Jumat, 21 Maret 2008

Ungu

Selasa, 31 Oktober 2006. BUDAYA
Seruan Damai Ungu
Niat baik bisa disampaikan siapa saja, lewat media apa saja. Ungu, misalnya, tahu betul bagaimana menyampaikan salam perdamaian lewat aksi panggung. "Konser Salam Lebaran" di Lapangan Karebosi, Makassar, Minggu (29/10) malam, menempatkan band yang diawaki Pasha, Oncy, Makki, Rowman, dan Enda sebagai pemuncak acara. Saat itulah mereka tak cuma unjuk kebintangan. Mengetahui sekitar 10.000 penonton mengelu-elukan mereka, Pasha, vokalis yang jadi motor grup itu, menyeru salam perdamaian. ''Apa karebo Makassar? Malam ini, semoga saudara-saudara kita yang melakukan perundingan damai di Poso, Sulawesi Tengah, mencapai kesepakatan. Jadi, tak ada lagi pertikaian antara umat Islam dan Kristen,'' ujar dia dari atas panggung. Tanpa komando, Cliquers atau pencinta Ungu berseru, ''Amin!'' Sejurus kemudian, Pasha melantunkan tembang ''Tak Perlu'' dalam konser yang juga menampilkan Garasi sebagai grup pembuka itu. Aksi Ungu di Kota Butta Anging Mammiri itu adalah pemuncak "Konser Salam Lebaran" yang digelar tiga hari berturut-turut 27, 28, dan 29 Oktober. Pada malam bersamaan di Palembang tampil Ari Lasso dan Tipe-X, Surabaya Samsons dan Caffeine, serta Banjarmasin Radja dan Utopia. Sangat Dikenal. Ungu yang tampil di Makassar boleh berbangga diri. Bukan cuma lantaran tembang mereka, seperti Berikan Aku Cinta, Andai Ku Tahu, Tercipta untukku, Selamat Lebaran, Surga-Mu, Sejauh Mungkin, Aku Bukan Pilihan, dan Bayang Semu, sangat dikenal para pencinta. Namun, karena konser yang digagas Gudang Garam dan 18 Production itu tak ubahnya karaoke massal. Seruan damai dari atas panggung pun kian mengundang simpati mendalam dari para pemuja mereka. Pada saat konser di Lapangan Karebosi, di Poso, Sulawesi Tengah, berlangsung kesepakatan damai yang digagas Wakil Presiden Jusuf Kalla. Dengung kesepakatan damai pun menguar hingga ke seluruh wilayah Sulawesi. Tdak mengherankan jika semua lapisan masyarakat berdoa agar kerusuhan segera usai di tanah Bugis. ''Seruan damai Pasha dan Ungu dalam konser ini sangat menyejukkan,'' ujar Lingkan Diana Bolang dari 18 Production. Dia menuturkan hampir semua penampil dalam konser setiap tahun untuk menyambut Idul Fitri itu menyerukan perdamaian. Ya, Iwan Fals, Slank, Cokelat, Radja, Pas Band, Ada Band yang tampil di 12 kota, termasuk di Tegal, menyerukan salam perdamaian. Di belakang panggung, ketika jam menunjukkan pukul 22.00 Wita, Pasha yang berpeluh menyatakan harapan, semoga perdamaian di Poso menjadi nyata. ''Kami cuma mampu berdoa. Namun, bukankah doa juga yang mampu membuat sesuatunya menjadi nyata?'' (Benny Benke-53)

''Open Season''

Senin, 30 Oktober 2006. BUDAYA
Preview ''Open Season''
Belajar Mandiri dari Grizzly

PELAJARAN bisa datang dari siapa saja dan kapan saja. Tak terkecuali dari seekor beruang besar grizzly dan rusa pandir yang berusaha mempertahankan hidupnya. Lewat film animasi Open Season, Roger Allers dan Jill Culton sebagai sutradara membungkus kisah itu dengan sederhana, yaitu lewat bahasa humor. Dengan bahasa tutur yang sederhana namun mengena, skenario Steve Bencich, Ron J Friedman, dan Nat Mauldin disulap Allers dan Culton dengan sangat bersahaja. Lewat bahasa anak-anak yang dekat dengan kesederhanaan, keapaadaan dan keceriaan, kebijakan diantarkan dalam film tersebut. Hasilnya, kisah menjadi sangat mengena dan pesan kebijakan sampai ke penikmatnya tanpa harus menggurui. Dengan kecanggihan teknologi 3D dari kreator disainer kenamaan Carter Goodrich, Open Season semakin indah secara gambar. Goodrich tercatat pernah turut membidani film animasi laris dan monumental semacam Finding Nemo, Monsters Inc, dan Shrek. Hasil karya ilustrasinya telah menghiasi sejumlah sampul media seperti The New Yorker, Time, Newsweek, GQ, Playboy, dan The Atlantic Monthly. Pengisi Suara . Kelengkapan film yang memang ditujukan untuk pemirsa anak-anak dan keluarga itu semakin pepak dengan hadirnya sejumlah aktor ternama sebagai pengisi suara para tokohnya. Kehadiran Martin Lawrence, Ashton Kutcher, Gary Sinise, Debra Messing, dan Billy Connolly membuat film ini semakin memikat untuk dinikmati. Tengoklah betapa tokoh Boog (Martin Lawrence), seekor beruang grizzly yang tidak mempunyai kekuatan untuk bertahan hidup di alam bebas, bertemu dengan seekor rusa pandir bernama Elliot (Ashton Kutcher). Petualangan dua sekawan yang menganggap dirinya pecundang di lingkungan masing-masing itu kemudian bahu-membahu untuk bertahan hidup di alam bebas, menjadi tulang utama cerita. Kesedihan, kepiluan, kelaraan yang bercampur aduk dengan kelucuan-kelucuan mengantarkan penikmatnya pada arti penting persatuan, kerja sama, dan toleransi. Lewat tokoh Boog dan Elliot lah film ini mengajarkan tentang kebijakan dengan bahasa universal, yaitu bahasa tawa. (Benny Benke-45)

BRIAN DePalma

Jumat, 20 Oktober 2006 . BUDAYA
Preview The Black Dahlia
Kisah Kelam Pembunuhan

BRIAN DePalma kembali lagi. Kini, jawara bercerita melalui film drama klasik bermuatan kriminalitas itu hadir dengan karya terbaru, The Black Dahlia. Film ini tak jauh beda dari masterpiece seperti The Untouchables, Scarface, Carlito's Ways serta suspense thrillers Carne, Dressed to Kill, dan Blow Out. Lewat The Black Dahlia, lagi-lagi dia menyajikan intrik kejahatan para penegak hukum dan bandit eksentrik di AS pasca-Perang Dunia II. Kisah cinta, korupsi, keserakahan, dan obsesi yang tak kesampaian ini berdasar novel James Elroy. Namun terinspirasi oleh kisah nyata pembunuhan seorang gadis cantik secara brutal. Peristiwa itu menggemparkan publik Amerika pada tahun 1947. Bahkan hingga kini pun sang pembunuh tak terungkap. Sang korban adalah Elizabeth Betty Ann Short. Dia bercita-cita menjadi bintang di Hollywood. Publik Amerika menjuluki dia the Black Dahlia. Brian DePalma menyajikan betapa tipis jarak antara kebaikan yang diwakili dua polisi penyelidik kasus itu dan kejahatan yang diwakili kaum eksentrik. Dikisahkan dua personel Los Angeles Police Department (LAPD) ditugasi menyelidiki kasus pembunuhan terhadap Elizabet Betty Ann Short. Gadis 22 tahun yang acap menyematkan kembang di rambutnya itu ditemukan tewas di dekat Leiment Park, pusat kota Los Angeles. Pada 15 Januari 1947 jasadnya ditemukan terbelah dua dari pinggang. Organ tubuhnya dipindahkan dan darahnya dikuras. Mulutnya dirobek dari kuping kanan membelah kuping kiri seperti badut. Diperkirakan sang pembunuh menyodominya. Kisah penyelidikan polisi Lee Blanchard (Aaron Eckhart) dan Dwight ''Bucky'' Bleichert (Josh Harnet) itu disajikan secara kelam, penuh intrik, jalan berliku, misteri, keganjilan. Namun menawan. Film ini bertutur secara runtut, masuk akal, meski kadang melompat-lompat dan tak tertebak siapa jahat siapa baik. Bryan DePalma mengajak penonton memasuki labirin cerita yang tak pernah usai dan penuh misteri. Film ini diperkuat artis peraih Oscar Hilary Swank (sebagai Madeline Linscott) dan artis yang sedang naik daun Scarlet Johansson (Kay Lake). Inilah kisah tentang warga Amerika yang gigih mewujudkan impian. Meski harus mencuri, menjual diri, atau membunuh sekalipun. (Benny Benke-53)

Dang Fathurrahman

Kamis, 19 Oktober 2006. BUDAYA
Dang pun Bertasawuf
JAKARTA - Mungkin belum banyak yang kenal Dang Fathurrahman. Meski, DF atau Dai Funky, julukan dari para sejawatnya, telah menghasilkan tiga album. Lewat album terbaru bertajuk Tentang Jiwa, lagi-lagi Dang pun bertasawuf. Tahun 2001 album perdana Tadzakkuriz Zaman (Merenungi Zaman) menghantarkan dia memperoleh penghargaan pada Festival Musik Tasawuf di Maroko dan Kanada. Lewat album kedua, Madah Rosul (2002), dia kian meneguhkan pilihan pada musik syiar untuk menyerukan kebaikan. Itulah kiprah cucu pemimpin Pesantren Al Falah Biru, Garut, KH Badruzzaman. Kali ini, master lulusan Nanyang University, Singapura, itu menyajikan 12 tembang dalam album terbaru. Tembang-tembang yang lebih banyak menampilkan kedalaman makna lirik berbalut melodi yang kuat. Dia menulis sendiri semua lirik. Menurut pendapat dia, tak ada bahasa terindah selain bahasa Arab. "Saya menyampaikan lagu dengan bahasa yang indah, bahasa Arab. Namun bukan berarti dalam album ini tak ada lagu berbahasa Indonesia," ujarnya di Graha Aktiva, Jakarta, kemarin. Dia mengusung semangat islami dengan mengekspresikan keindahan atau estetika beretika melalui lagu. Tembang-tembang itu meliputi Romadhon Karim, Al Syauk Ilaa Liqoo Al Mahbub (Rindu Bertemu Kekasih), Taubat, Tapak-tapak, Bertanya kepada Bumi, Habibal Qoib, Tentang Jiwa, Syuwayya, Al-Lhaathoh bi AL-hub (Hati yang Dipenuhi Cinta), Madah Rosul, Berkaca, dan Tentang Jiwa (versi rock). Bebi dari EMI yang menaungi album itu menyatakan Dang menawarkan warna baru. "Musikalitas dan kandungan liriknya lebih dalam," katanya. (G20-53)

World Trade Center (WTC)

Rabu, 18 Oktober 2006 . BUDAYA
Kisah di Balik Reruntuk WTC
APA yang dapat membuat seseorang bertahan hidup lebih dari 24 jam, meski tertindih tembok dan puing besi dari sebuah bangunan pencakar langit bernama World Trade Center? Dalam film World Trade Center (WTC) besutan Oliver Stone, kisah kemanusian dua orang polisi Port Authority Police Department (PAPD) yang selamat dari tragedi 11 September dikisahkan dengan mengharukan. Stone yang dengan jitu berhasil membidik tragedi kekalahan Amerika Serikat dalam perang Vietnam lewat film Platoon kembali menghadirkan warna lain dari sudut pandangnya perihal tragedi di menara kembar di New York tersebut. Lewat pendekatan human story, Stone menyingkirkan jauh-jauh keberpihakan politisnya dan memilih berpihak pada kisah kemanusiaan dua polisi PAPD dalam mempertahankan hidup. Inti cerita dari film yang beranjak dari kisah nyata, dari korban yang selamat dari tragedi yang kemudian dikenang sebagai peristiwa Black September itu, sejatinya sederhana. Yakni kisah heroik tentang sebuah daya proses penyelamatan dua anggota PAPD John McLoughlin (Nicolas Cage) dan Will Jimeno (Michael Pena). Keduanya terperangkap di bawah reruntuk gedung WTC pada 11 September 2001 ketika melakukan proses penyelamatan. Menunggu Bantuan . Kisah tentang aktivitas John dan Will selama terperangkap selama 24 jam di bawah reruntuk WTC itu lah yang dikisahkan dengan nanar oleh Stone. Dengan saling berbicara tentang apa saja mulai dari topik keluarga, anak, harapan, kekecewaan, dan cinta sejati, kedua sejawat itu berusaha melupakan apa yang sebenarnya terjadi sembari menungu bantuan tiba. Sementara itu, kisah sedih tentang para istri yang tidak mendapatkan kabar pasti dari suami mereka tercinta dinarasikan tak kalah mirisnya. Donna McLoughin, istri John, dan Allison Jimeno, istri Will, beserta anak-anak dan keluarga besar mereka digambarkan dengan pilu. Sementara ribuan orang yang anggota keluarganya bekerja di salah satu gedung pencakar langit di Manhattan, New York, itu juga dikisahkan menunggu ketidakpastian. Seluruh penduduk di seantero belahan dunia, dari Eropa Barat ke Eropa Timur, dari Eropa Utara ke Eropa Selatan, Afrika hingga Asia juga digambarkan terhenyak mendengar kabar tragis tersebut. Tragedi memang tak mengenal batas suku, agama, ras, antargolongan, atau batas demografi. Stone, setelah menghentak lewat Alexander, kali ini bekerja sama dengan penulis skenario Andrea Berloff, menghadirkan kisah robohnya WTC dalam sebuah versi yang lain. Kisah yang mengharu-biru tentang keberpihakannya pada nilai-nilai kemanusiaan. (Benny Benke-45)

Jan Cornall

Senin, 16 Oktober 2006. BUDAYA
Dongeng Jan Cornall tentang Srengenge
JAKARTA-Meski bukan hal yang baru, apa yang dilakukan penyanyi, penulis lagu, komponis sekaligus novelis Australia, Jan Cornall, terhadap sajak-sajak penyair Sitok Srengenge tetaplah menarik. Di panggung teater Utan Kayu Jakarta, akhir pekan lalu, nyatanya kolaborasi antara salah satu pekerja kesenian Negeri Kanguru, dengan salah satu penyair penting Indonesia itu berlangsung harmonis. Jan, dengan kekuatan interpretatif yang syahdu, berhasil menyanyikan ke-11 sajak Sitok yang dia ambil dari kumpulan puisi ''On Nothing'' dengan menawan. Kemampuan olah vokal yang sebenarnya tidak luar biasa namun berhasil dibungkus dalam komposisi lagu apik besutan Imel Rosalin, pemain jazz dari Bandung, membuat acara bertajuk ''Jan Cornall Sings Srengenge'' itu membuai puluhan penonton. Sajak-sajak Sitok yang kelahiran Dorolegi, Purwodadi oleh Jan disulap menjadi sangat jazz. Bukan jazz yang kental dan pekat sebagaimana yang dimainkan musisi kulit hitam, melainkan jazz yang kontemplatif dan cenderung sedih. Apalagi dengan cara pembawaan yang sangat aduhai meski bersahaja dengan iringan musik minus one, Jan justru berhasil menyanyikan sajak ''Dance of Eucalyptus'', ''He Who Walks Alone'', ''Read Your Body'', ''Lake Biwa'', ''Lover of the Sky'', ''My Butterfly'', ''Only One'', ''Room'', ''Situmorang Sonet'', ''Waiting'', dan ''We Will''. Ke-11 sajak yang dipilih oleh Jan untuk dikomposisi menjadi musik jazz, menurut Sitok, adalah atas pilihan Jan sendiri. Sehingga dengan kemerdekaannya sendiri, penulis naskah teater dan film itu menginterpretasikan kebebasannya dengan seluas-luasnya. Petilan Novel . Yang membuat pertunjukan menjadi lebih menarik adalah ketika Jan mengolaborasikan kerjanya dengan membacakan petilan novel terbarunya, ''Take Me to the Paradise''. Novel itu berkisah tentang Pulau Bali dengan segala keindahan yang bergandengan dengan permasalahan para tokohnya. Ketika lagu perdana usai, ia bak seorang pendongeng yang tekun membacakan beberapa bagian novelnya. Demikian seterusnya sampai tidak terasa ke-11 lagu itu usai dan intisari novel juga usai dikisahkan. Jadi, dalam satu pertunjukan, penikmat mendapatkan tiga pertunjukan sekaligus, yaitu poetry song atau sajak yang dilagukan dalam musik jazz, petilan pembacaan novel, dan kedalaman makna sajak itu sendiri. Setelah pertunjukan, Jan yang juga dikenal sebagai seorang aktor, penyanyi sekaligus penulis lagu di Melbourne Australia sejak 1969 berujar ringan. ''When fine poetry meets fine jazz, a new music was born,''. Ya, ketika sajak yang apik bertemu dengan musik jazz yang menawan, maka lahirlah musik baru. Yakni musik jazz yang ngelangut. (Benny Benke-45)

Iwan Fals

Jumat, 13 Oktober 2006 BUDAYA
Iwan Fals Didaulat Menjadi Presiden
Iwan Fals selama setahun ini rutin mengadakan diskusi reboan di rumahnya, Jalan Leuwinanggung 19, Cimanggis, Depok. Selama itu dia telah menghadirkan 128 pembicara yang membahas 48 tema. Pembicara dari berbagai kalangan. Mereka antara lain Suciwati, Budiman Sudjatmiko, Menteri Olah Raga Adiyaksa Dault, Baby Jim Aditya, Menteri Lingkungan Hidup Rahmat Witoelar, Mira Lesmana, pakar intelijen (mendiang) Djuanda Widjaja, Franz Magnis Suseno, Ully Sigar Rusadi, Christine Hakim, Kak Seto, Tommy F Awuy, Sri-Bintang Pamungkas, dan Egy Sudjana. Kemarin, peringatan setahun forum itu dihadiri lebih dari 700 orang dari Orang Indonesia (OI). Itulah organisasi pencinta Iwan Fals. Hadir pula narasumber dalam forum reboan, misalnya ekonom Faisal Basri, peneliti Hermawan Sulistyo, Egy Sudjana, Djoko Edy Sucipto, dan Butet Manurung. Apa yang mereka bicarakan? ''Apa saja, dari soal pemuda, pergerakan, narkoba, carut marut ekonomi, pendidikan gratis, kesehatan gratis, hingga revolusi,'' ujar Iwan Fals. Menuntut . Dia didampingi sang istri, Rosana, membuka dialog yang dimulai pukul 21.30 bertema ''Membangun Indonesia''. Tiga moderator memandu perbincangan dengan lebih dari 20 pembicara. Setelah lebih dari 90 menit berdiskusi, mereka pun rehat. Dan, itulah yang ditunggu-tunggu: Iwan Fals bernyanyi. Di panggung ayah mendiang Galang Rambu Anarki, Cikal Rambu Basae, dan Raya Rambu Rabbani itu tidak sendirian. Dia didampingi Edy Darome (kibor, piano), Herrie Bucharie (bas), Denny (drum), dan Sonata (gitar). ''Lirik tembang pertama ini dari Mustofa Bisri, terinspirasi ketika Irak akan dan sedang digempur Amerika,'' ujar Iwan sembari menggamit gitar. Tempik sorak memecah keheningan malam ketika lagu pertama usai. ''Lagu selanjutnya 'Sagu Ambon'. Liriknya dari Mas Willy (Rendra-red) ketika tsunami menghantam Aceh." Sejurus kemudian dia pun mendendangkan balada: Daripada bakar masjid/daripada bakar gereja/lebih baik bakar sagu saja/Karena kita bersaudara, lukamu adalah lukaku juga. Penonton terdiam. Para pembicara ternganga. Rosana yang biasa disapa Yos bersama Rayya memandangi suami dan ayah mereka. Sementara itu, Iwan menahan air mata. Lagu usai, sebagian bertepuk tangan, sebagian menahan napas. ''Lagu 'Negara' ini terlahir berdasar interpretasi saya dalam melihat negara.'' Lalu, dengan garang Iwan pun memekikkan tuntutan agar negara menggratiskan pendidikan dan kesehatan serta memberikan rasa aman dan kebebasan kreatif. ''Kalau tidak bisa, bubarkan saja!'' Hadirin bergelora. Semua bangkit dari tempat duduk. Seperti kampanye partai, mereka berseru-seru. Sebagai gong menggemalah tembang kebangsaan OI, ''Di Bawah Tiang Bendera''. Lagu karya Franky Sahilatua dan Iwan itu mengentak malam dalam kor panjang. Usai nyanyian, diskusi memanas kembali. Tepat pukul 24.30 diskusi rampung. Hasilnya? OI dan para pembicara sepakat meminta Iwan Fals jadi presiden. Namun Iwan cuma tersenyum. ''Saya nggak ngerti politik. Saya nggak bisa bahasa Inggris. Saya jadi presiden di setiap konser saya saja,'' ujarnya datar. (Benny Benke-53)

Denias: Senandung di Atas Awan

Kamis, 12 Oktober 2006. BUDAYA
"Denias: Senandung di Atas Awan"
Kisah Nyata Anak Papua

SEJAUH mana tekad seorang anak Papua dalam menuntut ilmu sebagai upaya untuk memperbaiki kehidupan dan masa depannya? Dalam film Denias: Senandung di Atas Awan arahan John De Rantau, perjuangan untuk mendapatkan hak pendidikan itu dikisahkan secara mengharukan. Berbeda dari kebanyakan film Indonesia yang kerap mengangkat tema drama cinta remaja dan horor, Denias yang akan diputar secara serentak mulai 19 Oktober mendatang mengajukan tema pendidikan dengan balutan drama kisah nyata anak-anak Papua. Dalam preview perdana di Jakarta, kemarin, film yang menurut sutradaranya adalah film pertama dengan media 35 mm yang dibuat di Papua, sejak awal memang berangkat dari semangat idealisme. Membutuhkan proses keseluruhan selama tiga tahun, setahun di antaranya untuk riset dan masa syuting mulai 20 Mei hingga 1 Juni 2006, film ini mengambil setting di Wamena dan Timika. Sebagai kisah nyata yang menggambarkan dengan apik bagaimana kehidupan asli masyarakat Papua dan keindahan alamnya, Denias mengemban pesan mulia. ''Betapapun tidak ada mimpi yang tidak bisa diwujudkan,'' ujar De Rantau. Sebagai sutradara yang turut terlibat dalam pembuatan film Ijinkan Aku Menciummu Sekali Saja dan Mencari Madonna yang juga ber-setting Papua, dia yakin filmnya mendapat sambutan positif. Ari Sihasale selaku produser dan pemain menyebutkan, kisah nyata film tersebut berangkat dari pengalaman adik kelasnya yang harus berjalan jauh selama empat hari untuk mencari sekolah dari desanya yang terpencil. Semangat untuk mendapatkan pendidikan dengan balutan alam Papua nan indah inilah yang dicoba untuk disajikannya. ''Ada yang lebih indah dari sekadar pemandangan alam Papua yang menakjubkan, yaitu semangat meraih pendidikan dari masyarakat setempat,'' katanya. Nia Sihasale Zulkarnaen sebagai executive producer mengamini pendapat suaminya itu. Menurut dia, pesan tentang arti penting untuk mendapatkan pendidikan menjadi tema utama Denias. Anak Petani. Film tersebut juga dilakoni peraih Piala Citra 2005 Marcella Zalianty, Mathias Muchus, dan bintang asli provinsi paling timur Indonesia seperti Albert Fakdawer dan Michael Jakarimilena. Kisah berpusat pada Denias (Albert Fakdawer), anak petani di pedalaman Arwanop yang mempunyai mimpi meraih pendidikan setinggi Gunung Jayawijaya. Sepeninggal Mama Denias (Audry Papilaja) dan pulangnya Pak Guru (Mathias Muchus) ke tanah Jawa, dan kawan bermainnya, Maleo (Ari Sahasale), di benak Denias hanya ada satu tekad. Yakni meraih pendidikan di balik gunung yang konon kata Maleo, yang sebenarnya adalah anggota Komando Pasukan Khusus, penuh dengan fasilitas. Maka ditempuh lah perjalanan heroik membelah gunung, sungai, hutan, dan rawa untuk menuju kota. Setelah empat hari dilalui, akhirnya sampailah dia di rumah salah seorang sanak saudaranya. Namun di kota, dia tidak mempunyai seorang kawanpun kecuali gelandangan bernama Enos (Minus Karoba). Bersama Enos lah, Denias berniat masuk ke sekolah fasilitas. Hingga akhirnya, setelah melalui proses drama yang mengaharukan, atas bantuan Ibu Sam (Marcella Zalianty), dan Ibu Asrama (Nia Sihasale Zulkarnaen), Denias dan Enos dapat duduk di bangku sekolah dasar. Semangat pantang menyerah Denias, yang sekarang telah mendapatkan beasiswa dari PT Freeport untuk kuliah di Darwin, Australia, itulah yang digambarkan dengan menawan oleh John De Rantau. (Benny Benke-45)

''Dead or Alive''

Rabu, 11 Oktober 2006. BUDAYA
Preview ''Dead or Alive'' Kisah Dara Perkasa
DEAD or Alive, permainan video game yang laris manis, diangkat ke dalam layar lebar. Sang pembesut adalah Cory Yuan, sutradara dan penata laga ternama di Hong Kong. Dan, jadilah film ini penuh baku pukul, tendang, dan banting sejak awal hingga akhir. Sang sutradara adalah teman seperguruan Jackie Chan dan Sammo. Mereka bertiga adalah trio yang berjaya pada di era 1970-an. Dari tangan Yuan pulalah film aksi komedi Lethal Weapon 4 dan drama aksi Romeo Must Die yang dimainkan Jet Li terlahir. Karya terakhir Yuan adalah film bergenre fiksi sains X-Men. Penyutradaraan Yuan telah terbukti lewat film laris The Black Rose, Mahjong Dragon, High Risk, My Father is A Hero, The Bodyguard from Beijing, Fong Sai-Yuk I, dan Fong Sai-Yuk II. Pembesut tetralogi film yang diperankan Jet Li itu tampaknya akan diuji melalui film terkininya. Lewat Dead or Alive, lulusan Chinese Opera Academy itu mengharmoniskan racikan film Enter the Dragon yang melambungkan Bruce Lee dan Charlie's Angels. Dia berhasil mendapuk para dara ayu nan seksi bertubuh sentosa sehingga mampu berjumpalitan meringankan tubuh. Mereka pun piawai melayangkan pukulan dan tendangan mematikan layaknya dalam film klasik China. Mengalir Ringan. Para pelakon adalah Devon Aoki (bermain pula dalam Sin City dan 2 Fast 2 Furious), Sarah Carter (Final Destination 2), Natassia Malthe (Elektra), Matthew Marsden (Black Hawk Down), Jaime Pressly (Torque), Eric Roberts (National Security), dan Holly Valance (National Lampoon's dan Pledge This!). Film mengalir dengan ringan. Tak ada konflik, trik, muslihat, atau tipu daya yang memperpelik jalinan cerita. Tak ada akhir kisah yang menggetarkan jiwa. Sebagaimana versi permainan videonya, film ini bernarasi dengan datar, hitam-putih, dan tentu (untuk) menggembirakan pemirsa. Alkisah, para jawara bela diri dari seluruh penjuru dunia berkumpul di sebuah pulau. Mereka bakal membuktikan diri menjadi yang terbaik. Dalam permainan Dead or Alive berhadiah utama 10 juta dolar AS, mereka harus bertarung satu lawan lain sampai ke babak final. Bermodal kecantikan, sedikit kehidupan misteri di belakang mereka, permainan ilmu bela diri supercanggih, plus polesan gerakan rekayasa teknologi terkini, mereka mengadu kepiawaian. Mereka mengadu nasib, mempertaruhkan nyawa. Akhirnya tersisa empat dara ayu nan perkasa. Namun ternyata mereka cuma hendak dimanfaatkan untuk kepentingan bisnis pemilik dan pengelola pulau. Pertarungan antara mereka dan pengelola pulau itulah pemuncak film gedebak-gedebuk ini. Sang pemenang, tentu saja, para dara jelita dengan keperkasaan luar biasa. (Benny Benke-53)

Qaisra Shahraz,

Selasa, 10 Oktober 2006. BUDAYA
Diskusi Novel "Perempuan Suci"
Upaya Memahami Perempuan Islam

JAKARTA-Seperti apakah perempuan Islam dalam ranah kebudayaan Pakistan memaknai penderitaan yang ditimpakan padanya? Diskusi novel The Holy Woman karya novelis Inggris asal Pakistan, Qaisra Shahraz, menjelaskannya dengan apik. Novel yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Mizan dengan judul Perempuan Suci itu didedah oleh penulisnya langsung di Galeri Ibuku Kunstkamera, Jl Veteran I/26 Jakarta, kemarin. Novel yang telah memenangi Golden Jubilee Award 2002 itu di mata kreatornya adalah tampikan secara halus kepada dunia internasional ketika memandang perempuan Islam dalam perspektif yang tidak tepat. Menurut Shahraz yang belum lama ini mengikuti Ubud Writer and Reader Festival di Ubud, Bali, Perempuan Suci mengambil latar belakang kultur masyarakat Pakistan yang taat menjalankan hukum Islam. Ketaatan atas nama bakti kepada orang tua yang dikisahkan penulis lulusan Manchester University itu, tidak diuraikan sebagai tragedi atau ironi yang berujung penderitaan. Sebaliknya, ketaatan justru menuntun pelakonnya menemui sebuah pencerahan. ''The Holy Woman menuntun pembacanya untuk memahami perempuan Islam dan pergulatan batinnya dalam memahami kesucian atas dirinya,'' katanya. Pergulatan batin yang penuh perjuangan melawan penderitaan inilah yang dinarasikan dengan bahasa yang sederhana namun mengena oleh Qaisra Shahraz. Burqa. The Holy Woman secara singkat berkisah tentang Zarri Bano, seorang perempuan Pakistan yang dihadapkan pada pilihan sulit dalam hidupnya. Sejak adik laki-lakinya meninggal karena sebuah kecelakaan berkuda, ia "dipaksa" menjadi putri mahkota keluarga besarnya. Dengan konsekuensi meninggalkan kehidupan cinta bersama kekasihnya, Sikander, Bano pun menjadi seorang shahzadi ibadat atau perempuan suci. Dia mengurungkan dirinya ke dalam pakaian burqa dan hanya menyisakan liang kecil untuk matanya saja. Tidak hanya harus menghindari lelaki yang bukan muhrimnya, dia juga menjadi suci secara harfiah, yaitu melupakan keinginannya untuk menikah. Tradisi shahzadi ibadat yang masih menjadi kontroversi itulah yang menjadi polemik menarik dalam novel ini. (Benny Benke-45)