Senin, 17 Maret 2008

Antigone

Sabtu, 16 September 2006 . BUDAYA
Mengejek lewat "Antigone"
SOPHOCLES, pencipta lakon Antigone, boleh jadi tak tahu Indonesia. Namun Slamet Rahadjo Djarot menyulap lakon yang diadaptasi Jean Anouil itu menjadi sangat Indonesia. Teater Populer memainkan lakon itu selama tiga jam di panggung Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) pada 15-16 September dengan apik. Dengan pendekatan kontemporer, Slamet mengontekstualisasikan perebutan kekuasaan di Thebes dengan kondisi sosial, politik, dan budaya di negeri ini saat ini. Dia bersetia pada hukum dramaturgi baku. Namun, kostum, musik, dialog, dan setting terasa lintas budaya. Para tokoh kisah, lebih dari 30 orang, menyandang nama Yunani. Akan tetapi pakaian, dialog, iringan musik sangat kekinian. Lihatlah, Haemon, anak emas Creon, penguasa Thebes. Dia berkaus oblong, jins, jaket dan sepatu kulit, serta gesper anak muda terkini. Namun dandanan Ismene, adik perempuan Antigone, bak putri kerajaan. Dia bergaun kuning keemasan menjuntai ke lantai. Para prajurit juga tak berdandan ala Yunani. Bahkan ada yang berkostum bak pecalang di Bali. Rahardjo Djarot, sang narator atau dalang, berkemeja, celana panjang tukang sate madura, jas, dan sepatu sandal. Ada pula adegan semacam gara-gara di tengah keberlarat-laratan dialog panjang sarat pesan moral. Dialog dalam gara-gara yang dimainkan Andi Bersama, Ireng Sutarno, dan Lisna kerap memancing tawa penonton. Padahal, mereka memerankan pengawal setia Creon. Selain itu, saat berdialog, puluhan anjing pun menghantam ketimpangan kondisi sosial dan politik saat ini. Dan musiknya? Terdengarlah suara suling dari Sumatera Barat dan kendang Sunda. Butuh stamina ekstra untuk menikmati tontonan itu. Untung, keaktoran Slamet, Hendro Susanto, dan Ria Probo bisa jadi pelipur. Apalagi Marcella Zalianty pun berupaya memberikan kemampuan akting terbaik. (Benny Benke-53)

Tidak ada komentar: