Jumat, 21 Maret 2008

Jan Cornall

Senin, 16 Oktober 2006. BUDAYA
Dongeng Jan Cornall tentang Srengenge
JAKARTA-Meski bukan hal yang baru, apa yang dilakukan penyanyi, penulis lagu, komponis sekaligus novelis Australia, Jan Cornall, terhadap sajak-sajak penyair Sitok Srengenge tetaplah menarik. Di panggung teater Utan Kayu Jakarta, akhir pekan lalu, nyatanya kolaborasi antara salah satu pekerja kesenian Negeri Kanguru, dengan salah satu penyair penting Indonesia itu berlangsung harmonis. Jan, dengan kekuatan interpretatif yang syahdu, berhasil menyanyikan ke-11 sajak Sitok yang dia ambil dari kumpulan puisi ''On Nothing'' dengan menawan. Kemampuan olah vokal yang sebenarnya tidak luar biasa namun berhasil dibungkus dalam komposisi lagu apik besutan Imel Rosalin, pemain jazz dari Bandung, membuat acara bertajuk ''Jan Cornall Sings Srengenge'' itu membuai puluhan penonton. Sajak-sajak Sitok yang kelahiran Dorolegi, Purwodadi oleh Jan disulap menjadi sangat jazz. Bukan jazz yang kental dan pekat sebagaimana yang dimainkan musisi kulit hitam, melainkan jazz yang kontemplatif dan cenderung sedih. Apalagi dengan cara pembawaan yang sangat aduhai meski bersahaja dengan iringan musik minus one, Jan justru berhasil menyanyikan sajak ''Dance of Eucalyptus'', ''He Who Walks Alone'', ''Read Your Body'', ''Lake Biwa'', ''Lover of the Sky'', ''My Butterfly'', ''Only One'', ''Room'', ''Situmorang Sonet'', ''Waiting'', dan ''We Will''. Ke-11 sajak yang dipilih oleh Jan untuk dikomposisi menjadi musik jazz, menurut Sitok, adalah atas pilihan Jan sendiri. Sehingga dengan kemerdekaannya sendiri, penulis naskah teater dan film itu menginterpretasikan kebebasannya dengan seluas-luasnya. Petilan Novel . Yang membuat pertunjukan menjadi lebih menarik adalah ketika Jan mengolaborasikan kerjanya dengan membacakan petilan novel terbarunya, ''Take Me to the Paradise''. Novel itu berkisah tentang Pulau Bali dengan segala keindahan yang bergandengan dengan permasalahan para tokohnya. Ketika lagu perdana usai, ia bak seorang pendongeng yang tekun membacakan beberapa bagian novelnya. Demikian seterusnya sampai tidak terasa ke-11 lagu itu usai dan intisari novel juga usai dikisahkan. Jadi, dalam satu pertunjukan, penikmat mendapatkan tiga pertunjukan sekaligus, yaitu poetry song atau sajak yang dilagukan dalam musik jazz, petilan pembacaan novel, dan kedalaman makna sajak itu sendiri. Setelah pertunjukan, Jan yang juga dikenal sebagai seorang aktor, penyanyi sekaligus penulis lagu di Melbourne Australia sejak 1969 berujar ringan. ''When fine poetry meets fine jazz, a new music was born,''. Ya, ketika sajak yang apik bertemu dengan musik jazz yang menawan, maka lahirlah musik baru. Yakni musik jazz yang ngelangut. (Benny Benke-45)

Tidak ada komentar: