Jumat, 21 Maret 2008

Ungu

Selasa, 31 Oktober 2006. BUDAYA
Seruan Damai Ungu
Niat baik bisa disampaikan siapa saja, lewat media apa saja. Ungu, misalnya, tahu betul bagaimana menyampaikan salam perdamaian lewat aksi panggung. "Konser Salam Lebaran" di Lapangan Karebosi, Makassar, Minggu (29/10) malam, menempatkan band yang diawaki Pasha, Oncy, Makki, Rowman, dan Enda sebagai pemuncak acara. Saat itulah mereka tak cuma unjuk kebintangan. Mengetahui sekitar 10.000 penonton mengelu-elukan mereka, Pasha, vokalis yang jadi motor grup itu, menyeru salam perdamaian. ''Apa karebo Makassar? Malam ini, semoga saudara-saudara kita yang melakukan perundingan damai di Poso, Sulawesi Tengah, mencapai kesepakatan. Jadi, tak ada lagi pertikaian antara umat Islam dan Kristen,'' ujar dia dari atas panggung. Tanpa komando, Cliquers atau pencinta Ungu berseru, ''Amin!'' Sejurus kemudian, Pasha melantunkan tembang ''Tak Perlu'' dalam konser yang juga menampilkan Garasi sebagai grup pembuka itu. Aksi Ungu di Kota Butta Anging Mammiri itu adalah pemuncak "Konser Salam Lebaran" yang digelar tiga hari berturut-turut 27, 28, dan 29 Oktober. Pada malam bersamaan di Palembang tampil Ari Lasso dan Tipe-X, Surabaya Samsons dan Caffeine, serta Banjarmasin Radja dan Utopia. Sangat Dikenal. Ungu yang tampil di Makassar boleh berbangga diri. Bukan cuma lantaran tembang mereka, seperti Berikan Aku Cinta, Andai Ku Tahu, Tercipta untukku, Selamat Lebaran, Surga-Mu, Sejauh Mungkin, Aku Bukan Pilihan, dan Bayang Semu, sangat dikenal para pencinta. Namun, karena konser yang digagas Gudang Garam dan 18 Production itu tak ubahnya karaoke massal. Seruan damai dari atas panggung pun kian mengundang simpati mendalam dari para pemuja mereka. Pada saat konser di Lapangan Karebosi, di Poso, Sulawesi Tengah, berlangsung kesepakatan damai yang digagas Wakil Presiden Jusuf Kalla. Dengung kesepakatan damai pun menguar hingga ke seluruh wilayah Sulawesi. Tdak mengherankan jika semua lapisan masyarakat berdoa agar kerusuhan segera usai di tanah Bugis. ''Seruan damai Pasha dan Ungu dalam konser ini sangat menyejukkan,'' ujar Lingkan Diana Bolang dari 18 Production. Dia menuturkan hampir semua penampil dalam konser setiap tahun untuk menyambut Idul Fitri itu menyerukan perdamaian. Ya, Iwan Fals, Slank, Cokelat, Radja, Pas Band, Ada Band yang tampil di 12 kota, termasuk di Tegal, menyerukan salam perdamaian. Di belakang panggung, ketika jam menunjukkan pukul 22.00 Wita, Pasha yang berpeluh menyatakan harapan, semoga perdamaian di Poso menjadi nyata. ''Kami cuma mampu berdoa. Namun, bukankah doa juga yang mampu membuat sesuatunya menjadi nyata?'' (Benny Benke-53)

''Open Season''

Senin, 30 Oktober 2006. BUDAYA
Preview ''Open Season''
Belajar Mandiri dari Grizzly

PELAJARAN bisa datang dari siapa saja dan kapan saja. Tak terkecuali dari seekor beruang besar grizzly dan rusa pandir yang berusaha mempertahankan hidupnya. Lewat film animasi Open Season, Roger Allers dan Jill Culton sebagai sutradara membungkus kisah itu dengan sederhana, yaitu lewat bahasa humor. Dengan bahasa tutur yang sederhana namun mengena, skenario Steve Bencich, Ron J Friedman, dan Nat Mauldin disulap Allers dan Culton dengan sangat bersahaja. Lewat bahasa anak-anak yang dekat dengan kesederhanaan, keapaadaan dan keceriaan, kebijakan diantarkan dalam film tersebut. Hasilnya, kisah menjadi sangat mengena dan pesan kebijakan sampai ke penikmatnya tanpa harus menggurui. Dengan kecanggihan teknologi 3D dari kreator disainer kenamaan Carter Goodrich, Open Season semakin indah secara gambar. Goodrich tercatat pernah turut membidani film animasi laris dan monumental semacam Finding Nemo, Monsters Inc, dan Shrek. Hasil karya ilustrasinya telah menghiasi sejumlah sampul media seperti The New Yorker, Time, Newsweek, GQ, Playboy, dan The Atlantic Monthly. Pengisi Suara . Kelengkapan film yang memang ditujukan untuk pemirsa anak-anak dan keluarga itu semakin pepak dengan hadirnya sejumlah aktor ternama sebagai pengisi suara para tokohnya. Kehadiran Martin Lawrence, Ashton Kutcher, Gary Sinise, Debra Messing, dan Billy Connolly membuat film ini semakin memikat untuk dinikmati. Tengoklah betapa tokoh Boog (Martin Lawrence), seekor beruang grizzly yang tidak mempunyai kekuatan untuk bertahan hidup di alam bebas, bertemu dengan seekor rusa pandir bernama Elliot (Ashton Kutcher). Petualangan dua sekawan yang menganggap dirinya pecundang di lingkungan masing-masing itu kemudian bahu-membahu untuk bertahan hidup di alam bebas, menjadi tulang utama cerita. Kesedihan, kepiluan, kelaraan yang bercampur aduk dengan kelucuan-kelucuan mengantarkan penikmatnya pada arti penting persatuan, kerja sama, dan toleransi. Lewat tokoh Boog dan Elliot lah film ini mengajarkan tentang kebijakan dengan bahasa universal, yaitu bahasa tawa. (Benny Benke-45)

BRIAN DePalma

Jumat, 20 Oktober 2006 . BUDAYA
Preview The Black Dahlia
Kisah Kelam Pembunuhan

BRIAN DePalma kembali lagi. Kini, jawara bercerita melalui film drama klasik bermuatan kriminalitas itu hadir dengan karya terbaru, The Black Dahlia. Film ini tak jauh beda dari masterpiece seperti The Untouchables, Scarface, Carlito's Ways serta suspense thrillers Carne, Dressed to Kill, dan Blow Out. Lewat The Black Dahlia, lagi-lagi dia menyajikan intrik kejahatan para penegak hukum dan bandit eksentrik di AS pasca-Perang Dunia II. Kisah cinta, korupsi, keserakahan, dan obsesi yang tak kesampaian ini berdasar novel James Elroy. Namun terinspirasi oleh kisah nyata pembunuhan seorang gadis cantik secara brutal. Peristiwa itu menggemparkan publik Amerika pada tahun 1947. Bahkan hingga kini pun sang pembunuh tak terungkap. Sang korban adalah Elizabeth Betty Ann Short. Dia bercita-cita menjadi bintang di Hollywood. Publik Amerika menjuluki dia the Black Dahlia. Brian DePalma menyajikan betapa tipis jarak antara kebaikan yang diwakili dua polisi penyelidik kasus itu dan kejahatan yang diwakili kaum eksentrik. Dikisahkan dua personel Los Angeles Police Department (LAPD) ditugasi menyelidiki kasus pembunuhan terhadap Elizabet Betty Ann Short. Gadis 22 tahun yang acap menyematkan kembang di rambutnya itu ditemukan tewas di dekat Leiment Park, pusat kota Los Angeles. Pada 15 Januari 1947 jasadnya ditemukan terbelah dua dari pinggang. Organ tubuhnya dipindahkan dan darahnya dikuras. Mulutnya dirobek dari kuping kanan membelah kuping kiri seperti badut. Diperkirakan sang pembunuh menyodominya. Kisah penyelidikan polisi Lee Blanchard (Aaron Eckhart) dan Dwight ''Bucky'' Bleichert (Josh Harnet) itu disajikan secara kelam, penuh intrik, jalan berliku, misteri, keganjilan. Namun menawan. Film ini bertutur secara runtut, masuk akal, meski kadang melompat-lompat dan tak tertebak siapa jahat siapa baik. Bryan DePalma mengajak penonton memasuki labirin cerita yang tak pernah usai dan penuh misteri. Film ini diperkuat artis peraih Oscar Hilary Swank (sebagai Madeline Linscott) dan artis yang sedang naik daun Scarlet Johansson (Kay Lake). Inilah kisah tentang warga Amerika yang gigih mewujudkan impian. Meski harus mencuri, menjual diri, atau membunuh sekalipun. (Benny Benke-53)

Dang Fathurrahman

Kamis, 19 Oktober 2006. BUDAYA
Dang pun Bertasawuf
JAKARTA - Mungkin belum banyak yang kenal Dang Fathurrahman. Meski, DF atau Dai Funky, julukan dari para sejawatnya, telah menghasilkan tiga album. Lewat album terbaru bertajuk Tentang Jiwa, lagi-lagi Dang pun bertasawuf. Tahun 2001 album perdana Tadzakkuriz Zaman (Merenungi Zaman) menghantarkan dia memperoleh penghargaan pada Festival Musik Tasawuf di Maroko dan Kanada. Lewat album kedua, Madah Rosul (2002), dia kian meneguhkan pilihan pada musik syiar untuk menyerukan kebaikan. Itulah kiprah cucu pemimpin Pesantren Al Falah Biru, Garut, KH Badruzzaman. Kali ini, master lulusan Nanyang University, Singapura, itu menyajikan 12 tembang dalam album terbaru. Tembang-tembang yang lebih banyak menampilkan kedalaman makna lirik berbalut melodi yang kuat. Dia menulis sendiri semua lirik. Menurut pendapat dia, tak ada bahasa terindah selain bahasa Arab. "Saya menyampaikan lagu dengan bahasa yang indah, bahasa Arab. Namun bukan berarti dalam album ini tak ada lagu berbahasa Indonesia," ujarnya di Graha Aktiva, Jakarta, kemarin. Dia mengusung semangat islami dengan mengekspresikan keindahan atau estetika beretika melalui lagu. Tembang-tembang itu meliputi Romadhon Karim, Al Syauk Ilaa Liqoo Al Mahbub (Rindu Bertemu Kekasih), Taubat, Tapak-tapak, Bertanya kepada Bumi, Habibal Qoib, Tentang Jiwa, Syuwayya, Al-Lhaathoh bi AL-hub (Hati yang Dipenuhi Cinta), Madah Rosul, Berkaca, dan Tentang Jiwa (versi rock). Bebi dari EMI yang menaungi album itu menyatakan Dang menawarkan warna baru. "Musikalitas dan kandungan liriknya lebih dalam," katanya. (G20-53)

World Trade Center (WTC)

Rabu, 18 Oktober 2006 . BUDAYA
Kisah di Balik Reruntuk WTC
APA yang dapat membuat seseorang bertahan hidup lebih dari 24 jam, meski tertindih tembok dan puing besi dari sebuah bangunan pencakar langit bernama World Trade Center? Dalam film World Trade Center (WTC) besutan Oliver Stone, kisah kemanusian dua orang polisi Port Authority Police Department (PAPD) yang selamat dari tragedi 11 September dikisahkan dengan mengharukan. Stone yang dengan jitu berhasil membidik tragedi kekalahan Amerika Serikat dalam perang Vietnam lewat film Platoon kembali menghadirkan warna lain dari sudut pandangnya perihal tragedi di menara kembar di New York tersebut. Lewat pendekatan human story, Stone menyingkirkan jauh-jauh keberpihakan politisnya dan memilih berpihak pada kisah kemanusiaan dua polisi PAPD dalam mempertahankan hidup. Inti cerita dari film yang beranjak dari kisah nyata, dari korban yang selamat dari tragedi yang kemudian dikenang sebagai peristiwa Black September itu, sejatinya sederhana. Yakni kisah heroik tentang sebuah daya proses penyelamatan dua anggota PAPD John McLoughlin (Nicolas Cage) dan Will Jimeno (Michael Pena). Keduanya terperangkap di bawah reruntuk gedung WTC pada 11 September 2001 ketika melakukan proses penyelamatan. Menunggu Bantuan . Kisah tentang aktivitas John dan Will selama terperangkap selama 24 jam di bawah reruntuk WTC itu lah yang dikisahkan dengan nanar oleh Stone. Dengan saling berbicara tentang apa saja mulai dari topik keluarga, anak, harapan, kekecewaan, dan cinta sejati, kedua sejawat itu berusaha melupakan apa yang sebenarnya terjadi sembari menungu bantuan tiba. Sementara itu, kisah sedih tentang para istri yang tidak mendapatkan kabar pasti dari suami mereka tercinta dinarasikan tak kalah mirisnya. Donna McLoughin, istri John, dan Allison Jimeno, istri Will, beserta anak-anak dan keluarga besar mereka digambarkan dengan pilu. Sementara ribuan orang yang anggota keluarganya bekerja di salah satu gedung pencakar langit di Manhattan, New York, itu juga dikisahkan menunggu ketidakpastian. Seluruh penduduk di seantero belahan dunia, dari Eropa Barat ke Eropa Timur, dari Eropa Utara ke Eropa Selatan, Afrika hingga Asia juga digambarkan terhenyak mendengar kabar tragis tersebut. Tragedi memang tak mengenal batas suku, agama, ras, antargolongan, atau batas demografi. Stone, setelah menghentak lewat Alexander, kali ini bekerja sama dengan penulis skenario Andrea Berloff, menghadirkan kisah robohnya WTC dalam sebuah versi yang lain. Kisah yang mengharu-biru tentang keberpihakannya pada nilai-nilai kemanusiaan. (Benny Benke-45)

Jan Cornall

Senin, 16 Oktober 2006. BUDAYA
Dongeng Jan Cornall tentang Srengenge
JAKARTA-Meski bukan hal yang baru, apa yang dilakukan penyanyi, penulis lagu, komponis sekaligus novelis Australia, Jan Cornall, terhadap sajak-sajak penyair Sitok Srengenge tetaplah menarik. Di panggung teater Utan Kayu Jakarta, akhir pekan lalu, nyatanya kolaborasi antara salah satu pekerja kesenian Negeri Kanguru, dengan salah satu penyair penting Indonesia itu berlangsung harmonis. Jan, dengan kekuatan interpretatif yang syahdu, berhasil menyanyikan ke-11 sajak Sitok yang dia ambil dari kumpulan puisi ''On Nothing'' dengan menawan. Kemampuan olah vokal yang sebenarnya tidak luar biasa namun berhasil dibungkus dalam komposisi lagu apik besutan Imel Rosalin, pemain jazz dari Bandung, membuat acara bertajuk ''Jan Cornall Sings Srengenge'' itu membuai puluhan penonton. Sajak-sajak Sitok yang kelahiran Dorolegi, Purwodadi oleh Jan disulap menjadi sangat jazz. Bukan jazz yang kental dan pekat sebagaimana yang dimainkan musisi kulit hitam, melainkan jazz yang kontemplatif dan cenderung sedih. Apalagi dengan cara pembawaan yang sangat aduhai meski bersahaja dengan iringan musik minus one, Jan justru berhasil menyanyikan sajak ''Dance of Eucalyptus'', ''He Who Walks Alone'', ''Read Your Body'', ''Lake Biwa'', ''Lover of the Sky'', ''My Butterfly'', ''Only One'', ''Room'', ''Situmorang Sonet'', ''Waiting'', dan ''We Will''. Ke-11 sajak yang dipilih oleh Jan untuk dikomposisi menjadi musik jazz, menurut Sitok, adalah atas pilihan Jan sendiri. Sehingga dengan kemerdekaannya sendiri, penulis naskah teater dan film itu menginterpretasikan kebebasannya dengan seluas-luasnya. Petilan Novel . Yang membuat pertunjukan menjadi lebih menarik adalah ketika Jan mengolaborasikan kerjanya dengan membacakan petilan novel terbarunya, ''Take Me to the Paradise''. Novel itu berkisah tentang Pulau Bali dengan segala keindahan yang bergandengan dengan permasalahan para tokohnya. Ketika lagu perdana usai, ia bak seorang pendongeng yang tekun membacakan beberapa bagian novelnya. Demikian seterusnya sampai tidak terasa ke-11 lagu itu usai dan intisari novel juga usai dikisahkan. Jadi, dalam satu pertunjukan, penikmat mendapatkan tiga pertunjukan sekaligus, yaitu poetry song atau sajak yang dilagukan dalam musik jazz, petilan pembacaan novel, dan kedalaman makna sajak itu sendiri. Setelah pertunjukan, Jan yang juga dikenal sebagai seorang aktor, penyanyi sekaligus penulis lagu di Melbourne Australia sejak 1969 berujar ringan. ''When fine poetry meets fine jazz, a new music was born,''. Ya, ketika sajak yang apik bertemu dengan musik jazz yang menawan, maka lahirlah musik baru. Yakni musik jazz yang ngelangut. (Benny Benke-45)

Iwan Fals

Jumat, 13 Oktober 2006 BUDAYA
Iwan Fals Didaulat Menjadi Presiden
Iwan Fals selama setahun ini rutin mengadakan diskusi reboan di rumahnya, Jalan Leuwinanggung 19, Cimanggis, Depok. Selama itu dia telah menghadirkan 128 pembicara yang membahas 48 tema. Pembicara dari berbagai kalangan. Mereka antara lain Suciwati, Budiman Sudjatmiko, Menteri Olah Raga Adiyaksa Dault, Baby Jim Aditya, Menteri Lingkungan Hidup Rahmat Witoelar, Mira Lesmana, pakar intelijen (mendiang) Djuanda Widjaja, Franz Magnis Suseno, Ully Sigar Rusadi, Christine Hakim, Kak Seto, Tommy F Awuy, Sri-Bintang Pamungkas, dan Egy Sudjana. Kemarin, peringatan setahun forum itu dihadiri lebih dari 700 orang dari Orang Indonesia (OI). Itulah organisasi pencinta Iwan Fals. Hadir pula narasumber dalam forum reboan, misalnya ekonom Faisal Basri, peneliti Hermawan Sulistyo, Egy Sudjana, Djoko Edy Sucipto, dan Butet Manurung. Apa yang mereka bicarakan? ''Apa saja, dari soal pemuda, pergerakan, narkoba, carut marut ekonomi, pendidikan gratis, kesehatan gratis, hingga revolusi,'' ujar Iwan Fals. Menuntut . Dia didampingi sang istri, Rosana, membuka dialog yang dimulai pukul 21.30 bertema ''Membangun Indonesia''. Tiga moderator memandu perbincangan dengan lebih dari 20 pembicara. Setelah lebih dari 90 menit berdiskusi, mereka pun rehat. Dan, itulah yang ditunggu-tunggu: Iwan Fals bernyanyi. Di panggung ayah mendiang Galang Rambu Anarki, Cikal Rambu Basae, dan Raya Rambu Rabbani itu tidak sendirian. Dia didampingi Edy Darome (kibor, piano), Herrie Bucharie (bas), Denny (drum), dan Sonata (gitar). ''Lirik tembang pertama ini dari Mustofa Bisri, terinspirasi ketika Irak akan dan sedang digempur Amerika,'' ujar Iwan sembari menggamit gitar. Tempik sorak memecah keheningan malam ketika lagu pertama usai. ''Lagu selanjutnya 'Sagu Ambon'. Liriknya dari Mas Willy (Rendra-red) ketika tsunami menghantam Aceh." Sejurus kemudian dia pun mendendangkan balada: Daripada bakar masjid/daripada bakar gereja/lebih baik bakar sagu saja/Karena kita bersaudara, lukamu adalah lukaku juga. Penonton terdiam. Para pembicara ternganga. Rosana yang biasa disapa Yos bersama Rayya memandangi suami dan ayah mereka. Sementara itu, Iwan menahan air mata. Lagu usai, sebagian bertepuk tangan, sebagian menahan napas. ''Lagu 'Negara' ini terlahir berdasar interpretasi saya dalam melihat negara.'' Lalu, dengan garang Iwan pun memekikkan tuntutan agar negara menggratiskan pendidikan dan kesehatan serta memberikan rasa aman dan kebebasan kreatif. ''Kalau tidak bisa, bubarkan saja!'' Hadirin bergelora. Semua bangkit dari tempat duduk. Seperti kampanye partai, mereka berseru-seru. Sebagai gong menggemalah tembang kebangsaan OI, ''Di Bawah Tiang Bendera''. Lagu karya Franky Sahilatua dan Iwan itu mengentak malam dalam kor panjang. Usai nyanyian, diskusi memanas kembali. Tepat pukul 24.30 diskusi rampung. Hasilnya? OI dan para pembicara sepakat meminta Iwan Fals jadi presiden. Namun Iwan cuma tersenyum. ''Saya nggak ngerti politik. Saya nggak bisa bahasa Inggris. Saya jadi presiden di setiap konser saya saja,'' ujarnya datar. (Benny Benke-53)

Denias: Senandung di Atas Awan

Kamis, 12 Oktober 2006. BUDAYA
"Denias: Senandung di Atas Awan"
Kisah Nyata Anak Papua

SEJAUH mana tekad seorang anak Papua dalam menuntut ilmu sebagai upaya untuk memperbaiki kehidupan dan masa depannya? Dalam film Denias: Senandung di Atas Awan arahan John De Rantau, perjuangan untuk mendapatkan hak pendidikan itu dikisahkan secara mengharukan. Berbeda dari kebanyakan film Indonesia yang kerap mengangkat tema drama cinta remaja dan horor, Denias yang akan diputar secara serentak mulai 19 Oktober mendatang mengajukan tema pendidikan dengan balutan drama kisah nyata anak-anak Papua. Dalam preview perdana di Jakarta, kemarin, film yang menurut sutradaranya adalah film pertama dengan media 35 mm yang dibuat di Papua, sejak awal memang berangkat dari semangat idealisme. Membutuhkan proses keseluruhan selama tiga tahun, setahun di antaranya untuk riset dan masa syuting mulai 20 Mei hingga 1 Juni 2006, film ini mengambil setting di Wamena dan Timika. Sebagai kisah nyata yang menggambarkan dengan apik bagaimana kehidupan asli masyarakat Papua dan keindahan alamnya, Denias mengemban pesan mulia. ''Betapapun tidak ada mimpi yang tidak bisa diwujudkan,'' ujar De Rantau. Sebagai sutradara yang turut terlibat dalam pembuatan film Ijinkan Aku Menciummu Sekali Saja dan Mencari Madonna yang juga ber-setting Papua, dia yakin filmnya mendapat sambutan positif. Ari Sihasale selaku produser dan pemain menyebutkan, kisah nyata film tersebut berangkat dari pengalaman adik kelasnya yang harus berjalan jauh selama empat hari untuk mencari sekolah dari desanya yang terpencil. Semangat untuk mendapatkan pendidikan dengan balutan alam Papua nan indah inilah yang dicoba untuk disajikannya. ''Ada yang lebih indah dari sekadar pemandangan alam Papua yang menakjubkan, yaitu semangat meraih pendidikan dari masyarakat setempat,'' katanya. Nia Sihasale Zulkarnaen sebagai executive producer mengamini pendapat suaminya itu. Menurut dia, pesan tentang arti penting untuk mendapatkan pendidikan menjadi tema utama Denias. Anak Petani. Film tersebut juga dilakoni peraih Piala Citra 2005 Marcella Zalianty, Mathias Muchus, dan bintang asli provinsi paling timur Indonesia seperti Albert Fakdawer dan Michael Jakarimilena. Kisah berpusat pada Denias (Albert Fakdawer), anak petani di pedalaman Arwanop yang mempunyai mimpi meraih pendidikan setinggi Gunung Jayawijaya. Sepeninggal Mama Denias (Audry Papilaja) dan pulangnya Pak Guru (Mathias Muchus) ke tanah Jawa, dan kawan bermainnya, Maleo (Ari Sahasale), di benak Denias hanya ada satu tekad. Yakni meraih pendidikan di balik gunung yang konon kata Maleo, yang sebenarnya adalah anggota Komando Pasukan Khusus, penuh dengan fasilitas. Maka ditempuh lah perjalanan heroik membelah gunung, sungai, hutan, dan rawa untuk menuju kota. Setelah empat hari dilalui, akhirnya sampailah dia di rumah salah seorang sanak saudaranya. Namun di kota, dia tidak mempunyai seorang kawanpun kecuali gelandangan bernama Enos (Minus Karoba). Bersama Enos lah, Denias berniat masuk ke sekolah fasilitas. Hingga akhirnya, setelah melalui proses drama yang mengaharukan, atas bantuan Ibu Sam (Marcella Zalianty), dan Ibu Asrama (Nia Sihasale Zulkarnaen), Denias dan Enos dapat duduk di bangku sekolah dasar. Semangat pantang menyerah Denias, yang sekarang telah mendapatkan beasiswa dari PT Freeport untuk kuliah di Darwin, Australia, itulah yang digambarkan dengan menawan oleh John De Rantau. (Benny Benke-45)

''Dead or Alive''

Rabu, 11 Oktober 2006. BUDAYA
Preview ''Dead or Alive'' Kisah Dara Perkasa
DEAD or Alive, permainan video game yang laris manis, diangkat ke dalam layar lebar. Sang pembesut adalah Cory Yuan, sutradara dan penata laga ternama di Hong Kong. Dan, jadilah film ini penuh baku pukul, tendang, dan banting sejak awal hingga akhir. Sang sutradara adalah teman seperguruan Jackie Chan dan Sammo. Mereka bertiga adalah trio yang berjaya pada di era 1970-an. Dari tangan Yuan pulalah film aksi komedi Lethal Weapon 4 dan drama aksi Romeo Must Die yang dimainkan Jet Li terlahir. Karya terakhir Yuan adalah film bergenre fiksi sains X-Men. Penyutradaraan Yuan telah terbukti lewat film laris The Black Rose, Mahjong Dragon, High Risk, My Father is A Hero, The Bodyguard from Beijing, Fong Sai-Yuk I, dan Fong Sai-Yuk II. Pembesut tetralogi film yang diperankan Jet Li itu tampaknya akan diuji melalui film terkininya. Lewat Dead or Alive, lulusan Chinese Opera Academy itu mengharmoniskan racikan film Enter the Dragon yang melambungkan Bruce Lee dan Charlie's Angels. Dia berhasil mendapuk para dara ayu nan seksi bertubuh sentosa sehingga mampu berjumpalitan meringankan tubuh. Mereka pun piawai melayangkan pukulan dan tendangan mematikan layaknya dalam film klasik China. Mengalir Ringan. Para pelakon adalah Devon Aoki (bermain pula dalam Sin City dan 2 Fast 2 Furious), Sarah Carter (Final Destination 2), Natassia Malthe (Elektra), Matthew Marsden (Black Hawk Down), Jaime Pressly (Torque), Eric Roberts (National Security), dan Holly Valance (National Lampoon's dan Pledge This!). Film mengalir dengan ringan. Tak ada konflik, trik, muslihat, atau tipu daya yang memperpelik jalinan cerita. Tak ada akhir kisah yang menggetarkan jiwa. Sebagaimana versi permainan videonya, film ini bernarasi dengan datar, hitam-putih, dan tentu (untuk) menggembirakan pemirsa. Alkisah, para jawara bela diri dari seluruh penjuru dunia berkumpul di sebuah pulau. Mereka bakal membuktikan diri menjadi yang terbaik. Dalam permainan Dead or Alive berhadiah utama 10 juta dolar AS, mereka harus bertarung satu lawan lain sampai ke babak final. Bermodal kecantikan, sedikit kehidupan misteri di belakang mereka, permainan ilmu bela diri supercanggih, plus polesan gerakan rekayasa teknologi terkini, mereka mengadu kepiawaian. Mereka mengadu nasib, mempertaruhkan nyawa. Akhirnya tersisa empat dara ayu nan perkasa. Namun ternyata mereka cuma hendak dimanfaatkan untuk kepentingan bisnis pemilik dan pengelola pulau. Pertarungan antara mereka dan pengelola pulau itulah pemuncak film gedebak-gedebuk ini. Sang pemenang, tentu saja, para dara jelita dengan keperkasaan luar biasa. (Benny Benke-53)

Qaisra Shahraz,

Selasa, 10 Oktober 2006. BUDAYA
Diskusi Novel "Perempuan Suci"
Upaya Memahami Perempuan Islam

JAKARTA-Seperti apakah perempuan Islam dalam ranah kebudayaan Pakistan memaknai penderitaan yang ditimpakan padanya? Diskusi novel The Holy Woman karya novelis Inggris asal Pakistan, Qaisra Shahraz, menjelaskannya dengan apik. Novel yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Mizan dengan judul Perempuan Suci itu didedah oleh penulisnya langsung di Galeri Ibuku Kunstkamera, Jl Veteran I/26 Jakarta, kemarin. Novel yang telah memenangi Golden Jubilee Award 2002 itu di mata kreatornya adalah tampikan secara halus kepada dunia internasional ketika memandang perempuan Islam dalam perspektif yang tidak tepat. Menurut Shahraz yang belum lama ini mengikuti Ubud Writer and Reader Festival di Ubud, Bali, Perempuan Suci mengambil latar belakang kultur masyarakat Pakistan yang taat menjalankan hukum Islam. Ketaatan atas nama bakti kepada orang tua yang dikisahkan penulis lulusan Manchester University itu, tidak diuraikan sebagai tragedi atau ironi yang berujung penderitaan. Sebaliknya, ketaatan justru menuntun pelakonnya menemui sebuah pencerahan. ''The Holy Woman menuntun pembacanya untuk memahami perempuan Islam dan pergulatan batinnya dalam memahami kesucian atas dirinya,'' katanya. Pergulatan batin yang penuh perjuangan melawan penderitaan inilah yang dinarasikan dengan bahasa yang sederhana namun mengena oleh Qaisra Shahraz. Burqa. The Holy Woman secara singkat berkisah tentang Zarri Bano, seorang perempuan Pakistan yang dihadapkan pada pilihan sulit dalam hidupnya. Sejak adik laki-lakinya meninggal karena sebuah kecelakaan berkuda, ia "dipaksa" menjadi putri mahkota keluarga besarnya. Dengan konsekuensi meninggalkan kehidupan cinta bersama kekasihnya, Sikander, Bano pun menjadi seorang shahzadi ibadat atau perempuan suci. Dia mengurungkan dirinya ke dalam pakaian burqa dan hanya menyisakan liang kecil untuk matanya saja. Tidak hanya harus menghindari lelaki yang bukan muhrimnya, dia juga menjadi suci secara harfiah, yaitu melupakan keinginannya untuk menikah. Tradisi shahzadi ibadat yang masih menjadi kontroversi itulah yang menjadi polemik menarik dalam novel ini. (Benny Benke-45)

Senin, 17 Maret 2008

The Departed

Jumat, 06 Oktober 2006 . BUDAYA
Gebrakan Baru Martin Scorsese
DALAM jagat perfilman dunia, siapa yang berani menyangsikan kepiawaian Martin Scorsese? Salah seorang sutradara besar yang berdampingan dengan Oliver Stone, Bernando Bartulucci, Steven Spielberg, dan Michael Mann, itu kembali menghadirkan karya terkininya. Tidak tanggung-tanggung, lewat The Departed yang diproduserinya bersama Brad Pitt, ia mendapuk aktor-aktor sekelas Leonardo DiCaprio, Matt Damon, Jack Nicholson, Mark Wahlberg, Martin Sheen, dan Alex Baldwin. Hasilnya, sebuah film drama kejahatan yang terinspirasi film Hong Kong Internal Affair (2002) yang dimainkan Andy Lau dan Tony Leung, diracik ulang menjadi sangat Hollywood. William Monahan sebagai penulis skenario dengan pintar mengubah nuansa kepolisian Hong Kong yang aura kejahatan, trik, dan intriknya sangat Asia, menjadi sebuah wilayah baru yang sangat Amerika. Dunia Kejahatan. Segudang pengalamannya yang menghasilkan karya seperti Taxi Driver, The King of Comedy, The Color of Money, The Last Temptation of Christ, GoodFellas, Cape Fear, Casino, hingga The Aviator, membuat The Departed tak perlu dipertanyakan lagi. Lihatlah bagaimana Scorsese mengarahkan para aktor wahid kelas Oscar seperti Leonardo DiCaprio, si gaek Jack Nicolson hingga Matt Damon. Dialog banal namun penuh muatan realitas seolah menjadi cermin keseharian orang-orang yang dekat dengan dunia kejahatan, dihadirkan apa adanya. Dengan latar belakang the Massachusetts State Police Department (MSPD) di Boston Selatan, kisah gelap dunia kepolisian dan dunia kejahatan dihadirkan dengan menawan. Dikisahkan, Frank Costello (Jack Nicholson), seorang bos mafia yang belum tersentuh hukum, ''menanam'' seorang anak didik di MSPD. Collin Sullivan (Matt Damon) sebagai ''anak didik'' Costello pun dengan licik mampu memainkan perannya dengan jitu. Sehingga alih-alih MSPD mampu membekuk Costello, yang terjadi malah sang biang kerok itu senantiasa lepas dari jerat hukum. Untuk mengetahui kiat penjahat kawakan ini selalu lolos dari jerat hukum, disusupkan Billy Costigan (Leonardo DiCaprio), seorang polisi yang mampu menyamar menjadi penjahat dengan sempurna di markas Costello. Kehidupan ganda yang dijalanani Sullivan, sebagai polisi tapi sejatinya penjahat, dan Costigan sebagai penjahat yang sejatinya polisi inilah yang menjadi tulang utama penceritaan The Departed. Dengan bumbu pemanis kisah romansa yang menjadi benang merah pemersatu Sullivan dan Costello, film yang diramal para kritikus film bakal menyabet sejumlah Oscar di Academy Award tahun depan itu mengalir dengan menawan. (Benny Benke-45)

Radical Corps

Senin, 02 Oktober 2006 . BUDAYA
Satu Album Berpuluh Harapan
JAKARTA-Petilan syair tembang berjudul ''Pukima!!!'' karya Pidie Baiq yang dilagukan Radical Corps (RC) bisa jadi mencerminkan ke arah mana idealisme mereka hendak diarahkan. Grup band metal asal Semarang berawak Rudy Murdock (vokal), Yus (drum, perkusi), Nopee (gitar), Enggar (bas, vokal latar) itu meneguhkan kediriannya pada tembang kedua ''The Hope of Papua'' dan ''Shool for a Fool''. Demikianlah tiga tembang berirama metal yang meluncur lewat teknik vokal growling atau menggeram itu menjadi semacam happening art peluncuran album State of Emergency di JK 7 Kemang, Jakarta, akhir pekan lalu. Apa yang membuat bocah-bocah Semarang yang telah bersitekun di jalur musik pemekak telinga itu jauh-jauh merilis album ketiga mereka di Jakarta? Berikhtiar melebarkan sayap popularitas dengan harapan lebih cepat meraih kesuksesan? Atau menguji idealisme bermusik lewat kematangan musikalitas dan kekuatan lirik di jalur metal?
''Memang, bukan pekerjaan gampang menyejajarkan idealisme bermusik dengan kemauan selera pasar,'' ujar Yus. ''Apalagi penikmat musik metal seperti ini sangat segmented di Indonesia, meski tetap ada''. Menurut Rudy, berbeda dengan kemampuan menerima jenis musik apa pun yang ada, di Amerika, di mana album ''State of Emergency'' juga diedarkan, bahkan cenderung lebih bisa diterima. ''Kami juga mengedarkan album ini di Malaysia, selain tidak menutup kemungkinan negara lain yang sekiranya bisa menerima musik kami,'' kata Rudy. Dengan bekal pernah menelurkan album The Unsolved of Euphony Destruction (1998), Born in the Land of Hate (2003) plus tiga single/kompilasi album Panggilan Pulau Puaka (1998), Metalik Klinik 3 (2000), dan Seputribe, A Tribute to Sepultura (2004), RC memang jauh dari kata kacangan. Kematangan . Sepuluh tembang di album ketiga itu semakin meneguhkan kematangan mereka yang telah bertahan lebih dari satu dekade di jalur sepi ini. ''Inilah pilihan hidup kami, tetap bertahan di jalur musik yang kami yakini mampu mewakili kegelisahan kami'' ujar Yus. Tembang-tembang sarat kritik seperti "The Crying Nation", "State of Emergency", "Rage Againts The System", "Human", "The Land Where We're Born", "Fightback for Nature", "There's No Need Religion", dan "Murder Age" memang terkesan berjarak dari selera pasar . Sebagaimana kita maklumi bersama, dengan rumusan musik easy listening, lirik yang mudah diingat, dan kemasan yang menarik, sebuah grup band cenderung lebih bisa diterima pasar. Biasanya grup band yang bertulang musik pop yang merajai wilayah ini. Meski musik dan lirik RC ''berat'' dan oleh karenanya jauh dari kesan cengeng, disadari oleh mereka dari awal tidak akan mudah merebut hati pasar yang cenderung melodius. Tapi berpuluh harap telah dikembangkan dan berjuta mimpi menunggu diwujudkan. Dengan strategi marketing yang jitu untuk menjual diri dengan segala kematangan, tampaknya kesuksesan hanya masalah watu bagi anak-anak Semarang ini. (G20-45)

''Iketeru Harajuku''

Senin, 18 September 2006. BUDAYA
Berdandan ala Remaja Jepang
JAKARTA - Seperti apakah anak-anak muda Jepang menafsirkan mode berpakaian? Dalam kompetisi desain mode eksperimental ''Iketeru Harajuku'', cara berdandan ala anak muda Negeri Matahari Terbit itu terjelaskan. Ada 20 kontestan dari berbagai distro se-Bandung dan Jakarta. Mereka unjuk kreasi masing-masing, akhir pekan lalu, di Hall & Galeri Mini The Japan Foundation, Jakarta. Acara untuk mendukung perkembangan kreativitas anak muda, terutama di bidang seni dan desain, itu berlangsung meriah. Kemeriahan bukan cuma karena lenggak-lenggok 18 model cantik yang mengenakan rancangan para desainer muda berbakat. Lebih dari itu, hasil rancangan aneh-aneh, neka-neka, tak lazim, unik itu telah mencuri perhatian. Menarik. Tengoklah, pakaian ala perang karya seorang desainer. Sang model mengenakan jins kasual, kaus oblong, dan jaket sepinggang dipadu helm pilot pesawat tempur plus senjata M16 buatan AS. Rancangan yang dipakai dara ayu itu tentu lebih pas dipakai prajurit di medan perang. Simak pula dandanan ala bebek atau punk yang berkesan seenak hati. Assistant Director The Japan Foundation, Tsukamoto Norihisa, menyatakan lomba itu sudah lazim di Jepang. Kata iketeruyang digunakan anak muda 10 tahun belakangan ini bermakna cantik atau ganteng. ''Sebagaimana kata mooi di Prancis yang berarti tunas indah, iketeru berarti keren kata anak muda Jakarta,'' ujar dia. Adapun Harajuku adalah sebuah distrik di Jepang yang menjadi pusat mode. Lomba itu melibatkan dewan kurator. Mereka adalah Tsukamoto Norihisa, Ari Seputra, desainer fashion yang pernah menjadi staf pengajar Esmod Jakarta, serta Tiarma Sirait, artis fashion Poleng Studio Bandung. (G20-53)

Antigone

Sabtu, 16 September 2006 . BUDAYA
Mengejek lewat "Antigone"
SOPHOCLES, pencipta lakon Antigone, boleh jadi tak tahu Indonesia. Namun Slamet Rahadjo Djarot menyulap lakon yang diadaptasi Jean Anouil itu menjadi sangat Indonesia. Teater Populer memainkan lakon itu selama tiga jam di panggung Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) pada 15-16 September dengan apik. Dengan pendekatan kontemporer, Slamet mengontekstualisasikan perebutan kekuasaan di Thebes dengan kondisi sosial, politik, dan budaya di negeri ini saat ini. Dia bersetia pada hukum dramaturgi baku. Namun, kostum, musik, dialog, dan setting terasa lintas budaya. Para tokoh kisah, lebih dari 30 orang, menyandang nama Yunani. Akan tetapi pakaian, dialog, iringan musik sangat kekinian. Lihatlah, Haemon, anak emas Creon, penguasa Thebes. Dia berkaus oblong, jins, jaket dan sepatu kulit, serta gesper anak muda terkini. Namun dandanan Ismene, adik perempuan Antigone, bak putri kerajaan. Dia bergaun kuning keemasan menjuntai ke lantai. Para prajurit juga tak berdandan ala Yunani. Bahkan ada yang berkostum bak pecalang di Bali. Rahardjo Djarot, sang narator atau dalang, berkemeja, celana panjang tukang sate madura, jas, dan sepatu sandal. Ada pula adegan semacam gara-gara di tengah keberlarat-laratan dialog panjang sarat pesan moral. Dialog dalam gara-gara yang dimainkan Andi Bersama, Ireng Sutarno, dan Lisna kerap memancing tawa penonton. Padahal, mereka memerankan pengawal setia Creon. Selain itu, saat berdialog, puluhan anjing pun menghantam ketimpangan kondisi sosial dan politik saat ini. Dan musiknya? Terdengarlah suara suling dari Sumatera Barat dan kendang Sunda. Butuh stamina ekstra untuk menikmati tontonan itu. Untung, keaktoran Slamet, Hendro Susanto, dan Ria Probo bisa jadi pelipur. Apalagi Marcella Zalianty pun berupaya memberikan kemampuan akting terbaik. (Benny Benke-53)

Westlife

Rabu, 13 September 2006 . BUDAYA
Westlife Lebih Dewasa
Tepat pukul 20.50, Westlife, kelompok vokal asal Irlandia, menyeruak satu persatu ke panggung temaram. Seketika, tanpa dikomando, sekitar 3.000 penonton yang membeli tiket seharga Rp 400.000 (tribune) dan Rp 500.000 (festival) berseru histeris. Sejurus kemudian Shane, Nicky, Kian, dan Mark yang berkemeja dan pantalon putih langsung menggeber tembang ''Flying without Wing''. Saat intro tembang yang melejitkan empat sekawan yang sekarang menetap di negeri Paman Sam itu, penonton turut menyanyi. Lagu usai, tetapi histeria masih membahana. Permainan cahaya membuat keempat pemuda berusia 28-29 tahun itu makin memesona. Lalu, tembang ''Hit You with the Real Thing'' pun mengalun. Nomor berikutnya ''When You're Looking Like That''. Setelah itu, Mark yang dikenal paling tengil berdialog dengan para penggemar yang tak henti-henti memekik-mekikkan namanya. ''Lima tahun lalu kami datang kemari. Sekarang kami datang lagi kepadamu, Jakarta!'' seru Mark. Suasana menghangat. Keempat pemuda itu lalu menembangkan ''Amazing'' dari album terkini, Face to Face. Penonton yang memenuhi Tennis Indoor Gelora Bung Karno, Jakarta, semalam, didominasi para gadis. Tak ayal, pertunjukan itu bak arena pesta perpisahan anak-anak SMA. Meski, ujar Adrie Subono, promotor Javamusikindo yang tiga kali mendatangkan Westlife, suasana itu tak seheboh tahun 2000 dan 2001. Komplet . Namun konser tetaplah semarak. Sebagaimana ujar Shane di Hotel Mulia, Jakarta, menjelang konser, mereka tak belia lagi. Akan tetapi itu justru menguntungkan. ''Kami tak muda lagi. Begitu pula penonton kami. Namun justru lewat kedewasaan dan energi kami, kami berikan sebuah konser terbaik kepada para pencinta,'' katanya. Di atas panggung, mereka menunaikan janji itu. Dengan koreografi tak terlalu istimewa dan dukungan band pengiring dari Amerika Serikat, toh konser ''Face to Face Asian Tour'' mengalir apik. Apalagi ketika menembangkan ''She's Back/Billy Jean'' yang dipopulerkan Michael Jackson, mereka berdandan ala penyanyi legendaris itu lengkap dengan gayanya. Saat mendendangkan lagu andalan ''Uptown Girl'', mereka pun berganti kostum sulap dengan koreografi komikal. Mereka kembali berganti kostum sportif ketika membawakan ''Addicted to Love''. Mereka lalu menanggalkan jaket saat menembang ''Senorita/Don't Cha''. Ya, boys band yang kerap jadi ejekan para pemain band, terutama kelompok rock, itu telah memberikan suguhan istimewa. Apalagi mereka telah menerima Platinum Award dari Sony-BMG Music Entertainment Indonesia atas penjualan album Face to Face sebanyak 75.000 keping. Dan, kebesaran salah satu boys band dunia itu makin komplet ketika mereka menyanyikan ''You Raise Me Up''. Itulah lagu yang dipopulerkan Josh Groban. (Benny Benke-53)

ROBERTO Benigni

Senin, 11 September 2006 . BUDAYA
Puisi Tak Mati-mati
ROBERTO Benigni datang lagi. Kali ini, lewat karya terbaru Tigre e la neve, La atau The Tiger and the Snow. Film yang disutradarai aktor terbaik Academy Award 1997 lewat film Life is Beautiful itu rampung tahun 2005, tetapi baru diedarkan di Indonesia tahun ini. Tak beda jauh dari Life is Beautiful, film ini mengawinkan drama, komedi, romansa, dan tragedi secara menawan. Berbeda dari alur film Hollywood yang cenderung romantis, pengisahan film ini terbuka. Benigni sebagai sutradara, penulis, dan aktor utama meminjam karakter Attilio untuk menghormati penyair Attilio Bertolucci (1911-2000), ayah sutradara besar Giuseppe dan Bernardo Bertolucci. Attilio adalah ayah yang sangat mencintai anak-anaknya. Cara mengajar dosen mata kuliah puisi di University for Foreigners Roma itu eksentrik, mirip tokoh yang diperankan Robin William dalam Dead Poet's Society. Penyair tak akan pernah mati. Begitu pula syairnya. Attilio yang makin dikenal di Italia terbang ke Bagdad. Kisah perjuangan penyair yang terjebak di tengah peperangan untuk menyelamatkan perempuan pujaan itulah sajian utama film ini. Keharuan, kerinduan, pengorbanan, dan tragedi berbungkus komedi khas Roberto Benigni itu menjadi oase. Ya, oase yang menyegarkan di tengah bombardemen film Hollywood yang arahnya cenderung gampang ditebak. (Benny Benke-53)

Selasa, 11 Maret 2008

Sugeng Sarjadi

Jumat, 08 September 2006 . BUDAYA
Jazz Islami Sugeng Sarjadi
Produser Bintang Indrianto merilis album Sound of Belief di Grand Wijaya Center, Jakarta, kemarin. Album di bawah label Indie Jazz itu berisi 12 tembang. Empat lagu baru dan delapan komposisi yang meraih sukses lewat album The Sound of Belief tahun 2004. Motor penggarapan album itu Sugeng Sarjadi. Ekonom, politikus, sekaligus pengusaha yang getol bermain jazz itu mengancangkan album tersebut untuk menyambut Ramadan.
''Tujuan paling mendasar mengisi pangsa pasar musik jazz yang islami,'' ujar Bintang Indrianto. Dia menuturkan peredaran 15.000 kopi album itu di bawah bendera Sony-BMG. Album beraliran fusion jazz itu diracik Dewa Budjana, Tohpati, Idang Rasjidi, Balawan, dan Nya' Ina Raseuki (Ubiet). ''Jazz itu tiada batas. Ia dapat membaca keluasan genre musik apa pun,'' kata Denny Chasmala, sang pengaransemen dan komponis. Musikus lain yang terlibat antara lain Dian HP, Netta, Joel Achmad, Gerry Herb, Hendri Lamiri, Mates, Sa'at, dan Rayendra Soenito. Mereka biasa terlibat pula album rohani kristiani. ''Justru itu makin menunjukkan betapa lewat musik nilai kejujuran musikalitas dikedepankan. Di sinilah Pancasila termaknai,'' kata Sugeng Sarjadi. Simaklah, lewat tembang ''Chanting for Life'', ''Tears of Knowing You'', dan ''Im Talking To You'', syair islami hingga salawat Nabi mengalir dalam nuansa jazz. Petilan doa sampai suara azan menjadi bagian tak terpisahkan pula. Akrab . Di tangan Sugeng Sarjadi, jazz jadi begitu islami. Tidak menjelimet dan cenderung melenakan. ''Kami hanya ingin menawarkan alternatif, betapa musik jazz bisa kita jadikan sarana doa untuk mendekatkan diri pada Sang Pencipta,'' ujarnya. Dengarlah, lewat tembang ''The Opening, Muhammad Miracles'' hingga ''Let's Give Shalawat A Swing'', jazz jadi begitu akrab. Apakah itu tak menyalahi kaidah keislaman? Utomo dari Paramadina menuturkan sejauh musik mensyiarkan kemuliaan dan mengajak ke kebaikan, tak jadi masalah. ''Karena Tuhan tidak cerewet dan memberikan kebebasan kreatif kepada umat. Meski, tetap pada asas kepatutan dan kewajaran.'' Sugeng Sarjadi menuturkan pernah memperdengarkan album itu di Majelis Ulama Indonesia (MUI). ''Jadi, insya Allah, tak ada kontroversi dengan album ini.'' (Benny Benke-53)

Sukmawati Soekarnoputri

Selasa, 05 September 2006. BUDAYA
Sajak Sukma buat Ibu
JAKARTA - "Smile, coward/smile till your last breath/It show that you are a psychopath.//Do you know the difference between the true warrior and the crooked?/Do you know, coward/Your smile is disguisting/And when you die, we will see without our tears."

Petilan sajak "The Coward General" (Juli 2000) itu tak merujuk ke nama tertentu. Namun, karena sang penulis adalah Sukmawati Soekarnoputri, tentulah tentu bisa terbaca kepada siapa sebenarnya sajak itu diperuntukkan. Ya, sajak itu satu dari 40 sajak terbaru Ketua Umum Partai Nasional Indonesia (PNI). Kini, puluhan sajak itu dibukukan dalam kumpulan Ibu Indonesia terbitan Rakyan Adhi Putra. Lewat kumpulan sajak itu, Sukma merasa lebih lepas, bebas, kreatif, dan ekspresif menumpahkan jiwa seni. Lulusan Jurusan Tari Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (sekarang IKJ) itu menuturkan sajak adalah sarana paling efektif untuk menyampaikan ide dan kegelisahan secara estetis. ''Setelah 1995 saya membukukan kumpulan Puisi untuk Bapak. Alhamdullilah, tahun ini saya berhasil melahirkan kumpulan puisi kedua,'' ujar perempuan kelahiran Jakarta, 26 Oktober 1951, itu. Sebagian besar sajak tulisan antara akhir tahun 1991 dan Oktober 1999 itu berkisah tentang ibu dari segala sisi, teristimewa Ibu Indonesia. Beberapa berkisah tentang ihwal yang erat bertalian dengan keindonesiaan. Misalnya, ujar dia, sajak "Rama dan Rahwana" (1994), "Kepada Bangsa Yahudi" (1995), "Tragedi 27 Juli" (1996), "Go Home Yankees" (1997), dan "A Nation in Waiting" (1999).
Dia menyatakan bangga, menghargai, dan mencintai kreativitas ibu-ibu Indonesia. ''Karena itu, sebagai seniman saya persembahkan kumpulan puisi ini untuk Ibu Indonesia,'' ujar dia. Kumpulan sajak itu juga memperoleh sentuhan estetis dari Poppy Darsono, Ghea Panggabean, Dolo Rosa, dan Titi Qadarsih. (G20-53)

Agni

Sabtu, 26 Agustus 2006 . NASIONAL
Agni dari Jateng Puteri Indonesia 2006

JAKARTA-Agni Pratistha Arkadewi yang mewakili Jawa Tengah terpilih sebagai Puteri Indonesia 2006. Mahasiswi S-1 Desain Komunikasi Universitas Bina Nusantara itu mengungguli Ananda wakil dari Kalimantan Selatan sebagai runner up I dan Rahma M Landy wakil dari DKI Jakarta 5 sebagai runner up II. Setelah sebelumnya lolos dalam babak 5 besar dan 10 besar serta mengungguli 37 konstestan lainnya yang terdiri dari 33 provinsi di Indonesia, dara ayu kelahiran Canbera, Australia 8 Desember 1987 itu akhirnya mengenakan mahkota tiara yang pernah dikenakan Puteri Indonesia 2005, Nadine Chandrawinata. Terkejut . Seusai mengayunkan langkah dan lambaian pertamanya sebagai Puteri Indonesia 2006, kepada wartawan, adik model dan pemain film Sigi Wimala itu menyatakan keterkejutannya. "Saya tidak menyangka terpilih sebagai Puteri Indonesia 2006. Mengingat semua kontestan mempunyai kesempatan dan kemampuan yang merata," katanya terbata di Teater Tanah Airku, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, semalam (25/8). Menurut Todung Mulya Lubis, salah satu juri, kemenangan Agni diperoleh karena kemampuan dan kelengkapannya dalam menggabungkan tiga kriteria. "Dia mempunyai tiga syarat utama sebagai seorang puteri, yaitu brain, beauty dan behaviour." Dengan terpilihnya gadis bertinggi 175 cm itu, maka proyeksi Yayasan Puteri Indonesia untuk mengikutkannya dalam ajang Miss Universe 2007 semakin terbuka lebar. "Jika semua berjalan dengan lancar, kami akan mengikutkan Agni dalam ajang Miss Universe 2007, sebagaimana yang telah ditempuh Nadine," ujar Mooryati Sudibyo. Terpilihnya Agni sebelumnya sudah banyak ditebak berbagai kalangan karena kecakapannya dalam menjawab pertanyan dewan juri. Dalam sesi pertanyaan pamungkas tiga besar, dia yang diberi pertanyaan apa pendapatnya perihal wilayah geografis Indonesia yang terdiri dari lautan dan daratan. (Benny Benke-64)

Camus: Teroris

Kamis, 10 Agustus 2006. BUDAYA
Teroris Juga Manusia
"Pengeboman, teror, dan kekerasan bukanlah cara yang tepat sebagai pembenaran perjuangan, apa pun alasannya." KALIAYEV/Yanek (Joind Bayuwinanda) memekikkan kalimat itu, setelah urung mengebom iring-iringan kereta para bangsawan. Sebab, di dalam kereta itu ada anak-anak. Kegagalan membunuh bangsawan tiran Rusia itu menimbulkan pertentangan di kalangan para teroris. Bagi Stevan (Soepri Boemi) yang radikal, segala cara adalah halal. "Apa gunanya menyelamatkan beberapa anak kecil, sementara nasib ribuan anak kecil lain di luar sana tak jelas juntrungannya karena tiran terlalu lama berkuasa?" ujar Stevan. Sejak kegagalan itu, Annencov/Boria (Madin Tyasawan), Dora (Lisa A Ristagi), Voinov (Ndang Rumeksa), Yanek, dan Stevan berdebat soal tujuan perjuangan mereka. Itulah yang terbeber dalam naskah Teroris karya Albert Camus. Naskah yang diterjemahkan dengan cerdas oleh Arief Budiman itu mengalir dengan garang, lempang, dan penuh dialog perihal eksistensialisme. Camus sebagai filsuf besar melalui naskah drama itu bukan cuma menghadirkan teroris sebagai sekumpulan manusia tanpa hati. Dia melontarkan berbagai pertanyaan mengenai arti kemanusiaan, tujuan perjuangan, dan cinta. Dan semua itu mengalir secara cerdas melalui para pelakon. Naskah itu mementahkan pencitraan teroris yang selama ini cenderung identik dengan manusia tanpa budi yang selalu menghalalkan segala cara. Ya, teroris toh manusia juga. Teater Stasiun mementaskan naskah itu, Senin (7/8), di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Teater Stasiun yang tiga kali (1994, 1995, dan 1996) menjuarai Festival Teater Jakarta menyajikan Teroris dengan pendekatan realis dan penataan panggung minimalis. Kemampuan para aktor menafsirkan naskah yang disutradarai Edi Yan Munaedi itu tak mengecewakan. Namun dalam beberapa adegan terlalu berlebihan dan terlalu didrama-dramakan. Mereka cenderung mengabaikan naturalisasi sebagai salah satu kekuatan akting. Untung, pilihan naskah yang bernas dengan dukungan musik minus one dan pencahayaan temaram mampu menghidupkan roh pertunjukan. (Benny Benke-53)

Sawung Jabo

Selasa, 08 Agustus 2006. BUDAYA
Mengagumi Kematangan Sawung Jabo
JAKARTA-Luar biasa. Demikianlah yang dirasakan ratusan penonton yang menyaksikan konser "Antalogi Sawung Jabo: Satu Langkah Sejuta Cakrawala" di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM), Sabtu (5/8) malam. Penyandang nama asli Mochamad Djohansyah kelahiran Surabaya 4 Mei 1951 itu seolah tak memberikan ruang bernafas kepada penikmatnya selama 90 menit aksinya. Betapa tidak, begitu WS Rendra usai merampungkan sajak pembuka, dia bersama 12 musisi pendukungnya langsung menggeber lagu layaknya kereta. Nyaris tidak ada jeda. Setiap tembang purna dilantunkan, tanpa basa basi atau retorika dia melanjutkan ke tembang selanjutnya. Demikian seterusnya sampai-sampai penonton harus bersabar menepukkan kegembiraan dan keterpesonaan mereka hingga konser benar-benar usai. Suami Susan Piper yang malam itu tampak kalem, santun, dan matang itu memang jauh dari stigmanya selama ini. Masih hangat dalam ingatan ketika dia biasanya binal dan liar di atas panggung. Baik ketika masih bergabung dengan kelompok Swami, Kantata Takwa, maupun Sirkus Barock, dialah yang biasanya paling pertama mengobarkan keliaran. Dalam konser yang juga disaksikan teman-teman tercintanya seperti Jockie Soerjoprajogo, Setiawan Djodi, Eros Djarot, dan beberapa nama sohor lainnya, tak ada lagi pekikan lepas, tidak juga teriakan, apalagi kaos yang terlepas dari tubuhnya. Bahkan beranjak dari tempat duduknya pun tidak Jabo lakukan. Semua mengalir dengan detail, kusyuk, terperi, dan melenakan. Di atas panggung, Jabo hanya bersila seperti orang mengaji yang takzim dengan dirinya sendiri. Aura Kedalaman. Dalam tempo lambat lagunya tak jarang dia hanya menggerak-gerakkan jarinya ke atas, sembari menggoyangkan sedikit tubuhnya ke kiri dan ke kanan. Sementara matanya cenderung terpejam seperti sedang merasakan sebuah aura kedalaman. Bila sebuah lagu telah jeda, dia hanya mengatupkan kedua tangannya di muka dan dahinya, sembari sedikit menundukkan kepala, tanda penghormatan kepada penonton. Selanjutnya, tanpa memberikan kesempatan kepada penonton yang hendak memberikan penghormatan balik dengan tepukan tangan, dia mengalirkan lagu selanjutnya. Semua lagu hits Jabo yang terangkum dalam single album Anak Setan (1975), Fatamorgana (1994), Jula Juli Anak Negeri (2001), Musik dari Seberang Laut (1997), dan Ada Suara tanpa Bentuk (2001) mengalir dengan apik dalam aransemen baru. Musisi pendukungnya seperti Totok Tewel, Inisisri, Gondrong Gunarto, Baruna, dan istri tercinta Susan Viper, serta beberapa nama lainnya, dengan andal dan penguasaan musik yang matang, semakin membuat bernas konser yang akan dikelilingkan di Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya itu..
''Saya hanya ingin menggambarkan konser ini dalam sebuah tarikan napas dari persenyawaan pengalaman hidup dan pengalaman batin saya,'' katanya di belakang panggung. (Benny Benke-45)

''The 1st Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF) 2006''.

Senin, 07 Agustus 2006. BUDAYA
Festival Film Asia di Yogyakarta
JAKARTA-Garin Nugroho menggelar sebuah festival film bergengsi tingkat Asia di Yogyakarta. Festival film yang diikhtiarkan untuk dapat kembali mengangkat nama Yogyakarta setelah terkena gempa itu bertajuk ''The 1st Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF) 2006''. Dengan mengambil tema ''Sinema di Tengah Krisis'', festival yang juga sekaligus dibarengkan dengan HUT Ke-250 Kota Yogyakarta itu difasilitasi Yayasan Konfiden, sebuah institusi penggiat film di kota itu. Festival yang juga dimaksudkan sebagai jendela budaya bangsa itu akan menayangkan tidak kurang dari 50 komunitas film, yang terdiri atas film dokumenter, film pendek, film cerita, film animasi, dan beberapa kategori lainnya. The 1st Jogja-Netpac Asian Film Festival 2006 yang digelar 7-12 Agustus 2006 akan dibuka dengan film Opera Jawa karya Garin Nugroho dan ditutup dengan Blue Cha Cha karya Cheng Wen-tang dari Taiwan. Tercatat 18 film cerita dari Asia yang berkisah tentang tragedi dan harapan akan diputar di Benteng Vredenburg, LIP, Studio 21 Ambarukmo, dan Bioskop Mataram, Yogyakarta. Sejumlah film dari Timur Tengah seperti dari Irak, Iran, Lebanon, dan Afghanistan akan bertarung memperebutkan Golden Hanoman dan Silver Hanoman dengan film dari China, Taiwan, Hong Kong serta Indonesia. Film terbaru dari Indonesia yang diikutsertakan antara lain Koper (Richard Oh), Betina (Lola Amaria), Aries (Faozan Rizal), dan Opera Jawa (Garin Nugroho). Sedangkan untuk kategori film dokomenter, film Gerimis Kenangan, dari Sahabat Terlupakan (Seno Joko Suyono dan Benny Benke), Terlena (Andre Vltchek), Ketika Tinta Bicara (Yuda Kurniawan A), serta Foto, Kotak dan Jendela (Angga Dwimas Sasongko).(G20-45)

the ant bully

Sabtu, 05 Agustus 2006. BUDAYA
Preview "The Ant Bully"
Belajar dari Semut

Dari mana manusia bisa memetik pelajaran betapa arti penting kebersamaan? Dari semut. Itulah jawaban yang diberikan film animasi The Ant Bully karya sutradara John A Davis berdasar buku John Nickle ini.
Apa lagi kebijakan yang bisa dicontoh agar bisa senantiasa bergotong royong? Toleransi. Ya, dengan toleransi, semangat gotong royong pun terpupuk. egitulah pesan utama film yang diproduseri Tom Hanks dan Gary Goetzman ini. Meski "cuma" film animasi, penggarapan The Ant tak main-main. Aktor dan aktris kelas satu Hollywood, seperti Julia Robert, Nicolas Cage, dan Meryl Streep, menjadi pengisi suara para tokoh utama. Dan itu cukup efektif untuk membujuk para pencinta ketiga bintang tersebut datang ke gedung bioskop. Film ini juga didukung teknologi komputer animasi berbasis seni yang dapat menghasilkan gambar nan elok. The Ant tak ubahnya film animasi Goetzman terdahulu, The Polar Express. Film ini bertutur melalui bahasa sederhana. Namun di tangan sutradara yang pernah diunggulkan meraih Academy Award lewat film Jimmy Neutron: Boy Genius, The Ant patut menjadi pilihan sebagai tontonan keluarga. Alkisah, Lucas Nickle (Zach Tyler Eisen), bocah berusia 10 tahun, tak punya kawan, kecuali kakak perempuannya, Tiffani (Allyson Mack). Ketika pada akhir pekan kedua orang tua mereka berpergian ke Puerto Vallarta, lengkaplah kesendirian Lucas. Apalagi sang nenek yang dia cintai, Momo (Lily Tomlyn), sudah pikun dan sibuk dengan fantasi tentang makhluk ruang angkasa. Keadaan memburuk karena anak tetangga sebelah selalu menjadikan dia bulan-bulanan. Lucas tertekan. Ketertekanan emosional membuat dia melampiaskan amarah ke sebuah sarang semut. Sarang semut di halaman rumah itu porak-poranda ketika Lucas menyemprotkan pistol air. Nun jauh di dalam tanah, komunitas semut gerah atas aksi Lucas. Mereka menjuluki bocah itu sang perusak. Tak ada jalan lain bagi bangsa semut untuk mengatasi kebengalan Lucas, kecuali menyerang balik. Mereka dipimpin Wizard Ant Zoc (Nicolas Cage), semut dukun sakti yang berhasil menciptakan ramuan ajaib. Mereka pun mengubah Lucas menjadi seukuran bangsa semut. Kawanan semut itu lalu menculik dan menyekap Lucas di sarang mereka. Pengadilan para semut memutuskan Lucas bersalah. Ratu Semut (Meryl Streep) menjatuhkan hukuman: Lucas harus hidup bersama bangsa semut dengan segala aspek kehidupan mereka. Dia tak bakal dikembalikan ke ukuran asli sebagai manusia, sebelum bisa mengambil hikmah dari komunitas semut. (Benny Benke-53)

Mendadak Dangdut.

Jumat, 04 Agustus 2006. BUDAYA
Preview ''Mendadak Dangdut''
Kelucuan Serbamendadak
Ada yang menarik, segar, dan menghibur dari film terbaru Rudi Soedjarwo, Mendadak Dangdut. Bertolak belakang dari film terakhirnya, 9 Naga, yang mengalir serius, dalam film ini sutradara muda yang melejit lewat film Ada Apa dengan Cinta? itu menghadirkan keriangan dan penuh kelucuan. Monty Tiwa, penulis skenario kesayangan Rudi, bukan cuma menghadirkan skenario yang bernas dan cerdas. Jalinan cerita yang sangat membumi dan dekat dengan keseharian khalayak kebanyakan, dunia dangdut, membuat Mendadak Dangdut mengalir enak dan lancar. Kekuatan skenario berpadu dengan penyutradaraan yang baik serta polesan musik jitu Andi Rianto membuat film produksi Sineart Pictures itu boleh dibilang berhasil. Plus penampilan pintar para aktor utama, seperti Titi Kamal, Kinaryosih, Dwi Sasono, dan Sakurta H Ginting, kian lengkaplah film yang bakal beredar mulai Kamis (10/8) itu. Film ini cuma membutuhkan waktu syuting tak lebih dari tujuh hari di beberapa sudut sekitar Jakarta. Namun hal itu tak membuatnya kehilangan kualitas. Seusai pemutaran pra-edar di Jakarta, kemarin, Rudi menuturkan pilihannya pada drama komedi bukan tanpa alasan. ''Saya hanya ingin menghibur pononton. Ya, menghibur lewat ceritanya, lagu-lagunya, sampai kemampuan akting para pelakon,'' katanya di dampingi Titi Kamal, Kinaryosih, dan Dwi Sasono. Komunikasi. Dengan meneguhi konsep ''film bukan seni, film adalah komunikasi'', ujar dia, Mendadak Dangdut adalah film pertama dari tiga judul film yang akan dirampungkan dengan konsep serupa. Dua film lain yang masih diproses adalah Pocong, dan Maaf, Saya Menghamili Istri Anda. Dia telah membuat jembatan yang baik bagi penonton melalui tema yang dekat, akrab, dan jadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Tanpa menanggalkan ku alitas penggarapan, dia yakin idealismenya tersalurkan lewat film semacam ini. Mendadak Dangdut berkisah tentang Petris (Titi Kamal), perempuan ayu, penyanyi alternative rock yang sukses di dunia MTV. Kehidupan Petris berbalik 180 derajat bersama Yulia (Kinaryosih), kakak dan manajernya. Suatu malam di mobil mereka ditemukan 5 kg heroin milik Gerry (Vincent R), pacar Yulia yang minggat entah ke mana. Alih-alih bekerja sama dengan polisi, Petris dan Yulia malah kabur. Mereka membuat rencana serbamendadak, asal tak dipenjara. Dalam pelarian mereka bertemu Rizal (Dwi Sasono), pemilik organ tunggal Senandung Citayam yang baru saja ditinggal sang penyanyi. Yulia usul Petris menyaru jadi penganyi dangdut diiringi organ tunggal. Petris sang pembenci musik dangdut mendadak jadi penyanyi dangdut. Kelucuan, kenaifan, kepolosan, kejujuran, dan keapaadaan dunia dangdut itulah yang disuguhkan Rudi dengan pintar. Lewat kacamata Petris yang metropolis, dunia dangdut pun bisa bercerita banyak. (Benny Benke-53)

House Musix 2006 (Pipit Nadela)

Kamis, 03 Agustus 2006. BUDAYA
Optimisme Dangdut House Music
JAKARTA-Pekerjaan paling sulit dalam industri musik Indonesia adalah memprediksi sebuah album akan laku di pasaran atau tidak tanpa memperdulikan jenis album dan genre musik yang melatarbelakanginya. engamat musik Bens Leo menyatakan hal itu di Hard Rock Cafe, Jakarta, kemarin. Apalagi dalam ranah dunia dangdut yang cenderung lebih ramai pemainnya jika dibandingkan genre musik lain seperti pop, rock, apalagi jazz. Bahkan penyanyi dangdut yang telah mempunyai nama, pendengar, sekaligus pencinta mapan sekaliber Rhoma Irama, Meggy Z, Mansyur S, Evie Tamala, Iis Dahlia sampai Inul Daratista pun tidak menjamin penjualan albumnya akan berjalan lancar. Hal inilah yang juga membuat Bens tidak akan memberi prediksi terhadap album House Musix 2006 (Pipit Nadela) dan Sun (Maya Aulia). ''Karena tidak akan pernah ada orangyang benar-benar bisa menebak selera dan kemauan pasar. Tidak juga seorang music director yang paling berpengalaman dan mempunyai telinga tajam dan jam terbang tinggi sekalipun,'' kata Bens. Album baru bergenre dangdut house music dan dangtut pop itu memang milik para pendatang baru di blantika dangdut yang marak penghuninya. Kendati demikian, bukan berarti tidak ada peluang untuk mereka berdua. Pipit misalnya, yang merangkum tembang-tembang hits dangdut seperti ''Menjanda Lagi'', ''Jakarta-Penang'', dan ''Siapa Bilang'' meracik musiknya dengan dinamis. ''Kedinamisan musik dangdut inilah yang menjadi andalan album ini,'' tutur Pipit Nadela. Penyanyi yang mengaku seangkatan Inul Daratista dan telah malang-melintang di dunia panggung lebih dari lima tahun itu, yakin jika album dangdut versi house music miliknya bakal diterima pasar. Hal senada diutarakan Maya Aulia. Dengan melibatkan pencipta tembang dangdut andal seperti H Ukat S dan Pudji R, dia yakin album perdananya berkeniscayaan bersaing di pasar dangdut yang sesak. ''Ya, itu tadi, karena kita tidak akan pernah tahu selera dan kemauan pasar. Jadi, ya optimistis saja,'' tutur Pipit diamini Maya. Menurut Bens, biasannya album jenis dangdut house music dan dangdut pop semacam itu memiliki pangsa pasar yang jelas, yaitu kelas menengah ke bawah yang menurutnya merupakan pangsa pembeli kaset yang sebenarnya. (G20-45)

sania

Kamis, 03 Agustus 2006 . BUDAYA
Citra Baru dalam Album Sania
JAKARTA- Sania datang lagi. Lewat album teranyar Sania 3: Cintai Aku Lagi, penyandang nama asli Siti Tuti Susilowati itu masih setia dengan warna musik R&B. Ada yang baru dari pencitraan mojang kelahiran 29 Desember 1975 ini. Berbeda dengan citra dirinya yang kental dengan rambut kriwil ketika merilis album Santai (1998) dan album Bablas (2002), kini lewat album ketiganya dia berubah 180 derajat. Dengan pembawaan, kostum, cara bicara, hingga model rambut lurus, dia berikhtiar ingin menonjolkan sisi feminim yang tersembunyi di dalam dirinya, tanpa harus kehilangan aura black music. Dengan gaya yang lebih santun, menurut Marketing Manager Universal Music Indonesia (UMI) Daniel Tumewu, Sania diharapkan lebih diterima oleh pendengar musik Indonesia. ''Selama ini Sania seolah berada di orbit musik yang berjarak dari pendengar musik Indonesia karena style-nya'' katanya di Hard Rock Cafe, Jakarta, kemarin. Hal senada dikatakan Antonny, Managing Director UMI. Dengan citra yang lebih santun, dan image baru, diharapkan Sania menghadirkan sesuatu atas kebintangannya. ''Di album ini tidak ada lagi istilah funky,'' katanya. Semakin Matang . Album yang merangkum 12 tembang dengan single hit andalan ''Cintai Aku Lagi'' dan ''Ibunda'', Nti selaku produser dan arranger album ini meyakini musikalitas Sania semakin matang. Dengan dukungan pencipta lagu andal seperti Dewi Rae (''Ibunda'' dan ''Kamu Bilang''), Guruh Soekarno Putra (''Terlalu''), Tohpati (''Cintai Aku Lagi'' dan ''Jangan Pusing''), serta sentuhan orkestrasi Sa'unine String Section Yogya, kesungguhan album ini memang meyakinkan. ''Ini adalah bagian dari proses pendewasaan saya dengan perubahan citra saya yang tampak lebih feminis,'' kata Sania. ''Namun, sejatinya isi kepala saya masih funky kok,'' imbuh dia. Dengan dandanan dan tingkah polah yang lebih santun, dia berharap musiknya semakin diapresiasi pendengar musik Indonesia. Bahkan untuk menunjukkan kematangan dan kesungguhannya dalam menerjuni industri musik Indonesia, dia membentuk band dan dancer pengiring sendiri. Hasilnya, di atas panggung beberapa tembang terkininya mengalir dengan baik, lancar, dan menghibur. Lalu, apakah pencitraan akan berdampak pada penjualan album di pasar? (G20-45)

Spectacles: Wow

Selasa, 01 Agustus 2006. BUDAYA
Anak-anak pun Bersatu saat Kala Menculik Bulan
TEATER Tanah Airku dinobatkan sebagai penampil terbaik dalam 9th World Festival of Childrens Theatre (Festival IX Teater Anak-anak Tingkat Dunia) di Lingen, Jerman, beberapa waktu lalu. Mereka merebut 19 medali emas, menggungguli Kuba, Zimbabwe, Rusia, dan 20 negara peserta lain. Lakon yang membuahkan kemenangan itu mereka pentaskan kembali di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, Minggu (30/7). Empat belas anak melakonkan naskah Spectacles: Wow karya Putu Wijaya itu dengan menarik. Selama lebih dari 90 menit mereka membuat ratusan penonton, termasuk Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo, bertahan di tempat duduk. Jose Rizal Manua, sutradara yang dinobatkan dalam ajang tahunan itu sebagai sutradara teater anak-anak terbaik, menyuguhkan lakon itu secara jenial. Anak didik Rendra itu membesut lakon dunia anak-anak itu dengan hidup, senyata dan sedekat mungkin dengan keseharian anak-anak. Rumusan memindahkah kenyataan ke panggung itu membuat penonton terlarut hampir sepanjang pertunjukan. Jangan heran jika sekumpulan anak berteriak histeris, terkikik-kikik, menutup mata, bersembunyi di balik bangku, atau memberi tahu pelakon di panggung ke mana lawan main bersembunyi. bahkan terkadang mereka menghardik jengkel karena seorang tokoh salah jalan. Ya, Jose tahu benar menghadirkan ketakutan, keingintahuan, kebahagiaan, kejijikan, dan kemarahan anak-anak dengan bahasa universal. Garin Nugroho yang menjadi penasihat dan konsultan kreatif mengakui rumusan Jose itulah yang jadi kunci keberhasilan. ''Naturalisme dunia anak-anak yang dihadirkan Jose membuat lakon itu kuat dan sangat bisa dimengerti anak-anak yang mempunyai bahasa universal tersendiri,'' tutur sutradara Opera Jawa itu sesuai pementasan. Dia menyatakan senang. Apalagi salah seorang anaknya ikut bermain. Dia berharap lakon serupa dijadikan penyampai pesan kepada anak-anak. Spectacles: Wow berkisah tentang anak-anak Indonesia yang bersama kawan-kawan dari berbagai benua bermain di bawah cahaya bulan. Saat mereka asyik memainkan berbagai dolanan, Kala menculik bulan. Anak-anak itu bersatu padu untuk merebut kembali sang rembulan. Jose menyatukan metode penyutradaraan gaya Putu Wijaya dan pencahayaan dinamis khas Teater Mandiri serta kekuatan keaktoran khas Rendra. Langkah itu manjur, sehingga mereka mampu mengungguli peserta dari negara-negara yang mempunyai tradisi berteater lebih tua dan kuat. (Benny Benke-53)

Viky Sianipar

Senin, 31 Juli 2006 . BUDAYA
Viky Sianipar Rilis Album Baru
JAKARTA - Viky Sianipar, musikus muda berbakat, merilis album anyar Indonesian Beauty. Dalam album itu dia mengangkat musik dari ranah Batak, Sunda, Jawa, dan Melayu. Dia menciptakan penafsiran secara mandiri sehingga memperkaya khazanah musik keempat wilayah itu dengan pemahaman baru. Viky menggandeng musikus yang menguasai wilayah garapan masing-masing. Mereka adalah Sujiwo Tejo, Kiki Dudung, Johannes Limbeng, Asep BP Natamihardja, serta musikus dari Prancis, Phillipe Ciminato. Dia yang juga jadi music director memilih para vokalis yang menyanyikan tembang dari keempat wilayah tersebut. Hasilnya, Es Lilin, Sing-sing So, Horas Banyuwangi, Suara Suling, Indonesia Pusaka, serta enam tembang lain mengalun dengan warna baru. Kebaruan dari musikus yang menghasilkan album Toba Dream 1, Toba Dream 2, Nommensen, dan Hatahon Ma itu terdengar indah, apik, dan melenakan. Apakah album serius dengan penggarapan tak kalah pelik itu bakal diapresiasi pasar? ''Saya tahu album-album yang memperkaya khazanah musik negeri ini tak begitu bergaung di pasar dibandingkan dengan album pop atau rock," ujar Viky di studionya Jalan Minangkabau, Jakarta, akhir pekan lalu. ''Namun semangat saya untuk menonjolkan keindahan musik tradisional Indonesia dari ratusan etnis yang tersebar di 17.000 pulau tak bakal padam,'' imbuh dia. Kegairahan menghidupkan dan memperkaya musik Indonesia itulah yang jadi alasan bagi Sujiwo Tejo dengan senang hati mau bekerja sama. Dalang mbeling dan musikus serbabisa itu menuturkan langkah idealis Viky patut diapresiasi. Karena, ujar dia, siapa yang akan memelihara kekayaan musik Indonesia jika bukan musikus Indonesia. ''Masalahnya, bagaimana mengemas musik tradisional menjadi enak didengar dan laku di pasaran,'' kata penyumbang suara lewat tembang "Suara Suling" itu. Tejo telah mengeksplorasi musik tradisi Jawa lewat album Pada Suatu Ketika dan Pada Sebuah Ranjang. Dia mempunyai kiat sederhana untuk memperkaya musik tradisional. ''Ya, terus menguak musik tradisi.'' (G20-53)

''Miami Vice''


Sabtu, 29 Juli 2006. BUDAYA
Preview ''Miami Vice''
Realitas Michael Mann

MASIH ingat serial TV Miami Vice yang memopulerkan Don Jhonson pada tahun 80-an? Kini, Michael Mann, salah satu sutradara besar Hollywood, mengangkat karya Anthony Yerkovich itu ke layar lebar. Mann telah menghasilkan karya masterpiece seperti Man Hunter, Heat, The Insider dan Collateral. Dia juga telah kerap bekerja sama dengan para aktor kelas wahid, seperti Al Pacino, Robert De Niro, Russel Crowe, dan Tom Cruise. Tak ayal, dia mampu menggubah serial televisi itu menjadi karya apik. Keapikan itu, sebagaimana karya yang lain, tak cuma hadir lewat bahasa gambar, keaktoran pelakon, dan alur cerita menawan. Lebih dari itu, sebagaimana ciri khasnya, dia menghadirkan realitas keseharian semirip mungkin. Emosi pelakon yang muncul, baik protagonis maupun antagonis, adalah emosi keseharian yang lazim dalam kehidupan. Tak ada akting yang dibuat-buat atau didramatisasi. Semua mengalir wajar, biasa-biasa saja. Namun nyata. Simaklah, nukilan dialog Isabella (Gong Li) dan Sonny Crockett (Colin Farrell) tentang nasib. ''Hidup seperti gravitasi,'' ujar Sonny yang jatuh hati kepada Isabella. ''Kau tak mungkin bisa menawar gravitasi.'' Isabella mengerti maksud Sonny. Ya, apa yang terjadi, terjadilah. Soal hubungan mereka, biar nasib yang membawa. Setelah itu mereka bergandengan. Tak ada air mata, tak ada rengekan. Klise. Namun dalam film drama aksi ini terselip sebuah klise. Bahwa kebatilan, apa pun wujudnya, bakal dikalahkan kebaikan. Betapapun kecil kebaikan itu. Kebaikan diwakili kesatuan polisi gabungan DEA, FBI, ATF, Miami-Dade Police Department (termasuk SWAT) dan Immigration and Customs Enforcement/ICE), polisi kepabeanan. Adapun kejahatan diwakili para bandar besar narkoba dari Amerika Selatan yang menguasai distribusi di Miami dan sekitarnya. Film ini makin bernas dengan kehadiran Collin Farrell (pemeran dalam Alexander, The New Worlds, The Recruit, Phone Both), Jamie Foxx, peraih Academy Award 2004 lewat Ray, dan Gong Li (Memoirs of Geisha, Red Sorgurm, Farewell My Concubine). Alkisah, duet Detektif Sonny Crockett dan Ricardo Tubbs (Jamie Foxx) dari Kepolisian Miami ditugaskan menyaru untuk memetakan dan membongkar sindikat penjualan obat bius internasional. Sonny jatuh hati pada Isabella, wanita ayu keturunan Kuba-China, tangan kanan salah satu raja kartel yang mereka incar. Silang sengkarut untuk menomorsatukan perasaan atau profesionalitas menjadi sajian mengasyikkan lewat akting Farrell dan Gong Li. Akting Foxx pun tak kalah memikat. Mann yang menulis skenario film ini mampu mengadon ketegangan, intrik, dendam, asmara, dan tragedi secara realistis dalam bungkus aksi. (Benny Benke-53)

Jamila & sang Presiden

Kamis, 27 Juli 2006 . BUDAYA
Murka Jamila Murka Ratna
AKU lebih memilih Presiden untuk meniduriku sebagai permintaan terakhir daripada memintanya memberikan pengampunan. Karena pengampunan berarti akan memberikan kesialan-kesialan berikutnya.'' Itulah ucapan Jamila 2 (Atiqah Hasiloan) kepada Kepala Sipir Penjara Bu Ria (Peggy Melati Sukma) ketika hendak dihukum mati. Ya, bagi dia, lebih baik mati dan masuk neraka. Apalagi nerakanya pasti berbeda dari neraka para politikus dan pejabat negara. Sang pelacur berusia 26 tahun itu telah membunuh seorang menteri yang menidurinya. Namun ketika dia meregang nyawa, Presiden datang untuk menyaksikan prosesi hukuman mati itu. Ketika lakon sepanjang 105 menit itu berakhir, penonton menampakkan kelegaan. Ya, sebelumnya mereka terteror lakon penuh amarah atas kondisi sosial, ekonomi, politik, dan budaya di negeri ini itu. Pertunjukan itu meneguhkan kredo Ratna Sarumpaet, penulis naskah, sutradara, dan motor Teater Satu Merah Panggung, bahwa teater adalah alat menunjukkan, menyampaikan, dan mengampanyekan pikiran. Di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), Selasa (25/7) malam, Ratna menumpahkan ide dan kemarahannya atas ketimpangan di negeri ini. Dia menghantam siapa saja yang berseberangan dengan subjektivitasnya. Panggung Minimalis . Lakon Jamila & sang Presiden mengingatkan khalayak pada kesuksesan Marsinah, Nyanyian dari Bawah Tanah (1994) dan Marsinah Menggugat (1997). Lebih sukses daripada Pesta Terakhir (1996), Alia, Luka Serambi Mekah (2000). Dia akan mementaskan lakon itu di Surabaya (4-5/8), Medan (11-12/8), Bandung (21-22/8), dan Palembang (25-26/8). Sebelumnya dia mementaskannya dengan judul Pelacur & sang Presiden saat berkolaborasi dengan perupa Jeihan di Balai Sudirman, Jakarta, beberapa waktu lalu. Dalam versi baru kali ini, tempo mengalir lebih cepat, berderap-derap. Pertunjukan disesaki protes khas Satu Merah Panggung. Untung, para pelakon utama seperti Atiqah Hasiloan, Lolla (Jamila 1), Peggy Melati Sukma, dan Rita Matu Mona (Ibu Darmo), mampu berperan dengan baik. Dukungan penataan tari Boy G Sakti, koreografer Gumarang Sakti Dance Company, mempertinggi tegangan lakon itu. Panggung minimalis dipadu kekuatan naskah yang tersampaikan dengan teknik kilas balik membuat penonton mudah mencerna. Satu yang mengganggu adalah obral kemarahan sepanjang pertunjukan. Ya, hampir semua peraga marah sehingga menghantarkan semua dialog lewat pekikan, teriakan, dan jeritan. Padahal, bukankah diam bisa menjadi puncak kemarahan? Lewat sosok Jamila 1 dan Jamila 2, Ratna mencapai titik kemurkaan. Mereka terus-menerus marah dan mengutuki nasib. Terus-menerus menyerapahi hidup dan orang-orang yang menjerumuskan mereka ke lembah nista. (Benny Benke-53)

Senin, 10 Maret 2008

Soundrenaline 2006

Rabu, 19 Juli 2006. BUDAYA
Soundrenaline Pertemukan 100 Band
JAKARTA-Soundrenaline 2006 kembali datang. Mengusung tema besar ''Rock United'', pesta musik terbesar di Indonesia itu menghadirkan lebih dari 100 grup band dalam negeri dan enam grup band mancanegara. Dimulai tanggal 23 Juli hingga 20 Agustus 2006, pentas akan hadir di Banjarmasin, Makassar, Pekanbaru, Medan, dan dipamungkasi di Jakarta. Band asing yang akan hadir antara lain INXS, Crowned King dan Mike Tramp. Kedua grup itu dijadwalkan beraksi di Pantai Carnaval Ancol, 20 Agustus pukul 10.00-23.00.
Ajang yang berikhtiar menampung seluruh potensi insan-insan musik itu diharapkan semakin memantapkan kreativitas pelaku dan penikmatnya. ''Meski jauh dari sempurna, kami senantiasa melakukan penyempurnaan ajang bergengsi ini dari tahun ke tahun. Dan untuk itulah A Mild Live Soundrenaline kembali kami hadirkan,'' papar Brand Manager A mild, Amelia Nasution, di Balai Kartini, kemarin. Menurut dia, tema "Rock United" bukan berarti hanya mewadahi musisi dan aliran musik dari genre rock. Pihak Deteksi Production selaku organizer sebagaimana penyelenggaraan pada tahun-tahun sebelumnya, masih tetap memasukkan genre musik di luar rock. ''Segala genre musik ada di Rock United. Dari pop, blues, R&B, jazz, etnis, hingga rock,'' kata Managing Director Deteksi Production, Harry Koko. Harapan . Harry menambahkan, band terkemuka yang tampil antara lain Slank, Boomerang, Radja, God Bless, Seurieus, PAS, Netral, dan Samsoms. Selain itu juga ada Audy, Jikustik, Pinkan Mambo, J-Rock, Sucker Head, Ten, Meteor, Ello, Ungu, Moluccas, Garasi, Sunset, Nidji, Iwan Fals, dan Chrisye. Dalam diskusi ''Come as One-Bersatu Dalam Perbedaan'', pihak penyelenggara dan pendukung acara meyakini acara tersebut akan berjalan sukses sebagaimana penyelenggaraan tahun lalu. Diskusi itu dihadiri oleh Wakil Presiden Republik BBM Kelik Pelipur Lara dan Penasehat Presiden Republik BBM Effendi Gozali, serta pengamat musik Bens Leo yang didapuk menjadi Menteri Kebudayaan dan Pariwisata. Para musisi seperti Donny Fattah, Audy, Yuke PAS Band, Adrie Subono, dan Pongky Jikustik juga meramaikan acara diskusi tersebut. ''Melalui semangat persatuan, kesatuan, serta kebersamaan, saya berharap acara ini dapat semakin mempererat persatuan dengan meminggirkan segala perbedaan melalui musik,'' kata Kelik Pelipur Lara serius. (G20-45)

Rekaman Terakhir Krapp

Selasa, 18 Juli 2006 . BUDAYA
Lewat Krapp, Putu Bicara

PUTU Wijaya, sastrawan dan motor Teater Mandiri, kembali menunjukkan kesejatiannya sebagai aktor andal. Secara konsisten selama 45 menit dia memainkan naskah Samuel Beckett, Rekaman Terakhir Krapp, di Teater Utan Kayu, Jakarta, Jumat (14/7). Dia cuma melibatkan seorang penata lampu dan tata suara. Namun dia mampu mengubah diri secara total menjadi seorang tua renta lengkap dengan bahasa tubuh, wicara, dan permainan mimik nyaris sempurna. Dia berhasil menyajikan pertunjukan monolog yang intens. Apalagi jarak dengan penonton terdepan yang mengitari sepertiga arena itu cuma semeter. Tak urung, pementasan lakon untuk memperingati 100 tahun Samuel Beckett itu makin terasa nges. Berbeda dari lakon-lakon Mandiri, seperti Bor, War, Zero, Zoom dan, Zetan: Berguru Jadi Pahlawan, pementasan kali ini mengalir dengan sepi. Jauh dari hiruk-pikuk khas teater teror serta tak cerewet. Naskah realisme kelam khas Beckett menuntut penonton tidak hanya menikmati dengan rasa, tetapi juga dengan pikiran. ''Naskah Beckett yang realis dan kelam memang membutuhkan pemikiran para penikmat. Naskah itu membuat penonton merenung dan berpikir,'' ujar Putu. Naskah itu pekat dengan sindiran terhadap kemanusiaan universal, menggelitik kesadaran, dan cerdas. Alur Rekaman Terakhir Krapp sederhana. Krapp tua yang renta, ringkih, pemabuk, nyinyir, dan pandai memilah bahasa mempunyai kebiasaan baru. Ya, dia gemar mendengarkan rekaman suaranya yang terekam 30 tahun lalu. Kecemerlangan, kemarahan, dan kebinalan terlontar dari rekaman itu. Mendengar kembali suara mudanya, Krapp tua menceracau dan membanding-bandingkan dengan kondisi kekinian. Rekaman Terakhir Krapp adalah naskah kedua yang bukan asli Mandiri yang dimainkan Putu. Sebelumnya dia memainkan The Coffin is Too Big for the Hole karya Kuo Pao Kun dari Singapura. (Benny Benke-53)

ASIRI

Sabtu, 15 Juli 2006 . BUDAYA
Asiri Somasi YKCI
Soal Pungutan Royalti

JAKARTA-Karena dinilai memungut royalti atas pemakaian produk-produk rekaman suara milik atau yang berasal dari anggota Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (Asiri), Yayasan Karya Cipta Indonesia (YKCI) mendapatkan somasi dari Asiri. Melalui kuasa hukum dari Kantor Hukum Otto Hasibuan & Associates, Asiri meminta YKCI yang dianggap tak mempunyai landasan hukum untuk melakukan pungutan sepihak agar menghentikan segala aksinya. ''Somasi Terbuka sudah kami umumkan di Kompas per 10 Juli 2006, namun hingga saat ini belum ada tanggapan resmi,'' ujar Wakil Ketua Asiri Arneld Affandi SH, belum lama ini. Menurut Arneld yang didampingi Ketua Asiri Djajad Sudrajad dan Otto Hasibuan, somasi dilakukan agar pihak-pihak yang terkait dengan industri rekaman mengetahui tindakan YKCI tersebut tidak sah dan tidak berdasar hukum yang jelas. ''Karena tidak ada satu pasal pun di dalam Undang-undang Hak Cipta No 19/2002 yang memberikan kewenangan kepada YKCI untuk menagih dan memungut royalti dari semua pihak yang memakai atau mengumumkan produk rekaman suara milik dan atau yang berasal dari Asiri,'' papar Otto Hasibuan. Pemberian Kuasa. Menurut Otto, YKCI masih dapat melakukan pemungutan royalti jika berdasarkan kuasa yang diberikan oleh pencipta lagu dan hanya terbatas pada pemakaian lagu ciptaan pencipta yang memberikan kuasa. ''Padahal, jumlah lagu ciptaan pencipta yang didaftarkan kepada YKCI terbatas jumlahnya. Sehingga yayasan tersebut tidak berwenang memungut royalti dari semua pemakai lagu yang bersumber dari produk rekaman suara milik para produser atau perusahaan rekaman suara yang menjadi anggota Asiri,'' tekan Otto. Asiri yang mengklaim mempunyai 81 anggota perusahaan industri rekaman di Indonesia juga mengimbau kepada toko, rumah karaoke, diskotek, hotel, mal, dan perusahaan telekomunikasi untuk tidak memberikan royalti kepada YKCI. ''Karena belum tentu lagu yang diputar di tempat-tempat itu oleh penciptanya telah dilimpahkan kuasa kepada YKCI''. Jika yayasan itu masih tetap melakukan pungutan royalti, Asiri akan melimpahkan kasus ini ke polisi karena dianggap telah melakukan tindakan pidana, sebelum menindaklanjutinya ke pengadilan karena dinggap merugikan. ''Bahkan, jika selama ini pungutan royalti yang dilakukan YKCI dianggap salah alamat, pihaknya diharuskan mengembalikan kepada yang berhak,'' kata Otto. Sementara itu Humas YKCI Hendra Lesmana mengatakan, untuk jangka waktu yang belum ditentukan pihaknya akan mempelajari somasi terbuka tersebut. ''Pimpinan dan semua jajaran YKCI masih mengkaji lebih jauh somasi tersebut. Hal ini kami lakukan agar tidak semakin membingungkan publik. Kami takut jika tergesa-gesa menanggapi somasi dari Asiri malah akan semakin memperburuk keadaan. Maka dari itu, untuk sementara kami no comment dulu,'' ungkap Hendra mengatasnamakan Dahuri selaku ketua. (G20-45)