Senin, 17 Maret 2008

The Departed

Jumat, 06 Oktober 2006 . BUDAYA
Gebrakan Baru Martin Scorsese
DALAM jagat perfilman dunia, siapa yang berani menyangsikan kepiawaian Martin Scorsese? Salah seorang sutradara besar yang berdampingan dengan Oliver Stone, Bernando Bartulucci, Steven Spielberg, dan Michael Mann, itu kembali menghadirkan karya terkininya. Tidak tanggung-tanggung, lewat The Departed yang diproduserinya bersama Brad Pitt, ia mendapuk aktor-aktor sekelas Leonardo DiCaprio, Matt Damon, Jack Nicholson, Mark Wahlberg, Martin Sheen, dan Alex Baldwin. Hasilnya, sebuah film drama kejahatan yang terinspirasi film Hong Kong Internal Affair (2002) yang dimainkan Andy Lau dan Tony Leung, diracik ulang menjadi sangat Hollywood. William Monahan sebagai penulis skenario dengan pintar mengubah nuansa kepolisian Hong Kong yang aura kejahatan, trik, dan intriknya sangat Asia, menjadi sebuah wilayah baru yang sangat Amerika. Dunia Kejahatan. Segudang pengalamannya yang menghasilkan karya seperti Taxi Driver, The King of Comedy, The Color of Money, The Last Temptation of Christ, GoodFellas, Cape Fear, Casino, hingga The Aviator, membuat The Departed tak perlu dipertanyakan lagi. Lihatlah bagaimana Scorsese mengarahkan para aktor wahid kelas Oscar seperti Leonardo DiCaprio, si gaek Jack Nicolson hingga Matt Damon. Dialog banal namun penuh muatan realitas seolah menjadi cermin keseharian orang-orang yang dekat dengan dunia kejahatan, dihadirkan apa adanya. Dengan latar belakang the Massachusetts State Police Department (MSPD) di Boston Selatan, kisah gelap dunia kepolisian dan dunia kejahatan dihadirkan dengan menawan. Dikisahkan, Frank Costello (Jack Nicholson), seorang bos mafia yang belum tersentuh hukum, ''menanam'' seorang anak didik di MSPD. Collin Sullivan (Matt Damon) sebagai ''anak didik'' Costello pun dengan licik mampu memainkan perannya dengan jitu. Sehingga alih-alih MSPD mampu membekuk Costello, yang terjadi malah sang biang kerok itu senantiasa lepas dari jerat hukum. Untuk mengetahui kiat penjahat kawakan ini selalu lolos dari jerat hukum, disusupkan Billy Costigan (Leonardo DiCaprio), seorang polisi yang mampu menyamar menjadi penjahat dengan sempurna di markas Costello. Kehidupan ganda yang dijalanani Sullivan, sebagai polisi tapi sejatinya penjahat, dan Costigan sebagai penjahat yang sejatinya polisi inilah yang menjadi tulang utama penceritaan The Departed. Dengan bumbu pemanis kisah romansa yang menjadi benang merah pemersatu Sullivan dan Costello, film yang diramal para kritikus film bakal menyabet sejumlah Oscar di Academy Award tahun depan itu mengalir dengan menawan. (Benny Benke-45)

Radical Corps

Senin, 02 Oktober 2006 . BUDAYA
Satu Album Berpuluh Harapan
JAKARTA-Petilan syair tembang berjudul ''Pukima!!!'' karya Pidie Baiq yang dilagukan Radical Corps (RC) bisa jadi mencerminkan ke arah mana idealisme mereka hendak diarahkan. Grup band metal asal Semarang berawak Rudy Murdock (vokal), Yus (drum, perkusi), Nopee (gitar), Enggar (bas, vokal latar) itu meneguhkan kediriannya pada tembang kedua ''The Hope of Papua'' dan ''Shool for a Fool''. Demikianlah tiga tembang berirama metal yang meluncur lewat teknik vokal growling atau menggeram itu menjadi semacam happening art peluncuran album State of Emergency di JK 7 Kemang, Jakarta, akhir pekan lalu. Apa yang membuat bocah-bocah Semarang yang telah bersitekun di jalur musik pemekak telinga itu jauh-jauh merilis album ketiga mereka di Jakarta? Berikhtiar melebarkan sayap popularitas dengan harapan lebih cepat meraih kesuksesan? Atau menguji idealisme bermusik lewat kematangan musikalitas dan kekuatan lirik di jalur metal?
''Memang, bukan pekerjaan gampang menyejajarkan idealisme bermusik dengan kemauan selera pasar,'' ujar Yus. ''Apalagi penikmat musik metal seperti ini sangat segmented di Indonesia, meski tetap ada''. Menurut Rudy, berbeda dengan kemampuan menerima jenis musik apa pun yang ada, di Amerika, di mana album ''State of Emergency'' juga diedarkan, bahkan cenderung lebih bisa diterima. ''Kami juga mengedarkan album ini di Malaysia, selain tidak menutup kemungkinan negara lain yang sekiranya bisa menerima musik kami,'' kata Rudy. Dengan bekal pernah menelurkan album The Unsolved of Euphony Destruction (1998), Born in the Land of Hate (2003) plus tiga single/kompilasi album Panggilan Pulau Puaka (1998), Metalik Klinik 3 (2000), dan Seputribe, A Tribute to Sepultura (2004), RC memang jauh dari kata kacangan. Kematangan . Sepuluh tembang di album ketiga itu semakin meneguhkan kematangan mereka yang telah bertahan lebih dari satu dekade di jalur sepi ini. ''Inilah pilihan hidup kami, tetap bertahan di jalur musik yang kami yakini mampu mewakili kegelisahan kami'' ujar Yus. Tembang-tembang sarat kritik seperti "The Crying Nation", "State of Emergency", "Rage Againts The System", "Human", "The Land Where We're Born", "Fightback for Nature", "There's No Need Religion", dan "Murder Age" memang terkesan berjarak dari selera pasar . Sebagaimana kita maklumi bersama, dengan rumusan musik easy listening, lirik yang mudah diingat, dan kemasan yang menarik, sebuah grup band cenderung lebih bisa diterima pasar. Biasanya grup band yang bertulang musik pop yang merajai wilayah ini. Meski musik dan lirik RC ''berat'' dan oleh karenanya jauh dari kesan cengeng, disadari oleh mereka dari awal tidak akan mudah merebut hati pasar yang cenderung melodius. Tapi berpuluh harap telah dikembangkan dan berjuta mimpi menunggu diwujudkan. Dengan strategi marketing yang jitu untuk menjual diri dengan segala kematangan, tampaknya kesuksesan hanya masalah watu bagi anak-anak Semarang ini. (G20-45)

''Iketeru Harajuku''

Senin, 18 September 2006. BUDAYA
Berdandan ala Remaja Jepang
JAKARTA - Seperti apakah anak-anak muda Jepang menafsirkan mode berpakaian? Dalam kompetisi desain mode eksperimental ''Iketeru Harajuku'', cara berdandan ala anak muda Negeri Matahari Terbit itu terjelaskan. Ada 20 kontestan dari berbagai distro se-Bandung dan Jakarta. Mereka unjuk kreasi masing-masing, akhir pekan lalu, di Hall & Galeri Mini The Japan Foundation, Jakarta. Acara untuk mendukung perkembangan kreativitas anak muda, terutama di bidang seni dan desain, itu berlangsung meriah. Kemeriahan bukan cuma karena lenggak-lenggok 18 model cantik yang mengenakan rancangan para desainer muda berbakat. Lebih dari itu, hasil rancangan aneh-aneh, neka-neka, tak lazim, unik itu telah mencuri perhatian. Menarik. Tengoklah, pakaian ala perang karya seorang desainer. Sang model mengenakan jins kasual, kaus oblong, dan jaket sepinggang dipadu helm pilot pesawat tempur plus senjata M16 buatan AS. Rancangan yang dipakai dara ayu itu tentu lebih pas dipakai prajurit di medan perang. Simak pula dandanan ala bebek atau punk yang berkesan seenak hati. Assistant Director The Japan Foundation, Tsukamoto Norihisa, menyatakan lomba itu sudah lazim di Jepang. Kata iketeruyang digunakan anak muda 10 tahun belakangan ini bermakna cantik atau ganteng. ''Sebagaimana kata mooi di Prancis yang berarti tunas indah, iketeru berarti keren kata anak muda Jakarta,'' ujar dia. Adapun Harajuku adalah sebuah distrik di Jepang yang menjadi pusat mode. Lomba itu melibatkan dewan kurator. Mereka adalah Tsukamoto Norihisa, Ari Seputra, desainer fashion yang pernah menjadi staf pengajar Esmod Jakarta, serta Tiarma Sirait, artis fashion Poleng Studio Bandung. (G20-53)

Antigone

Sabtu, 16 September 2006 . BUDAYA
Mengejek lewat "Antigone"
SOPHOCLES, pencipta lakon Antigone, boleh jadi tak tahu Indonesia. Namun Slamet Rahadjo Djarot menyulap lakon yang diadaptasi Jean Anouil itu menjadi sangat Indonesia. Teater Populer memainkan lakon itu selama tiga jam di panggung Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) pada 15-16 September dengan apik. Dengan pendekatan kontemporer, Slamet mengontekstualisasikan perebutan kekuasaan di Thebes dengan kondisi sosial, politik, dan budaya di negeri ini saat ini. Dia bersetia pada hukum dramaturgi baku. Namun, kostum, musik, dialog, dan setting terasa lintas budaya. Para tokoh kisah, lebih dari 30 orang, menyandang nama Yunani. Akan tetapi pakaian, dialog, iringan musik sangat kekinian. Lihatlah, Haemon, anak emas Creon, penguasa Thebes. Dia berkaus oblong, jins, jaket dan sepatu kulit, serta gesper anak muda terkini. Namun dandanan Ismene, adik perempuan Antigone, bak putri kerajaan. Dia bergaun kuning keemasan menjuntai ke lantai. Para prajurit juga tak berdandan ala Yunani. Bahkan ada yang berkostum bak pecalang di Bali. Rahardjo Djarot, sang narator atau dalang, berkemeja, celana panjang tukang sate madura, jas, dan sepatu sandal. Ada pula adegan semacam gara-gara di tengah keberlarat-laratan dialog panjang sarat pesan moral. Dialog dalam gara-gara yang dimainkan Andi Bersama, Ireng Sutarno, dan Lisna kerap memancing tawa penonton. Padahal, mereka memerankan pengawal setia Creon. Selain itu, saat berdialog, puluhan anjing pun menghantam ketimpangan kondisi sosial dan politik saat ini. Dan musiknya? Terdengarlah suara suling dari Sumatera Barat dan kendang Sunda. Butuh stamina ekstra untuk menikmati tontonan itu. Untung, keaktoran Slamet, Hendro Susanto, dan Ria Probo bisa jadi pelipur. Apalagi Marcella Zalianty pun berupaya memberikan kemampuan akting terbaik. (Benny Benke-53)

Westlife

Rabu, 13 September 2006 . BUDAYA
Westlife Lebih Dewasa
Tepat pukul 20.50, Westlife, kelompok vokal asal Irlandia, menyeruak satu persatu ke panggung temaram. Seketika, tanpa dikomando, sekitar 3.000 penonton yang membeli tiket seharga Rp 400.000 (tribune) dan Rp 500.000 (festival) berseru histeris. Sejurus kemudian Shane, Nicky, Kian, dan Mark yang berkemeja dan pantalon putih langsung menggeber tembang ''Flying without Wing''. Saat intro tembang yang melejitkan empat sekawan yang sekarang menetap di negeri Paman Sam itu, penonton turut menyanyi. Lagu usai, tetapi histeria masih membahana. Permainan cahaya membuat keempat pemuda berusia 28-29 tahun itu makin memesona. Lalu, tembang ''Hit You with the Real Thing'' pun mengalun. Nomor berikutnya ''When You're Looking Like That''. Setelah itu, Mark yang dikenal paling tengil berdialog dengan para penggemar yang tak henti-henti memekik-mekikkan namanya. ''Lima tahun lalu kami datang kemari. Sekarang kami datang lagi kepadamu, Jakarta!'' seru Mark. Suasana menghangat. Keempat pemuda itu lalu menembangkan ''Amazing'' dari album terkini, Face to Face. Penonton yang memenuhi Tennis Indoor Gelora Bung Karno, Jakarta, semalam, didominasi para gadis. Tak ayal, pertunjukan itu bak arena pesta perpisahan anak-anak SMA. Meski, ujar Adrie Subono, promotor Javamusikindo yang tiga kali mendatangkan Westlife, suasana itu tak seheboh tahun 2000 dan 2001. Komplet . Namun konser tetaplah semarak. Sebagaimana ujar Shane di Hotel Mulia, Jakarta, menjelang konser, mereka tak belia lagi. Akan tetapi itu justru menguntungkan. ''Kami tak muda lagi. Begitu pula penonton kami. Namun justru lewat kedewasaan dan energi kami, kami berikan sebuah konser terbaik kepada para pencinta,'' katanya. Di atas panggung, mereka menunaikan janji itu. Dengan koreografi tak terlalu istimewa dan dukungan band pengiring dari Amerika Serikat, toh konser ''Face to Face Asian Tour'' mengalir apik. Apalagi ketika menembangkan ''She's Back/Billy Jean'' yang dipopulerkan Michael Jackson, mereka berdandan ala penyanyi legendaris itu lengkap dengan gayanya. Saat mendendangkan lagu andalan ''Uptown Girl'', mereka pun berganti kostum sulap dengan koreografi komikal. Mereka kembali berganti kostum sportif ketika membawakan ''Addicted to Love''. Mereka lalu menanggalkan jaket saat menembang ''Senorita/Don't Cha''. Ya, boys band yang kerap jadi ejekan para pemain band, terutama kelompok rock, itu telah memberikan suguhan istimewa. Apalagi mereka telah menerima Platinum Award dari Sony-BMG Music Entertainment Indonesia atas penjualan album Face to Face sebanyak 75.000 keping. Dan, kebesaran salah satu boys band dunia itu makin komplet ketika mereka menyanyikan ''You Raise Me Up''. Itulah lagu yang dipopulerkan Josh Groban. (Benny Benke-53)

ROBERTO Benigni

Senin, 11 September 2006 . BUDAYA
Puisi Tak Mati-mati
ROBERTO Benigni datang lagi. Kali ini, lewat karya terbaru Tigre e la neve, La atau The Tiger and the Snow. Film yang disutradarai aktor terbaik Academy Award 1997 lewat film Life is Beautiful itu rampung tahun 2005, tetapi baru diedarkan di Indonesia tahun ini. Tak beda jauh dari Life is Beautiful, film ini mengawinkan drama, komedi, romansa, dan tragedi secara menawan. Berbeda dari alur film Hollywood yang cenderung romantis, pengisahan film ini terbuka. Benigni sebagai sutradara, penulis, dan aktor utama meminjam karakter Attilio untuk menghormati penyair Attilio Bertolucci (1911-2000), ayah sutradara besar Giuseppe dan Bernardo Bertolucci. Attilio adalah ayah yang sangat mencintai anak-anaknya. Cara mengajar dosen mata kuliah puisi di University for Foreigners Roma itu eksentrik, mirip tokoh yang diperankan Robin William dalam Dead Poet's Society. Penyair tak akan pernah mati. Begitu pula syairnya. Attilio yang makin dikenal di Italia terbang ke Bagdad. Kisah perjuangan penyair yang terjebak di tengah peperangan untuk menyelamatkan perempuan pujaan itulah sajian utama film ini. Keharuan, kerinduan, pengorbanan, dan tragedi berbungkus komedi khas Roberto Benigni itu menjadi oase. Ya, oase yang menyegarkan di tengah bombardemen film Hollywood yang arahnya cenderung gampang ditebak. (Benny Benke-53)