Rabu, 20 Februari 2008

konflik FFI 2005

Jumat, 23 Desember 2005. BUDAYA
Shanker Minta Maaf,
Juri FFI ke Jalur Hukum
Soal Isu Piala Citra Bisa Dibeli

JAKARTA - Shanker RSJ, produser PT Indika Entertainment, yang pekan lalu mengatakan Piala Citra dalam Festival Film Indonesia (FFI) 2005 dapat dibeli, akhirnya mencabut pernyataannya dalam sebuah pertemuan di Gedung Perfilman Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N), Jl MT Haryono, Jakarta, Rabu (21/12) lalu. Produser film Detik Terakhir itu juga meminta maaf kepada BP2N, selaku penyelenggara FFI 2005, dan dewan juri. Para juri film bioskop yang hadir, yakni Eros Djarot, Sophan Sophiaan, Prof Sarlito Wirawan, Angelina Sondakh dan Dr Tanete menyatakan menerima permintaan maaf tersebut. Namun, mereka tidak menutup kemungkinan melanjutkan perkara ini ke pengadilan. ''Saudara Shanker telah melakukan fitnah yang teramat sangat keji kepada dewan juri yang kredibilitasnya seolah dinafikan dengan mengatakan Piala Citra bisa dibeli,'' ungkap Sophan dengan nada sangat tinggi.
Kemarahan Sophan serta anggota dewan juri lainnya memang beralasan. Satu hari setelah malam puncak FFI 2005, 15 Desember lalu, Shanker mengatakan Piala Citra dapat dibeli. Pernyataan itu terlontar setelah dua artisnya Cornelia Agatha dan Sauzan yang dijagokan lewat film Detik terakhir gagal meraih Piala Citra. Dewan Juri FFI, BP2N, dan Ketua Pelaksana FFI 2005 Adi Soeryaabdi langsung membantah pernyataan tersebut. Mereka meminta Shanker meluruskan persoalan tersebut. Setelah melalui debat yang sangat alot, Shanker yang merasa pernah ''ditawari'' salah seorang humas panitia FFI 2005, mengakui kesalahannya. ''Saya mencabut semua pernyataan saya bahwa Piala Citra 2005 dapat dibeli, sekaligus meminta maaf kepada Dewan Juri, BP2N dan Panitia Pelaksana FFI 2005,'' katanya. Sementara itu, Eros Djarot yang memastikan diri akan memaafkan Shanker menyatakan tetap akan meneruskan kasus ini ke pengadilan. ''Ini negara hukum, masalah memaafkan itu adalah hal yang mudah, tapi you have to talk to my lawyer,'' kata sutradara Tjoet Nja' Dhien itu singkat. Demikian halnya Prof Sarlito Wirawan, Angelina Sondakh, Dr Tanate, dan Sophan Sophian, masih berpikir untuk membawa masalah ini ke pengadilan. ''Saya belum pernah merasa terhina dalam hidup saya, sebagaimana Anda menghina saya dan para dewan juri lainnya lewat kasus memalukan ini,'' kata Sophan. Menggantung. Ketua BP2N Jhoni Safrudin belum memastikan apakah oknum panitia humas FFI 2005 yang diindikasikan menawarkan Piala Citra dengan imbalan sejumlah uang akan dituntut secara hukum atau tidak. ''Kami masih melakukan proses ke dalam, apakah oknum tersebut benar-benar telah melakukan penawaran atau tidak,'' katanya. Edi Muhtadi, humas panitia FFI yang ditengarai berupaya melakukan penawaran kepada Shanker membantah tuduhan tersebut. ''Tidak benar saya telah melakukan penawaran kepada Shanker, yang saya bicarakan adalah dalam konteks wacana, dan nyatanya saya memang tidak menerima sepeser pun,'' kata wartawan Pos Kota ini. Untuk menindaklanjuti penyataan Edi Mohtadi, BP2N akan melakukan penyelidikan ke dalam lebih lanjut. ''Kalau ini berhubungan dengan personal, maka personal itu yang harus bertanggung jawab. Tapi, kalau dengan institusi, sayalah orang pertama yang bertanggung jawab,'' tegasnya. (G20-43)

Citra 2005

Jumat, 16 Desember 2005. NASIONAL
Piala Citra 2005
Nicholas Saputra dan Marcela Terbaik

JAKARTA-Usai sudah acara puncak penyerahan Piala Citra 2005 untuk insan perfilman di Tanah Air yang digelar di Jakarta Convention Center, Senayan, Jakarta, semalam. Ajang tertinggi barometer film cerita bioskop yang dihadiri dan dibuka oleh Menteri Negara Budaya dan Pariwisara Jero Wacik ini akhirnya menetapkan Nicholas Saputra sebagai Pemeran Utama Pria Terbaik dan Marcela Zalianti sebagai Pemeran Utama Wanita Terbaik. Sedangkan Hanung Bramantyo (Brownies) ditetapkan sebagai Sutradara Terbaik menggungguli Riri Riza (Gie) dan Rudy Sudjarwo (Tentang Dia). Dan film Gie dipilih oleh dewan juri yang terdiri atas Marcelli Sumarno, Angelina Sondakh, JB Kristanto, Eros Djarot, dan Sarlito Wirawan sebagai Film Terbaik. Dalam acara yang berlangsung meriah dan terbilang sukses itu, Jhoni Safrudin, Ketua Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N) selaku penyelenggara FFI, menyatakan kepuasannya. "Setelah tahun lalu (FFI 2004) berlangsung dengan apa adanya karena campur aduk dengan penyerahan Piala Vidia, Alhamdullilah tahun ini semua berjalan dengan baik," tuturnya menjelang detik-detik penyerahan Piala Citra. Kebahagiaan Jhoni serta Adi Soeryabdi selaku Ketua Pelaksana memang beralasan. Meminjam bahasa Jero Wacik, setelah 12 tahun FFI mandek dan baru bergulir tahun lalu, iklim kebangkitan industri sinema di Indonesia seolah terbayarkan dengan bergulirnya kembali FFI tahun ini. "Meski belum sempurna dan menyenangkan semua orang, namun paling tidak FFI 2005 ini terus mengalami perbaikan-perbaikan," tutur Jero ketika ditemui di Gedung Sapta Pesona, Medan Merdeka, Jakarta. Suara Sumbang . Ketidakmampuan menyenangkan semua orang yang dimaksud menteri adalah merujuk pada banyaknya suara sumbang tidak dimasukkannya film Rindu Kami Pada-Mu karya Garin Nugroho oleh Komite Seleksi Film. Mengingat karya sutradara kawakan itu justru mendapatkan apresiasi di festival-festival mancanegara yang terhitung berwibawa dan terhormat. "Setiap penjurian mempunyai kriterianya sendiri-sendiri dan kacamata dewan juri dari setiap festival pasti berbeda," tutur Jhoni. Dalam catatan BP2N, sepanjang tahun 2005 ini lebih dari 40 judul film bioskop telah dipoduksi. Ini lebih banyak dari standar produksi film di negara-negara Asia Tenggara yang rata-rata hanya 30-an judul film. Acara yang juga dihadiri oleh para pekerja film seperti Cok Simbara, Ferry Salim, Marcella Zalianty, Didi Petet, Dedi Gumilar, Sherina, Dwiki Reza, Rachel Maryam Sayidina, Surya Saputra, Dina Olivia, Mathias Muchus, Yenny Racham, Dede Yusuf, Ari Sihasale, Ria Irawan, dan Indra Warkop itu, juga menyerahkan tiga penghargaan khusus. Untuk Lifetime Achievement Award diberikan kepada Pietrajaya Burnama atas dedikasi dan jasanya terhadap dunia film Indonesia (127 film). Penghargaan Antemas untuk film cerita bioskop yang meraih penonton terbanyak (mencapai 1 juta penonton) diberikan kepada Virgin. Sementara Njoo Hansiang Award, sebuah penghargaan untuk produser film yang paling banyak menggunakan jasa produksi di dalam negeri diberikan pada PT Kharisma Starvision Plus. (Benny Benke-45)

Peraih Piala Citra:
Pemeran Utama Wanita Terbaik: Marcela Zalianti (Brownies)
Pemeran Utama Pria Terbaik: Nicholas Saputra (Gie)
Sutradara Terbaik: Hanung Bramantyo (Brownies).
Film Terbaik: Gie
Pemeran Pendukung Wanita Terbaik: Adinia Wirasti (Tentang Dia)
Pemeran Pendukung Pria Terbaik: Gito Rollies (Janji Joni)
Penulis Skenario Terbaik: Musfar Yasin (Ketika)
Editing Terbaik: Yoga K Koesprapto (Janji Joni)
Penata Sinematografi Terbaik: Yudi Datau (Gie)
Penata Artistik Terbaik: Frans XR Paat (Virgin)
Tata Suara Terbaik: Asifa Nasution dan Adi Molana (Brownies)
Tata Musik Terbaik: Anto Hoed (Tentang Dia)
Film Pendek Terbaik: Kara Anak Sebatang Pohon (Edwin)
Film Dokumenter Terbaik:Pakubuwono XII, Berjuang untuk Eksistensi (IGP Wiranegara).

Bubi Chen

Jumat, 16 Desember 2005. BUDAYA
Bubi Chen Bidani Band Rock Progresif
JAKARTA-Apa jadinya jika tangan dingin salah seorang maestro jazz Tanah Air membidani lahirnya sebuah grup band rock? Tentu saja musik rock hasil racikan Libero, band yang ditulangpunggungi tiga murid terbaik Bubi Chen, sedikit banyak bercorak jazz. Ya, Roval (bas), Pri (gitar), dan Lulu (organ), adalah anak didik Bubi Chen dengan catatan prestasi yang mengesankan. Bersama Cissy (vokal) dan Grant Collins (drum) mereka mengibarkan bendera Libero dengan mengusung corak rock komersial. ''Dengan ikhtiar memadukan antara kualitas bermain musik dan mempertimbangkan selera dengar masyarakat, kami merilis album perdana ini,'' ujar Roval di MU Cafe, Sarinah, Jakarta, kemarin. oval adalah mantan basis Rasio, sebuah grup band yang pernah melahirkan nama Ita Purnamasari. Album bertajuk Libero: Di Balik Rock yang merangkum sepuluh tembang ini, oleh Pri yang pernah membimbing Piyu Padi dan Jhon Paul Ivan (eks Boomerang), tidak hanya disulap bernuansa jazzy. ''Kami meramunya dalam nuansa progressive rock yang tetap easy listening,'' ujar Pri. Sedangkan menurut Lulu yang pernah memenangkan beasiswa musik klasik dari Royal School of Music London, corak Libero ia poles dengan nuansa organ tahun 70-80-an. ''Mungkin karena saya senang dengan nuansa rock klasik,'' tuturnya sesuai memainkan repertoar yang mengingatkan pada permaian organ Jhon Lord dari Deep Purple. Kepiawaian Roval, Pri, dan Lulu ini disempurnakan dengan permainan drum Grant Collins. Drummer dari Australia ini pernah menyandang gelar sebagai Monster from Down Under oleh majalah Modern Drums dan an One Man Percussion Ochestra oleh majalah Drum Scene. Collins yang sempat menunjukkan aksi solo drumnya lebih dari sepuluh menit itu, bahkan pernah memenangkan The Australian Academy of Music Composisition Competition. Sekarang ia sedang menyelesaikan program doktoral (S3) dalam bidang Drums and Music Composition. ''Keikutsertaan Collins ke Libero tanpa sebuah kesengajaan,'' ujar Benny Chen, putra kedua Bubi Chen selaku produser Libero. Menurut dia, awalnya Collins yang sedang mengisi klinik drums di Surabaya hanya ingin dimintai tolong untuk sekadar mengisi sebuah tembang. ''Saya ternyata tertarik dengan grup band ini. Maka Bergabunglan saya hingga usainya album ini,'' tutur Collins yang musti rela wara-wiri Australia-Indonesia. Hasil dari perkawinan musik jazz dan rock progresif itu adalah musik komersial rock ala Libero. Bahkan dengan kemampuan teknis yang baik, kehadiran alat musik tradisional India seperti tabla dan sitar semakin memperkaya corak Libero. Apa komentar Bubi Chen terhadap band ini? ''Bagus. Ayah bilang bagus, mereka bermain dengan feeling dan memang kena feeling-nya,'' ujar Benny Chen menirukan ucapan ayahnya. Apakah kemampuan teknis yang apik dari setiap personel Libero akan berbanding lurus dengan selera pasar? ''Kami kembalikan semua kepada selera pasar. Toh, kami sudah berusaha memberikan yang terbaik dari yang kami punya,'' tandas Roval setelah mengantarkan single hit ''Dia Tak Tahu'' dan ''Demi Waktu''. (G20-45)

FFI (lagi)

Rabu, 14 Desember 2005. BUDAYA
Film Terbaik Belum Tentu Dihasilkan Sutradara Terbaik
JAKARTA-Setelah melewati proses penjurian secara maraton, lima sutradara dan lima film terbaik bersaing ketat untuk memperebutkan Piala Citra di FFI 2005. Ajang tertinggi barometer film cerita bioskop di Tanah Air ini juga akan memberikan tiga penghargaan khusus.
Siapakah di antara Hanung Bramantyo (Brownies), Rudi Sudjarwo (Tentang Dia), Joko Anwar (Janji Joni), Hanny R Saputra (Virgin), dan Riri Riza (Gie) yang akan menjadi sutradara terbaik? Siapa pula di antara Janji Joni, Gie, Ketika, Brownies, dan Virgin yang akan menjadi film terbaik. Lantas, siapakah yang akan menerima Lifetime Achievement Award, Antemas, dan Njoo Hansiang Award? Menurut Jhoni Safrudin, Ketua Badan Pertimbang Perfilman Nasional (BP2N) selaku penyelenggara FFI, siapa pun yang akan dinobatkan oleh para dewan juri untuk meraih Piala Citra adalah yang terbaik. ''Bagaimanapun juga dewan juri mempunyai standar penilaian yang telah mereka tetapkan kriterianya,'' tuturnya, kemarin. Menurut Jhoni yang mengaku "hanya" mengeluarkan dana sebesar Rp 1,7 miliar untuk mengadakan FFI 2005, 12 nominasi yang ditetapkan telah melalui proses penilaian maraton yang panjang. Pertama, juri yang masuk Panitia Komite Seleksi Film yang terdiri atas Nano Riantiarno, Niniek L Karim, Edi D Iskandar, Toto Indarto, dan Prof Yasmin Zaki Zahab telah menyaring 12 nominasi yang telah ditetapkan. Setelah itu, dewan juri yang telah menerima sortiran nama dari Komite Seleksi Film menindaklanjuti dan kembali menyaring dan mengerucutkan nama. Dewan juri yang terdiri atas Marcelly Sumarno, Angelina Sondakh, JB Krisrtanto, Eros Djarot, dan Sarlito Wirawan menyusun kriteria yang mereka tetapkan. Menghormati Juri. Riri Riza ketika dihubungi menyatakan apapun yang dinilai dewan juri seyogiyannya semua nomine menghormatinya. ''Setiap festival mempunyai kriteria penilaiannya sendiri dan standar itu pasti tidak ada yang jelek,'' katanya. Nama Riri Riza, yang filmnya (Gie) bahkan masih dipertimbangkan untuk masuk tahapan penilaian tim juri untuk Foreign Language Academy Award (Oscar) mendatang, memang dijagokan meraih film terbaik sekaligus sutradara terbaik. ''Saya tidak berkomentar untuk hal itu,'' katanya merendah. Menurut Rudi Sudjarwo, nama Riri Riza memang sangat pantas untuk dipertimbangkan. ''Selain secara teknis Gie detail dan kolosal. Keaktoran pelakonnya pun bisa diandalkan,'' tutur Rudi yang namanya juga dijagokan menjadi sutradara terbaik. Rudi menambahkan, Riri yang terkenal dengan kedetailannya akan bersaing keras dengan film Ketika yang menurut penilainnya komplet. '' Janji Joni yang disutradarai Joko Anwar menurut Rudi dan Riri memang asyik sebagai sebuah film. ''Janji Joni selain lancar menuturkan cerita yang simpel, bahasa gambarnya juga bagus,'' ujar Riri. Sedangkan film lainnya seperti Brownies dan Virgin menurut mereka berdua masih mempunyai kesempatan yang sama dengan nomine lainnya. Menurut Jhoni Safrudin, tidak semua sutradara yang baik akan menghasilkan film yang baik. Jadi, film terbaik belum tentu dihasilkan oleh sutradara terbaik. ''Kasus ini terbukti pada penyelenggaraan FFI 2004 lalu,'' katanya. FFI tahun lalu Rudi Sudjarwo yang menyutradari Ada Apa Dengan Cinta menjadi sutradara terbaik. Sedangkan film Arisan yang disutradarai oleh Nia Dinatta ditetapkan menjadi film terbaik. (G20-45)

Shinta Obong

Selasa, 06 Desember 2005. BUDAYA
Film "Sinta Obong" Menuai Protes
JAKARTA-Sehubungan dengan artikel Sinta Obong di majalah Tempo (9/10) mengenai proses pembuatan film yang salah satunya dibintangi Artika Sari Dewi, International General Secretariat World Hindu Youth Organization (WHYO) memprotes film Sinta Obong yang disutradari oleh Garin Nugroho. Organinasi intelektual yang berkantor pusat di Denpasar, Bali, itu mengajukan somasi terhadap film yang dianggap melecehkan simbol agama Hindu, Kitab Ramayana. ''Ada dua hal yang membuat kami keberatan terhadap film Sinta Obong,'' terang Anak Agung Ngurah Arya Wedakarna, SE, MSi, Presiden WHYO ketika dihubungi, kemarin. Pertama, film yang akan diikutkan dalam perayaan 250 tahun Mozart di Wina, Austria, itu dalam beberapa adegannya menyalahi kakawin Ramayana. Kedua, penggambaran Rama dan Sinta tidak sesuai dengan pakem aslinya. ''Ramayana adalah kitab suci bagi agama Hindu jadi penginterpretasiannya tidak bisa sembarangan seperti itu,'' imbuh Arya yang mengklaim telah mengirimkan surat keberatan kepada panitia Perayaan 250 Tahun Mozart untuk me-recall film Sinta Obong jika pembuatnya tidak melakukan perubahan-perubahan. Opsi. WHYO yang mempunyai kantor cabang di India, Amerika, Malaysia, Singapura, Australia, Nepal, Sri Lanka, dan Thailand itu juga telah mengirimkan surat keberatan kepada pihak SET (Science, Estetika, dan Teknologi) dan Garin Nugroho. ''Kami memberikan dua opsi kepada Mas Garin jika tetap ingin menayangkan Sinta Obong''. Pertama, jika ingin tetap menayangkankan film tersebut berarti tidak boleh memakai Kakawin Ramayana sebagai pijakan. Kedua, bagian kontraversi seperti penggambaran Sinta yang hiperseksual dan pembunuhan Sinta oleh Rama dihilangkan. ''Bagaimana pun ini adalah kitab suci,'' tekannya. Meski belum mendapatkan jawaban dari pihak SET dan Garin, WHYO berharap SET dan Garin mempunyai niat baik terhadap keberatan tersebut. ''Kalaupun Mas Garin tidak menanggapi, kami percaya hukum karma,'' imbuh Arya yang juga pernah memprotes sampul kaset album Iwan Fals dan novel Dewi ''Dee'' Lestari, yang dianggap juga melecehkan simbol-simbol agama Hindu. Garin Nugroho sendiri ketika dihubungi menyesalkan jika ada protes yang terlalu prematur ditujukan kepada film terbarunya tersebut. ''Terlalu prematur jika memprotes film ini. Apalagi ini kan masih dalam proses editing,'' tuturnya. Bahkan, imbuhnya, sebagai sutradara dia juga belum tentu memberi judul film terbarunya tersebut dengan Sinta Obong. Garin yang masih berada di Aceh juga berencana akan mengadakan jumpa pers dalam waktu dekat untuk meluruskan sebuah persoalan yang mulai mencuat kepermukaan tersebut. Meski secara tidak langsung mengatakan akan melakukan perlawanan, Garin juga menyesalkan kecenderungan kesenian yang selalu "dikalahkan" jika berhadapan dengan interpretasi keagamaan. ''Ini akan menjadi preseden yang buruk bagi perkembangan kesenian di negeri kita,'' katanya. (G20-45)