Sabtu, 09 Februari 2008

Padi

Rabu, 14 Nopember 2007. BUDAYA

Padi Menguning di Kapal Perang

JAKARTA-Apa yang terjadi jika sebuah konser yang dibarengkan dengan rilis album dilangsungkan di sebuah kapal perang yang berlayar di laut lepas. Sebuah pengalaman yang sulit dilupakan. Itulah yang terjadi ketika Sony-BMG, Padi, dan TNI Angkatan Laut menggelar hajatan unik di atas kapal perang KRI Teluk Mandar 514 yang berlayar di Teluk Jakarta. Menyertakan hampir semua kesatuan AL seperti Kopaska, Marinir, Taifib, Kowal, Pasukan Selam, hingga para awak yang berjumlah ratusan, berlayarlah kapal perang buatan Korea Selatan itu dengan kecepatan 4 knot. Atau setara dengan kecepatan kendaraan di darat sejauh 20-30 km/jam. Meski hanya membelah samudra sejauh 10 mil laut dari dermaga 200 di Pelabuhan Tanjuk Priok, Jakarta, kesan yang ditimbulkannya sangatlah mendalam.
Hal inilah yang membuat personel Padi yang terdiri atas Fadly Arifuddin (vokal), Piyi Yudi Wahono (gitar, vokal), Ari Susianto (gitar), Risndra Risyanto (bas), dan Yoyo Prasetyo (drum) antusias merilis album terbaru mereka, Tak Hanya Diam. Dan di atas geladak kapal perang yang baru saja usai dilibatkan dalam perayaan Hari Pahlawan 10 November lalu itulah, puluhan lagu Padi dari album perdana Begitu Indah (1999) hingga album kelima dan terkini digemakan dengan meriah.
Ratusan Siswa

Dengan dukungan tata suara, pencahayaan, dan segala hal teknis yang njlimet, minikonser yang biasanya digelar di sebuah hal itu mampu dipindah ke atas geladak kapal perang yang berlayar membelah ombak. Tak tanggung-tanggung, sebuah kapal perang pengawal KRI Todak turut "mengamankan" konser yang juga dihadiri ratusan siswa-siswi SMA se-Jabodetabek itu. Hasilnya, bersama ratusan anggota kesatuan AL yang turut dalam pelayaran, malih rupalah suasana di atas kapal perang itu menjadi arena fiesta Sobat Padi selama enam jam pelayaran pulang-balik.

Tembang-tembang hit seperti "Mahadewi" dan "Begitu Indah" dari album Begitu Indah (1999), "Tak Hanya Diam" dari album Padi (2005), "Belum Terlambat", dan "Aku Bisa Menjadi" dari album teranyar, menggema di laut lepas mulai pukul 16.45, Senin (12/11). Diselingi sesi tanya jawab kepada wartawan berkenaan dengan konsep musikalitas, lirik, intrumental, hingga kemungkinan tanggapan pasar atas album yang digarap hingga 2,5 tahun itu, konser digeber kembali mulai pukul 19.00.

Sejurus kemudian, lagu gres bertempo cepat "Sang Penghibur" yang video klipnya digarap di London, Inggris, itu mengalun untuk kali pertama di bawah lindungan dua meriam antipesawat yang berputar-putar 360 derajat. Selajutnya, diselingi beberapa lagu lawas yang pernah menjadi hit, lagu-lagu baru Padi dari album anyar yang diharapkan dapat melampui target penjualan hingga 150 ribu kopi, atau setara dengan raihan platinum itu, diperdengarkan juga untuk kali pertama. (G20-45)


Membaca dan Menyuarakan Kegelisahan


MENURUT pengamat musik Remy Soetansyah, banyak catatan bagus yang diberikan pada empat album Padi terdahulu. Dan di album mereka terkini, catatan membanggakan itu sepatutnya kembali ditorehkan. Kematangan secara lirikal, musikal, instrumental hingga pembawaan diri para personel yang merayakan satu dekade kiprah mereka di industri musik Indonesia itu, cukup membanggakan.

"Album Tak Hanya Diam semakin membuktikan kematangan mereka," kata Remy. Atas nama kematangan Padi itulah, dia menyebut grup band asal Surabaya itu semakin "menguning". Apa tanggapan para personel Padi? Menurut Piyu, dengan pengalaman panjang mereka, album kelima mereka itu justru mengemas semangat yang berbeda dibandingkan album-album terdahulunya.

"Semangat untuk merasakan apa yang dirasakan orang lain lebih kental di album ini," katanya.
Hal yang sama diamini Yoyo, Rindra, Fadly, dan Ari. Bagi mereka, album yang banyak menyuarakan pesan sosial dan tidak melulu berbicara cinta kacangan itu, mencoba membaca dan menyuarakan kegelisahan kehidupan orang kebanyakan.

Hasilnya, di atas kapal perang KRI Teluk Mandar 514 yang membelah lautan, Padi yang "menguning" mengumbar pesan-pesan kebajikan mereka dalam iringan pop rock. Layaknya para bijak bestari yang seolah-olah paling tahu makna kehidupan, mereka menghibur ratusan penikmatnya sembari berkisah tentang arti kata memaafkan, mencintai, bertoleransi dan berbesar hati di tengah samudera. (Benny Benke-45)

Slank 2

Bincang Bincang. Minggu, 23 Februari 2003

Pelurus dari Jalan Potlot

TANYAKAN kepada para kawula muda, adakah yang tidak mengenal nama grup band satu ini? Tidak satu pun. Semua pasti mengenal dengan baik. Atau paling tidak mereka pernah menyimak dan kenal dengan beberapa lagunya yang mudah dicerna, enteng, lekat dengan kritik sosial dan apa adanya.
Ya, grup band itu adalah Slank. Komunitas yang kian melegenda itu dirintis sejak 1983 dan bermula dari sekumpulan anak-anak SMA Perguruan Cikini. Di band inilah Bimo Setiawan (drum), Boy (gitar), Kiki (gitar), Abi (bas), Uti (vokal) dan Well Welly (vokal) mengekspresikan kecintaannya terhadap karya-karya Rolling Stones dengan membentuk Cikini Stones Complex (CSC).
Setelah CSC bubar, Bimo Setiawan yang kemudian lebih dikenal dengan panggilan Bimbim bersama dua orang saudaranya; Denny dan Erwan, membentuk Red Evil yang mulai memperkenalkan lagu-lagu karya mereka sendiri, sembari sesekali membawakan lagu Van Halen.
Setelah merekrut Bongky, gitaris dari Reseh Band, Red Evil makin kerap menyapa pendengar lewat panggung kampus ke panggung kampus. Dari sanalah nama Slank mulai disandang. Karena tampilan semau gue dan cenderung urakan, Red Evil pun mendapat julukan band yang slengekan.
Mereka pun mengubah nama menjadi Slank dengan formasi awal Bimbim (drum), Erwan (vokal), Bongky (gitar), Denny (bas), dan Kiki (gitar), sekaligus menetapkan rumah Bimbim di Jalan Potlot III/14 Pancoran, Jakarta Selatan, sebagai markas.
Setelah rajin mengikuti berbagai festival musik dan tetap menyambangi berbagai ajang musik di berbagai kampus dan serta jatuh-bangun dengan bergonta-ganti personel, pada formasi ketiga belas -beranggotakan Bimbim (drum), Bongky (bas), Kaka (vokal), Pay (gitar), dan Indra Qadarsih (kibod)- mereka memutuskan memasuki industri rekaman.
Dengan album perdana Suit-Suit....Hehehe (Gadis Sexy) pada tahun 1990 dengan mengandalkan hits ''Memang'' dan ''Maafkan'', Slank di blantika musik Tanah Air mulai berkibar. Bukan hanya itu. Mereka juga menyabet penghargaan dari ajang BASF Award pada tahun 1991 dengan memperoleh predikat sebagai Pendatang Baru Terbaik.
Setelah itu berturut lahir album Kampungan (1991), Piss (1992), Generasi Biru (1995), Minoritas (1996) dan Lagi Sedih (1997) yang sarat lirik-lirik pemberontakan dan peka terhadap kondisi sosial.
Namun sayang, perpecahan sempat menghinggapi kesuksesan mereka. Pay (gitar), Bongky (bas), dan Indra (kibod) akhirnya mengundurkan diri dari Slank dan mendirikan BIP Band. Dan Slank yang menyisakan Bimbim (drum) dan Kaka (vokal) merekrut sekaligus membentuk formasi baru dengan mencomot Abdee (gitar), Ridho (gitar), dan Ivanka (bas).
Di bawah bimbingan Bunda Iffet (ibunda Bimbim) yang bertindak selaku perekat, penjaga, dan pelurus para personel Slank, mereka kembali bangkit membalikkan ramalan banyak orang bahwa riwayat Slank akan usai. Mereka berhasil menghasilkan dua album dalam satu tahun; Tujuhdan Mata Hati Reformasi pada medio 1998.
Selanjutnya pada tahun 1999 Slank berhasil meluncurkan dobel album; 999+09 I dan 999+0 II dan diteruskan dengan album de Best-nya Slank serta Virus (2001). Sebelumnya mereka melakukan tur di 30 kota Indonesia.
Kelanggengan nama Slank bersemayan di hati para pencintanya tampaknya tidak terlepas dari pilihan lagu yang mereka bawakan. Ya lagu mereka memang sarat kritik. ''Kami hanya ingin menjadi generasi pelurus, bukan penerus yang hanya memakan sisa-sisa bangkai dari pendahulu kami!'' ujar Bimbim yang diamini oleh Kaka, Ridho, Ivan, dan Abdee. (Benny Benke-72t).

Slank

Bincang Bincang. Minggu, 23 Februari 2003

Slank: Kami Ini kayak Inul Aja


PADA suatu petang di Gang Potlot Duren Tiga Pancoran, Jakarta Selatan, Suara Merdeka bertemu dengan kelompok band yang telah beberapa kali gonta-ganti personel namun semakin dicintai penggemarnya itu kini digawangi oleh Akhadi Wira Satriaji atau Kaka (vokal), Bimo Setiwan Almachzumi atau Bimbim (Drum), Mohammad Ridwan Hafiedz atau Ridho (Gitar), Ivan Kurniawan Arifin (Bas) dan Abde Negara alias Abdee (Gitar).


Apa yang diperbincangkan? Grup band yang telah menghasilkan sepuluh album dan melakukan konser di berbagai pulau di Nusantara ini bercerita tentang perjalanan karier, totalitas bermusik, dan ketergantungan pada NAPZA. Mereka juga memaparkan segala romantika yang terjadi saat mempersiapkan ''Konser 3 Dimensi'' di Plennary Hall JCC, 28 Februari mendatang.
Apa komentar mereka tentang perang? Berikut petikan wawancaranya.


Mengapa mengambil tema Stop War?


Bim Bim: War itu di mata gue bukan hanya perang-perang secara fisik seperti perang Iran-Irak. Akan tetapi banyak juga perang-perang lain yang mesti diperangi. Garis besarnya bukan hanya masalah perang yang akan dan sudah terjadi di dunia ini yang kami angkat. Stop War bisa juga hanya dalam skala nasional seperti perang antarkampung, antarsekolah, antarpartai politik dan lain-lain.


Tema itu akan disampaikan lewat lirik-lirik lagu yang akan dibawakan? Atau ada upaya lain untuk mewujudkan gagasan itu?


Kaka: Ya, paling hanya melalui imbauan kepada penikmat konser kami. Bisa juga lewat pesan-pesan perdamaian yang kami sisipkan di lagu. Semua itu kan sudah terangkum dalam album kami; Piss.


Mengapa melibatkan Nicky Astria pada jalur Rock, Syaharani pada Jazz dan Kristina pada dangdut? Apakah karena mereka merupakan ikon musik masa kini?
Bimbim: Nicky memang oke! Kemampuannya di dunia rock sudah tidak bisa diragukan lagi. Syaharani, selain cantik, dia merupakan bintang baru dan penyanyi yang mempunyai kemampuan vokal bagus.
Kaka: Pilihan pada Syaharani mungkin lebih besar pada kebutuhan lagu blues yang harus dinyanyikan oleh penyanyi cewek. Pada mulanya kami memilih Reza. Dia berhalangan. Soal Kristina, dia oke juga.
Mengapa melibatkan Tya Subiakto dan 60 musikus cewek?
Bimbim: Kebetulan tiga bintang pendukung konser kami perempuan. Jadi kenapa nggak sekalian kami libatkan perempuan yang menguasai orkestra. Dan kebetulan juga yang ngurusi pementasan ini kan juga perempuan.
Kenapa nggak sekalian aja penontonnya khusus perempuan?
(Semua personel Slank tertawa). Kaka: Tadinya sempat kepikiran semacam itu. Semua penonton laki-laki harus mengenakan pakaian perempuan sekaligus merayakan valentine.
Lalu bagaimana konsep pementasan kali ini?
Bimbim: Boleh dibilang inilah konser Slank yang paling tertata. Panggungnya pun ada tiga dengan berbagai ukuran sesuai dengan segmen musik yang kami mainkan.
Kaka: Ya, background-nya pun akan berubah sesuai dengan pergantian musik yang kami bawakan. Intinya, konser kali ini juga akan didukung oleh kemampuan teknologi. Tata lampu akan mendukung totalitas kami. Insya Allah semua akan berjalan dengan baik. Tidak sebagaimana kemarin. Karena kemarin kan tester dari TV 7 belum memiliki pengalaman yang seimbang dengan stasiun swasta lain. Kebetulan yang di ancol itu itu kan first time dari TV 7 yang belum mempunyai pengalaman siaran live.
Harga tiket kalian melangit. Bagaimana kalau para slanker memaksakan diri untuk masuk ke tempat konser? Selama ini kan Slank identik dengan kalangan muda cekak?
Bimbim: Kami punya kebijakan dalam setahun dua kali Slank mengadakan konser gratis untuk para Slanker. Ya, untuk kali ini kami hanya ingin ''meracuni' para eksekutif dengan virus Slank. Kalau tidak Slank yang meracuni, siapa lagi yang mau peduli? Lagi pula kami mempunyai satuan petugas yang terdiri atas para Slanker. Mereka akan membantu mengamankan konser.
Sekarang kita berbicara tentang musik. Apakah virus musik memengaruhi kehidupan kalian?
Bimbim: Kami semua ini partner in crime. Kami ini kayak sebuah keluarga yang sudah tidak menggantungkan hidup ke mana-mana dan memikirkan apa-apa lagi kecuali musik. Jadi otak, pikiran, dan tenaga kami hanya untuk musik.
Kaka: Kami ini kayak Inul aja. Dia goyang karena dia suka. Nggak peduli pada berbagai suara sumbang yang hendak menghentikan goyangannya. Mau dikritik, diomelin, ditegur,... kalau gue demen goyang gimana?!
Pilihan dan kesadaran untuk terjun total ke dunia musik apakah muncul sejak dini?
Bimbim: Ya. Cita-cita kan cuma ada beberapa. Jadi jenderal, insinyur, pilot, dan dokter. Kami ini orang-orang nekat yang tidak disukai oleh lingkungan. Kami bertahan sendiri. Kami survive untuk kesenangan. Tapi sekarang alhamdulillah karena kami serius, Tuhan ngasih jalan dan bukain pintu. Sekarang anak-anak kecil cita-citanya bertambah; bisa bilang gue mau jadi Slank.
Apakah syair-syair lagu Slank efektif bagi para penikmat?
Bimbim: Kekuatan paling dahsyat dalam seni, gue rasa adalah musik! Apalagi liriknya. Dengan musik Kaka dapat istri lagi. Gue banyak ngrayu perempuan karena lagu. Ya nggak? Musik juga bisa mengubah pikiran manusia.
Kaka: Di album pertama ada lagu bertajuk ''Memang''. Lewat lagu itu kami mengajak para pendengar untuk bersikap sebagaimana dirinya sendiri, sehingga timbul kepercayaan diri. Yang gue punya ini, jadi jangan lu paksa untuk mengenakan sesuatu yang nggak gue punya. Bukan berarti gue memakai baju rombeng dan rambut gondrong berarti gue kriminal. Ini cuman ekspresi gue dan ini yang gue punya. Lagu ini pengaruhnya lumayan banget lo...
Bimbim: Lagu itu menimbukan kepercayaan diri yang lumayan, terutama di kalangan grass root.
Slank telah melakukan perubahan dan perombakan berulang-ulang namun tetap eksis. Apakah formasi ini akan langgeng?
Ridho: Kalau menurut pendapatku, tim ini paling asyik. Kami bisa saling memback up. Saling mengisi. Lagi pula kemampuan aku dirangsang, karena di Slank ada dua gitaris, aku dan Abdee. Jadi buat aku pribadi, kelompok ini memang harus bisa berbagi. Waktu lima tahun adalah saat yang lama. Jadi asyiklah.
Bimbim: Kami memang pernah diramal akan rubuh ketika terjadi perubahan formasi dari album keenam ke album ketujuh. Tapi nyatanya kami semakin besar, meski tidak pernah merasa besar. Padahal kami telah meniti ulang dari nol kembali. Bahkan harga kaset telah kami turunkan.
Ridho: Mungkin ketakutan kami karena pencinta Slank lebih berpijak pada formasi lama, tapi alhamdullilah semua berjalan dengan baik.
Mengutip pernyataan Bimbim; kalau orang sedang pacaran, keberadaan Slank saat ini adalah sedang mesra-mesranya. Ada kiat menjaga kemesraan itu? Terus bagaimana jika udah nggak mesra lagi?
Kaka dan Ivan: Alhamdulillah kami tambah mesra saja.
Bimbim: Ya itu tadi, kami seperti keluarga. Malem berantem, pagi sudah satu meja makan.
Kaka: Jangan pernah menganggap ini sebuah kelompok, organisasi, atau sebuah genk tapi ini adalah sebuah keluarga. Jadi segala sesuatu dihadapi dengan luwes, brother kakak adik, termasuk ketika kita membicarakan musik.
Kalau di dunia teater ada adagium sutradara adalah tuhan, sutradara mati, maka aktor dan pendukung lainnya juga mati. Terus bagaimana dengan konteks Slank yang notabene motornya adalah Bimbim dan Kaka, apakah kalau Bimbim dan Kaka mati, Slank juga mati?
Ridho: Memang mereka berdua yang memulai dan membentuk karakter Slank. Buat aku itu nggak masalah. Yang jelas aku harus berbuat yang terbagus aja. Memang mereka lebih lama.
Bimbim: Live goes on aja dah...Lagian kita kan open mind.
Kaka: Mungkin karena memang lirik yang membuat aku dan Bimbim seolah-olah Slank adalah Kaka dan Bimbim. Musiknya yang nggarap barengan. Jadi kayak kapal selem aja. Ada nakhoda yang ngejalanin mesin dan lain-lain. Kami bekerja sesuai dengan mekanisme masing-masing. Selain itu kan kami belajar dari pengalaman yang sudah-sudah.
Ridho: Kalau ngebentuk lagi nggak masalah. Siapa pun sutradaranya selama bisa jalan Slank akan tetap berjalan. Kami sudah seperti mekanisme tubuh manusia aja. Ya, misal Ivan kakinya luka, yang lain juga merasa terluka.
Kaka: Ya, filosofinya kayak mafia. Misalnya salah satu dilukai atau hanya diledek sekali pun, maka keluarganya akan membela.
Bimbim: Kalau perlu kami bren kafe sang musuh
Lantas bagaimana ceritanya bisa lepas dari jerat narkoba?
Kaka: Bunda Iffet lah yang sangat berperan. Beliau selalu mengajak kami kembali ke jalan yang benar.
Bimbim: Saya rasa semua junkies ingin lepas dari jerat narkoba. Hanya, terkadang mereka tidak mempunyai keberanian untuk melawan. Kalau nggak ada Bunda mungkin kami jadi penakut terus. Jadi yang terjadi setelah sekian lama, akhirnya bukan kami yang ninggalin drugs, tetapi drugs-nya yang ninggalin kami. Kami sih tetep Slank aja.
Ivan: Bunda itu seperti... apa ya... Pokoknya kalau kami lepas dari jalur, beliaulah yang mengembalikan kami ke tempat semestinya. (Benny Benke-72t)

Sudjiwo Tejo 1

Bincang Bincang Minggu, 16 Februari 2003

Bingung pada Eksistensi Tuhan

DENGAN jejak perjalanan berkesenian yang panjang, seniman eksentrik kelahiran Jember, Jawa Timur 1962, ayah Rembulan Randu Dahlia (12), Kennya Rizky Rinonce (11), dan Jagad (10) itu memaknai kehidupannya dengan bersahaja; mengalir.

Kemengaliran itu pulalah yang menjadikan Tejo bisa menghasilkan buku Kelakar Madura buat Gus Dur (2001) dan Dalang Edan (2002) serta menjadi penulis kolom di berbagai majalah dan koran nasional. Kemengaliran itu yang melahirkan Tejo sebagi peramu musik pentatonik Jawa dan diatonik modern yang penuh kemegahan.

Dua album musik, Pada Suatu Ketika dan Pada Sebuah Ranjang, telah dia rampungkan. Keduanya mendapatkan sambutan hangat dari para pendengar serta meraih beberapa penghargaan. Sebentar lagi dia akan muncul dengan album terbaru, Dewi Ruci. Album itu dia dedikasikan kepada kaum perempuan.

Keterkaguman dalang yang pernah berkolaborasi dengan marionette Stephan Mottram -seorang ''dalang'' dari Inggris tahun 2000- itu kepada sosok perempuan tampaknya tidak dapat dilepaskan dari sosok almarhum ibunda. Hingga sekarang kain penutup jasadnya selalu ia bawa manakala mendalang. Hal itu pula yang membuat dia menilai perempuan sebagai makhluk yang lengkap; dengan segala kelemahan sekaligus kekuatannya.

Hadi Sujiwo Tejo (41) mengaku mampu mendefinisikan semua hal di dunia, bahkan fenomena Tuhan sekalipun. ''Tapi tidak dengan wanita. Salah satu kecerdasan Tuhan yang nampak di muka bumi adalah menciptaan perempuan. Semakin kita berusaha untuk mengerti perempuan, semakin tidak mengerti kita dibuatnya. Perempuan sangat-sangat tidak konsisten tapi pada saat yang sama sangat-sangat menarik. Inilah yang membuat saya hendak menelurkan album Dewi Ruci.

Belum lagi narasi-narasi kecil tentang perempuan yang selama ini luput dari perhatian kita.''

Hanya itukah? ''Saya juga banyak mendapatkan cerita dari banyak sumber. Misalnya jika ada pejabat perempuan yang hendak menyampaikan suatu pidato di sebuah acara, hal yang kali pertama ia tanyakan adalah dekat toilet atau tidak. Atau ada cerita seorang pejabat perempuan yang menolak di-interview oleh salah sebuah stasiun televisi karena belum dandan (make up). Ini bagi saya menarik sekali.''

Di kalangan kawan-kawan dekatnya seperti Nirwan Dewanto, Pramono Anung, dan Djaduk Ferianto, Tejo yang dikenal sebagai miniatur Nusantara itu mempunyai pandangan yang menarik terhadap Tuhan. Bagi seniman yang pernah mengikuti Roaring Hoofs International First Festival of Actual Music di Ulan Bataar, Mongolia (1999) itu, Tuhan adalah, ''Yang Maha Mbingungin Tapi Indah''.

''Bayangkan, Ia menciptakan kegemilangan sekaligus berbagai larangan yang menyertainya. Ia menciptakan aneka kecemerlangan sekaligus bencana yang membuntuti di belakangnya. Ia menciptkan betapa eloknya (maaf) payudara tapi seketika menyegera memerintahkan untuk menutupinya. Ia merestui kemajuan zaman sekaligus mengiringinya dengan berbagai ancaman penyakit yang menyertainya. Hayo, gimana nggak mbingungin. Jadi Tuhan itu maha... bukan asem, tapi.. apa ya, ya mbingungin itu tadi. Edanlah, pokoke Gusti Allah iku ngedab-ngedabi.''

Narasi Kecil

Tejo yang juga pernah menyabet penghargaan dari MTV sebagai The Best Performance dan The Best New Artist tahun 1998 itu gemar mengoleksi narasi-narasi kecil perihal apa pun di luar skema besar atau grand naration yang kerap lebih menyita perhatian kita.

Kekusyukannya dalam meluangkan pikirannya untuk menyuntuki narasi kecil itu tak lepas dari keteguhannya bahwa kehidupan dan keseimbangan hidup ini tidak melulu harus dihabiskan pada persoalan ekonomi dan politik an-sich.

Baginya persolan kerinduan, kangen, menulis surat, dan membaca surat cinta, perasaan membuncah karena terkesima oleh lawan jenisnya, tak kalah menarik dari isu-isu sentral yang selalu mendominasi hampir di setiap lini kehidupan.

Bisa jadi apa yang dipikirkan ada benarnya, betapa ''kering'' manusia manakala ia hanya berpikir tentang kariernya yang telah secara tidak langsung membunuh dirinya.

''Jika saya berpikir tentang narasi besar melulu, bisa edan aku. Terkadang pikiran saya melenting kepada sosok Amien Rais. Bagaimana ta kehidupan seksualnya. Apakah beres? Apakah ia masih punya cinta? Meski tidak harus cinta kepada istrinya. Apakah ia munafik dengan perasaannya? Kalau ia munafik dengan kehidupan pribadinya, bagaimana dengan kepemimpinannya? Itu, misalnya.''

Di sisi lain Tejo juga mengklaim, adalah munafik jika manusia hanya mampu jatuh cinta satu kali sepanjang hidupnya. Baginya perasaan cinta itu tumbuh seiring dengan kekayaan batin manusianya. (Benny Benke-72c)

Naga Bonar Jadi 2

Kamis, 29 Maret 2007. BUDAYA

Satire Kocak sang Naga

NAGA BONAR, film komedi satire yang diluncurkan tahun 1987, jadi perbincangan nasional dan melambungkan nama Deddy Mizwar. Kini, setelah 20 tahun berlalu, sekuelnya berjudul Naga Bonar Jadi 2 tampaknya bakal napak tilas kesuksesan tokoh rekaan ciptaan mendiang Asrul Sani itu. Tak berbeda dari film terdahulu, kini film besutan Deddy Mizwar ini juga mengisahkan persinggungan kepentingan antargenerasi, Naga Bonar (Deddy Mizwar) dan sang anak, Bonaga (Tora Sudiro). Film ini masih mengusung satire dalam balutan komedi yang menyentil, cerdas, nakal, tetapi membumi. Kecemerlangan skenario Naga Bonar karya Asrul diteruskan dengan baik oleh Musfar Yasin yang menulis skenario Naga Bonar Jadi 2. Musfar beberapa kali mendapat Piala Vidia.


Film yang melibatkan Wulan Guritno, Darius Sinatriya, Lukman Sardi, Uli Herdiansyah, dan Michael Mulyadro ini mengalir apik di tangan Deddy Mizwar. Sutradara Kiamat Sudah Dekat dan Ketika ini tampaknya tahu betul bagaimana menghasilkan film. Meski, hampir sepanjang film, dominasi keaktoran peraih Piala Citra sebagai aktor terbaik pada FFI 1986 itu tak tertandingi dan menenggelamkan semua lawan mainnya. Tora, aktor terbaik FFI 2004 lewat Arisan, pun belum menjadi lawan main yang sepadan. Kekuatan skenario, seperti diakui Chairul Umam, serta keaktoran Deddy-lah yang menjadi jualan utama film yang bakal beredar mulai hari ini, bertepatan dengan Hari Film Nasional.

Jurang Antargenerasi

Kisah dibuka dengan adegan ketika Naga Bonar berpamitan pada jasad orang-orang tercinta di pekuburan. Itulah kuburan Emak, sang istri Kirana, dan karibnya, Bujang. Mereka terbaring di pekuburan keluarga, di kebun sawit Sumatera Utara. Ironisnya, kelak, pekuburan itulah yang menjadi sumber konflik. Bonaga, anak semata wayang lulusan S2 di Inggris, meminta sang ayah datang ke Jakarta untuk menyaksikan kesuksesannya. Keadaan di kota itu menjungkirbalikkan pola pikir Naga sebagai pejuang 45. Dan di kota itulah, konflik antargenasi bermula.

Bonaga berniat membuat resor di kampung halaman. Padahal, di sanalah orang-orang yang dicintai sang ayah dikuburkan. Pertarungan kepentingan plus subkonflik di sana-sini yang sangat dekat dan menyatu dengan permasalahan kehidupan di Jakarta tersaji lewat satire yang menghibur. Pertanyaan tentang makna kepahlawanan, kepemimpinan, pengorbanan, agama, dan keyakinan mencuat secara jenaka, tanpa tendensi menyinggung siapa pun. Meski ada kejanggalan mendasar. Itulah ikhwal Naga yang semetinya lebih renta, jika bertolak dari versi Naga Bonar yang berlatar 1945-an.


Naga muda yang pencopet berusia 25-30 tahun. Jadi, saat pembuatan film ini tahun 2006, semestinya dia berusia 90 tahun. Untuk ukuran orang Indonesia, tak masuk akal lelaki 90-an tahun masih dapat bermain bola, dengan kanak-kanak sekalipun. Apalagi dia juga mampu memanjat patung Sudirman. (Benny Benke-53)

Slamet G, Wayang Air.

Senin, 13 Nopember 2006. BUDAYA

Suluk Air Slamet Gundono

JAKARTA-Air sebagaimana udara, tanah, dan cahaya matahari adalah salah satu unsur kehidupan yang memegang peranan sangat penting bagi umat manusia. Di tangan Slamet Gunduno, dalang Komunitas Wayang Suket yang bermarkas di Mojosongo, Solo, air kembali dihadirkan dalam bentuk sebuah suluk yang menarik, yaitu Suluk Air 2. Dengan menghadirkan wayang air dan memaksimalkan medium air untuk mengisahkan pengusiran Dewi Gangga dari kayangan, dia lagi-lagi berhasil membuat ratusan penonton yang menghadiri pembukaan Jakarta International Puppetry Festival (JIPF) 2006 terpesona.


Selama lebih dari 90 menit bersama pendukung yang pernah mementaskan lakon serupa di Taman Ismail Marzuki (TIM), wayang air menjelma menjadi sebuah reportoar yang menghanyutkan. Sebagai pembuka festival wayang internasional yang digelar 10-18 November di Taman Fatahilah Museum Wayang Jakarta itu, Slamet bersama wakil Indonesia lainnya, Wayang Kampung Sebelah, menjadi pusat perhatian. Penonton terkesima meski sebagian besar tidak mengerti bahasa tutur lakon Suluk Air 2, teristimewa penonton dari mancanegara, karena Slamet bertutur dengan bahasa Jawa dialog Tegalan.


Hampir semua pengisahan diwakilkan lewat bahasa gerak tarian dengan mengeksplorasi air, sehingga paling tidak estetika gerakan para pelakonnya menghadirkan sensasi tersendiri. Lihatlah ketika dua perempuan melakukan gerakan teatrikal saling memandikan di bathtub yang penuh air. Dengan saling memercikkan, mencipratkan, dan mengguyur, cipratan air yang ditimpa tata cahaya menghasilkan bahasa gambar yang estetis. Dalam nuansa festival berkelas internasional seperti ini, cerita seolah menjadi tidak penting lagi. Bahasa gambar yang dihasilkan dari gerak tari plus dukungan musik orisinal dari tembang-tembang yang dinyanyikan langsung, menjadi lebih utama. Slamet Gundono menyajikan tembang-tembang itu bersama Waluyo, Dwi Prito, Sutris, Iwan Dato', Ni Kadek Yulia, Indah Panca, Alfira O'Sullivan, dan Yusdi menjadi lebih utama.


Seni Kontemporer

Jakarta International Puppetry Festival (JIPF) digagas Komunitas Teater Utan Kayu, sebuah lembaga nirlaba yang didirikan oleh Goenawan Mohamad, untuk mempromosikan keunggulan seni kontemporer Indonesia. Selain dua penampil dari Solo, akan tampil kelompok wayang lain dari Indonesia, yaitu Boneka Punakawan dan Cudamani/ Wayang Listrik. Sedangkan dari mancanegara akan tampil Wilde & Vogel, Papier Theater (Jerman), Damiet Van Dalsum (Belanda), dan Shovanna Phum (Kamboja). Pada penutupan yang akan dipusatkan di halaman Teater Utan Kayu, Jakarta Timur, akan tampil Pusaka and Kumpulan Wayang Kulit Baju Merah dari Malaysia. Selain di kedua tempat tersebut, festival yang didukung Pemprov DKI Jakarta itu, juga akan digelar di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) dan Goethe Institut. Festival itu juga menyelenggarakan lokakarya oleh kelompok Figurentheater Wilde & Vogel dari Jerman. Bekerja sama dengan Forum Apresiasi Seni Pertunjukan (ASP) pimpinan Ratna Riantiarno akan diadakan pentas khusus bagi pelajar SMA Jakarta.

Dalam catatan panitia, Indonesia menempati posisi khusus di dunia pewayangan dan terkenal sebagai pusat teater pewayangan tradisional. Badan dunia UNESCO bahkan menetapkan teater seni wayang Indonesia sebagai salah satu ''Masterpiece Warisan Oral dan Abstrak Kemanusiaan'' (Masterpieces of Oral and Intangible Heritage of Humanity) pada tahun 2003. (Benny Benke-45)

Slamet Gundono, Wayang Kampung

Selasa, 11 Maret 2003 . Budaya

Wayang Sampaan Kampung Sebelah: Potret Lingkungan

JANGAN pernah mengharapkan kehadiran tokoh dewa-dewa, ksatria, pendeta, atau punakawan, sekalipun dalam pertunjukan Wayang Kampung Sebelah (WKS) yang dipentaskan oleh sejumlah seniman kreatif dari Surakarta di Pasar Seni Ancol Jakarta, Minggu (9/3) malam lalu, dalam rangka 28 tahun Kenduri Pasar Seni. Jangan heran jika para tokoh wayang itu adalah tokoh-tokoh dari kehidupan masyarakat kampung kebanyakan, seperti preman, tukang becak, tukang pijet, pelacur, hansip, mbok jamu, tukang jahit, wartawan, pak lurah, hingga pak camat yang telah distilasi sedemikian rupa. Bahkan, dalam beberapa adegan muncul sosok wayang Slamet Gundono, yang diplesetkan menjadi Slamet Gundala.

Malah, musik pengiringnya pun tidak sebagaimana dalam pertunjukan wayang konvensional berupa seperangkat gamelan dengan para niyaga dan sindennya. Melainkan diiringi oleh orkes dangdut akustik, yang dimainkan oleh beberapa musikus jebolan STSI (Sekolah Tinggi Seni Indonesia) yang memainkan alat musik seperti; gitar, benjo, seruling, flute, gendang, kecapi, dan biola, yang sekaligus bernyanyi layaknya sinden.

Demikian juga dengan tampilan kelir yang dikitari dengan aneka sayur mayur, seperti kacang panjang, terong, labu, wortel, kangkung, pare, lombok, dan sejenisnya. Semua properti itu, semakin menambah lengkap suasana kampung. Ya, pentas Wayang Kampung Sebelah itu pun tidak mengambil basis cerita dari lakon pewayangan Ramayana atau Mahabaratha yang penuh dengan kurusetra; melainkan kisah kesaharian kehidupan para urban dengan segala romantika permasalahannya.

Sampaan

Pergelaran itu, mengambil lakon Pelacur dalam Pandangan Sosiologis, sebuah repertoar yang ditulis oleh Sosiawan Leak berjudul. Lakon nitu bernarasi tentang kehidupan para pelacur yang beroperasi di jalanan, setelah kompleks lokasisasi mereka ditutup oleh instansi terkait, dan berbagai intrik yang melibatkan sejumlah pejabat dari lingkungan rukun warga hingga pejabat kota. Lakon yang berlangsung selama dua jam itu, dikemas dalam format drama komedi satir yang sarat dengan kritik, layaknya sebuah pentas teater. Hal itu menjadi tidak berlebihan, jika melihat basis si penulis naskahnya yang suntuk dalam dunia teater dan kepanyairan, yang malam itu juga bermain sebagai pemegang rythm sekaligus penembang.

Bukan itu saja, dengan format sampaan yang riuh --meski tetap dan berusaha untuk menjaga kontinyuitas jalannya cerita--, pentas yang dibuka dengan tembang "Balada Kampung", "Menabrak Mentari" dan "Nyi Kempit" itu tidak hanya mengandalkan kemampuan Jlitheng Suparman SS sebagai dalang, tapi juga dukungan dan kemampuan orkestrasi bermain musik yang baik pendukungnya. Para pemusik seperti Yayat Suhiryatna, Max Baihaqi, Joko Ngadimin, Dwijaya Syaiful Munir, Agung Munir, Ade Kholiq, dan beberapa lainnya, adalah bukan nama baru dalam dunia musik kontemporer. Pengembaraan bermusik mereka dari loka lokal, nasional, sampai beberapa loka di ranah internasional merupakan sebuah jaminan yang mampu menghasilkan suatu komposisi musik pengiring yang apik.

Maka, jadilah pementasan Wayang Kampung Sebelah tak ubahnya sebuah pentas teater sampaan yang melibatkan pemusik bahkan penonton menjadi bagian dari pertunjukan yang terkadang kebablasan dan benar-benar kampungan. Kampung, memang ada kalanya menawarkan kerinduan.(Benny Benke-41)

Swan Lake, Russian Ballet Moskwa

Selasa, 16 September 2003 . Budaya

Sentuhan Artistik Balet Moskow

TIDAK aneh, jika selama dua jam sekitar seribu penonton yang memadati Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, bergeming, seolah tersihir oleh pesona tarian balet The Russsian State Ballet of Moscow. Pertunjukan Jumat (12/9) malam lalu itu memang telah lewat, namun "sentuhan" artistiknya masih terasa hingga sekarang. Pada saat itu, dengan penuh antusias, Presiden Megawati --yang tampak bungah-- pun tidak ketinggalan memberikan aplause panjang seusai pementasan. Memang, malam itu, grup tari asal Moskow yang pernah memperoleh penghargaan ''The best touring ballet company of Europe'' itu tampil cukup prima dan penuh pesona. Membawakan lakon legendaris Swan Lake mahakarya Tchaikovsky, kelompok tari yang terbentuk 1979 atas inisiatif penari utama Bolshoi Ballet (yang juga direktur Moscow Philharmonic Society), Irna Tichomirova, itu cukup berhasil menyajikan sebuah tontonan yang benar-benar agung.


Betapa tidak? Membawa 50 penari solo, di antaranya penari-penari berprestasi dan jawara di kompetisi internasional, Viatcheslav Gordev yang dikenal sebagai penari dan koreografer tersohor di era Uni Soviet. berhasil dengan baik meramu dan menyuguhkan suatu tontotan apik dari sebuah negara, asal tarian balet klasik tersebut berkembang. Bukan hanya lewat gerakan klasik roulette (memutar tubuh dengan satu kaki yang bertumpu pada ibu jari kaki) dan berbagai gerakan indah lainya saja. Dukungan orkestrasi musik klasik yang (meski) diputar dengan cara minus-one dan kostum yang mereka kenakan, juga mampu menggiring imajinasi penonton ke sebuah dunia dongeng.


Tidak jauh berbeda dengan lakon tari mereka yang juga telah mendunia --seperti Sleeping Beauty, Nutcraker, dan Fresques--, Swan Lake yang mengombinasikan tarian balet klasik dan modern tersebut berhasil meneruskan keindahan tradisi balet yang membentuk keindahan artistik tersendiri. Lihatlah pada skenografinya, yang tampak simpel namun teramat sangat mewakili suasana pertujukannya. Meski panggung Graha Bakti Budaya tidak begitu lebar, mereka mampu menyiasatinya sedemikian rupa, sehingga tercipta ruang gerak yang apresiatif bagi sebuah pertunjukan. Keberhasilan itu, masih didukung oleh lighting yang prima dan sound system yang terjaga.


Danau Angsa

Tampaknya, pengalaman mereka berunjuk pesona di Cina, Inggris, Australia, Irlandia, Jerman, Prancis, dan Meksiko, telah mengajarkan bagaimana caranya menyuguhkan sesuatu yang sempurna kepada penikmat tari balet. Sehinga tidak heran, jika warga New Orleans, Amerika Serikat, mempunyai hari libur yang mereka namai ''The Russian State Ballet Day'' sebagai wujud kecintaan dan keterpesonaan terhadap bakat-bakat penari The Russian State. Swan Lake sendiri, terdiri tiga babak, yang bernarasi tentang perjalanan kasih Pangeran Siegfried dan wanita pujaannya, Odette. Dikisahkan, suatu hari di sebuah danau yang nun jauh di dalam hutan terdapat sekawanan angsa. Kawanan itu, sebenarnya adalah jelmaan putri yang dikutuk oleh seorang penyihir bernama Rothbart. Hanya pada malam hari saja, angsa-angsa itu menjelma menjadi manusia kembali. Pada saat menjelma sebagai manusia itulah, salah satu angsa nan cantik tersebut berubah wujud menjadi seorang putri yang rupawan, Odette.


Mengetahui hal itu, Siegried pun jatuh hati dan bersumpah untuk menjaga cinta dan kesetiannya kepada Odette. Namun payahnya, sang ibu telah memerintahkannya untuk menikah dengan salah seorang perempuan yang tak kalah ayu. Perempuan ayu yang mirip dengan Odette itu adalah Odille, yang tak lain adalah putri Rotbard, sang penyihir. (Benny Benke-41)

F4

Senin, 13 Januari 2003. Budaya

Sihir F4 Menyebar di Sekeliling Kita

PARTY must be end. Usai sudah, konser akbar selama dua hari berturut-turut dari boysband paling berkilau di benua Asia, F4 (Fantastic Four) di Hall C Arena Pekan Raya Jakarta (PRJ), Kemayoran, Jumat dan Sabtu (10-11/1) lalu. Perhelatan spektakuler dengan persiapan maraton yang dilakukan oleh AJ Pro selaku promotor bekerja sama dengan Peter Loh Production itu, menelan biaya produksi sebesar Rp 20 miliar.


Secara keseluruhan, gawe pembuka 2003 itu berjalan sukses dan lancar. Meski sempat terjadi peristiwa pemukulan yang menimpa seorang kameraman infotainment ''Kros Cek'' dan fotografer harian Warta Kota oleh petugas keamanan. Pada konser terakhir yang berlangsung Sabtu malam (11/1), jumlah penonton semakin membludak dibandingkan pada malam sebelumnya (Jumat, 10/1); dan harga karcis pun melambung hingga 50 persen dari harga resmi, meski pada hari pertama pihak panitia membanting harga tiket jauh dari harga yang telah ditetapkan.


''Saya dapat dari panitia seharga Rp 50.000 untuk tiket kelas Festival II; kemudian saya jual kembali sesuai dengan harga resmi yang telah tertera Rp 200.000.'' ujar seorang calo. Tampaknya, para pencinta F4 lebih senang menonton bintang pujaannya pada hari kedua, yang kebetulan juga malam Minggu. Sehingga, daripada ketinggalan momen yang belum tentu terulang lagi, sebagian dari mereka rela merogoh koceknya, meski dengan harga tiket ''gila-gilaan''. Bayangkan, di tangan para calo untuk tiket VVIP dari harga resmi Rp 2 juta melonjak menjadi Rp 3 juta, VIP dari Rp 1 juta menjadi Rp 1.5 juta, Festival I dari Rp 500.000 menjadi Rp 750.000, dan Festival II dari Rp 200.000 menjadi Rp 300.000.


Daya Pukau

Fenomena F4 sampai saat ini memang sedang di atas angin. Berawal dari kemunculan serial televisi Meteor Garden produksi Angie Chai medio 2001, pelan dan pasti penampilan keempat pemerannya, Xi Men (Ken Zhu), Vic Zhou (Hua Ce Lei), Jerry yan (Dhao Ming Se), dan Vannes Wu (Mei Zhuo), mulai diakrabi dan digemari oleh hampir seluruh pemirsanya yang tersebar di penjuru Asia. Di Indonesia, serial dengan judul asli Liu Xing Hua Yuan itu pada awalnya ditayangkan oleh Indosiar.


Tak lama kemudian, disusul dengan peluncuran album Liu Sing Yi atau Meteor Rain, yang menurut catatan resmi Sony Music Indonesia laku terjual 350.000 kopi. Kesempatan emas tidak disia-siakan oleh pihak manajemen F4, yang berkeputusan meneruskan keksuksesan serial televisinya dengan Meteor Garden II. Baru-baru ini, dengan maksud terus mengibarkan bendera mereka, F4 meluncurkan album kedua bertajuk Fantasy 4 Ever Yan Huo Ji Jie (musim kembang api). Sejak Desember 2002 hingga sekarang, album itu laku 130.000 kopi. Kecintaan para penggemar F4, sepertinya tidak berbatas. Konser dua malam lalu, dikemas dengan gaya anekawarna. Yakni menggabungkan berbagai unsur entertainment seperti tarian, musik, nyayian, dan ditambah dengan kemewahan serta kesemarakan kostum yang mereka kenakan. Bahkan, dalam setiap lagu yang dibawakan, mereka selalu berganti baju anyar.


Tak pelak, konser itu menyerupai fashion show. Para fans mereka tidak henti-hentinya berjingkrak, bersorak, berpekik, dan histeris sepanjang pertunjukan yang memakan waktu dua jam tersebut. Sebenarnya, kemampuan olah vokal dan olah tari F4 di atas panggung biasa-biasa saja; bahkan bisa dikata satu tingkat di bawah rata-rata. Namun bagaimana mungkin dengan kemampuan bernyanyi seperti itu, F4 dapat sampai setenar seperti sekarang? Jawabnya, manajemen yang profesional. Betapa tidak? Dengan kemampuan manajemen yang mumpuni, mereka mampu memberdayakan sebuah industri yang bernama hiburan menjadi sesuatu yang ''wah!''. Majalah Time pernah mengulas mereka, dan menuliskan bahwa ketenaran dapat dicapai karena mereka mengelola manajemen konser dengan apik dan mewah, bahkan mampu menandingi kemewahan konser Michael Jackson. Dengan bekal itu, mereka mampu menutupi kealpaan dan keterbatasan bakat menyanyinya.


Namun demikian, hampir semua fans yang datang ke tempat konser itu tidak semata-mata untuk menikmati kemampuan olah tarik suara F4. Para penggemar sudah mempersetankan, apakah kualitas suara F4 layak atau tidak, dapat dipertanggungjawabkan atau tidak. Sampai mereka menggunakan teknik bernyanyi dengan minus one (karaoke) atau lips sing sekalipun. Mereka tidak peduli. Karena, mereka sudah telanjur terkena sihir untuk mengapresiasi ketampanan keempat personel F4 itu. Sihir F4 memang telah menyebar di sekeliling kita; sampai-sampai kita tidak sadar telah terkena sihir itu di tengah-tengah fantasi kebutuhan hidup yang semakin menjulang tinggi dan fantastis.(Benny Benke-41)

Korn

Jumat, 6 Februari 2004 . Budaya

Gairah "Moshing" di Konser KoRn

DENGAN mengalkulturasikan berbagai aliran musik seperti rap, hip-hop dan metal, serta teknik pendistorsian pada permainan gitar, KoRn, grup nu metal asal Amerika Serikat (AS) semalam (5/2) benar-benar mampu mengguncang para metalhead di Arena Pekan Raya Jakarta (PRJ), Jakarta. Sehingga, tidak salah jika unsur kebaruan warna musik grup band yang dibentuk 1993 itu berhasil memuasi kegairahan sekitar 2.000 pencintanya. Para personel grup musik cadas yang terdiri atas Jonathan Davis (vokal), James 'Mungky' Shafer dan Brian "Head" Welch (gitar), Reginald "Fieldy" Arvizu (bas), serta David Silveria (drum) itu, tampil dengan stamina prima sepanjang repertoar bergulir. Faktor tersebut, turut mendongkrak konser akbar bertema "KoRn Live In Concert" atas prakarsa Djarum Super Music dan dipromotori oleh Java Musikindo itu ke level hiburan bermutu yang memiliki greget. Dibuka dengan tembang "Right Now" tepat pukul 20.30 WIB, Jonathan Davis, pentolan dan vokalis grup band yang pernah meraih Grammy Award 2003 untuk Best Metal Performance itu membuktikan janjinya. "Ini adalah kali pertama kami datang di Indonesia, dan tentu saja saya merasa prihatin kepada Limp Bizkit dan Iron Maiden yang membatalkan pertunjukan mereka di sini. Dan here we are...we'll give you all the best," ujar Davis dalam temu wartawan menjelang konser, di Timor Room, Hotel Borobudur, Kamis (5/2) sore. Di panggung Davis, Mungky, Head, dan Fieldy (minus Silveria, drumer) senantiasa berjingkrak-jingkrak di setiap tembang yang mereka lantunkan, tanpa mengurangi atau mengganggu sedikit pun harmoninasi musik yang mereka bawakan. Tingkah polah para personel KoRn -berjingkrak-jingkrak ria-, tentu saja diikuti oleh para pencintanya yang merogoh kocek seharga Rp.150.000 (kelas festival belakang) dan Rp. 200.000 (festival depan). Dengan opening act yang langsung menghentak lewat tembang "Right Now" -dicomot dari album Take a Look In The Mirror- yang tersohor di berbagai tangga lagu dan pernah dijadikan soundtrack film Lara Croft Tomb Raider: The Cradle of Life, KoRn "menghasut" para metalhead Jakarta. Tanpa dikomando, para metalhead itu melakukan moshing (saling membenturkan badan antarsesama) dan bodysurfing (melayangkan tubuh di atas kepala penonton lain), sembari ber-medley bersama:


I'm feeling mean today/Not lost, not blown away/Just irritated and quite hated/ Self control breaks down/ Why's everything so tame/ I like my life insane/I'm fabericating and debating/Who im gonne kick around// right now/can't find away/to get accross the hate/when i see you.

Apakah kegemparan dan kegairahan berakhir pada tembang pembuka itu? Tentu saja tidak. Pada nomor "Freak On A Leash" yang pernah dianugerahi Best Form Music Video (1999), hal serupa terulang kembali. Demikian pula ketika tembang "Play Me" -yang dalam versi albumnya digarap bareng dengan grup band Nas- digulirkan, penonton hanyut oleh guyuran beat-beat keras yang "memabukkan".

Mewah

Teknik pembawan lagu yang terus bersambung sehingga nyaris tanpa jeda, membuat konser yang menyertakan piranti pribadi dari manajemen KoRn seberat 20 ton itu terasa melelahkan; meski kemewahan panggung dengan dua layar raksasa berukuran 3 x 4 m di kanan kirinya serta permainan sinar laser dibelakang panggung menyajikan hiburan tersendiri.Sebagaimana janji Davis pula, KoRn menyajikan tembang hits yang terangkum dalam berbagai album mereka, yaitu KoRn (1994), Life is Peachy (1996), Adidas (1997), Follow The Leader (1998), Issues (1999), Untouchables (2002), Here to Stay (2002), dan Take A Look In The Mirror (2003). "Tapi jangan pernah berharap dapat menemukan kembang dalam syair KoRn," kata Davis, dalam temu wartawan. "Kami tidak akan pernah kehabisan ide tentang sisi gelap di kehidupan ini. Jadi selama hidup berjalan, kami akan menyuarakan concern kami dengan kemarahan," imbuh mantan pekerja kamar mayat itu. Ya, dengan kemarahan yang terkabarkan lewat syair-syairnya yang cenderung kasar dan verbal, serta permainan musik yang membius andrenalin untuk berpacu, konser KoRn yang dibuka oleh /rif itu nsepertinya meninggalkan pesan, yaitu hendak melukis marah di Jakarta. (Benny Benke-41)

Megadeth

Sabtu, 27 Oktober 2007. BUDAYA

Megadeth Mematikan

MEGADETH, dalam konser "Megadeth, United Abominations Tour of Duty 2007" di Tennis Outdoor Senayan, Gelora Bung Karno, Jakarta, Kamis (25/1) malam, membuktikan kemasyhuran mereka. Dave Mustaine (gitar, vokal), Glen Drover (gitar), James Lomenzo (bas), dan Shawn Drover (drum), menyihir sekitar 1.500 penonton sehingga bergeming di kursi masing-masing. Dengan teknik permainan musik yang rumit dan canggih, mereka menggulirkan puluhan komposisi sejak pukul 20.30. Tembang yang berdentaman itu mengalir deras hingga melipat waktu, sampai purna pukul 22.00. Teknik vokal yang menggeram berpadu padan dengan permainan gitar bak tarian jemari di antara freed berkecepatan tinggi. Dave, sang ikon, bukan cuma mahir melahirkan lirik tentang kekejaman intrik politik, kemencekaman lingkungan hidup, sampai masalah pribadi. Dengan nada lagu bercita rasa heavy metal plus teknik vokal, gitar, dan kandungan lirik tak kacangan, keberadaan mereka pun nancap benar di hati para pencinta. Lihatlah, ketika mereka menembangkan hit "A Tout Le Monde" dari album Youthanasia (1994). Dengan lirik yang apik dan nada nglangut seperti orang mengaji, Dave menuntun para penikmat dalam nada melankolis lewat iringan gitar akustik. Sejurus kemudian, dia berkisah tentang saat terakhir seseorang menyongsong kematian.

"Don't remember where I was, I realized life was a game/The more seriously I took things, the harder the rules became/So as you read this, know my friends, I'd love to stay with you all/Please smile when you think of me, my body's gone, that's all."

Saat korus itulah, hampir semua penonton yang kebanyakan generasi 1990-an ikut menyanyi dalam bahasa Perancis:

"l' tout le monde/l' tous mes amis/Je vous aime/Je dois partir (Kepada semua penghuni dunia/kepada semua sobatku/aku cinta kalian semua/aku harus pergi)."

Lagu, yang videoklipnya pernah dilarang ditayangkan di MTV karena ditafsirkan sebagai anjuran bunuh diri itu, membius penonton untuk berhimne bersama.

Mematikan
Usai lagu kalem itu, mengalirkan hit seperti Peace Sells... but Who's Buying?, Rust in Peace, Symphony of Destruction, Holy Wars... the Punishment Due, Skin on My Teeth. Lagu-lagu itu terangkum dalam album perdana Killing is My Business... And Business Is Good! (1985) hingga album terkini, United Abominations (2007). Begitulah aksi Megadeth. Mereka memperhitungkan benar posisi dan perpindahan personel sehingga komposisi panggung terjaga rapi. Hasilnya, penampilan dan daya tarik pertunjukan musik cadas itu benar-benar sampai dan terasa bagi para penikmat mereka. Di tangan Dave, gitaris terbaik nomor 19 dalam the 100 Greatest Heavy Metal Guitarists of All Time (2004) oleh Guitar World Magazine, kesejatian heavy metal Megadeth benar-benar tegak menjulang. Megadeth -- pelesetan dari kata "megadeath" atau diskripsi dari arti satu juta kematian yang dinukil dari buku populer On Thermonuclear War terbitan tahun 1960 karya ahli strategi militer, Herman Kahn -- memang benar-benar "mematikan". (Benny Benke-53)

Chrisye

Minggu, 24 September 2006. BINCANG BINCANG

Chrisye:
Saya Menyanyi untuk Melawan Sakit

DI Studio Palem, Jalan Flamboyan 10, Kemang Utara IX, Jakarta Selatan, Chrisye akhirnya meluangkan waktu untuk bertutur tentang aktivitasnya terkini di tengah kesehatannya yang belum pulih benar. Bertepatan dengan hari ulang tahunnya ke-57, 16 September lalu, dia tampak bungah diapit keempat putra-putri dan Yanti, istri setianya. Kesehatan salah satu musisi terkemuka Indonesia itu memang masih memprihatinkan. Kursi roda, dan tongkat penyangga belum bisa lepas dari dirinya. Apa komentar dia tentang album Chrisye Duets?

Berikut petikan perbincangan dengan salah satu legenda hidup musik Indonesia ini. Anda telah menapaki usia ke-57 pada 16 September lalu.

Anda maknai sebagai apakah pencapaian usia setinggi itu?

Memang usia 57 sudah lebih dari cukup untuk dibilang tua. Namun bagi saya, meski sudah tua selama Allah masih mengizinkan untuk berkarya, saya akan tetap menyanyi untuk eksistensi saya di bidang musik Indonesia. Anda tahu sendiri, kesehatan saya sudah tidak seperti dulu lagi. Energi kreatif saya pun tidak sama dengan waktu masih muda. Akan tetapi meskipun demikian, sekali lagi saya akan tetap berkarya dan berkarya. Tentu saja semua itu saya jalankan lewat keridaan-Nya, lewat limpahan kesehatan yang diberikan kepada saya.

Anda telah memunculkan album Chrisye Duets. Apa yang melatarbelakangi pembuatan album itu?

Pertama, perlu Anda ketahui saya sudah banyak bekerja sama dengan berbagai seniman dengan berbagai latar belakang aliran musik. Teristimewa sekali ketika saya berduet atau berkolaborasi dengan penyanyi-penyanyi Tanah Air. Baik dalam satu panggung atau dalam rekaman album. Untuk itulah, saya ingin atau berikhtiar agar duet saya di album-album terdahulu atau yang sudah lama, dikumpulkan menjadi satu, sehingga dapat diingat dan dinikmati kembali oleh pencinta musik Tanah Air.

Ada 16 lagu yang Anda tembangkan. Apa kriteria pilihannya? Adakah nomor-nomor duet lain yang masih tersisa?
Kriteria pemilihan lagu itu sebenarnya sederhana sekali. Yaitu pihak label yang menentukan, lalu saya tinggal menyetujui ke-16 lagu itu. Anda benar sekali. Sebenarnya masih banyak nomor duet yang masih tersisa, tetapi sayang tidak mungkin semuanya disatukan dalam sebuah album. Tidak cukup dalam CD.

Bisa Anda ceritakan kesan-kesan berduet Anda dengan tiap-tiap penyanyi?
Siapa yang paling tua? Siapa yang paling muda?

Ah tentu saja sangat menyenangkan sekali dapat bekerja sama dengan mereka semua. Karena dengan sendirinya menambah wawasan bermusik saya, teristimewa ketika berkolaborasi dengan band atau penyanyi-penyanyi muda. Karena ada aura lain yang...bagaimana saya harus mengatakannya ya.... Intinya saya jadi ikut awet muda ha..ha..ha.. karena mereka yang muda-muda itu kan energinya masih meletup-letup. Itu ternyata di luar kesadaran, membuat saya semakin bergairah. Energi kemudaan mereka membuat saya sehat kembali seperti ketika saya berproses latihan dengan Band Ungu dan Peterpan. Mereka kan muda-muda dan sedang ada di puncak-puncak kreativitas. Adapun yang paling tua ya Tante Titiek Puspa. Lewat lagu "Marilah Menari", saya berduet dengan dia.

Lagu-lagu macam apa saja yang biasanya menarik untuk Anda duetkan?

Wah, kalau masalah itu gampang-gampang susah, karena biasanya ditentukan oleh intuisi. Dan intuisi itu kan nggak bisa dilogika, tapi anehnya biasanya benar. Tapi untuk pemilihan lagu biasanya dilihat dari lirik dan kemasan musiknya. Dan saya pun harus mengetahui dengan benar, tepat dan persis karakter vokal penyanyi yang duet dengan saya, supaya saya bisa memadukan suaranya dengan suara saya. Anda juga pernah berduet dengan penyanyi-penyanyi berbeda untuk lagu yang sama. Lagu "Semusim" kita tahu, pernah Anda nyanyikan bernsama Waljinah dan Berlian Hutauruk.

Apakah Anda harus mengubah konsep bernyanyi saat berhadapan dengan penyanyi-penyanyi yang berbeda?

Oh, tidak, tidak. Saya tidak akan pernah mengubah konsep bernyanyi saya. Yang paling penting adalah mengetahui karakter vokal penyanyi yang hendak berduet dengan saya supaya kami bisa memadukan suara. Anda pasti tahu karakter vokal setiap penyanyi berbeda-beda bukan, sehingga penyatuan atau penyelarasan warna vokal inilah yang menjadi kunci utama dalam sebuah duet. Itu menurut saya.

Apakah Anda menyiapkan lagu-lagu baru juga untuk untuk pagelaran Anda mendatang?

Insya Allah...Insya Allah..Saya tidak berani bilang sekarang! Kita lihat saja nanti. Kalau saya bilang sekarang, nggak surprise dong. Insya Allah... Anda tetap menyanyi saat didera sakit.

Apakah itu upaya untuk melawan sakit?

Ya. Itu memang upaya saya untuk melawan sakit. Karena saya tidak bisa begitu saja menyerah terhadap sakit yang saya derita. Dengan menyanyi lagi meski kesehatan saya tidak seperti ketika saya bugar seperti dulu, saya bisa melupakan sejenak penderitaan yang dicobakan kepada saya. Karena saya tahu, dan keluarga saya juga tahu, pasti ada hikmah di luar ini semua. Kalau pun saya belum bisa menemukan sekarang, pasti pada saatnya nanti akan ketemu dengan sendirinya. Tapi apa pun itu, saya selalu berusaha sebisa mungkin mensyukuri setiap kejadian yang menimpa saya.

Apakah hikmah sakit itu bagi perjalanan karier Anda?

Banyak sekali. Banyak. Karena ya itu tadi, Insya Allah semua ada hikmahnya. Yang paling sederhana ya saya harus istirahat sejenak dari dunia musik yang telah membesarkan saya. Dengan demikian saya jadi lebih dekat dengan-Nya. Lebih dekat dengan keluarga saya juga tentu saja. Ya...ya...bahkan pada saat kesehatan Anda seperti sekarang pun Anda tetap merasa bahagia... Apa yang harus saya katakan.... Saya tetap menysukuri apa pun keadaan saya. Pertambahan usia membuat saya bisa berpikir dari banyak perspektif. Dan akhirnya semua merujuk pada satu hal, yaitu kebijaksanaan. Di tengah proses saya belajar tentang arti dan makna kebijaksanaan itulah, akhirnya saya harus terus melatih diri saya sendiri untuk terus menyukuri apa pun keadaan saya. Jadi, jawabnya, saya harus tetap bahagia. Dan sekarang, seperti Anda lihat sendiri, saya bahagia kan. Meskipun begitu, saya juga tetap berharap, dan berupaya keras supaya kesehatan saya akan pulih nanti.

(Chrisye adalah sosok fenomenal. Album-albumnya yang berderet berikut ini menunjukkan kepiawainnya di bidang musik. Pada 1979 misalnya ia menelorkan Jurang Pemisah dan Badai Pasti Berlalu. Setelah itu muncul pula Sabda Alam, Percik Pesona, Puspa Indah Taman Hati, Pantulan Cinta, Resesi, Metropolitan, Nona, Sendiri, Aku Cinta Dia, Hip Hip Hura, Nona Lisa, Kisah Cintaku, Pergilah Kasih, Cintaku T'lah Berlalu, Sendiri Lagi, Akustichrisye, Kala Cinta Menggoda, dan Millenium III Badai Pasti Berlalu).

Apakah peluncuran album Chrisye Duets ini bentuk terima kasih Anda kepada Tuhan atas kesehatan yang beranjak pulih?

Sebenarnya ini impian beberapa tahun lalu. Hanya... selalu tertunda. Ini juga yang paling lama, karena saya jatuh sakit. Album ini penghayatannya tentu saja beda dari album-album saya kebanyakan. Album ini cenderung religius. Sebagaimana pernah suatu ketika saya membawakan lagu Taufik Ismail, penghayatannya sulit sekali, karena liriknya terlalu dalam. Demikian halnya dalam beberapa lagu di album ini. Lagu "Jika Surga Dan Neraka Tak Pernah Ada" yang saya nyanyikan bersama Dhani Ahmad sangat-sangat memengaruhi kehidupan saya. Bayangkan jika surga dan neraka tidak ada, apakah mungkin kita masih shalat atau sembahyang? Intinya tiap-tuap lagu di album ini mempunyai makna masing-masing.

(Chrisye juga memperoleh banyak penghargaan paling tidak sejak 1986 hingga kini. Penghargaan itu antara lain: MTV Video Music-Best Male Singer 2000, AMI Sharp Award-Penyanyi Solo Terbaik Kategori Pop Progressive, AMI Sharp Award-Album Terbaik Kategori Pop Progressive, MTV Video Music-Video Clip Terbaik Asia Viewrs Choice Award, BASF Award-Penyanyi Legendaris, Double Golden Record, dan Angket ABRI-Penyanyi Kesayangan).

Apa kado yang paling istimewa padai usia ke-57 tahun selain Anda merilis album baru?

Anak saya diwisuda sebagai seorang sarjana. Itu mengharukan buat saya. Karena ternyata saya masih diberi kenikmatan tengah kondisi kesehatan saya yang belum pulih benar ini. Ini kado yang sangat istimewa dan berkesan sekali, karena dia diwisuda tepat pada hari ulang tahun saya. Anda bisa Anda bayangkan, sakit itu tidak bisa diduga, dan sekarang pun saya sedang dalam kondisi pemulihan. Kini tiba-tiba ketika saya masih dipercaya untuk panjang umur, anak sulung saya diwisuda. Ini nikmat sekali.

Harapan Anda terhadap hidup dan album baru ini?

Sederhana. Album ini kan lebih tenang. Semoga juga membuat lebih tenang dan bermakna para pendengarnya. Demikian halnya dengan saya, semoga bisa lebih tenang, ikhlas dan menerima hidup ini apa adanya. Insya Allah semoga recovery kesehatan saya akan kembali seperti semula. Dengan demikian saya bisa kembali menyanyi. (Benny Benke-35)

Pramudya Ananta Toer

Senin, 06 September 2004. BUDAYA

Novel Pramoedya Difilmkan

MESKI semakin kelihatan renta dan kepayahan, Pramoedya Ananta Toer (79) ternyata masih menyimpan api di dadanya. Mau bukti? Ajaklah mantan anggota pleno Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) ini berbicara tentang susastra. Niscaya penulis berbagai karya sastra yang telah diterjemahkan dalam 30 bahasa ini akan antusias menyambutnya. "Tentu saja saya senang sekali dengan maraknya buku sastra yang dijual dewasa ini," katanya sesuai memberi sambutan dan membuka secara resmi toko buku QB World Book di bilangan Semanggi, Jakarta, Jumat (3/9). "Waktu zaman saya, buku sastra sebanyak 3.000 eksemplar baru akan habis dalam masa lima tahun. Tapi sekarang, dalam jumlah yang sama bisa sold out dalam waktu hanya 3 bulan," imbuhnya dengan binar di paras keriputnya. Menurut penerima penghargaan Magsaysay Award (1995) dari Filipina ini, indikasi dari kemajuan sebuah bangsa di tentukan oleh maraknya bacaan susastra. "Karena di negara maju bacaan sastra menjadi sesuatu yang diwajibkan. Meski tentu saja tetap ada buku yang bagus dan buku yang tidak bagus. Jadi biarkan masyarakat yang memilih," imbuhnya. Ketika disinggung mahalnya harga buku sastra yang beredar di pasaran dewasa ini, Pram yang masih gemar menghisap berbatang-batang rokok itu menjawab: "Harga mahal itu bukan urusan pribadi, tapi urusan fluktuasi. Jadi ini masalah negara". Ketika kembali dikejar pertanyaan perihal salah sebuah novel masterpiece-nya yang hendak difilmkan, dengan sigap ia pun menjawab: "Memang, Bumi Manusia akan difilmkan dalam waktu dekat. Saya telah tanda tangan kontrak bulan ini. Tapi saya lupa dengan siapa ya namanya. Sekarang sudah terlalu sulit mengingat nama," katanya. Dia lupa nama produser dan sutradara yang hendak memfilmkan novelnya. Namun demikian Pram yang sengaja membangun rumahnya di daerah Bogor hingga enam lantai itu tidak lupa dengan nilai kontrak yang didapatkannya, "Jangan ditulis jumlahnya ya. Nanti ada yang menjahili saya," katanya yang telah memberikan anjuran kepada sang sutradara agar skenarionya ditulis oleh Parakitri. Ya, salah seorang sastrawan terkemuka Tanah Air yang tersisa ini memang membuat sebuah catatan yang panjang terhadap perjalanan berbangsa dan bernegara lewat karya-karya masyhurnya. Sehingga tidak berlebihan ketika Pram memukul gong sebagai tanda secara resmi dibukanya toko buku milik Richard Oh ini. Para sastrawan lainnya yang hadir seperti Hamzad Rangkuti, Sitor Situmorang, Danarto serta Sitok Srengenge, Djenar Maesa Ayu, Romo Mudji Sutrisno, dan Yenny Rosa Damayanti memberikan aplaus panjangnya sebagai penghormatan atas dedikasinya dalam dunia sastra. (Benny Benke-81)

Romo Mudji 3

Bincang Bincang. Minggu, 14 Desember 2003

Mudji Sutrisno
Rakyat Ingin Bernostalgia dengan Rezim Lama

PEMILU 2004 bakal dikepung oleh kekuatan Orde Baru? Pertanyaan semacam itu layak dilontarkan kepada Prof Dr FX Mudji Sutrisno yang selain aktif mengamati kondisi sosial politik Indonesia juga pernah menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU). Tak mudah bercakap-cakap dengan rohaniwan yang kelewat sibuk itu. Namun, syukurlah, sehari menjelang keberangkatan ke Yunani dalam rangka mengikuti YunanIndonesia Ar(t)chipelago -ajang olimpiade kebudayaan- di Athena dan Corfu, pada pagi yang masih menyisakan dingin, budayawan dari ''kesunyian katedral'' itu bersedia berbincang-bincang dengan Suara Merdeka di Johar Baru, Rawasari, Jakarta. Berikut petikannya.


Pemilu 2004 bakal dikepung oleh kekuatan Orde Baru. Benarkah?


Dipandang dari sudut pemerintahan, sejak 1998, Orde Baru yang dilengserkan sebenarnya hanya Soeharto. Seluruh watak pengelolaan kekuasaan, sistem, dan orang-orangnya nggak ada satu pun yang dilengserkan. Jadi, watak Orde Baru jalan terus. Karena hanya Soeharto yang dilengserkan dan pemerintahan yang baru hasil Pemilu 1998 -Gus Dur dan Mega- tidak berhasil berkonsolodasi, muncullah kesangsian-kesangsian. Pertama, ada yang mengatakan reformasi sesungguhnya jalan di tempat.


Yang kedua, orang baru sadar, betapa yang dibutuhkan rakyat hanya soal keamanan dan perut yang terisi dengan baik. Rezim yang sekarang dan sebelumnya tidak berhasil dalam dua soal itu. Karena itu, nuansa nostalgia atau keinginan kembali ke rezim yang lalu sangat terasa di kalangan rakyat. Dalam pandangan mereka, kecukupan itu dipenuhi oleh rezim lama. Kalau kita lihat dalam lapis ekonomi, selama 32 tahun Soeharto berkuasa, secara de facto masyarakat mendapatkan rasa aman meski semu. Ekonominya pun tercukupi. Jadi, krisis yang menimpa kita pada 1997 sebenarnya hanya menimpa yang makro. Rakyat biasa belum merasa betul-betul terkenai krisis.


Mereka baru menyadari krisis itu setelah utang, KKN, dan korupsi terjadi. Dan tragisnya bagi rezim Megawati, rakyat baru menyadari sekarang. Dengan kata lain, baru sekarang rakyat mengalami situasi yang berat itu. Akibatnya, rakyat ingin bernostalgia dengan rezim lama. Ini analog dengan zaman ketika secara resmi Indonesia baru merdeka pada 1949. Selama masa transisi -1945 hingga 1949- rakyat lebih merindukan kembali ke suasana normal saat dijajah Belanda. Analogi dari rakyat kecil inilah yang tidak dibaca oleh para pemimpin reformasi. Inilah kegagalan para pemimpin yang tidak mampu membaca kebutuhan rakyat. Rakyat hanya mengingikan rasa aman dan kebutuhan ekonomi tercukupi. Hal semacam itu sebenarnya sudah diberikan Soeharto pada 1965. Rakyat lebih dulu diberi makan, meski tak ada kebebasan. Kebutuhan utama itu kan fisik. Setelah itu baru kebebasan. Bagaimana bisa bebas kalau kebutuhan perut tidak beres?


Lalu partai-partai apa saja yang ditengarai membawa kepentingan Orde Baru?


Sebenarnya 24 partai yang ada sekarang terbagi dalam tiga indikasi. Pertama, semakin menipisnya motivasi ideologis, dalam arti agamais. Yang Islam makin kecil. Katolik hampir tidak ada yang masuk. Kristen diwakili Partai Damai Sejahtera. Lalu yang ideologinya Pancasila atau nasionalis kebangsaan tetap ajek. Yang berideologi kemananusiaan atau demokratisasi juga belum beranjak. Jadi secara ideologis, yang agamais mengecil, Pancasilais tetap. Jika dipandang dari model penawaran kesejahteraan, sesungguhnya kita set back. Kenapa? Karena yang dipamerkan justru KKN. Semua perundangan yang dipakai hanya untuk memperkaya diri. Karena itu, rakyat muak pada tokoh-tokoh politik. Fenomena yang ketiga, secara kultural, sebenarnya tidak terjadi pendidikan politik, baik oleh parpol yang berafiliasi dengan kekuatan Orde Baru maupun parpol seperti PDI-P atau Golkar baru. Rakyat pun akhirnya bingung.


Jadi, apakah partai Orde Baru itu kembali? Jangan lupa, dalam politik praktis, partai-partai reformis yang ada dan mengatasnamankan dirinya reformis ini sebenarnya miskin pengalaman. Yang canggih berpolitik di lapangan adalah partai-partai Orde Baru. Anda bisa melihat pada 1998 mereka semua tiarap dan masuk ke semua partai. Mereka masuk lewat jalur keorganisasian yang tidak (terkena) krisis. Yaitu tentara atau jenderal-jenderal yang dibesarkan oleh Soeharto. Kini mereka membentuk partai formal dan konkret semacam partai Pak Hartono, Partai Karya Peduli Bangsa. Dua hal yang bisa dilihat di sini, dalam penyebaran ide, mereka hampir menguasai semua media massa dan televisi. Caranya meluncurkan, menimbulkan banyak pertanyaan sehingga membuat pers memburu, termasuk mengejar Tutut. Ini sebuah berita yang menarik kan?


Di balik proses ini, secara politik PDI-P masih teramat muda. Mereka pubertas terhadap kekuasaan, kursi, dan uang. Sebaliknya, partai-partai yang berafiliasi dengan Orde Baru cenderung matang dalam bergerilya politik. Yang menarik, kajian-kajian analisis intelektual dari para ahli, termasuk dari luar negeri, mengenai proses demokratisasi di Indonesia akan luput semua. Karena apa? Agen perubahan kan ada tiga, yaitu agency, masyarakat atau tokoh, dan sistem atau rasionalitas politik di Indonesia. Sayang semua salah urus. Kita ini cuma jadi generasi last minute, generasi kebut semalam. Itulah yang saya lihat dalam pemilu kali ini. Persiapannya serba tergesa-gesa. Semua asal jadi.


Apakah ini merupakan wujud dari kematian Orde Reformasi?


Orde Reformasi sudah terpencar-pencar dan tidak mampu. Ibaratnya, pada 1998 kekuatan mahasiswa sudah mampu merobohkan rumah. Namun mereka tidak siap mendirikan rumah (baru). Dasarnya juga tidak diubah dan orang-orang yang diharapkan dapat membangun rumah itu tidak disiapkan. Maka ketika rumah tak segera dibangun, pembangun-pembangun lama dari Orde Baru datang lagi. Buat saya Orde Reformasi mati suri. Platform partai-partai yang ada sekarang apakah cenderung senada atau malah saling bertentangan? Indonesia masih butuh empat sampai lima kali pemilu. Berarti butuh satu generasi. Meski demikian ada dua syarat yang harus dipenuhi. Pertama, mesti ada pendidikan politik, yaitu politik kesejahteraan. Artinya semua terlibat untuk memikirkan kesejahteraan. Dengan harapan rumah baru ini dapat kita diami dengan segala pluralitas. Jadi tidak dikaveling dengan perundangan-undangan menurut agama tertentu. Ibarat musik ya ''Simponi Indonesia'' yang tidak dimonopoli oleh sebuah alat musik.


Kedua, mesti ada agenda-agenda perubahan. Kalau kemarin ada tujuh agenda reformasi, sekarang yang paling pokok berantas KKN. Karena kalau itu tidak dibereskan, rezim mana pun tidak akan mendapat kepercayaan. Sekarang diperparah oleh ketidakpercayaan antarkita yang semakin akut. Tidak ada trust rakyat kepada penguasa. Karena rakyat hanya percaya kepada dirinya sendiri, terjadilah anarkisme sekaligus bersamaan dengan krisis ekonomi serta tidak ada lapangan kerja. Rezim Mega tidak menjawab problem pengangguran yang tahun depan mencapai 40 juta! Rezim ini tidak juga menjawab soal pemberantasan KKN.


Bagaimana dengan kemunculan partai yang tidak terpuaskan oleh partai induk. Tidak suka PDI-P kemudian membuat partai bergaya marhaenisme. Tidak suka Golkar, membuat partai lain? Apakah mereka hanya berfungsi sebagai penggembos?


Pertanyaanya adalah mengapa muncul banyak partai begitu Soeharto diturunkan? Pertama, ada gejala dis-trust, karena kita paling tidak belajar mengenai perbedaan pendapat. Politik itu kan sebuah konsensus, wacana, dan dialog yang harus merelakan sebagian kepentingan untuk kepentingan bersama. Jadi, politik di Indonesia ini teramat sangat sarat kepentingan. Kalau kepentingan saya tidak sama dengan kepentingan Anda, saya akan membuat partai politik. Yang kedua, orang mengira partai politik adalah sebuah panggung, performance ekspresi aktualisasi dari masing-masing kepentingan ego atau kelompok. Anda bisa lihat perpecahan pun ada di mana-mana. Mulai dari perkumpulan lawak, perguruan tinggi, seniman, gereja, sampai pesantren. Artinya apa? Tenggang rasa untuk menghormati perbedaan sama sekali tidak ada.


Apakah hal ini juga terjadi di dunia Barat?


Mereka masih bisa tertolong karena masih ada pendidikan politik. Pendidikan politik dengan perbedaan multikulturalismenya masuk ke Indonesia hanya sebagi snob. Kita ikut modenya, hanya mengambil bajunya, retorika, dan festivalnya, tetapi tidak intinya. Lihatlah pada tiga anak Soekarno. Rakyat biasa pun bisa menilai. Ahli politik dari mana yang dapat menjelaskan fenomena ini? Kalau dulu Soekarno sebagai founding father menyatukan nasionalis, agamis, dan sosialis, kini anak-anaknya malah memberikan contoh bahwa di keluarga pun mereka tidak dapat menjadi satu. Perpecahan itu malah dibawa ke tingkat nasional. Dari sini bisa dilihat, sebenarnya yang mereka perjuangkan hanya kepentingan masing-masing. Inilah mengapa kita masih butuh satu generasi lagi agar kita dapat menghargai politik perbedaan dengan value atau nilai yang menyatakan betapa setiap hidup bersama harus disertai toleransi terhadap perbedaan. Saya berharap tujuan kepentingan bersama menjadi hukum yang tertinggi, suprema lex. Yang terjadi di Indonesia, semua orang mencurangi kepentingan bersama demi kepentingan sendiri-sendiri.


Sebenarnya realitas politik yang ada di Indonesia, jika dilihat sejak zaman kolonial atau kerajaan, partai politik yang ada sekarang adalah metamorfosis sesuatu yang ada pada zaman dulu. Mereka semua feodalistik dan memperjuangkan kepentingan sendiri. Kalau dulu raja terhadap bawahan, sekarang partai politik pada perangkat atau birokrasinya. Mereka hanya ingat pada rakyat saat pemilu.


Melihat fenomena yang sangat memprihatinkan ini, apakah ada partai yang ideal untuk kondisi Indonesia sekarang?


Idealnya partai politik menjadi tempat pendidikan politik, tempat yang memungkinkan rotasi kepempimpinan senantiasa berganti, supaya kemajemukan terakomodasi. Pada model arisan yang tidak demokratis saja terjadi rotasi siapa yang dapat arisan berikutnya. Nah, kenyataannya, partai politik mereka ambil sebagai kendaraan untuk berkuasa. Kalau perlu dengan KKN. Partai politik dengan model ini tidak bertanggung jawab langsung kepada rakyat, tetapi pada pemberi kekuasaan. Dulu sebenarnya partai model seperti ini pernah berhasil pada waktu awal kemerdekaan, ketika Soekarno membuat PNI dengan basis massa. Hatta dan Sjahrir membuat PNI dengan basis kader. Kenapa berhasil? Karena mereka memperjuangkan kepentingan bersama. Namun begitu dibuat Golkar, terjadi refeodalisasi dan repaternalisai dari nilai kekeluargaan yang disatukan sebagai kendaraan, kursi, kekuasaan, dan kepentingan.


Apakah dari 24 partai yang ada sekarang tidak ada sama sekali yang mirip dengan PNI pada massa awal kemerdekaan itu?


Tidak ada sama sekali! Meski model itu dicoba dalam tiga partai: partainya Ryass Rasid, PIB (Partai Indonesia Baru)-nya Sjahrir, dan PNBK (Partai Nasionalis Banteng Kemerdekaan)-nya Eros Djarot. Tiga partai ini sebenarnya mencoba mengombinasi antara elitisme partai sosialisme model Sjahrir, kaderisasi dalam PIB, partai massanya model Bung Karno yang menyuarakan suara rakyat, yaitu PNBK. Tetapi apakah mereka akan berhasil? Sejarah yang akan membuktikan proses mereka.


Dalam sebuah diskusi Anda pernah mengutarakan pentingnya kesalehan spiritual? Bisa dijelaskan lebih lanjut?


Setiap putusan politik sebaiknya senantiasa diimbangi oleh kaidah baik buruk untuk komunitas bersama. Hatta menjadi simbol asketisme politik atau moralitas politik. Ini dihayatinya ketika ia menunda untuk menikah sebelum bangsa ini merdeka. Ini artinya ia menghayati sebuah politik demi merdekanya bangsa ini. Yang tidak ada sekarang adalah asketisme itu. (Benny Benke-72c)

Romo Mudji (Bincang Bincang)

Bincang Bincang. Minggu, 14 Desember 2003

Romo Funky yang Memayu Hayuning Bawana

KESEDERHANAAN dan kebersahajaan teramat lekat dengan laki-laki kelahiran Surakarta, 12 Agustus 1954 ini. Franciscus Xaverius Mudji Sutrisno memang tumbuh di lingkungan guru. Pada masa kecil dia terpana pada pada seorang Romo. Dalam pandangan dia, seorang Romo dapat ''masuk'' dan bersaudara dengan segala lapisan masyarakat sembari menularkan ilmunya. Kini, jangan pernah meragukan kredibilitas Guru Besar Bidang Filsafat Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara ini dalam dunia pendidikan. ''Saya pernah mengajar dari anak TK (Taman Kanak-Kanak), SD, SMP, SMU hingga perguruan tinggi.'' Apa yang dia ampu? ''Saya mengampu pelajaran menggambar di TK dan SD. Di banyak kesempatan saya kerap bertemu bekas murid TK yang sudah jadi. Saya sudah lupa pada paras mereka. Mereka yang biasanya mengingatkan...,'' kenang dia. Pada suatu hari, penulis puluhan buku yang meyakini ide itu ''berkaki'' ini memang memutuskan masuk ke Sekolah Seminari. Dia kemudian mengasah kemampuan berfilsafat dan teologi di IKIP Sanata Dharma Yogyakarta, pada 1977. Akhirnya dia menajamkan pendidikan S2 dan S3 di bidang Filsafat di Universitas Gregoriana Roma, pada 1980 dan 1987. Berhenti sampai di situ? Belum. Pada 1990 Romo funky ini juga merampungkan Summer Course Religion & Art di Ichigaya Sophia University of Tokyo, Jepang.

Seperti Air

Dan kecintaan serta pengabdiannya pada dunia pendidikan semakin dibuktikan dengan memilih mundur dari anggota KPU (Komisi Pemilihan Umum) beberapa waktu lalu. ''Dunia pendidikan kita sedang krisis, bukan karena sistemnya saja. Pendidikan di Indonesia menjadi juga jadi ajang rebutan politik aliran kepentingan,'' katanya sembari mengkritik para politikus yang terus saja ber- STMJ. STMJ bukan minuman enak melainkan kependendekan dari Sembahyang Terus, Maksiat Jalan. Meneguhi bahwa ilmu itu seperti air, pendiri Persatuan Sepak Bola Anak Guru berkeyakinan ilmu dapat menghilangkan rasa haus orang lain. ''Kalau Anda berikan air itu kepada orang yang haus pasti menyegarkan. Demikian pula air yang ada di gunung-gunung pasti menghijaukan semua. Jadi tidak ada ilmu yang Anda berikan akan muspra,'' katanya. Pengagum Romo Mangunwijaya dan Soedjatmoko ini juga menjunjung tinggi mantan guru-gurunya di SD Pangudi Luhur Surakarta. ''Mereka kalau menghukum itu memberikan kertas dan pensil berwarna, sehingga kita bisa melukis. Apakah ada guru sekarang yang menerapkan itu? Bahkan dalam ilmu bumi kami sengaja diarak, ke museum, ke Radya Pustaka. Jadi, ilmu buminya tidak hafalan. Bahkan senam pun diiiringi gamelan.'' Dia menambahkan dalam pendidikan yang paling utama adalah rasa dan religiusitas yang tidak fanatik. ''Mesti humanis,'' tandas dia. Sebagai pengajar Moralitas Etika di Fakultas Kedokteran dan Kedokteran Gigi pada Universitas Indonesia, Romo Mudji menekankan pendidikan harus memahami betul rasa dan kejiwaan siswa dari TK hingga Perguruan Tinggi. Dan sebagai konfirmasi terhadap 18 tahun masa pengabdiannya pada dunia pendidikan gelar Profesor telah diterima. ''Pendidikan itu semestinya memayu hayuning bawana; memperindah realitas. Dengan demikian nilai humanisi dalam pendidikan akan mampu mengubah makna homo homini lupus menjadi homo homini socius,'' (Benny Benke-72)

Romo Mudji S

Rabu, 12 Desember 2007. BUDAYA

Puisi Beribu Makna

Non solo nel credere Non basta col parlare Non basta col vedere e pensare Ma NEL VIVERE ,

STANZA yang dinukil dari ungkapan Itali yang berarti tak cukup hanya beriman, tak cukup hanya bicara, tak hanya menonton dan menimbang saja, namun dengan menghidupinya itu dilengkingkan dalan bait lagu oleh Castanet. Duo yang mengaransemen puisi Romo Mudji Sutrisno itu memberikan makna tersendiri. Dalam sajak "Beriman", misalnya, pesan budayawan dan pemikir kelahiran Surakarta 53 tahun lalu itu terasa lebih mengena dan bernyawa dalam balutan musik. Tak berlebihan ketika Sita Nursanti, yang tenar lewat RSD, membungkus sajak "Sunyi" dari buku sajak Mudji yang lain berjudul Sunya serta "Gerhana I" dapat menyirep penonton dalam nada himne. Begitu pula ketika penyanyi jazz Syahari mengemas sajak "Redup Gempa" dan "Tragedi Bumi" dalam kemasan art rock yang dekat dengan nuansa jazzy. Lagi-lagi, puisi yang dimusikalisasi sedemikan rupa itu lahir kembali dalam aras tersendiri.

Jalan Seni

Arswendo Atmowiloto yang hadir dalam peluncuran buku puisi dan sketsa Rekah Lembah karya dosen Sekolah Tinggi Filasafat Driyarka Jakarta dan Pascasarjana UI itu berujar, "Jalan seni itu berbeda dari dogma agama." Karena itu, seni punya logika dan estetika yang tak bisa disamakan dalam memandang agama. Meski sang kreator seorang imamat seperti Romo Mudji Sutrisno sekalipun. Pisi dan sketsa penulis puluhan buku filasafat itu lahir atas pergulatan dalam menyerap, memaknai, dan menyiasati persoalan hidup dengan ketajaman hati. Puisi dipilih sebagai perayaan atas kemenangan nilai kemanusian lintas iman, mengatasi sekat agama. Mengapa Romo Mudji memilih puisi dan sketsa dalam buku yang dirilis di Galeri Nasional Jakarta itu? "Karena, ketika saya susah mengungkapkan pergulatan hidup lewat sastra, puisilah yang dapat mewakili. Ketika kata tak mampu lagi mengungkapkan perasaan saya, lahirlah sketsa," ujar Mudji. Maka beribu makna puisi dan berjuta arti sketsa itu siap berdiri sendiri dalam estetika yang berbeda dalam balutan musik. Meski bukan ikhwal baru, menghidupkan sajak dalam musik dan memanjangkan gagasan dalam sketsa tetaplah lebih bermakna daripada sekadar diam, tak melakukan apa-apa. (Benny Benke-53)

Rindu Kami PadaMu. Garin N

Senin, 08 Nopember 2004 BUDAYA

Garin Nugroho Tak Lagi Berpuisi

DI sebuah pasar tradisional, lalu lintas persoalan dari orang-orang yang tinggal di dalamnya tidak pernah usai. Dari sana, tiga persoalan dari tiga bocah yang lugu dan lucu menawarkan perenungan. Tak ada yang pelik, tak ada pula tema yang ndakik-ndakik. Dengan bahasa gambar dan komposisi seting menawan, sebagaimana karya-karya Garin Nugroho sebelumnya, Rindu Kami PadaMu menawarkan sebuah alternatif tontonan yang layak bagi segala kalangan. Sineas berbakat itu mengangkat kisah orang kebanyakan. Salah satunya adalah Asih (Putri Mulia), yang senantiasa membuat ayahnya, Pak Sabeni (Jaja Miharja), resah. Asih selalu menyisakan sebuah tempat kosong (shaf) di sebelahnya setiap kali dia sholat berjamaah di Masjid. ''Ini untuk Ibu?'' pekiknya setengah menghardik kepada setiap orang yang hendak merapatkan shaf. Dan akhirnya, shaf kosong yang selalu disisakan oleh Asih kepada ibunya yang pergi entah ke mana itu tetap dibiarkan kosong, meski ''akan mendatangkan setan''. Tokoh yang lain adalah Rindu (Raisa Pramesi). Dia gemar menggambar masjid yang tak sempurna. ''Gambar masjid itu ada kubahnya,'' kata Ibu Imah (Neno Warisman) menasehati Rindu yang tuna rungu. Rindu bergeming dan terus menggambar masjid tanpa kubah. Pak Bagja (Didi Petet), guru ngajinya, berulang kali memberikan nasehat yang sama. Namun, Rindu tak peduli. Ia senantiasa bersikukuh menggambar masjid tanpa kubah. Tokoh ketiga bernama Bimo (Sukarta Harapen Ginting) yang terus berbuat onar dan rusuh kepada Seno (Fauzi Baadila), kakak satu-satunya yang merawatnya. ''Kalau aku nakal dulu ibu tidak pernah memarahiku,'' katanya lantang ketika pada suatu siang ia mengamuk menggegerkan seisi pasar, dengan menghancurkan telur dagangan kakaknya.

Sosok yang Dirindu

Demikianlah film yang meski sarat dengan idiom-idiom pencarian para pelakonnya kepada sosok-sosok yang dirindukan dan dicintainya mengalir dengan ringan. Dengan kekayaan analogi yang akrab dengan kehidupan sehar-hari, unsur religius dalam film yang sepenuhnya digarap di studio ini malah sanggup mengharu biru penonton. Maka, tidaklah mengherankan ketika di akhir cerita, Asih yang terus bersetia menyisakan sebuah tempat kosong setiap kali ia sholat di masjid, akhirnya menjumpai shaf itu telah terisi oleh kehadiran orang yang dirindukan dan dicintainya. Demikian pula Rindu, yang pada akhirnya sudi menggambar masjid dengan kubahnya, setelah akhirnya, kakaknya datang bersama kubah masjid yang telah ditunggu-tunggu seluruh warga pasar. Hal yang sama terjadi pada si bengal Bimo, yang menemukan sosok ibu dari Cantik (Nova Eliza) yang bersedia menerima bertelur-telur cinta dari Seno, kakaknya. Semuanya bahagia di sini. Dan air mata menjadi upahnya. Garin Nugroho biasanya membuat film yang sangat personal dan puitis sehingga sulit ''berdamai'' dengan pasar. Namun, kali ini dia ingin bernarasi secara datar, ringan, cair dengan memprosakan gagasannya. Film ini akan diputar di bioskop-bioskop menyambut Hari Raya Idul Fitri 1425 H. ''Film ini memang saya persembahkan untuk Ibu saya dan semua ibu,'' katanya seusai pemutaran perdana film Rindu Kami PadaMU. Ah, pantas saja hampir semua ibu, perempuan atau bahkan penonton pria menyeka air matanya. Kali ini Garin memang tidak berpuisi. (Benny Benke-63)

Ismail Marzuki

Selasa, 09 Nopember 2004. BUDAYA

Atas Nama Masa Lalu dan Air Mata

RASA patriotisme dan keharuan memang dapat ditimbulkan dari sebuah lagu. Apalagi jika lagu itu dibawakan dengan nuansa yang mengharu biru sekaligus menimbulkan nuansa yang menusuk kalbu. Seperti itulah suasana yang terjadi ketika tembang-tembang abadi milik Ismail Marzuki, salah seorang komposer besar negeri ini, didendangkan di Graha Bhakti Budaya, TIM, Jakarta, akhir pekan lalu. Simaklah ketika Jaya Suprana dengan permainan pianonya mampu membuai dalam '''Tribut to Ismail Marzuki''. Terlebih ketika pianis dan kelirumonolog ini mengantarkan komposisinya dengan menyertakan visualisasi latar berupa nyanyian para politikus, budayawan, dan pekerja seni ketika menembangkan ''Indonesia Pusaka''. Apalagi ketika secara medley, masih dengan iringan Jaya, Aning Katamsi (solis sopran) dan Christoper Abimanyu (solis tenor) memandu ratusan audience meng-hymne-kan tembang yang sama. Sehingga tak syak puluhan penonton meneteskan air mata ketika tembang ini menutup serangkaian malam yang dipersembahkan kepada jasa-jasa Ismail Marzuki bagi dunia musik Indonesia.


Jasa

Tribut ini memang tidak berlebihan mengingat jasa pahlawan nasional kelahiran Kwitang, Jakarta 11 Mei 1914 ini demikian besar. Ismail Marzuki menolak bekerja di Radio Republik Indonesia (RRI) semasa pendudukan Belanda. Dia lebih suka memilih membuka kursus bahasa Inggris di rumahnya, sementara istrinya berjualan gado-gado, mi goreng dan asinan. Komposisi-komposisinya cukup fenomenal meski pada masa sebelumnya, gubahan-gubahan legendaris seperti "Bisikan Tanah Air", "Indonesia Tanah Pusaka", "Gagah Perwira", "Indonesia Pusaka", dan "Rayuan Pulau Kelapa" telah lahir. Sehingga tidak berlebihan ketika Gilang Ramadhan yang memboyong grup jazz-nya, sudi turut mewarnai malam itu. Dengan balutan jaz yang terkadang pekat terkadang ringan, Gilang (drum), Donny Suhendra (gitar), Krisna (piano), Adi Dharmawan (bass) dan Benny Likumahua (trompet) mengiringi Trie Utami dan Edo Kondologit dengan nuansa jazzy nan apik. Tidak terbayangkan di benak ketika tembang ''Tinggi Gunung Seribu Janji'', ''Seribu Malam'', ''Sabda Alam'' dan ''Kopral Jono'' dibalut musik jaz. Terlebih lagi ketika Keroncong Tugu, salah satu grup keroncong tertua di Tanah Air yang didirikan pada 1920 turut memarakkan suasana. Sungguh, malam perhargaan untuk Ismail Marzuki yang melahirkan komposisi terakhir berjudul ''Inikah Bahagia'' dan menghembuskan nafas terakhir pada 25 Mei 1958 di usia 44 tahun ini, sanggup membawa kita ke nuansa masa lalu, lengkap dengan air matanya. (Benny Benke-81)

the legend of reog

Selasa, 5 November 2002 . Budaya

Keseriusan Pentas "The Legend of Reog"

DIBUTUHKAN kecermatan ekstra, untuk menyimak lakon teater berbahasa Inggris: The Legend of of Reog, yang dipentaskan dalam bentuk ketoprak di Auditorium RRI Semarang, Sabtu (2/11) lalu. Dibesut dengan pintar oleh Agung "Kompor" Wibowo, "legenda reog ponorogo" itu dibawakan secara kolosal oleh para pelajar SMU 11 Semarang yang tergabung dalan English Conversation Club (ECC). Sebuah garapan yang serius, meski sisi keaktoran belum bisa mengimbangi penyutradaraan Agung (dibantu Adit Emka sebagai asisten sutradara). Paling tidak, dengan kemampuan pronounciation yang masih "kedodoran", lakon yang melibatkan lebih 40 pemeran dan 20 kru pendukung tersebut belum memiliki roh pertunjukan. Bisa jadi, bahasa (Inggris) sebagai media dialog pementasan justru mengaburkan "roh" budayanya. Sebuah pekerjaan sulit, memang. Sebab, pemindahan budaya ternyata tak otomatis terjadi hanya dengan pengalihan bahasa. Tapi tak apa. Toh meski demikian, lakon ketoprak yang naskahnya ditulis Dra Th M Sudarwati itu tetap berhasil secara pementasan. Terlebih, ilustrasi musik yang di-back-up Bram dari UKM Musik Fakultas Sastra Undip cukup menyelaraskan warna tradisionalnya. ECC memang terlihat serius dalam mementaskan lakon kolosal itu. Setidaknya, beberapa aspek pementasan, seperti kostum, lighting, setting, dan musik, digarap dengan baik. Kondisi itu, mengimbangi garapan pengadeganan yang sebelumnya dilakukan Agung dan Adit. Lakon itu berkisah tentang Raja Lodaya (Singabarong) dan Raja Wengker (Kelana Suwandana), yang jatuh hati kepada Dewi Sanggalangit (putri kerajaan Kediri). Dari pijakan itu, konflik yang muncul adalah pertempuran sekaligus perebutan antara dua raja besar. Dalam pertempuran itu, Suwandana akhirnya menang sehingga berhak menguasai Sanggalangit; sedangkan Singabarong yang menjadi pecundang berubah menjadi reog. Ya, ketorak kolosal tersebut memang berkisah tentang asal-usul kesenian asal Ponorogo Jawa Timur itu.(Benny Benke-41)