Jakarta ini, Toni bersiap merampungkan "Pastoral dan Tan Malaka" dalam bentuk opera. (Benny Benke-81)

Tidak ada komentar: