Senin, 10 Maret 2008

Soundrenaline 2006

Rabu, 19 Juli 2006. BUDAYA
Soundrenaline Pertemukan 100 Band
JAKARTA-Soundrenaline 2006 kembali datang. Mengusung tema besar ''Rock United'', pesta musik terbesar di Indonesia itu menghadirkan lebih dari 100 grup band dalam negeri dan enam grup band mancanegara. Dimulai tanggal 23 Juli hingga 20 Agustus 2006, pentas akan hadir di Banjarmasin, Makassar, Pekanbaru, Medan, dan dipamungkasi di Jakarta. Band asing yang akan hadir antara lain INXS, Crowned King dan Mike Tramp. Kedua grup itu dijadwalkan beraksi di Pantai Carnaval Ancol, 20 Agustus pukul 10.00-23.00.
Ajang yang berikhtiar menampung seluruh potensi insan-insan musik itu diharapkan semakin memantapkan kreativitas pelaku dan penikmatnya. ''Meski jauh dari sempurna, kami senantiasa melakukan penyempurnaan ajang bergengsi ini dari tahun ke tahun. Dan untuk itulah A Mild Live Soundrenaline kembali kami hadirkan,'' papar Brand Manager A mild, Amelia Nasution, di Balai Kartini, kemarin. Menurut dia, tema "Rock United" bukan berarti hanya mewadahi musisi dan aliran musik dari genre rock. Pihak Deteksi Production selaku organizer sebagaimana penyelenggaraan pada tahun-tahun sebelumnya, masih tetap memasukkan genre musik di luar rock. ''Segala genre musik ada di Rock United. Dari pop, blues, R&B, jazz, etnis, hingga rock,'' kata Managing Director Deteksi Production, Harry Koko. Harapan . Harry menambahkan, band terkemuka yang tampil antara lain Slank, Boomerang, Radja, God Bless, Seurieus, PAS, Netral, dan Samsoms. Selain itu juga ada Audy, Jikustik, Pinkan Mambo, J-Rock, Sucker Head, Ten, Meteor, Ello, Ungu, Moluccas, Garasi, Sunset, Nidji, Iwan Fals, dan Chrisye. Dalam diskusi ''Come as One-Bersatu Dalam Perbedaan'', pihak penyelenggara dan pendukung acara meyakini acara tersebut akan berjalan sukses sebagaimana penyelenggaraan tahun lalu. Diskusi itu dihadiri oleh Wakil Presiden Republik BBM Kelik Pelipur Lara dan Penasehat Presiden Republik BBM Effendi Gozali, serta pengamat musik Bens Leo yang didapuk menjadi Menteri Kebudayaan dan Pariwisata. Para musisi seperti Donny Fattah, Audy, Yuke PAS Band, Adrie Subono, dan Pongky Jikustik juga meramaikan acara diskusi tersebut. ''Melalui semangat persatuan, kesatuan, serta kebersamaan, saya berharap acara ini dapat semakin mempererat persatuan dengan meminggirkan segala perbedaan melalui musik,'' kata Kelik Pelipur Lara serius. (G20-45)

Rekaman Terakhir Krapp

Selasa, 18 Juli 2006 . BUDAYA
Lewat Krapp, Putu Bicara

PUTU Wijaya, sastrawan dan motor Teater Mandiri, kembali menunjukkan kesejatiannya sebagai aktor andal. Secara konsisten selama 45 menit dia memainkan naskah Samuel Beckett, Rekaman Terakhir Krapp, di Teater Utan Kayu, Jakarta, Jumat (14/7). Dia cuma melibatkan seorang penata lampu dan tata suara. Namun dia mampu mengubah diri secara total menjadi seorang tua renta lengkap dengan bahasa tubuh, wicara, dan permainan mimik nyaris sempurna. Dia berhasil menyajikan pertunjukan monolog yang intens. Apalagi jarak dengan penonton terdepan yang mengitari sepertiga arena itu cuma semeter. Tak urung, pementasan lakon untuk memperingati 100 tahun Samuel Beckett itu makin terasa nges. Berbeda dari lakon-lakon Mandiri, seperti Bor, War, Zero, Zoom dan, Zetan: Berguru Jadi Pahlawan, pementasan kali ini mengalir dengan sepi. Jauh dari hiruk-pikuk khas teater teror serta tak cerewet. Naskah realisme kelam khas Beckett menuntut penonton tidak hanya menikmati dengan rasa, tetapi juga dengan pikiran. ''Naskah Beckett yang realis dan kelam memang membutuhkan pemikiran para penikmat. Naskah itu membuat penonton merenung dan berpikir,'' ujar Putu. Naskah itu pekat dengan sindiran terhadap kemanusiaan universal, menggelitik kesadaran, dan cerdas. Alur Rekaman Terakhir Krapp sederhana. Krapp tua yang renta, ringkih, pemabuk, nyinyir, dan pandai memilah bahasa mempunyai kebiasaan baru. Ya, dia gemar mendengarkan rekaman suaranya yang terekam 30 tahun lalu. Kecemerlangan, kemarahan, dan kebinalan terlontar dari rekaman itu. Mendengar kembali suara mudanya, Krapp tua menceracau dan membanding-bandingkan dengan kondisi kekinian. Rekaman Terakhir Krapp adalah naskah kedua yang bukan asli Mandiri yang dimainkan Putu. Sebelumnya dia memainkan The Coffin is Too Big for the Hole karya Kuo Pao Kun dari Singapura. (Benny Benke-53)

ASIRI

Sabtu, 15 Juli 2006 . BUDAYA
Asiri Somasi YKCI
Soal Pungutan Royalti

JAKARTA-Karena dinilai memungut royalti atas pemakaian produk-produk rekaman suara milik atau yang berasal dari anggota Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (Asiri), Yayasan Karya Cipta Indonesia (YKCI) mendapatkan somasi dari Asiri. Melalui kuasa hukum dari Kantor Hukum Otto Hasibuan & Associates, Asiri meminta YKCI yang dianggap tak mempunyai landasan hukum untuk melakukan pungutan sepihak agar menghentikan segala aksinya. ''Somasi Terbuka sudah kami umumkan di Kompas per 10 Juli 2006, namun hingga saat ini belum ada tanggapan resmi,'' ujar Wakil Ketua Asiri Arneld Affandi SH, belum lama ini. Menurut Arneld yang didampingi Ketua Asiri Djajad Sudrajad dan Otto Hasibuan, somasi dilakukan agar pihak-pihak yang terkait dengan industri rekaman mengetahui tindakan YKCI tersebut tidak sah dan tidak berdasar hukum yang jelas. ''Karena tidak ada satu pasal pun di dalam Undang-undang Hak Cipta No 19/2002 yang memberikan kewenangan kepada YKCI untuk menagih dan memungut royalti dari semua pihak yang memakai atau mengumumkan produk rekaman suara milik dan atau yang berasal dari Asiri,'' papar Otto Hasibuan. Pemberian Kuasa. Menurut Otto, YKCI masih dapat melakukan pemungutan royalti jika berdasarkan kuasa yang diberikan oleh pencipta lagu dan hanya terbatas pada pemakaian lagu ciptaan pencipta yang memberikan kuasa. ''Padahal, jumlah lagu ciptaan pencipta yang didaftarkan kepada YKCI terbatas jumlahnya. Sehingga yayasan tersebut tidak berwenang memungut royalti dari semua pemakai lagu yang bersumber dari produk rekaman suara milik para produser atau perusahaan rekaman suara yang menjadi anggota Asiri,'' tekan Otto. Asiri yang mengklaim mempunyai 81 anggota perusahaan industri rekaman di Indonesia juga mengimbau kepada toko, rumah karaoke, diskotek, hotel, mal, dan perusahaan telekomunikasi untuk tidak memberikan royalti kepada YKCI. ''Karena belum tentu lagu yang diputar di tempat-tempat itu oleh penciptanya telah dilimpahkan kuasa kepada YKCI''. Jika yayasan itu masih tetap melakukan pungutan royalti, Asiri akan melimpahkan kasus ini ke polisi karena dianggap telah melakukan tindakan pidana, sebelum menindaklanjutinya ke pengadilan karena dinggap merugikan. ''Bahkan, jika selama ini pungutan royalti yang dilakukan YKCI dianggap salah alamat, pihaknya diharuskan mengembalikan kepada yang berhak,'' kata Otto. Sementara itu Humas YKCI Hendra Lesmana mengatakan, untuk jangka waktu yang belum ditentukan pihaknya akan mempelajari somasi terbuka tersebut. ''Pimpinan dan semua jajaran YKCI masih mengkaji lebih jauh somasi tersebut. Hal ini kami lakukan agar tidak semakin membingungkan publik. Kami takut jika tergesa-gesa menanggapi somasi dari Asiri malah akan semakin memperburuk keadaan. Maka dari itu, untuk sementara kami no comment dulu,'' ungkap Hendra mengatasnamakan Dahuri selaku ketua. (G20-45)

The Lake House

Kamis, 13 Juli 2006. BUDAYA
Preview ''The Lake House''
Arti Sebuah Kesabaran

SEJAUH manakah kesabaran dapat menjadi faktor penting untuk mempertemukan sepasang kekasih? Meski menunggu dalam jangka waktu tertentu adalah bukan pekerjaan gampang dan sederhana. Apalagi jika hubungan itu terpisahkan oleh waktu yang berbeda, meski dalam ruang yang sama. Ya, dalam film The Lake House yang disutradarai Alejandro Agresti, kisah tentang kekuatan sebuah penantian dengan kesabaran sebagai kuncinya dihantarkan dengan apik. Sehingga hubungan ganjil dan tak lazim yang terpisahkan waktu antara sepasang kekasih teruraikan pada akhirnya. Sinema yang berangkat dari film blocbuster Korea Selatan Il Mare (2000) dan pernah meraih penghargaan The Pusan International Film Festival kategori film favorit pilihan penonton itu semakin kuat dengan tampilnya dua bintang pendukungnya. Keanu Reeves dan Sandra Bullock yang pernah melejitkan Speed (1994), seolah dipasangkan kembali untuk membayar kerinduan pencinta kedua bintang itu dalam film yang sama. Namun berbeda dengan Speed yang full action, The Lake House yang bergenre epic love story mengalir dengan melodrama. Dikisahkah Dr Kate Forster (Sandra Bullock) harus meninggalkan kota kecil di Illinois menuju Chicago untuk menyelesaikan program sarjana kedokterannya. Satu hal kenangan yang paling membekas di hatinya ketika dia meninggalkan Illinois adalah rumah telaga atau the lake house kesayangannya. Berkirim Surat Kepada calon penyewa baru rumah telaga itu, Kate meninggalkan sepucuk surat di kotak surat di depan rumah yang berisi kondisi detail rumah itu. Namun, ketika pemilik rumah telaga bernama Alex Wyler (Keanu Reeves) tiba, dia malah menjumpai rumah telaga itu dalam kondisi tidak terawat dan memprihatinkan. Dijumpailah surat Kate dan kemudian permasalahan satu demi satu membuat mereka berdua semakin sering berbalas surat. Ikhwal apakah yang membuat penasaran mereka berdua sehingga terus-terusan berbalas surat lewat kotak surat di rumah telaga? Tak lain dan tak bukan karena mereka hidup dalam waktu yang berbeda. Kate senantiasa memberi penanggalan suratnya bertarikh tahun 2006. Sedangkan semua surat Alex bertahun 2004. Beda dua tahun tenggang hidup antara Alex dan Kate inilah yang menjadi suguhan utama The Lake House. Ikhtiar Alex dan Kate untuk memecahkan misteri keterpisahan mereka oleh waktu yang berbeda inilah yang justru akhirnya membuat mereka saling jatuh cinta. Apakah Alex akhirnya mampu menjumpai kekasih yang hidup di masa depannya? Dan Kate cukup mempunyai ketekunan menunggu kekasihnya yang ketinggalan dua tahun hidup di belakangnya? Arti sebuah kesabaran dan kekuatan sebuah penantian dalam film ini disatukan oleh keberadaan rumah telaga sebagai saksinya. (Benny Benke-45)

Seinendan Theater Company

Selasa, 11 Juli 2006 . BUDAYA
Teater Lengang ala Jepang

JAKARTA-Tidak sebagaimana galibnya sebuah pertunjukan teater yang penuh hiruk pikuk dengan dialog antarpelakon, Seinendan Theatre Company yang mementaskan ''Tokyo Notes'' menanggalkan semua keriuhrendahan itu. Oriza Hirata sebagai penulis naskah dan sutradara menawarkan sebuah penikmatan teater dengan santun, datar, dan tenang. Bahkan peran ilustrasi musik yang lazimnya menjadi bagian dramatisasi pengadeganan ditiadakan. Lewat ''Tokyo Notes'' atau ''Cacatan Tokyo'' yang dipentaskan di Goethe Haus, Jakarta akhir pekan lalu, realita keseharian dalam arti yang sebenarnya dihadirkan kembali dihadapan penonton oleh teater papan atas dari Tokyo, Jepang itu. Lakon itu pernah mendapatkan penghargaan The 39th Kishida Kunio Drama Award 1995, sebuah penghargaan bergengsi penulisan naskah di Jepang, dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Cina, Inggris, Perancis, Jerman, Italia, dan Korea. "Tokyo Notes" yang telah dipentaskan di 12 kota di sembilan negara itu tidak hanya mengalir tenang. Bahkan ssaking tenangnya, setelah 90 menit pertama dari 105 menit durasi pertunjukan, banyak penonton yang tertidur di bangkunya masing-masing. Keseharian . Sejatinya konsep teater tenang yang menjadi pilihan Seinendan Theater Company berjalan dengan mengasyikkan. Menggunakan bantuan terjemahan bahasa Indonesia dan Inggris, jalinan cerita perihal 20 pelakonnya itu terhantarkan dengan baik. Ini terbukti ketika segala peristiwa di atas panggung mampu direspons dengan baik oleh penikmatnya. Ini terjadi karena tawaran permasalahan yang ditampilkan di atas panggung sangat berdekatan dengan peristiwa keseharian. Dengan menggunakan teori contemporary colloquial theatre atau teater kontemporer dengan bahasa sehari-hari, apa yang terjadi di atas panggung tidak ada bedanya sama sekali dengan realita keseharian kita. Orang-orang yang lalu-lalang, bertemu karib lama, pembicaraan tentang hal-hal yang remeh, hingga lirih yang tak terdengar layaknya peristiwa keseharian, ada semua. Jangan heran pula jika dalam 15 menit pertama, tidak ada dialog sama sekali kecuali adegan mondar-mandir yang penuh ketenangan dari para pelakonnya. Menggunakan setting pengandaian sebuah galeri lukisan sebagai pusat pertemuan semua pelakonnya, ''Tokyo Notes'' yang menginginkan pementasan dari gambaran dunia nyata, memang berisiko membosankan. Ini terjadi karena efek ketenangan di atas panggung yang nyaris sama dengan suasana lengang, akhirnya membuat sebagian penonton yang tidak cukup mempunyai stamina ketekunan, meninggalkan tempat duduknya dan sebagian tertidur. (Benny Benke-45)
.

PIRATES of the Caribbean: The Curse of the Black Pearls

Sabtu, 08 Juli 2006. BUDAYA
Depp Tetap Memesona
PIRATES of the Caribbean: The Curse of the Black Pearls tahun 2003 meraih sukses komersial. Berkat film itu, Johnny Depp memperoleh Academy Award dan diunggulkan mendapat Golden Globe. Medio tahun ini, sekuel Pirates of the Caribbean: Dead Man's Chest tampaknya akan mengikuti kesuksesan film perdana itu. Film ini masih mengandalkan sosok Kapten Jack Sparrow yang superslengekan, ceroboh, konyol, kikuk. Namun dia adalah pemimpin bajak laut heroik yang dicintai awak kapal. Johnny Depp memainkan karakter sang kapten dengan elok dan memesona. Deep adalah aktor kawakan yang malang melintang dalam film Finding Neverland, Peter Pan, Cry Baby, What's Eating Gilbert Grape, Ed Wood, Benny & Joon, Edward Scissorhand, Don Juan DeMarco, Donnie Brasco, Chocolate, Blow, Once Upon A Time in Mexico, dan Charlie and the Chocolate Factory. Kehadiran Depp pun menjadi trade mark yang tak terpisahkan dari film besutan Gore Verbinski. Magnet Utama . Meski ada aktor tenar lain yang digandrungi perempuan sejagat, Orlando Bloom, serta artis cantik Kiera Knightley, Dead Man's Chest tetap menjual Depp sebagai magnet utama. Film yang menyajikan ketegangan terbalut kekonyolan itu mengingatkan pada rumusan sukses seri petualangan Indiana Jones besutan Steven Spielberg. Film ini ber-setting Lautan Karibia era 1700-an yang disesaki bajak laut. Tersebutlah raja lautan penuh kutukan, Davy Jones (Bill Nighy). Dia nakhoda kapal hantu Flying Dutchman berkecepatan dan keperkasaan tak tertandingi. Piutang abadi pada masa lalu antara Jones dan Kapten Jack Sparrow mengharuskan sang kapten menyerahkan jiwanya untuk mengabdi seumur hidup di bawah titah Jones. Jika tak sudi mengabdi, dia harus menyediakan 80 jiwa sebagai tebusan. Pada saat bersamaan Will Turner (Orlando Bloom) harus menemukan kunci pembuka peti berisi jantung Jones. Namun Elizabeth Swan (Keira Knighley), tunangan Will Turner, mau tak ambil bagian dalam petualangan untuk memastikan keselamatan sang kekasih hati. Beda kepentingan antara Kapten Jack, Jones, Turner, dan Elizabeth makin kompleks dengan kehadiran pemburu bajak laut, Lord Cutler Beckett (Tom Hollander). Dia ingin menghancurkan semua bajak laut di Lautan Karibia. Pertempuran di atas kapal, petualangan di pulau entah berantah, dan perebutan peti berisi jantung menjadi sajian utama film berdurasi dua setengah jam ini. Dan, sekali lagi, akting Depp yang memesona dan menyatu dengan karakter Kapten Jack Sparrow tetap menjadi daya tarik utama. (Benny Benke-53)

Sagu Band

Jumat, 07 Juli 2006. BUDAYA
Cita Rasa Melayu dalam Sagu
JAKARTA-Sagu, band asal Riau, mengusung warna musik yang unik. Memadukan musik rock dengan cita rasa Melayu, Ganny (gitar), Itoy (drum), Jepri (vokal), Widdi (bas), dan Le-man (gitar) mengingatkan kita pada corak rock Negeri Jiran. Kedekatan wilayah geografis antara Riau dan Malaysia bisa jadi menjadi alasan kuat mengapa album Beda Impian yang mereka rilis di Warung Apresiasi Jakarta, baru-baru ini, menguatkan hal itu. Mengandalkan single "Beda Impian", "Same-Same", dan "Merdeka Jiwa (Syukur)". Mereka mengingatkan kita pada grup rock Search, Iklim, dan beberapa nama lainnya yang pernah sangat dikenal pencinta musik di Indonesia. Menurut Taufik Ikram Jamil, seorang penyair yang juga produser Sagu, sebuah label raksasa Malaysia bahkan telah menawarkan kontrak kepada mereka. ''Karena kami masih patriotis, kami memilih label musik dari negeri sendiri,'' kata dia. Dengan menawarkan musik bercita rasa rock Melayu dan syair sastrawi plus cengkok laksana orang sedang mengaji, Sagu selintas terdengar lucu. ''Di tengah maraknya grup rock Indonesia yang biasanya memaparkan syair yang penuh pemberontakan, mereka menawarkan nuansa yang lain,'' ujar Bens Leo, pengamat musik Indonesia. Nuansa yang lain itulah, menurut dia, bisa jadi malah menjadi nilai positif mereka. ''Kami hanya bermain musik di tengah-tengah, antara nuansa Melayu yang kental dalam keseharian kami dengan musik rock anak muda masa kini,'' terang Ganny. Sagu telah menyiapkan tur promo keliling Jawa-Bali untuk mengekor penjualan album perdana mereka Istana Kerinduan yang mencapai angka 10.000 kopi. Mereka yakin album kedua mendapat sambutan yang hangat. ''Syair kami berisi kisah-kisah kebijakan yang dialami anak muda dalam memandang permasalahan kehidupan dan kematian. Dan saya yakin album ini diterima masyarakat karena kami juga menerima masyarakat,'' imbuh dia. (G20-45)

Katja Band

Selasa, 04 Juli 2006. BUDAYA
Katja, Band Anyar dari Yogya
JAKARTA - Pemilik bakat bermusik dari Yogyakarta sepertinya tak habis-habis. Setelah Sheila On 7 dan Jikustik mengibarkan nama di industri musik Indonesia, kini Katja, grup band anyar dari kawasan itu, siap mengadu peruntungan. Band beraliran progresif pop beranggota Olish (vokal), Ade (gitar), Handi (bas), dan Arifin (kibor) itu bahkan telah merilis album kedua. Tahun 2004 mereka mengeluarkan album Cinta yang Indah di bawah label Prima Musik. Namun album itu tak memperoleh sambutan hangat di pasar. Pertengahan tahun ini, mereka meluncurkan album kedua bertajuk Perjalanan. Album berisi 10 tembang dengan single hit "Keabadian" serta "Kau dan Aku" itu mereka peruntukkan bagi pendengar remaja. Mereka berharap kedua lagu itu dapat mendongkrak popularitas Katja. Mereka telah meraih beberapa gelar dari berbagai festival. Misalnya, gitaris tebaik dalam Festival Band Se-DIY dan Jawa Tengah tahun 2000, pemain kibor terbaik dalam Festival Band Se-Yogyakarta tahun 2000, serta finalis Kibar Kreasi Lagu AFI-2 Indosiar 2003. Tak pelak, para awak Katja tak dapat dikatakan mentah secara musikalitas. Band yang pernah terpilih dari 1.000-an band untuk penggarapan album kompilasi Indi Ten-2 (1999) jebolan Sony Music itu juga bersiap mewujudkan sebuah mimpi. Ya, mereka ingin menjadi kiblat bermusik di negeri ini. Mungkin terdengar utopis. Namun paling tidak anak-anak muda jebolan Fakultas Sastra UGM itu telah mengawali dengan bermain musik sesuai dengan idealitas mereka. (G20-53)

teater Kami

Senin, 03 Juli 2006. BUDAYA
Pentas Teater Kami
Menertawakan Hidup
TEATER Kami pentas di Pusat Kebudayaan Jepang, The Japan Foundation, Jakarta, Jumat (30/6) malam. Sang sutradara, Harris Priadie Bah, menyulap teater menjadi semacam highlight adegan film. Mereka memainkan lakon Perjamuan Kata dan Tubuh-tubuh yang Membaca. Lakon itu merupakan adaptasi bebas karya Hirata Oriza, penulis naskah teater terkemuka di Jepang. Dan lima pelakon utama menghantarkan kisah berdurasi 60 menit itu secara ringan, cerdik, menarik, dan menghibur. Ketaklaziman gaya pementasan sudah terlihat dari penataan panggung. Mereka menggunakan tiga setting yang disekat serta sistem buka-tutup dalam setiap pergantian adegan. Lakon yang merupakan nukilan kejadian sehari-hari itu menjadi sangat mudah dipahami para penikmat. Dukungan musik minus one dan tata lampu yang terfokus seirama dengan adegan membuat tonotonan itu kian bernas. Mereka sebenarnya tak bercerita tentang apa-apa. Cuma memindah kesibukan keseharian orang-orang Jakarta dan gambaran kuasa Tuhan. Alkisah, seseorang sedang shalat subuh dengan latar musik azan. Sementara itu ada tiga sekawan bermain gaple, pemuda menggosok gigi, pelacur menjual diri di bibir trotoar, suami mengamuk. Juga ada banci menyenandungkan tembang sumbang, gay menikah, penumpang kereta rel listrik bercakap-cakap, anak kampus mengobrol, penginjil berkhotbah, atau ramalan Ranggawarsita. Puluhan penonton terpingkal-pingkal menonton berbagai nukilan peristiwa terkini serta beberapa adegan TV dan film yang dipindahkan ke panggung. Misalnya, adegan dalam film Lentera Merah dengan iringan lagu "Genjer-genjer", film 9 Naga, iklan SCTV, atau tokoh Forum Betawi Rempug (FBR) mengamuk. Tak ayal, muncul kesan adegan di balik layar dan proses latihan dialihkan ke panggung. Ya, dengan mencampuradukkan konsep realis, absurd, dan eksperimental, Harris Priadie Bah tampaknya tahu betul menertawakan kehidupan lewat pementasan itu. (Benny Benke-53)