Minggu, 24 Februari 2008

VIna P

Minggu, 19 Februari 2006. NASIONAL
Konser Viva Vina
Nostalgia Fans The True Diva

JAKARTA- Mengenakan gaun krem keemasan rancangan Anne Avanti, Vina Panduwinata yang tampak anggun dan ayu muncul dari balik tempat duduk penonton. Kemunculan Vina yang membuat 5.000 penonton Konser Viva Vina membalikkan tubuh itu dibarengi lantunan tembang ''Aku Masih Cinta''. Sembari membelah barisan penonton yang menyambut dengan tepukan riuh, Vina tanpa iringan musik menembangkan "Aku Masih Cinta". Dia melangkah pelan menuju ke panggung utama yang berselimut tirai raksasa di Plennary Hall Jakarta Convention Center. Setelah dia mencapai bibir panggung, terangkatlah tirai raksasa yang menyelubungi panggung utama. Saat itulah Addie MS dan 50 awak orkestranya mengiringi refrain terakhir tembang pembuka konser solo penyanyi terkemuka Indonesia itu. Belum usai sambutan meriah penonton, antara lain Kris Dayanti, Titi Dwijayanti, Camelia Malik, Harry Capri, Ari Tulang, Ubiet (Nya' Ina Raseuki), Henky Tornando, Ermy Kulit, Deddy Dukun, Iga Mawarni, Dina Mariana, dan Bella Saphira, Vina meneruskan dengan tembang ''Apa Kabar''. ''Apa kabar?'' tanya Vina ke penonton, seusai mendendangkan tembang itu. ''Setelah 25 tahun saya berkarier di dunia musik akhirnya kita bisa ketemu lagi ya,'' ujarnya. Selanjutnya, dengan sangat santun, penuh keceriaan, ketenangan, serta kematangan dia Vina bertutur tentang sejarah kariernya dalam dunia tarik suara. ''Saya mengucapkan rasa terima kasih kepada kawan-kawan seperti Eriati Erningpraja, Oddie Agam, Harvey Malaiholo, dan Titik Hamzah,'' katanya. Lalu, dia pun mengisahkan proses penciptaan dan menyanyikan tembang ''Aku Melangkah Lagi'' karya Santoso Gondowidjojo. Usai lagu ketiga, dia lagi-lagi berkisah seperti pendongeng. ''Dulu, Om Idris Sardi mengajari saya menyanyi dengan nada tinggi,'' katanya sembari menunjuk Idris Sardi yang tersenyum. Vina kemudian menembangkan lagu "Satu dalam Nada Cinta" karya Barce Van Houten yang diaransemen Idris Sardi. Para penonton pun ikut menyanyi.
Penonton konser Viva Vina hampir 80 persen orang-orang paro baya. Konser itu berlangsung menyenangkan sekaligus mengharukan. Betapa tidak. Tak seperti para penyanyi yang menggelar konser solo, Vina senantiasa menceritakan latar belakang proses kelahiran lagu-lagu yang ditembangkannya. Dan hebatnya, hampir semua orang yang terlibat di balik penciptaan lagu itu hadir di antara penonton. Tak ayal, konser Vina kali ini seolah menjadi ajang kumpul kawan lama dan fans beratnya. Tengoklah ketika Vina menghadirkan dan meminta Aryono HD berdiri agar penonton dapat mengenali parasnya ketika dia menyanyikan ''Burung Camar'' karya lelaki itu. ''Lagu ini pernah meraih Kawakami Award,'' ujar Vina. Lagi-lagi dia memperkenalkan James F Sundah yang menciptakan ''September Ceria''. ''James silakan berdiri. Ini lagu kamu.'' Lalu mengalunlah "September Ceria" yang diaransemen Addie MS tahun 1980-an. Masih sama dengan versi aslinya dulu. Vina tampaknya tahu benar bahwa orang besar tak akan pernah melupakan orang-orang membesarkan namanya. Dengarlah, lagi-lagi dia menyebut nama Bob Tutuppoli, Grace Simon, dan Guruh Soekarnoputra sebagai orang yang sangat berjasa menggemblengnya sehingga menjadi Vina seperti dikenal orang sekarang. Ya, Vina memang luar biasa. Tak mengherankan jika Addie MS yang setia mengiringi lebih dari 23 tahun menyebut Vina sebagai the True Diva. (Benny Benke-53)

Marathon

Sabtu, 18 Februari 2006. BUDAYA
Konser Marathon Radja dan Ratu
Di Semarang 11 Mei
JAKARTA-Grup rock Radja dan duo Ratu berencana menggelar konser di 40 kota selama empat bulan hingga akhir Mei 2006. Konser ini akan dimulai di Convention Center (JCC) Jakarta pada 20 Februari dan dipamungkasi di Lapangan Parkir Tumenggung Batam, 21 Mei. Harry ''Koko'' Santosa dari Deteksi Production yang kembali digandeng A Mild untuk menggelar konser marathon di pembuka tahun ini, menyatakan perizinan konser sudah siap secara keseluruhan.
''Yang pasti dengan harga tiket terjangkau dan kenyamanan yang panitia sajikan, konser ini akan benar-benar menghibur,'' katanya. Konser yang akan berlangsung kota-kota di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Lombok, dan Nusa Tenggara Barat ini dimaksudkan tidak hanya untuk memberikan hiburan kepada masyarakat musik Tanah Air. ''Lebih dari itu, konser ini kami harapkan dapat merangsang para musisi di daerah untuk semakin menajamkan kemampuannya berkarya,'' ujar Sendi Sugiharto, product group manager Sampoerna Tbk. Sedangkan Ian Kasela, vokalis Radja yang hadir bersama Moldy (gitar), Shuma (bas), dan Adit (drum) menyatakan antusiasmenya menjalani konsernya kali ini. Hal senada diutarakan Maia dan Mulan Kwok dari Ratu. ''Ini kerja marathon yang akan berlangsung dengan menyenangkan, keliling 40 kota dengan para fans tercinta,'' ujar Ian. ''Ya, apalagi Ratu juga akan membawakan lagu-lagu terbaru yang akan kami sosialisasikan,'' tukas Maia. Ratu yang berencana menggeber empat sampai enam lagu dalam setiap penampilan yang kemudian diikuti dengan sepuluh sampai 14 lagu berikutnya yang dinyanyikan Radja, juga berjanji akan memberikan kejutan bagi penonton mereka. "Karena bisa jadi kami berkolaborasi di atas panggung. Kita lihat saja nanti,'' imbuh Maia. Semarang akan mendapat jatah kunjungan Radja dan Ratu pada 11 Mei di Stadion Diponegoro. Kemudian sehari berikutnya di Pantai Kartini Jepara (12/5), Stadion Mandala Krida Yogyakarta (14/5), dan Stadion Sriwedari Solo (16/5). (G20-45)

''Sampek Engtay''

Kamis, 16 Februari 2006. BUDAYA
Pentas ''Sampek Engtay''
Pabrik Ketawa Teater Koma

JAKARTA-Teater Koma tampaknya tidak akan pernah bisa lepas dari stigma yang selama ini menempel di grup tersebut, yaitu pabrik ketawa. Dalam pentas perdana lakon Sampek Engtay, Selasa (14/2) malam, misalnya kelompok teater yang berdiri sejak 1977 itu kembali memperteguh stigma tersebut. Meski lakon tragedi cinta ini telah dipentaskan sebanyak 80 kali sejak 1988, kesegarannya masih saja mampu menghibur. Lebih dari 500 penonton yang menyesaki Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) yang menjual tiket seharga Rp 75 ribu pun diganjar dengan kepuasan puncak. Betapa tidak, hampir sepanjang pertunjukan, 30 pemain dari angkatan 2000 dan 2005 Teater Koma dan 20 kru pendukung tidak henti-hentinya mengocok perut penikmatnya. Nano Riantiarno sebagai penulis naskah yang merangkum naskah asli dari 12 versi cerita Sampek Engtay yang berbeda tidak hanya jeli menyuguhkan kekuatan naskah. Lebih dari itu, keaktoran generasi muda Teater Koma dalam menyampaikan apa yang ingin disampaikan , mampu disampaikan dengan ringan, mengena, sekaligus menghibur. Meski tidak sempurna benar, seperti dalam beberapa adegan yang terlalu berlarat-larat dan bertele-tele, kondisi itu tidak mengurangi bobot pertunjukan secara keseluruhan. Ya, Teater Koma ditangan Nano Riantiarno memang masih piawai dalam urusan membungkus tragedi dalam balutan komedi. Tragedi kisah cinta antara Sampek dan Engtay yang dalam versi aslinya penuh dengan cakapan yang mengharu-biru, menyayat-nyayat, dan membuat berlinang air mata pengapresiasinya, di tangan Koma berubah menjadi penuh gelak dan canda tawa.
Sehingga tidak salah jika Putu Fajar Arcana, seorang kawan berujar tak ubahnya menonton acara Extravaganza sebagai-mana yang disiarkan salah sebuah stasiun televisi nasional swasta. Sebagaimana Sampek Engtay yang pernah dipentaskan di Gedung RRI, Jl Achmad Yani Semarang tahun 1999 lalu, alur penceritaan, pengadeganan, dan ending lakon ini masih sama. Setting-nya lebih teliti, mewah dan terperi serta kostum semakin mengalami penyempurnaan, dan penambahan beberapa adegan. Namun, secara keseluruhan tragedi-tawa Sampek Engtay ala Teater Koma adalah sama. Dikisahkan Engtay (Tuty Hartaty) adalah seorang perempuan muda nan ayu dari Serang Banten hendak menuntut ilmu ke kota besar bernama Betawi. Atas izin kedua orang tuanya, Ciok, berangkatlah Engtay yang menyaru sebagai lelaki ke kota paling besar di zaman Hindia-Belanda itu. Sesampai di Betawi, bertemulah Engtay dengan Sampek (Paulus Simangunsong), yang mempunyai kepentingan sama: menuntut ilmu di sekolah Poetra Bangsa yang terletak di Glodok, Mangga Besar. Di asrama sekolah itulah pertalian persaudaraan antara Sampek dan Engtay yang ditempatkan sekamar mulai dan semakin terjalin dengan erat satu sama lain. Kelucuan-kelucuan tentang proses Engtay yang menyaru sebagai laki-laki di antara kawan-kawan sekolahannya inilah yang memancing tawa. Hingga akhirnya, atas nama cinta, Engtay berterus terang kepada Sampek tentang identitas sejatinya. Namun, pada saat yang bersamaan Engtay dipanggil pulang untuk dinikahkah dengan Macun (Sena Sukarya), putra Kapten Liong (Sugi Haryanto), tuan tanah dari Rangkasbitung. Sampek pun patah hati, kalah oleh cinta, menafikan logika, menuruti perasaannya yang lara dan akhirnya mati merana. Hingga akhirnya arak-arakan pernikahan antara Engtay dan Macun melewati makam Sampek. Engtay pun meminta waktu sebentar untuk mengirimkan doa kepada kekasih sejatinya itu. ''Tak ada yang bisa memisahkan cinta kita, tidak juga kematian,'' isaknya di pusara Sampek. Pada saat bersamaan, tiba-tiba kuburan Sampek membuka, maka tanpa berpikir panjang, melompatlah Engtay ke dalam kuburan kekasihnya, meninggalkan Macun yang murka. Ketika kuburan dibongkar paksa, jasad Sampek dan Engtay tidak tersua, hanya meninggalkan dua batu biru dan dua tawon kuning, yang kemudian berubah menjadi sepasang kupu-kupu, dan diikuti jutaan kupu-kupu lainnya. Semua yang menyaksikan adegan ini terkesima, beberapa di antaranya bahkan menyeka air mata. Menangis tertawa. (Benny Benke-45)

Uriah Heep

Selasa, 14 Februari 2006. BUDAYA
Konser Nostalgia Kaum Paruh Baya
JAKARTA-Di terminal kedatangan Bandara Soekarno-Hatta, Sabtu (11/2) malam, Lee Kesrlake (drumer Uriah Heep), hanya terkesiap tidak mempercayai dirinya sendiri jika ia telah menginjakkan kaki di Jakarta. ''Seperti di rumah sendiri,'' katanya bungah. Maklum, 22 tahun yang lalu, tepatnya tahun 1984 salah satu grup band hard rock legendaris dunia itu pernah menggelar konser di Istora, Senayan Jakarta. Minggu (12/2) malam lalu, band dari Inggris Raya seangkatan dan setanah air dengan Led Zeppelin, Deep Purple, Black Sabbath, Yess dan Pink Floyd ini, kembali menunjukkan kebolehannya di depan publik musik hard rock Jakarta. ''Tentu saja saya rindu ingin menyantap Salak dan Durian,'' imbuh Lee. Dan yang pasti, katanya lagi, dia sudah tidak sabar lagi untuk kembali memesan celana jins jahitan salah seorang penjahit ternama di Blok M, Jakarta. ''Apakah masih ada penjahitnya di sana?'' katanya menyelidik yang disambut gelak tawa penjemputnya. Kedatangan Uriah Heep dari Bombay India ke Jakarta adalah dalam rangka World Tour 2006. Dengan antusias, Mick Box (gitar), Lee Kesrlake (drum), Trevor Bolder (bas), Phil Lanzon (kibor), dan Bernie Shaw (vokal) bahkan tidak ingin setengah-setengah memberikan yang terbaik kepada pencintanya. ''Meski kepala kami telah berusia 50 tahun ke atas, tapi bukan berarti kami kalah dengan yang muda-muda,'' tukas Bernie Shaw. Ya, keseriusan Uriah Heep yang akan meneruskan konser ke Thailand sebelum akhirnya tur 10 kota di Rusia, memang dibuktikan di hadapan 500-an pencintanya di Tennis Indoor Senayan Jakarta. Sederhana. Lihatlah, ketika mereka menyeruak ke atas panggung yang sederhana namun pepat dengan alat musik mereka. Para personel Uriah Heep tanpa basa-basi langsung menggeber tembang-tembang hitnya. Beberapa di antaranya termaktub dalam album Very Envy...Very Umble (1970), Salisbury (1971), Look at Your Self (1971), Demons and Wizard (1972), High and Mighty (1976), dan Firefly (1977). Simak pula bagaimana dengan lihainya Bernie Shaw berkomunikasi dengan para pencintanya yang tentu saja hampir 90 persen didominasi kaum paruh baya. ''Anda semua pasti berusia di atas 21 tahun, bukan?'' ujar Bernie. ''Ah, itu bukan menjadi soal. Itu (usia) tidak mengurangi apa-apa, sebagaimana kami terus bekerja dan bekerja sebagaimana Anda semua,'' imbuh dia yang bersambut tepuk tangan meriah. Selanjutnya tembang-tembang seperti "I Wanna Free", "Tears on My Eyes", "Two Different World", "Come Away Melinda", "Easy Living", "Gypsy", "Look at Yourself", "Sunrise", dan "The Magicians Birthday" mengalir dengan lancar. Kelancaran konser yang terselenggara atas kerja tunggal Original Production ini bukan semata-mata kemampuan musikalitas para personel Uriah Heep. Lebih dari itu, hampir semua tembang yang mereka bawakan semua dikenal baik dan dinyanyikan bareng penggilanya yang sudah paruh baya. Yang tidak terduga, hampir 30 persen komposisi penonton disesaki para ekspatriat yang tinggal di Jakarta dan lagi-lagi paru baya. Jadi jangan heran, konser kali ini yang dibuka dengan penampilan God Bless seolah seperti konser kangen-kangenan para generasi kaum paruh baya yang disatukan lagi dengan kehadiran idola mereka semasa muda dulu hingga sekarang. ''Tahun 84 lalu saya nonton konser mereka di Istora dan sekarang masih dengan antusiasme yang sama sebagaimana 22 tahun lalu, saya menyaksikan mereka,'' ujar Amy Roes, salah seorang musisi rock kawakan Jakarta. (Benny Benke-45)

My Girl



Jumat, 10 Februari 2006 . BUDAYA
Balada Kasih dari Negeri Tetangga
Preview Film "Cinta Pertama"

JAKARTA- Siapakah yang sanggup membunuh kenangan? Adakah kenangan yang lebih indah yang sepatutnya kita ingat selain memori indah masa kecil. Lewat film Cinta Pertama yang disutradarai Rizal Mantovani, keindahan masa kecil film yang berjudul asli My Girl itu dihadirkan kembali. Ya, My Girl yang merupakan film layar lebar pertama yang disulihsuarakan dan diataptasi dari film aslinya mengalir dengan penuh pesona dan genial. Betapa tidak, film produksi Thailand yang pernah meraih Sutradara Terbaik Asian New Talent Award, Shanghai International Film Festival, Pengambilan Gambar Terbaik, Youth Asia Shanghai International Film Festival, Aktor Pendukung Terbaik (Chaeleumpol as Jack) Golden Supanhong Award, serta menjadi blockbuster hit di Thailand (2003) ini disulap Rizal menjadi sangat Indonesia. Dari versi aslinya yang disutradari secara keroyokan oleh Komrit Threewimoh, Songyos Sugmakayan, Nithiwat Tharatorn, Vijja Kojew, Vhitaya Thongyuyong dan Adisor, oleh Rizal dan dibantu Ferry Fadly sebagai dubbing director diadaptasi menjadi bercitarasa Indonesia. Dari dialog yang dibuat sebagaimana logika bertutur anak Jakarta lengkap dengan lo gue, ringtone tembang ''Tak Bisakah'' milik Peterpan, sampai soundtrack 16 tembang lawas tahun 80-an penyanyi Indonesia hadir dalam film berdurasi 111 menit ini. ''Ya, inilah adalah film layar lebar pertama Indonesia yang menyulihsuarakan dan mengadaptasi dari film berbahasa asing non-Indonesia,'' tutur Peter Lim, produser Cinta Pertama sesusai preview perdana di Planet Hollywood Jakarta, kemarin. Bahkan dengan segala keseriusannya, Peter Lim, Rizal Mantovany, dan Ferry Fadly musti membutuhkan waktu satu tahun untuk merubah My Girl menjadi Cinta Pertama agar benar-benar tak ubahnya film Indonesia. Kultur . ''Meski kendalanya banyak, pada dasarnya kultur yang menjadi setting dan pesan moral versi film aslinya sangat mirip dengan kebudayaan Indonesia,'' ujar Rizal. Ferry Fadly bahkan mengakui proses pengerjaan sulih suara dan adaptasi selama satu tahun adalah rekor terpanjang selama proses kreatifnya menjadi sutradara dubbing. Jadi jangan heran ketika sepanjang film ber-genre drama komedi anak-anak ini tembang-tembang milik Chrisye ("Ku Cinta Dia", "Hip Hip Hura", "Pergilah Kasih", "Kisah Cintaku"), Hetty Koes Endang ("Demi Cinta Ni Ye", "Berdiri Bulu Romaku"), Jamal Mirdad ("Yang Penting Happy"), Obbie Messakh ("Istilah Cinta"), Iwan Fals ("Kemesraan"), Betharia Sonata ("Kau Tercipta Bukan Untukku"), Rafika Duri ("Kekasih"), Ebiet G Ade ("Berita Kepada Kawan"), hingga Emilia Contesa ("Jatuh Cinta"), menjadi latar penceritaan. Tidak mengherankan pula ketika Betharia Sonata, Emilia Contesa, Rafika Duri, dan Hetty Koes Endang yang turut menyaksikan preview berkomentar nyaris senada. ''Filmnya bagus, pesan moralnya 'kena' dan mengingatkan pada masa kecil saya,'' tutur Rafika Duri. ''Ya, saya pikir itu film yang dibintangi anak-anak Indonesia, soalnya semua jenis permainannya sama,'' imbuh Hetty Koes Endang. ''Ya, nyaris sulit menemui film anak-anak buatan Indonesia sebagus ini ya, apalagi dengan muatan moral yang membumi,'' tukas Emilia Contesa. ''Ya ya, mengharu biru sekaligus penuh pesan moral yang mudah diterima anak-anak-anak,'' ujar Betharia Sonata. Dunia Anak . Keterpesonaan Betharia, Emilia, Rafika, dan Hetty memang mewakili gambaran keindahan Cinta Pertama, yang meski secara penceritaan berjalan dengan hitam putih, konflik tetap dihadirkan dengan tidak mengada-ngada serta diselesaikan tanpa campur tangan orang tua. Cinta Pertama diawali dengan pulangnya tokoh Jeamy ke kampung halamannya dari kota untuk menghadiri pesta pernikahan kawan semasa kecilnya, Nina yang tidak pernah ditemuinya sejak perpisahan menyakitkan 15 tahun yang lalu. Dalam perjalanan pulang, flashback ingatan Jeamy melayang ke ingatan masa lalunya. Nina adalah teman baik Jeamy sejak balita dan dia adalah satu-satunya teman yang mau bermain dengan Jeamy karena Jeamy senantiasa dikucilkan teman laki-laki sekelas dan sepermainannya. Perkawanan Jeamy dan Nina kecil inilah yang menjadi menu utama Cinta Pertama yang sederhana, menghibur, penuh pesan moral dan sekaligus menggembirakan. (Benny Benke-45)

Pram

Rabu, 08 Februari 2006. BUDAYA
Ketika Pram Patok Harga Tinggi
JAKARTA-Siapakah sastrawan Indonesia yang karyanya telah diterjemahkan ke dalam 37 bahasa dan sekaligus satu-satunya penulis yang paling tidak bisa dimengerti berbagai rezim di Indonesia? Jawabnya adalah Pramudya Ananta Toer. Demikianlah kesimpulan Taufik Rahzen, budayawan yang memandu acara Kongkow Budaya baru-baru ini bersama sastrawan kelahiran Blora, 6 Februari 1925, tersebut. Acara itu merupakan salah satu agenda perayaan ulang tahun yang digagas Taring Babi, Indonesia Buku (Ibuku), Dewan Kesenian Jakarta, dan berbagai institusi kepemudaan lainnya. Perayaan ultah sastrawan "32 Batang Rokok", demikian ia biasa disapa orang dekatnya, di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, Senin (6/2), itu terhitung meriah. Berbagai rumor terkini perihal kegiatan penerima Ramon Magsasay Award untuk kategori Jurnalistik, Sastra, dan Seni Komunikasi Kreatif (1995) itu didedah bareng sang empunya. Dari penyakit kepikunannya yang membuat Pram tidak bisa berkarya lagi dalam sepuluh tahun terakhir, tampikannya terhadap ikhtiar sutradara Hollywood, Oliver Stone, sampai kritikan para pencinta sekaligus pengagumnya yang menengarai pola pikirnya telah berubah menjadi kapitalis. Dalam Kongkow Budaya yang juga dihadari Max Lane, penerjemah karya Pram ke dalam bahasa Inggris, Yenni Rosa Damayanti, Rieke Dyah Pitaloka, Happy Salma hingga komunitas musik punk Jakarta Raya, Pram bahkan mengecam generasi pemuda sekarang yang tidak mampu melahirkan pemimpinnya sendiri. "Delapan puluh satu tahun adalah umur yang tidak pernah saya bayangkan, dengan segala kepahitan dan kegetirannya," tuturnya datar. "Betapa tidak terbayangkannya karena sejak sepuluh tahun kebelakang sejak umur 70 tahun saya berhenti menulis sama sekali". Mengapa penulis tetralogi Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1980), Jejak Langkah (1985), dan Rumah Kaca (1988) yang melambungkan namanya ini berhenti menulis? "Karena saya sudah pikun. Apa yang ingin saya sampaikan di tengah jalan pasti lupa," imbuhnya. Karena penyakit pikun itulah dia tidak dapat memilih kata-kata yang tepat. "Tapi pikun itu ada baiknya. Baiknya apa. Kalau ditagih saya mempunyai alasan yang tepat," katanya yang mendapat sambutan gelak tawa hadirin yang memenuhi arena Teater Kecil hingga larut malam. Harga Tinggi. Rumor perihal terlalu tingginya harga yang dipatok Pahlawan Asia versi majalah Times Singapura (2002) atas buku Gadis Pantai, bagi para pembuat film yang hendak memvisualkan novelnya memang telah bergulir dua tahun terakhir. Pertanyaan itu akhirnya mengemuka kembali. Pram yang diberi izin hadirin untuk merokok di atas panggung pun akhirnya membuka kartunya. "Hak untuk memfilmkan karya saya minimum seharga Rp 1,5 milyar untuk jangka waktu lima tahun. Masalah mau diinterpretasikan secara visual seperti apa itu terserah film maker karena itu sudah bukan bidang dan dunia saya," katanya. Kejujuran Pram ini seketika mendapat respons keras dari Yenny Rosa Damayanti. Bagi Yenny, kekecewaanya terhadap cara Pram memperlakukan karyanya seperti properti yang dijual untuk sebuah harga, tanpa mempertimbangkan karya tersebut adalah warisan bangsa, tak ubahnya seorang kapitalis.
"Karena bagi saya, karya Pak Pram adalah karya yang harus disiarkan, disebarkan, dipetakan, difilmkan, dipentaskan, dimainkan oleh siapa pun juga demi kemanusian, bukan demi sebuah harga". Menanggapi kekecewaan tersebut dengan tenang Pram menjawab: "Karya itu mutlak kepunyaan saya, jadi jika ada yang tidak suka dengan cara memperlakukan hak cipta saya sendiri, itu hak publik. Silakan," katanya. "Sejak tahun 65 semua milik saya dirampas, namun tidak ada yang membela sampai sekarang, dari rumah, buku dan semuanya. Ketika saya bawa masalah ini ke pengadilan, mereka bilang, salah alamat. Gimana ini?". Ketika suasana tegang, seorang hadirin berceloteh: "Pram juga manusia..." Dendang hadirin itu sembari menirukan nada tembang "Rocker Juga Manusia" milik Seureius Band, spontan membuat hadirin tertawa, kecuali Pram. Dukungan untuk mematok harga yang tinggi justru datang dari Max Lane dan Doddy Achmad Fawzy, penerbit buku. "Dengan mematok harga yang tinggi justru membuat profesi sebagai penulis akan semakin bermartabat," ujar Doddy. Meski mematok harga tinggi untuk karya-karyanya, bukan berarti Pram memasang harga yang sama bagi kelompok teater yang hendak mementaskan salah satu karyanya. "Bahkan selama ini Pram terlalu sering ikut membiayai kelompok teater maupun grup band yang hendak naik panggung," tutur Taufik Rahzen. (Benny Benke-45)

Matinya Toekang Kritik''

Sabtu, 04 Februari 2006. BUDAYA
Kritik Sosial Masih Jadi Andalan Butet
JAKARTA- ''Dikritik itu memang sakit, tapi jauh lebih sakit jika kritik tidak didengarkan,'' ujar Suhikayatno, tukang kritik sejati yang tidak akan pernah mati, menarasikan perasaanya. Selanjutnya, monolog ''Matinya Toekang Kritik'' yang berdurasi 90 menit itu mengalir dengan penuh gelak tawa sebagaimana ciri utama monolog yang dibawakan Butet Kartaredjasa. Lakon yang disutradari oleh Whani Darmawan, sebagaimana monolog Butet terdahulu berjudul ''Lidah Masih Pingsan'', memang masih tajam dengan berbagai kritik sosial tentang kondisi kekinian di Indonesia. Kekuatan kritik sosial yang dituangkan dalam setiap monolog Butet inilah yang menjadi kekuatan kunci utama lakon yang akan dipentaskan di Jakarta (3-5 Februari), Yogyakarta (11-12 Februari), dan Surabaya (17-18 Februari). Selain kekuatan pada naskah yang ditulis oleh Agus Noor, peran multimedia yang hampir mendominasi hampir selama pertunjukan adalah nilai plus lain ''Matinya Toekang Kritik''. Sedangkan keaktoran Butet, meski masih menarik, tampak mulai kedodoran pada pertengahan pertunjukan. Untung saja, improvasi putra almarhum Bagong Kussudiardjo ini masih piawai seperti dulu. Seperti biasanya, kekompakannya "berduet" dengan sang adik, Djaduk Ferianto sebagai penata musik bersama empat kru lainnya, membuat pertunjukan makin menarik. Simaklah ketika pada preview pertunjukan perdana di Graha Bhakti Budaya (2/2), Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, Butet menunjukkan kelihaiannya berimproviasi dengan Djaduk. ''Nama itu membawa tuah bagi yang menyandangnya,'' ujar tokoh Sukihayatno dari atas panggung dengan topi pet berlambang bintang. ''Coba-coba sekarang namanya siapa,'' tanya Suhikayatno kepada kru musik. Djadukpun spontan berpekik: ''Mudji Sutrisno!''. Multimedia. Bisa ditebak Suhikayatno yang tak lain adalah Butet memelesetkan sedemikian rupa nama Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara itu. Penonton tentu saja terpingkal, dan Prof Dr Mudji Sutrisno yang kena sasaran hanya tersenyum. Demikian halnya penonton VIP lainnya seperti Mochtar Pabottingi, Frans Seda, Ignas Kleden serta Rieke "Oneng" Dyah Pitaloka. al yang paling membedakan monolog Butet terkini mungkin peran yang sangat sentral multimedia. Suara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, mantan presiden Megawati, dan presiden Soekarno misalnya, menjadi pembuka monolog ini yang keluar dari multimedia. Dan dalam setiap pergantian atapun kontinuitas pertunjukan, layar yang menjadi setting mendiskripsikan kejadian-kejadian yang pernah terjadi di bumi Indonesia. Dari peristiwa kerusuhan Mei 1998 hingga masa proklamasi Indonesia, penggusuran dan berbagai peristiwa penting lainnya. Menurut Agus Noor, sentralitas dan banyaknya peran multimedia ini bukan berarti tanpa risiko. "Karena, sekali multimedia mengalami error maka sangat dimungkinkan akan mengganggu monolog secara keseluruhan. Meski kami sudah menggunakan multimedia selama satu bulan penuh, error masih saja terjadi. Maklim namanya juga mesin.'' Meski berisiko, Jompet, Arie Ps dan Giras Basuwonto (putra Butet) yang dipercaya memegang multimedia akhirnya toh tetap mampu menyuguhkan sebuah pertunjukan dengan apik. Memadukan kepintaran Butet dalam berlakon, meski tidak selihai dulu, dengan kecanggihan komputer. ''Matinya Toekang Kritik'' pada garis besarnya berkisah tentang Sukihayatno, seorang tukang kritik yang hidup di tahun 2012 hingga 3000- sekian. Lewat kisah hidup Suhikayatno yang kerjanya mengkritik dari satu rezim ke lain rezim, Suhikayatno bersaksi tentang kondisi negeri. Bersama Bambang (yang diperankan Butet juga), pembantu setianya, Suhikayatno terus saja mengkritik demi kebaikan dirinya sendiri dan negerinya. Hingga pada masanya kondisi zaman benar-benar menjadi tertib dan teratur, sehingga tidak ada yang bisa dikritik lagi. Anggota DPR tidak nakal lagi. Polisi, hakim dan jaksa tidak menjualbelikan perkara lagi. Mahasiswa tidak kenal narkoba dan semua berjalan dengan baik-baik saja. ''Di zaman tertib seperti ini, nabi pun sudah tidak diperlukan lagi,'' katanya masygul dan akhirnya mati. ''Saya hanya ingin menyampaikan kepada masyarakat jika kritik bagaimanapun juga masih dibutuhkan di negeri ini,'' ujar Agus Noor. (Benny Benke-45)

Shisa

Senin, 23 Januari 2006. BUDAYA
Shisha, Gaya Hidup Baru Orang Jakarta
BELAKANGAN banyak kaum muda Jakarta yang kecanduan mengisap rokok ala India. Bahkan, kebutuhan itu sudah menjadi gaya hidup mereka. Berikut laporan wartawan Suara Merdeka, Benny Benke, tentang rokok ala India, yang lebih populer disebut sebagai shisha, dan berikut kesan dari para penggemarnya. ''TIDAK ada yang lebih nikmat selain melakukan shisha bersama kawan-kawan.'' Inilah ungkapan Berky Yudika (16), yang sedang melakukan shisha atau menghisap rokok ala India, seperti dirasakan remaja lain, Eric Wijaja (16), Evo (18), dan Pierre (17). Keempat remaja yang masih duduk di bangku SMU dan universitas semester pertama itu adalah gambaran sebagian kecil dari sekian banyak orang Jakarta, yang sekarang sedang gemar-gemarnya melakukan shisha. Shisha, sebagaimana dituturkan Mohammad Nagib Alkaf, pemilik tiga tempat shisha di Jakarta, berasal dari kebudayaan tradisional India, yang telah berusia ratusan tahun. ''Setelah mengalami penyebaran dan pengembangan, ternyata shisha malah berkembang di Timur Tengah atau dunia Arab, selebihnya menyebar ke China,'' tuturnya. Nagib bersama kawan-kawannya jugalah, yang akhirnya mendekatkan budaya shisha atau bong rokok itu kepada masyarakat Jakarta, khususnya, dan Indonesia, umumnya. Menurut dia, sebelum membuka gahwacy atau warung kopi, yang terletak di kawasan Kemang, shisha hanya dapat dinikmati di hotel-hotel berbintang lima, dengan jangkauan harga sangat tinggi. ''Setelah kami kemas sedemikian rupa pada 2003 lalu, akhirnya shisha menjadi familiar di kalangan kaum muda Jakarta,'' kata dia. Bahkan, beberapa nama sohor dalam dunia keartisan, seperti, Dian Sastrowardoyo, Adam Jordan, Fauzy Ba'adila, Gilbert, hingga para politisi, seperti, Harmoko, Sys NS, sampai Alwy Shihab adalah pengunjung tetap di warung kopi miliknya untuk melakukan shisha. Apa nikmatnya shisha, sehingga banyak kaum muda, artis, politisi, hingga kalangan ekspatriat Jakarta menggemarinya? ''Kita bisa merokok dengan memilih cita rasa buah yang kita suka,'' tutur Nisa, karyawan warung kopi, yang telah setahun lebih menjadi saksi maraknya penggemar shisha. Berbagai rasa buah, seperti, anggur, strawberry, coconut, mint, rose, dan apel adalah menu pilihan utama, yang paling digemari. Biasanya shisha rasa bauh-buahan itu dinikmati bareng mint tea, sharazat (teh susu dan kapulaga/rempah dari Arab), dan jalab (juice korma).Kalaupun dibarengi dengan makan besar, menunya dari berbagai daging lembu seperti lamb les, laham mashui, shawarana, musaka, dan dajaj mashwi. Menurut Nagib, idealnya melakukan shisha pada waktu sehabis makan malam dibarengi dengan minum mint tea. ''Bahkan, kalau di Arab, air putih dingin sebagai bahan shisha biasanya diganti dengan coca cola atau vodka,'' imbuhnya. Namun, akhirnya hal itu memang menimbulkan efek mabuk. Impor. Bahan dasar shisha yang berbentuk bong raksasa setinggi 60-70 cm itu terdiri atas shisha atau bong, muassal (tembakau), arang spesial (tidak berbau, berasap, dan berasa), serta pipa. Semua bahan itu diimpor dari Dubai, Uni Emirat Arab. Untuk tembakau memang hanya ada di Dubai dan beberapa negara Timur Tengah. Pada dasarnya tembakau untuk shisha hasil dari campuran sari aneka buah dan tembakau, yang dimadu kemudian diperam, dengan kadar nikotine 0,1% dan tar 0%. ''Setelah melewati proses pemeraman, maka jadilah tembakau untuk bahan shisha,'' papar Nagib.
Tembakau shisha yang telah diperam itu selajutnya dibungkus alumuniun foil dan diletakkan di tengah shisha (bong), di mana pada bong dasarnya telah diisi air dingin (atau coca cola dingin dan berbagai minuman dingin lainnya). Setelah itu, di atap shisha, arang dibakar untuk ''membakar'' tembakau secara tidak langsung. ''Pada dasarnya, tembakau tidak terbakar langsung, hanya terkena efek panas arang yang dibakar,'' imbuh Na gib. Siapakah pengunjung dan penikmat terbanyak shisha?Sebanyak 70% adalah para ekspatriat, yang sebagian besar pernah bekerja di perusahaan-perusahaan minyak di Timur Tengah. Karena itu, sudah kenal dengan baik budaya shisha di Timur Tengah. Menurut Nagib, di Timur Tengah, biasanya shisha dijajakan di warung-warung kaki lima, yang sangat mudah sekali ditemui di jalanan. Sementara itu, 30% sisanya adalah kaum muda dan orang China. ''Bahkan, anak-anak Jakarta International School (JIS) setiap akhir pekan dapat dipastikan telah mem-booking tempat kami,'' ujar Nisa. Dengan hanya membayar Rp 35.000 untuk satu rasa shisha, yang biasanya dinikmati tiga sampai empat orang, shisha bisa dinikmati bersama hingga 30 sampai 60 menit. Dan biasanya serombongan orang yang datang memesan dua sampai tiga shisha aneka rasa. Hanya harga aneka minuman dan makanannya saja yang lebih tinggi dari harga shishanya sendiri. Di warung kopi milik Nagib sendiri frekuensi kunjungan orang yang melakukan shisha 30 sampai 50 orang setiap hari biasa. Dan di akhir pekan, teristimewa Jumat dan Sabtu, meningkat hingga 120-150 orang atau bahkan hingga 200 orang. ''Bahkan, untuk akhir pekan, biasanya orang-orang telah mendaftar dan memesan dulu. Kami pun harus ngebel jauh-jauh hari sebelumnya,'' tutur Pierre, murid salah sebuah SMA di Jakarta, yang mengaku telah melakukan shisha sejak setahun yang lalu. ''Selain enak, karena asapnya banyak dan cita rasa tembakaunya terasa, kami merasa keren aja,'' tukas Evo, rekan Pierre. (14h)

9 Naga,

Senin, 16 Januari 2006. BUDAYA
Lima Film Bersaing Rebut Penonton
JAKARTA - Pada Awal 2006 ini sejumlah film baru produksi dalam negeri beredar di bioskop. Film-film baru itu semuanya membidik penonton remaja dan masih menggunakan jurus lama, konflik remaja dengan bumbu cinta yang diakhiri dengan kisah sukses. Paling sedikit terdapat lima film baru produksi dalam negeri yang akan bersaing merebut penonton. Kelima film itu adalah Garasi, 9 Naga, Realita Cinta dan Rock 'n Roll, Jomblo, serta Gue Kapok Jatuh Cinta. Film manakah di antara lima film baru itu yang benar-benar bakal dibanjiri penonton seperti ketika Sherina, Ada Apa Dengan Cinta, dan Eiffel I'm in Love berhasil menarik masyarakat berbondong-bondong mendatangi gedung bioskop pada awal 2000-an? Salah satu di antara lima film baru itu yang layak mendapat sorotan khusus adalah 9 Naga. Film karya Rudi Sudjarwo ini mengangkat tema berbeda dari empat film lainnya. Bahkan, ketika baru diperkenalkan kepada pers belum lama ini, tagline yang berbunyi ''Manusia Terbaik di Indonesia Adalah Seorang Penjahat'' kena sensor. Demikian pula dengan poster Fauzi Baadila yang mempertontonkan pusarnya. Dua pelarangan oleh Badan Sensor Film ini sangat membantu menaikkan "suhu" 9 Naga yang skenarionya ditulis Monti Tywa.
Film ini berkisah tentang tiga sahabat Marwan, Donny, dan Lenny. Ketiganya bertekad mengambil jalan hidup yang sama, yaitu menjadi pembunuh bayaran. Namun mereka akhirnya menyadari, jalan hidup yang mereka tempuh keliru. Ketiganya pun berjuang untuk melepaskan diri dari cengkeraman kejahatan mereka sendiri.
''Saya hanya ingin menyajikan tema lain dari keberagaman tema film yang marak di Indonesia,'' tutur Rudi Sudjarwo, kemarin. Film yang original soundtrack-nya digarap Andi Rianto itu mengandalkan pemain baru Lukman Sardi, Donny Alamsyah dan Marcel Anthony ini. Satu-satunya pemain berpengalaman adalah Fauzi Baadila (Mengejar Matahari, Rindu Kami Pada-Mu) . Cinta Segitiga. Sementara itu, Garasi dan Realita Cinta dan Rock n Roll, mengusung tema sama, yaitu remaja yang menggeluti dunia musik dan cinta segitiga di antara mereka. Garasi yang disutradarai Agung Sentausa dibuat berdasarkan berpijak skenario Prima Rusdi (Ada Apa dengan Cinta?, Eliana Eliana, Banyu Biru). Film ini mencoba melakukan eksperimen dengan merekrut aktor yang berlatar belakang dunia musik. Bahkan, film yang diproduseri Mira Lesmana ini benar-benar menghasilkan sebuah grup band yang juga diberi nama Garasi. Personel grup itu, Ayu Ratna, Fedi Nuril, dan Aries Budiman dibimbing musikus Andi Ayunir. Mereka harus berakting dan menulis lagu. Untuk menunjukkan keseriusan Garasi sebagai grup band, pada ulang tahun Slank baru-baru ini mereka ikut manggung bersama band mapan lainnya. Film Garasi berkisah tentang tiga sahabat yang bercita-cita menggantungkan hidup dari musik. Dalam perjalanannya, konflik percintaan di antara mereka mempersulit mereka sendiri. Sedangkan Realita Cinta dan Rock 'n Roll yang skenario dan penyutradaraannya ditangani Upi Avianto (30 Hari Mencari Cinta, Tusuk Jalangkung) juga berkisah tentang remaja dan dunia musik.
Ipang (Vino) dan Nugi (Junot) adalah dua sahabat bengal yang tidak gemar sekolah, pembuat onar, dan mempunyai hobi bermain band. Mereka merasa bahwa dunia berada di tangan mereka. Ipang dan Nugi ternyata anak adopsi dan orangtua mereka transeksual. Belum lagi ketika persahabatan mereka nyaris berantakan dengan kehadiran teman perempuan, Sandra (Nadine Chandrawinata). Nadine sebagai Putri Indonesia (ketika proses syuting Nadine belum dinobatkan sebagai Putri Indonesia) menjadi sebuah "magnet" untuk menarik penonton. Film yang diperkuat aktor senior Frans Tumbuan ini semakin menarik dengan akting mantan aktor laga 80-an, Barry Prima yang berlakon sebagai Marina, seorang banci yang membesarkan Nugi. ''Akting Om Barry yang biasanya macho saya ubah menjadi banci dalam film ini,'' tutur Upi Avianto. (G20-43)

Realita Cinta dan Rock 'n Roll

Kamis, 19 Januari 2006. BUDAYA
Membumikan Rock 'n Roll
JAKARTA-Realita kehidupan anak muda adalah aras tema yang tidak akan pernah ada habisnya untuk dikuak. Upi, sutradara perempuan berbakat tampaknya tahu betul dunia anak muda semacam itu. Lewat film terbarunya Realita Cinta dan Rock 'n Roll (RCRR) Upi tidak hanya menyuguhkan sebuah tontonan ringan bermutu yang sarat pesan kebijakan. Lebih dari itu, tanpa berupaya menggurui, dengan bahasa anak muda, ia berhasil membumikan realita yang sarat persoalan cinta dengan bumbu rock 'n roll dengan membumi. ''Ini bukan film anak band, cinta segitiga, atau sebangsanya,'' tutur scriptwriter untuk Tusuk Jalangkung dan Lovely Luna ini seusai preview perdana film berdurasi 109 menit ini. Tapi, imbuhnya, ini adalah film-film tentang orang-orang kehilangan yang menyikapi dengan semangat rock 'n roll drama. Mengapa Upi lebih suka menyebut filmnya rock 'n roll drama? ''Karena saya mengajak penonton untuk berdamai dalam menyikapi realita yang tidak pernah bisa dibeli dan tidak seindah mimpi dengan semangat rock 'n roll'' katanya. Ya, realita dalam film yang mempertontonkan sosok lain Barry Prima sebagai seorang aktor yang transeksual ini, memang penuk sesak kompleksitas. Semua tokoh utamanya membawa permasalahannya masing-masing dan akhirnya diselesaikan dengan cara yang sahaja, mudah dicerna, dan tidak dibuat-buat.Memang, bahasa gambar, alur cerita, music score dan keaktoran RCRR menjalin sin ergisitas yang saling melengkapi dan membangun sebuah film yang utuh. Meski tidak sempurna benar, Upi yang bertindak juga sebagai scriptwriter dapat dikatakan cukup berhasil. Perkawanan. Film ini berkisah tentang dua sahabat, Nugi (Herjunot Ali), dan Ipang (Vino G Bastian). Dengan mengabaikan sekolah, mereka bercita-cita menjadi pemain band rock 'n roll. Perkawanan mereka yang serba seenaknya sendiri semakin lengkap dengan kehadiran Sandra (Nadine Chandrawinata), penjual kaset yang membuka sebuah distro. Hingga akhirnya masa terima rapor SMA tiba, baik Nugi maupun Ipang menuai banyak angka merah. Alhasil, ibu Nugie (Sandy Harun) yang hippies menyarankan Nugie untuk menemui ayahnya. Demikian halnya dengan Ipang yang baru tersadar jika orang tuanya sekarang (Frans Tumbuan) bukanlah ayah kandungnya. Kompleksitas semakin memuncak manakala Nugie telah bertemu ayahnya (Barry Prima) yang ternyata telah berubah menjadi seorang perempuan bernama Mariana. Tentu saja tidak mudah bagi seorang anak mengetahui ayahnya transeksual. Permasalahan juga menghampiri Sandra yang disia-siakan kedua orang tuanya. Maka Nugi, Ipang, dan Sandra mencari makna kesejatian dengan caranya sendiri, yakni cara rock 'n roll. ''Jika cinta menyakitkan, hidup tidak ada yang sempurna, lalu apa yang membahagiakan,'' ujar Ipang kepada Sandra. ''Kita harus berdamai dengan realita,'' balas Nugi di lain kesempatan. (Benny Benke-45)