Sabtu, 16 Februari 2008

Seni rupa Semarang

Sabtu, 15 Oktober 2005. BUDAYA
Pameran Lukisan di TIM Jakarta
Karya Universal 11 Perupa Semarang

BUKU Art In ''Kota Seni Rupa Modern'' terbitan Cornell University Press hanya mengakui Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Ubud (Bali) sebagai pusat seni rupa di Indonesia. Namun, Semarang kota kelahiran pelukis Raden Saleh ternyata telah menancapkan jatidiri dalam bidang seni rupa. Demikianlah nukilan tulisan Bambang Bujono, sebagai pengantar pameran 11 perupa Semarang di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, yang dibuka Jumat (14/10) malam. Pameran yang akan berlangsung hingga 27 Oktober ini menampilkan karya-karya Putut Wahyu Widodo, Kokok HS, Kokoh Nugroho, Irfan ''Ipang'' Kristiyanto, Harmanto, Doel Ahmad Besari, Djoned Koesoemadi, Deny Pribadi, Agung Yuliansyah, Atiek Krisna Sarutomo, dan Achmad Basuki. Menurut Bambu, demikian Bambang Bujono biasa disapa, kegiatan itu mengulang peristiwa 17 tahun lalu. ''Kala itu, tahun 1988, Nindityo, AS Kurniawan, Eddie Hara, Kuncoro Warsono dan dua teman mereka memromosikan Semarang dalam pameran lukisan Ekpresi Enam Semarang, yang juga digelar di TIM,'' katanya. Bambu menambahkan, antusiasme masyarakat Semarang ketika mengapresiasi Pameran Pelukis Rakyat dari Yogyakarta yang berlangsung 15-26 April 1955 di Toko Buku Kolf, Jalan Bojong (kini Jalan Pemuda) sangat tinggi.
Lalu, apa yang kurang dari Semarang, sehingga belum tercatat sebagai ''Kota Seni Rupa Modern?''. Pertanyan inilah yang hendak dijawab 11 perupa Semarang ketika menggelar Pameran Lukisan Ekpresi Garis Tepi Semarang di Galeri Cipta II, TIM, Jakarta. Kosmopolit.
Pameran yang digagas oleh Komite Seni Rupa Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) ini paling tidak, menurut Chandra Johan, sebagai Ketua Komite Seni Rupa, bertujuan merubuhkan stigma kedaerahan. ''Karena karya-karya dari perupa Semarang pada dasarnya cukup kosmopolit, dan tidak menampilkan (warna) kedaerahan. Inilah yang luar biasa,'' katanya. Tengoklah karya Putut Wahyu Widodo, Pemenang I Lomba Poster Nasional Perdamaian, Limpad Foundation (2000), dan peraih 10 Besar Kompetisi Seni Rupa IAA-Philip Morris 2003 ini, memajang enam karya terkininya yang diproduksi tahun 2004-2005. Karyanya yang berjudul ''Om Guru 2'', ''Just Om'', ''Over Mind'', ''Ya Begitulah Adanya'', ''Manna'', dan ''Equinox'' sangat universal. Karya-karya itu dikreasi dari bahan akrilik dan pastel di atas kanvas, rata-rata berukuran 135 cm x 135 cm. ''Dalam bahasa sederhana, karya Putut bahkan beyond cosmopolit,'' kata Grace, pemilik dan pengelola Galeri Elcanna Jakarta. Demikian halnya karya Kokok HS. Nominator Kompetisi Seni Rupa IAA-Philip Morris V (1995) ini menghadirkan ''Barong Duri'', ''Raja Barong'', ''Ratu Barong'', dan ''Dekora Barong'' dalam pendekatan surealis. Lalu, perupa Harmanto, finalis Indofood Art Award (2003), memajang ''Intelectual Harazement'', dengan nuansa yang ultimate pop culture. Memang, keberadaan 11 perupa Semarang di sentra kebudayaan Jakarta itu terlalu prematur jika dikatakan hendak menempatkan Semarang dalam peta seni rupa Indonesia. Namun, paling tidak, meminjam bahasa Chris Darmawan, pemilik Galeri Semarang, langkah mereka diharapkan mampu merangsang perupa Semarang untuk berani ''keluar'' . (Benny Benke-43)

Skenografi

Kamis, 13 Oktober 2005. BUDAYA
Skenografi, Menata Pameran Menjadi Lebih Hidup
Bagaimana caranya menata pameran dengan baik dan benar? Dalam seminar musiologi yang digelar di Museum Nasional Jakarta, kemarin hingga 22 Oktober, segala ikhwal yang berkenaan dengan penataan pameran atau skenografi dijabarkan dengan detail. Tengoklah berbagai karya skenografer dari Prancis seperti Roberto Ostinelli, Bruno Gaudin, Bernard Wauthier-Wurmser, dan beberapa nama lainnya. Skenografi yang melibatkan sinergisitas antara gambar, suara, teks, furnitur hingga pencahayaan sebagai media cerita dihadirkan menjadi sebuah satu kesatuan yang utuh. Keutuhan karya tersebut menghasilkan sebuah hasil cipta, karsa, dan karya yang estetis. ''Fungsi skenografi adalah mengekresikan sudut pandang sutradara pameran tentang latar belakang historis koleksinya,'' papar Pascal Hamon, Direktur Hubungan Internasional DMF (Direktorat Permuseuman Prancis- Kementerian Kebudayaan Prancis). Kurang Dikenal. Sebagai salah satu disiplin ilmu baru yang masih berkembang, keberadaan skenografi kurang begitu dikenal dalam masyarakat umum. Namun, dengan semakin marak dan kerapnya berbagai pameran yang menggunakan museum sebagai media pameran, keberadaan skenografer mau tidak mau menjadi sebuah kebutuhan yang tidak dapat dielakkan. ''Bagi para penata display, dialog sebuah karya yang dipamerkan dengan pengunjung sebagai penikmat memang sangat penting. Untuk menyuskseskan proses dialog dua arah antara karya dan penikmat inilah, seorang skenografer dibutuhkan keberadaannya,'' ujar Roland May, Kepala Departemen Konservasi Preventif Pusat Penelitian dan Restorasi Departemen Permuseuman Prancis. Dengan adanya ilmu skenografi, sebuah pameran menjadi lebih berkualitas untuk memberikan alur cerita kepada pengunjung. Sehingga pameran tidak terkesan kaku, hening, dan membosankan. Dengan alasan inilah, DMF dan AFFA (Asosiasi Prancis bidang Artistik) dan Paris Musse menampilkan berbagai seleksi pameran mereka. Pameran yang digagas oleh Centre Culture Francais (CCF) atau pusat kebudayaan Prancis di Indonesia ini, selain digelar di Jakarta, juka akan dikelilingkan di Bandung, Surabaya, dan Yogyakarta. (Benny Benke, Novita Rizky Pane-45)

Travel Warning

Rabu, 12 Oktober 2005. BUDAYA
Travel Warning Hantam Promotor Konser
JAKARTA - Sepenting apakah kondisi keamanan bagi artis atau grup band mancanegara yang akan menggelar konsernya di Indonesia? ''Sangat penting,'' tandas Tommy Pratama, promotor konser musik Original Production di Jakarta, kemarin. Pernyataan yang sama dikemukakan Adrie Subono dari Java Musikindo dan Rinni Noor dari Nepathya. Para promotor itu pernah merasakan betapa pahitnya pembatalan sebuah konser yang telah direncanakan dengan rapi hanya karena travel warning dari negara asal artis bersangkutan. Sebagaimana diberitakan, Motley Crue baru-baru ini membatalkan rencana konsernya di Jakarta yang dijadwalkan November 2005. Meski manajemen mereka tidak mengakui, faktor keamananlah yang membuat grup metal dari Amerika itu membatalkan konsernya. ''Ini kendala klasik, meski sifatnya sementara, namun sangat mempengaruhi lancarnya bisnis hiburan di sini,'' kata Tommy yang pada pertengahan 2004 pernah menelan pil pahit pembatalan konser Limp Bizkit. Adrie Subono juga pernah mengalami pembatalan konser Good Charlotte, Alicia Keys, Norah Jones dan beberapa nama penting lainnya. Menurut dia, travel warning adalah kunci utama seorang artis atau grup band manca negara batal menggelar konser di Indonesia. ''Ada juga artis yang cukup mempunyai nyali untuk tetap datang dan menggelar konser. Namun justru pihak asuransi yang tidak mempunyai nyali,'' ujar promotor yang sukses menggelar enam konser, The Prodigy, Cake, Simple Plan, Avril Lavigne, Maksim ''Twilitte Orchestra/Addie MS'', dan Ja Rule dalam waktu 34 hari itu. Menurut Adrie, kriteria keamanan biasanya diletakkan sebagai pra-syarat nomor satu manajemen artis. ''Meski ini (travel warning) bersifat temporer namun dampaknya luar biasa''. Rinni Noor baru saja menerima pembatalan dari manajemen Michael Buble, penyanyi swing jazz-easy listening, yang dijadwalkan menggelar konser 16 Oktober 2005 di Plenary Hall, Jakarta. ''Pasca bom Bali II, 1 Oktober lalu memang menjadi pertimbangan utama manajeman Buble,'' katanya. Menurut Rinni, pihaknya selaku promotor telah melakukan berbagai macam cara untuk membujuk manajemen penyanyi yang melejit lewat tembang ''Kissing A Fool'' dan ''Home'' itu. Namun mereka bersikeras bahwa faktor keamanan Indonesia belum memungkinkan. Sebelumnya Rinni juga pernah mengalami pembatan konser Alanis Morisette. Tetap Optimis. Pasca tragedi bom Bali I, Otober 2002 hingga bom Bali II, travel warning menjadi momok bagi promotor konser musik artis manca negara. Efek domino dari berbagai tragedi bom memang mempengaruhi hampir semua aspek kehidupan, namun menurut Adrie Subono , industri hiburan dan pariwisata terkena dampak langsungnya. Adrie mengaku punya rumusan sederhana menyiasati seringnya travel warning dialamatkan ke Indonesia. ''Kami tetap optimis aja,'' tegasnya. Tommy Pratama dan Rinni Noor juga menyatakan pembatalan konser memang membuat mereka sedih dan rugi, namun hal itu tidak menyurutkan eksistensi mereka dalam dunia bisnis hiburan. ''Tidak semua artis gentar terhadap travel warning. Sebab, bagi mereka bom bisa meledak di mana saja,'' papar Tommy, sembari memberi contoh grup rock asal Jerman, Scorpions, yang tetap menggelar konsernya meski bom baru saja meledak di Kedubes Australia, beberapa waktu lalu. Sejumlah konser memang tidak langsung dibatalkan, ada juga yang dijadwalkan ulang atas alasan keamanan. Namun dalam banyak hal momentum konser yang direncanakan menjadi hilang. ''Kalau kami disuruh menyebutkan artis mana lagi yang akan kami undang untuk konser di Indonesia, kami lebih suka untuk sementara ini merahasiakannya,'' tutur Tommy. (G20-43)

Gigi

Senin, 10 Oktober 2005 BUDAYA
"Perdamaian" ala GIGI
JAKARTA-Sadar, jeli, cermat, dan pandai membaca pasar adalah salah satu strategi untuk terus melestarikan eksistensi GIGI di belantika musik Tanah Air. Armand Maulana (vokal), Dewa Budjana (gitar), Thomas Ramdhan (bas), dan Hendy (drum) menggunakan strategi itu ketika merilis album teranyar mereka: Raihlah Kemenangan Repackage. Album yang pernah menjadi best seller pada bulan Ramadan tahun lalu itu, dikemas ulang dengan imbuhan dua buah tembang lawas yang diaransemen ulang. ''Tadinya ada empat tembang baru tapi lawas yang disodorkan pihak Sony BMG Indonesia. Setelah kami timbang akhirnya kami memilih lagu 'Perdamaian' dan 'I'Tiraf','' ujar Arman Maulana dalam peluncuran album tersebut di Hard Rock Cafe Jakarta, akhir pekan lalu. Album yang langsung laris manis hingga mencapai angka 75 ribu kopi atau Golden Gold itu, digarap sebelum keberangkatan mereka ke Amerika dalam rangka menggelar konser ''GIGI East Coast America Tour 2005'' beberapa waktu yang lalu. Aransemen "Perdamaian" ciptaan Drs H Abu Ali Haidar yang aslinya bernuansa gambus dan biasanya dibawakan kelompok kasidah atau marawis, di tangan GIGI disulap dalam corak rock ultra modern. ''Ya, intinya dibalut dalam warna kami. Kalau produser memasukkan corak musik ini dengan sebutan rock ultra modern, mungkin hanya strategi pasar belaka,'' tutur Dewa Budjana.
Sedangkan tembang "I'Tiraf" karya Abu Nawas, tidak jauh dengan warna aslinya yang bertempo lambat, dibawakan kelompok band asal Bandung ini dengan variasi tempo pada interlude. Tanggapan Positif . Sekadar mengingatkan, album Raihlah Kemenangan pernah dirilis dua hari menjelang Ramadan 2004 dan mendapat tanggapan positif dari pasar. Tembang "Tuhan" ciptaan penyair Taufik Ismail yang dipopulerkan oleh Sam Bimbo yang mendayu, di tangan Armand menjadi sangat ngerock. Demikian halnya dengan tembang "Rindu Rosul" (Sam Bimbo, Taufik Ismail) dan "Ketika Tangan dan Kaki Berkata" (Chrisye, Taufik Ismail) diaransemen dengan nuansa yang dinamis. ''Siapa menyangka jika ramuan ini mendapat sambutan hangat dari pendengar dan pencinta musik Tanah Air,'' ujar Totok, produser dari Sony BMG Indonesia.
Apakah "pelarian'' GIGI yang untuk saat ini hanya berani bermain di jalur repackage, dan bermain-main di area religiusitas hanya memanfaatkan pasar yang sedang menyambut bulan suci Ramadan? ''Insya Allah, Desember atau paling tidak awal tahun depan album kami yang benar-benar anyar kelar kok,'' tampik Armand. ''Mosok saya menunggangi Ramadan. Ini hanya kebetulan karena album ini memang penuh dengan muatan religiusitas,'' imbuh suami penyanyi Dewi Gita ini. Album yang mengemas 12 tembang ini rencananya akan diperdengarkan dalam Ramadhan Tour di lebih dari 20 kota di Jabodetabek, Jabar, dan Jateng dengan menggelar konser di sejumlah pesantren dan berkolaborasi dengan anak-anak pesantren di kota yang disinggahi. (G20-45)

Putu

Kamis, 06 Oktober 2005. BUDAYA
Konsep Teater Tanpa Naskah

TEATER Mandiri didirikan Putu Wijaya pada 1971. Nama teater itu diambil dari istilah kemandirian yang berasal dari bahasa Jawa dan dipopulerkan oleh Profesor Djojodigoeno, dosen Sosiologi UGM Yogyakarta sebagai pengertian dari independence. Pada awalnya, Teater Mandiri mengisi acara sandiwara TVRI, yang saat itu sebagai satu-satunya stasiun teve di Indonesia, menampilkan lakon Orang-orang Mandiri. Selanjutnya, mereka menggarap dua lakon, Aduh dan Kasak Kusuk. Namun, keduanya tidak pernah disiarkan karena dianggap tidak mendukung politik pemerintah saat itu. Tahun 1974, kelompok teater ini mulai menggelar pentas di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Kali pertama menampilkan lakon Aduh dan Anu. Tahun 1975, kelompok ini merintis sebuah konsep tontonan tanpa naskah, dimulai dengan 3 pagelaran, yakni Lho, Entah dan Nol. Konsep tontonan tanpa naskah ini didominasi oleh musik dan imaji-imaji visual di sepanjang pertunjukan. Konsep ini memunculkan Teater Mandiri sebagai kelompok teater yang berbeda dari kebanyakan kelompok teater yang ada di Indonesia. Namun, mereka juga tetap mementaskan pertunjukan yang menggunakan naskah, antara lain Hum-Pim-Pah, Dor, Edan, Blong, Los, Gerr, Aum, Tai, Front serta Aib dan Wah. Tahun 1990, Teater Mandiri mewakili Indonesia berkeliling ke 4 kota di Amerika Serikat, Connecticut, New York, Seattle dan Los Angeles dengan konsep teater tanpa naskah. Mereka hanya menampilkan bayangan dan layar raksasa dengan judul Yel,. Konsep yang sama juga dilakukan untuk lakon Bor yang dipentaskan di Brunei Darussalam. Dengan idiom layar dan bayangan ini, Teater Mandiri juga mementaskan The Coffin is Too Big for the Hole karya Kuo Pao Kun (Singapura) di Festival Teater Asia 2000 di Tokyo, Jepang. (Benny Benke-43)

teater Mandiri

Kamis, 06 Oktober 2005. BUDAYA
Teater Mandiri Raih Penghargaan di Mesir
JAKARTA - Teater Mandiri pimpinan Putu Wijaya meraih penghargaan sebagai Best Essemble Work dalam Cairo International Festival for Experimental Theater (CIFET) 2005 di Kairo, Mesir, pekan lalu. Lakon yang pernah dipentaskan di Grha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, itu dalam festival tersebut dimainkan dengan judul Shifro. CIFET yang diselenggarakan Kementerian Kebudayaan Arab Mesir, tahun ini merupakan penyelenggaraan ke-17 dan diikuti 42 negara. Dunia teater Indonesia patut berbangga atas prestasi Teater Mandiri, yang berdiri sejak 1971 dan dikenal sebagai kelompok teater yang unik. Manajer Teater Mandiri Egy Massadiah yang bertindak sebagai ketua rombongan Teater Mandiri di Kairo, kemarin mengabarkan keberhasilan yang dicapai ini dirayakan secara sederhana dengan syukuran di Wisma Duta Besar RI di Kairo. Seniman Yordania. Dalam CIFET 2005 gelar Best Essemble Work diraih oleh dua grup, yakni Teater Mandiri lewat lakon Shifro-Zero dan Teater Ikatan Seniman Yordania yang menampilkan lakon El Khuruj ila ed Daakhil (Keluar ke dalam). Sementera itu, gelar Pemeran Pria Terbaik diraih Fernik Filr (Mesir) yang tampil dalam lakon Nadrah Midusa el Hadah (Pandangan Tajam Medusa). Seniman Irak, Haidar Munatsir meraih hadiah Sinografi Terbaik lewat pertunjukan Hariq el Banafsaj. Syria memperoleh Hadiah Pertunjukan Terbaik melalui Faudho (Keributan), dan sutradaranya Abdul Mun'im el Amairi terpilih sebagai sutradara terbaik. Sementara itu, aktris Syuruq Muhammad (Yaman) meraih gelar Pemeran Wanita Terbaik lewat lakon Anta . Hasil penilaian festival tersebut diumumkan oleh Ketua Tim Juri, Mark Houl Ameetin (Amerika Serikat) dalam konferensi pers di kantor Majelis Tinggi Kebudayaan Mesir. Tim Juri terdiri atas Adrian Dee Stivaano (Argentina), Pure Alexander (Rusia), Trens Surus (Belanda), Juee An (China), Deminik Brudan (Perancis), Maldina Falluki (Italia), Hidnyaga Ituri (Jepang), Wulf Bung (Jerman), Yusuf Al Aani (Irak) dan Faridah Naqasy (Mesir). (G20-43)

Teguh Karya.

Kamis, 29 September 2005. BUDAYA
Jejak Langkah Maestro Sinema Indonesia
Konser A Tribute to Teguh Karya

JAKARTA - Tepat pukul 21.00 WIB, overture pembuka yang dibawakan Twilite Orchestra dengan konduktor Addie MS membuka konser A Tribute to Teguh Karya. Setelah itu, Slamet Rahardjo Djarot, salah seorang murid maestro sinema Indonesia itu menyampaikan narasi tentang perjalanan hidup Lim Tjoan Hok alias Teguh Karya. ''Sebelum berubah menjadi Teguh Karya atas anjuran Bung Karno, Lim Tjoan Hok memperkenalkan dirinya dengan nama Stevanus Lim atau Steve Lim,'' tutur Slamet yang menggagas konser di Balai Sarbini, Jakarta itu bersama Teater Populer. Sejurus kemudian, tembang ''Ranjang Pengantin'' yang dilantunkan Harvey Malaiholo menyihir sekitar 1.000 penonton, termasuk Jaksa Agung Abdulrahman Saleh, Kepala Bappenas Sri Mulyani Indrawati, Adi Sasono, Wiranto, Suryo Paloh dan beberapa tokoh nasional lainnya. Setelah Harvey menghantarkan kemerduan suaranya, ''Kijang Muda'' menggema lewat lantunan Ruth Sahanaya. ''Sebagaimana pengakuan Ruth kepada saya, dia adalah salah satu pengagum Pak Teguh,'' kata Slamet sebelum Ruth naik ke panggung yang dilatarbelakangi sebuah layar yang menggambarkan highlight film-film garapan Teguh Karya. Menurut Slamet yang dengan rileks menuntun alur konser, acara itu merupakan gambaran jejak langkah Teguh Karya yang tidak didiskripsikan secara kronologis. ''Namun sengaja kami kemas dengan melompat-lompat tanpa mengurangi sedikitpun penghormatan kami kepada almarhum''. Nostalgia Para Murid . Setelah music score film November 1828 mengalun, Rafika Duri dengan kalem melantunkan ''Kerbau Jantan'', soundtrack film pertama Teguh Karya, ''Wajah Seorang Laki-Laki'' (1970). Setelah Rafika mendapat aplaus, giliran Anna Mantovani menembangkan ''Cinta Pertama''. Dan, inilah yang ditunggu-tunggu, Christine Hakim, salah seorang anak didik Teguh melenggang ke panggung bersama Slamet Rahardjo. Christine masih menyisakan butiran air mata di pipinya. ''Saya tidak tahu apa yang akan saya katakan. Saya hanya berharap bila dia ada di sini, betapa dia adalah orang yang paling bangga dan bahagia (kepada murid-muridnya),'' kata Christine sembari menyeka air matanya. Dia lalu mempersilahkan Eros Djarot ke panggung untuk menendangkan lagu karnya sendiri ''Merpati Putih'' dari film Badai Pasti Berlalu (1979) bersama kakaknya, aktor dan sutradara Slamet Rahardjo Djarot. ''Inilah orang yang paling sering bertengkar secara ide dengan Pak Teguh,'' kata Christine memperkenalkan sutradara Tjoet Nya' Dhien itu. Secara keseluruhan konser A Tribute to Teguh Karya yang music composer-nya ditangani Idris Sardi dan Eros Djarot dan dimainkan oleh Twilte Orchestra dengan konduktor Addie MS, berjalan menghanyutkan. Nuansa noltalgia dan air mata kental dalam setiap alunan tembang. Idris Sardi yang juga membawakan tembang ''Lagu Rumah Atas Pasir'' lewat lengkingan biolanya cukup mampu membuat terkesima penonton. Konser untuk mengenang 33 tahun persahabatan antara murid Teguh Karya itu dihadiri oleh murid-murid Teguh lainnya seperti Nano Riantiarno, Alex Komang, dan Lenny Marlina. (Benny Benke-43).

Ruth

Jumat, 16 September 2005. NASIONAL
Live in Concert Ruth Sahanaya
Pembuktian sang Diva

BELUM usai penonton terhenyak, tiba-tiba mereka kembali dibuat terpukau dengan penampilan Ruth Sahanaya dalam konser tunggalnya yang bertajuk "Live in Concert Ruth Sahanaya". Sebelumnya, penonton disuguhi dengan lengkingan suara khas Uthe, panggilan akrab Ruth Sahanaya yang tampil dengan goyangannya. Di tengah tembang "Keliru" yang dilantunkan Uthe, tiba-tiba dari bawah panggung muncul Glenn Fredly. Penyanyi nyong Ambon itu keluar sembari menimpali tembang tersebut dengan suara khasnya. Sontak ribuan penonton yang menyaksikan konser itu kembali larut dalam teriakan histeris dan tepuk tangan yang membahana. Sebagian besar penonton tak menyangka, Glenn yang malam itu bertindak sebagai bintang tamu muncul di tembang tersebut. Selanjutnya duet Uthe dan Glenn kembali melantunkan tembang "Selangkah Bersama". Ya, semalam Uthe membuktikan kedivaannya sebagai salah satu penyanyi berkualitas yang dimiliki Indonesia dalam konser di Plenary Hall, Jakarta Convention Centre (JCC). Dengan iringan Erwin Gutawa Orchestra, Uthe membawakan 25 tembang selama hampir dua jam tanpa jeda. Berbagai genre musik ia suguhkan demi kerinduan para penggemarnya. Terang saja, penonton seakan seperti mendapat "guyuran air" di tengah kerinduan mereka akan kembalinya Uthe menggelar konser. Mereka seakan tak diberi jeda waktu untuk menghela napas panjang. Diajak Bernostalgia. Selain menyanyi, dengan diiringi 20 penari latar, Uthe juga didaulat untuk tampil sambil menari. Hal yang tak biasa dilakukan oleh Uthe sebelumnya. Penampilanya semalam semakin mengkukuhkan perempuan kelahiran 1 September 1966 ini sebagai salah satu diva Indonesia. Uthe membuka konser dengan tembang "Bawa Daku Pergi". Tembang tersebut seakan menjadi anak panah yang dilesatkan dari busurnya. Penonton yang datang sedari pukul 18.00 tak menunggu lama untuk mengikuti alunan bait-perbait tembang yang dinyanyikan perempuan bertinggi badan 154 cm dan berat 45 kg tersebut. Berturut-turut tembang "Dansa", "Aku Tergoda", "Seputih Kasih", dan "Merenda Cinta" keluar dari mulut isteri Jefry Woworuntu itu. Tembang-tembang tersebut seakan kembali mengingatkan penonton, yang tak hanya dari kalangan berumur tapi juga para remaja, untuk bernostalgia. Simak saja, seperti kala Uthe melafalkan tembang "Jatuh Cinta", "Kaulah Segalanya Untukku", "Memori", dan "Amburadul". Penonton seakan diajak untuk bernostalgia. Tembang-tembang tersebut melambungkan nama perempuan berdarah Ambon kelahiran Bandung ini. Sebagian besar penonton seakan kembali diajak bernostalgia setelah menunggu jeda waktu selama 12 tahun. Ya, 12 tahun lalu Uthe pernah menggelar konser tunggal di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki Jakarta, tepatnya pada akhir Januari 1993. Arranger dan penata artistiknya pun saat itu ditangani Erwin Guatawa dan Jay Subiyakto. Penyanyi yang sudah menelorkan 12 album itu kembali membuat jantung penonton berdegup kencang. Saat membawakan tembang "Astaga", Uthe melantunkannya nyaris tanpa cela. Kekuatan lengkingan vokalnya yang berkarakter sanggup membius telinga para pendengarnya. Apapun kalimatnya, penampilan Uthe semalam seakan sulit untuk dieja dan tak terlukiskan. Ya, konser tersebut seakan sebagai pembuktian bagi sang diva. (Fahmi Z Mardizansyah, Benny Benke-45)

Khatulistiwa Literary Award 2005

Rabu, 07 September 2005. BUDAYA
Lima Prosa dan Lima Puisi Berebut Khatulistiwa Literary Award 2005
JAKARTA-Cermin Merah karya Nano Riantiarno), Kitab Among Kosong (Seno Gumira Ajidarma), Nayla (Djenar Maesa Ayu), Parang Tak Berulu (Raudal Tanjung Banua), dan Sihir Perempuan (Intan Paramaditha) akan memperebutkan Katulistiwa Literary Award (KLA) 2005 untuk kategori prosa. Sedangkan "Gugusan Mata Ibu" karya Raudal Tanjung Banua, "Indonesiaku" (Hamid Jabbar), "Kekasihku" (Joko Pinurbo), "Kerygma dan Martyria" (Remy Sylado), dan "Matahari-matahari Kecilku" (Imam Budi Santosa) akan bersaing menjadi yang terbaik dalam kategori puisi. Dalam pengumunan lima besar KLA 2005 di QB World Book, Semanggi, Jakarta, kemarin, Riris Toha Sarumpaet, selaku koordinator tim juri menegaskan bahwa terpilihnya kelima masing-masing kategori tersebut telah melalui proses seobjektif mungkin. "Menilik pada penyelenggaraan kelima setelah bergulir sejak 2001, proses penjurian KLA terus mengalami penyempurnaan," ujar Riris, yang juga pengajar di Fakultas Budaya Universitas Indonesia. Menurut dia, tahap pertama penjurian KLA 2005 telah berlangsung 1-4 Juni 2005. Pada tahap tersebut, ketujuh juri (yang dirahasiakan namanya) menominasikan sepuluh karya sastra dari karya yang terbit antara Juni 2004-Mei 2005, untuk kategori prosa dan puisi. Sedangkan acuan awal yang digunakan tim juri yang bekerja marathon karena terlalu banyaknya karya yang diseleksi berdasarkan pada: 1. Inovasi dalam teknik penulisan, dan penggunaan perangkat-perangkat sastra. 2. Orisinalitas dalam penggunaan dan eksplorasi bahasa. 3. Kedalaman penggarapan tema atau cerita. 4. Sumbangan karya sastra secara keseluruhan bagi perkembangan sastra Indonesia. "Meski kami juga menyadari bahwsa penilaian ini tidak terlepas pula dari subjektivitas para dewan juri dengan segala keterbatasan kemanusiaannya," imbuh Riris. Menurut Riris, tahap kedua seleksi KLA 2005, berlangsung 5 Juli-26 Agustus 2005. Karya-karya hasil tabulasi tahap I di kantor akuntan publik Ernst & Young, kembali diteliti oleh tim juri tahap II. Yang terdiri dari 15 orang dan bukan merupakan juri tahap I atau tahap III. "Mereka saya pilih dari berbagai kalangan yang kualifikasi dalam pengalaman membaca yang tidak meragukan lagi. Jadi mereka tidak harus mengusai susastra, namun cukup mencintai dunia dan kehidupannya". Para juri yang saling tidak mengenal identitas sesama dewan juri dengan harapan mampu menjaga kerahasiaan inilah yang diharapkan dapat menghasilkan pilihan yang benar-benar mumpuni. Bahkan dengan ancaman keanggotaan mereka sebagai dewan juri akan dicabut jika membicarakan apalagi membocorkan nominasi, KLA 2005 diharapkan mampu meminimalisasi unsur subyektivitas. Pada tahap terakhir penjurian yang melibatkan 21 juri, kelima prosa dan puisi peraih KLA 2005 akan diumumkan pada 30 September 2005, di Atrium Plaza Senayan Jakarta. "Pemenang prosa akan menerima hadiah Rp 100 juta dan pemenang puisi Rp50 juta," ujar Richard Oh, penggagas KLA, sembari menambahkan, para pemenang akan diikutkan dalam International Writers Festival di Ubud Bali pada 8-11 Oktober 2005. (G20-45)

Kongres Kesenian

Selasa, 06 September 2005. BUDAYA
Kongres Kesenian Indonesia 2005 Digelar
JAKARTA-Kesenian adalah aset negara yang memerlukan pemeliharaan, pertumbuhan, dan pengembangan yang tepat serta berkesinambungan. Dengan demikian, negara berkewajiban memberikan ruang kebebasan berekspresi, kesempatan eksplorasi, dan fasilitas dalam bentuk saran dan tunjangan dana yang memungkinkan kesenian tidak hanya menjadi klangenan tapi juga cahaya bangsa. Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Ir Jero Wacik SE menyatakan hal itu kepada wartawan berkaitan dengan rencana penyelenggaraan Kongres Kesenian Indonesia (KKI) II 2005. Kegiatan yang digelar di Padepokan Pencak Silat TMII Jakarta, 26-30 September 2005, tersebut melibatkan 500-an peserta dari seluruh provinsi di seluruh Indonesia. Kongres yang diikhtiarkan untuk mencari dan mensiasati realitas kesenian di Indonesia itu, akan diramaikan dengan kehadiran seniman, budayawan, pengamat, kritikus, kurator, event organizer, rumah produksi, pemikir kebudayaan, birokrat, impresario, lembaga pendidikan seni, serta wartawan seni dan budaya. Pokok Bahasan. Kongres KKI II akan membahas lima pokok bahasan, yakni Seni dan Industri dalam Perspektif Loka, Nasional, dan Internasional, Kajian dan Pendidikan Seni, Fungsi Kesenian di Masyarakat, Hukum, Profesionalisme Seni dan Pengelolaan Kesenian, serta Dinamika dan Kreativitas Media Seni. ''Kelima pokok bahasan ini akan diurai dalam 25 topik yang akan dibahas dalam sidang pleno, sidang grup, dan forum pekerja seni dalam bentuk talk show,'' kata Sri Hastanto, Dirjen Seni dan Film yang juga bertindak sebagai salah seorang panitia dari pihak pemerintah. Dengan melibatkan pembicara dari kalangan pakar seni, industri (seni), hukum (pajak), LSM, akademisi, pertelevisian/film, organisator kesenian, hingga media massa, KKI II 2005 diharapkan dapat menelorkan keputusan-keputusan yang berbobot. Pihak yang terlibat di antaranya Komisi XI DPR RI, Ditjen Pajak Depkeu, Putu Wijaya, Arswendo Atmowiloto, Ratna Riantiarno, Nungki Kusamustuti (Jakarta), Benny Yohannes (Bandung), Sapto Rahardjo (Yogyakarta), Ben Pasaribu (Medan), Taufik Ikram Jamil (Riau), Halilintar Latief (Makassar), Endo Suanda (Bandung), dan Sutanto Mendut (Magelang). Panitia KKI II hingga 10 September masih memberikan kesempatan bagi para seniman (teater, sastra, tari, rupa) dari seluruh provinsi Indonesia untuk mendaftarkan diri secara langsung melalui www.kki2005.com. 'Namun demikian, setiap daerah atau provinsi hanya berhak mengirimkan empat wakil, dan peserta KKI II akan kami seleksi dengan ketat,'' papar Putu Wijaya, salah seorang tim pengarah. (G20-45)

Infotainment

Rabu, 31 Agustus 2005. BUDAYA
Dibenci Artis tapi Juga Dibutuhkan

JAKARTA - Infotainment, siapa yang tidak mengenal kata ini. Sebuah terminologi yang berasal dari kata information dan entertainment ini telah menjadi bagian kehidupan masyarakat pemirsa teve. Bayangkan, berdasarkan data Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), saat ini terdapat 112 program tayangan berjenis infotainment, dan 68 tabloid yang menyoroti berbagai tingkah polah para selebritis. Meski secara jurnalistik cara kerja awak infotainment sering dikeluhkan para nara sumber, khususnya artis, para artis sangat membutuhkannya. Mereka memang membutuhkan publikasi untuk menjaga atau meningkatkan popularitas di bisnis hiburan. Persoalan itu dikupas dalam "Diskusi Publik; Menyoal Jurnalisme Infotainment" di Kantor KPI, Jl Gajah Mada, Jakarta, Selasa (30/8). Diskusi menghadirkan pembicara Ilham Bintang (Pemred Program dan Tabloid Cek & Ricek), Adhe Armando (KPI), Veven SP Wardana (pengamat media TV) dan Sarah Azhari (artis). Acara yang mendapat sambutan meriah dari pekerja infotainment itu berjalan gayeng. Tengoklah ketika Sarah Azhari yang kerap berseteru dengan pekerja infotainment menumpahkan segala kekesalannya. "Bagaimana mungkin saya menaruh respect dengan para pekerja infotainment jika konfirmasi yang saya berikan hampir selalu berbeda statemennya begitu keluar di layar kaca," kata adik Ayu Azhari itu. Menurut Sarah, yang mengaku sering didiskriminasikan infotainment, pola kerja para awak "gosip" tersebut serampangan. Kemarahan Sarah dimaklumi Adhe Armando dan Veven SP Wardana. Menurut keduanya, para pekerja infotainment, karena tuntutan pekerjaannya, sering menghalalkan segala cara untuk mendapatkan berita dari narasumber. "Memang ada kecenderungan infotainment menjurus pada jurnalisme yang mengintimidasi narasumber," kata Adhe, yang mengaku KPI sering mendapatkan surat keluhan dari masyarakat tentang isi infotainment yang menyajikan perkelahian dan perceraian rumah tangga para artis. Veven juga menyoroti sepak terjang kru infotainment yang cenderung seenaknya menerabas mainstream kode etik jurnalistik, yang biasa diterapkan media cetak yang mapan. "Menggedor-gedor mobil narasumber, mengumpat, mencuri visualisasi dan pernyataan narasumber, sama saja maknanya dengan mencundangi atau memantati kode etik jurnalistik." Otoritas Kebablasan. Pekerja infotainment telah diakui sebagai wartawan oleh PWI pada 2004. Namun, mereka sebenarnya pekerja untuk production house (rumah produksi) yang badan hukumnya bukanlah media pers, sehingga keberadaan mereka dipertanyakan. "Kami menyadari itu, mereka memang dinilai sering tidak menangkap secara jernih substansi persoalan. Mereka lebih sering mendahulukan sensasi," tutur Ilham Bintang. Namun, Ilham menambahkan, jika narasumber atau artis merasa dirugikan dengan pola kerja infotaiment bisa langsung mengadukannya secara hukum. Ilham juga mengingatkan para awak infotainment agar tidak melulu menggunakan UU Pers No 40 Tahun 1999 dalam proses peliputannya untuk menakut-nakuti narasumber yang menghalangi kerja jurnalistiknya. "Terkadang sebagai wartawan, otoritas awak infotainment kebablasan," kata Ilham sembari menyontohkan sebuah narasi infotainment yang memojokkan pasangan selebritis yang menikah diam-diam. "Apa otoritas wartawan infotainmnet sehingga bisa seenaknya harus mengetahui semua perkawinan para selibritis?" tanya dia. Menurut dia, ironisnya malapraktek yang kerap dilakukan pekerja infotainment dalam tugasnya justru mendapatkan tanggapan pemirsa yang paling tinggi. Hal ini terlihat dengan rating infotainment yang cukup besar. Malah lebih besar dibandingkan dengan program news televisi. "Dalam dunia televisi, penonton yang banyak berarti sebuah acara memiliki nilai ekonomi yang cukup bagus," kata Ilham.(G20-43)

CP Biennale 2005

Selasa, 30 Agustus 2005. BUDAYA
CP Biennale 2005
Gambaran Fungsi Sosial Seni Rupa

JAKARTA-Sempat mencuri perhatian masyarakat seni dunia pada penyelenggaraan pertamanya pada 2003 lalu, CP Biennale kedua digulirkan tahun ini. Jika pada September 2003, Biennale atau agenda seni dua tahunan itu mengusung tema "Interpelation", pada 2005 ini tema "Urban/Culture" menjadi pilihannya. Agenda seni kontemporer bergengsi yang oleh harian berpengaruh Amerika Serikat The New York Times ditulis sebagai ''A Biennale that puts Indonesia on the map '' ini boleh jadi akan semakin mencatatkan nama Indonesia dalam peta seni dunia. Betapa tidak, dengan melibatkan 18 peserta dari luar negeri dan 52 peserta dari Indonesia, Biennale kali ini akan menjadi perhelatan seni kontemporer yang benar-benar berkualitas dan menyenangkan. Peserta dari mancanegara yang terdiri atas dua grup arsitek, dua fotografer, 14 perupa/pelukis sedangkan dari Indonesia terdiri atas 20 perupa/pelukis/kartunis, 16 kelompok perupa dan komunitas, tiga kelompok arsitek yang bekerja sama dengan perupa, enam arsitek/grup arsitek, empat fotografer/kelompok fotografer, dan tiga kelompok perancang grafis. ''Penyelenggaraan tahun ini kami rancang juga untuk memperingati ulang tahun ke-60 RI dan peringatan 50 tahun Konfrensi Asia Afrika,'' ujar Jim Supangkat, Ketua Dewan Kurator, di Jakarta, kemarin. Menurut Jim, kegiatan yang akan dipusatkan di Museum Bank Indonesia, Jakarta Kota 5 September-5 Oktober 2005 ini secara kurasi bertujuan menampilkan gambaran lebih jelas tentang fungsi sosial seni rupa, khususnya di Tanah Air. ''Tema Urban/Culture menyodorkan persoalan yang punya berbagai dimensi, yaitu masalah perkembangan dan kemajuan, masalah sosial, ekonomi dan politik, dan juga masalah sejarah,'' katanya. Masyarakat Urban. Dalam perkembangan seni rupa Indonesia, menurut Jim, tercatat arus besar kecenderungan yang mengangkat masalah sosial. ''Apabila diamati dengan cermat sebagian besar masalah sosial yang diangkat adalah persoalan yang muncul di kota-kota besar. Hal ini terlihat dengan sangat banyaknya pameran yang mempersoalkan masalah masyarakat urban'', imbuh dia. CP Biennale 2005 dibiayai secara kolektif oleh CP Foundation dan lembaga-lembaga internasional. Selain dana CP Foundation dan UBS sebagai donatur tetap CP Foundation, dana didapat dari lembaga-lembaga internasional yang biasa mendanai pameran-pameran internasional yang tidak komersial. Di antaranya Prince Claus Fund dari Belanda, Asian Cultural Council Rockefeller Foundation, New York, The Japan Foundation Tokyo, dan Goethe Institute. ''Sementara itu lembaga-lembaga seperti National Art Council Singapura dan Erasmus Huis membiayai kesertaan perupa dan pembicara seminar dari negara masing-masing,'' ujar Naning Bambang Sugeng selaku manajer produksi. Sedangkan seminar dengan tema Urban Reflection yang menyertai CP Biennale 2005 akan diselenggarakan pada 6 September 2005 dan membahas berbagai dimensi persoalan masyarakat urban. Acara pembukaan itu sendiri akan dibuka oleh Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah. (G20-45)

Sherina

Jumat, 26 Agustus 2005. BUDAYA
Kerlip Bintang di Tengah Kelangkaan Penyanyi Cilik
JAKARTA - Siapa yang tak kenal Sherina, penyanyi cilik dengan kemampuan vokal yang prima dan menggemaskan. Juga si imut Tasya, yang aksi panggungnya sering mengundang decak kagum. Keduanya adalah penyanyi cilik yang tak sekadar berani menyanyi, tetapi memang seorang entertainer sejati. Pentas mereka selalu ditunggu anak-anak. Sebelumnya, ada Joshua, Trio Wek-Wek dan Agnes Monica yang tak kalah mengemaskannya. Namun, waktu berjalan dengan cepat, dan mereka semua kini telah beranjak remaja. Ada yang tetap eksis sebagai penyanyi. Ada pula yang menghilang entah kemana. Namun, mereka tetap dikenang sebagai bintang cilik yang pernah meramaikan dunia hiburan di Tanah Air. Regenarasi penyanyi cilik, dalam arti yang benar-benar memiliki kualitas sebagai penyanyi, memang tak sebaik penyanyi remaja atau dewasa. Maka, ketika seorang bintang cilik muncul, dia akan segera menjadi sorotan. Di tengah sepinya penyanyi cilik kini muncul nama Rebecca, gadis cilik yang masih duduk di klas 6 SD. Rebecca mencoba membuktikan talentanya sebagai penyanyi dengan bekal suara yang tidak mengecewakan. Betapa tidak, dia pernah meraih medali perak pada Children Choir Olympics di Busan, Korea, Oktober 2002 dan Children Choir & Folklore Instrumental Accompaniment di Bremen, Jerman, Juli 2004 ini. Dengan bekal itu, dia bersiap menjadi kerlip bintang di kelangkaan penyanyi cilik saat ini dengan merlis sebuah album. Irama Orkestra. ''Persiapan album ini lebih dari dua tahun, dan kami harus bersiasat dengan perubahan suara Beca yang terus berubah sesuai dengan perkembangan usianya,'' jelas Doddy Sukarman, aranger album bertajuk Rebecca ini,'' di Jakarta, kemarin. Album yang merangkum 10 tembang dengan menyertakan tembang lama ''Tanah Air'' (Ibu Sud) dan ''Indonesia Pusaka'' (Ismail Marzuki), serta single hits ''Kunang-Kunang'' (Arnoldy F Sukarman) tampaknya digarap dengan keseriusan yang terjaga. Hampir semua lagu disajikan dalam balutan irama orkestra, serta diperkaya dengan racikan jazzy, pop, dan hymne. Album yang bernaung di bawah bendera Malta Music Indonesia ini tampaknya akan menjadi lang kah awal yang menjanjikan banyak harapan.
''Saya hanya ingin menyanyi dan menyanyi, meski sebenarnya cita-cita saya ingin menjadi dokter,'' kata Beca seusai memamerkan kemerduan cengkok suaranya. ''Tapi saya nggak seneng biologi, jadi saya ingin jadi penyanyi saja''. Ah, kanak-kanak memang apa adanya. Dengan bakat besar yang dimilikinya, siapa yang tahu nasib mujur akan menaungi gadis cilik itu. (G20-43)

Mick

Kamis, 25 Agustus 2005. BUDAYA
Bibir Dower Bergelar Bangsawan
SIR Michael ''Mick'' Philip Jagger. Siapa yang tidak mengenal pria berbibir lebar alias dower ini? Dia adalah musikus, aktor, penulis lagu, komposer, dan produser yang lebih dikenal dengan nama Mick Jagger. Sebagai lead vokal dan pendiri The Rolling Stones bersama Brian Jones (almarhum), Jagger tidak hanya telah membuktikan diri menjadi ikon, motor, dan tanda bagi grup band bentukan tahun 1962 itu. Lebih dari itu, putra Joe dan Eva Jagger kelahiran 26 Juli 1943 di Dartford, Kent, Inggris ini, telah menjadi sukma bagi grup band beraliran rock n roll ini. Mengawali karier bermusik pada usia belasan dengan membentuk band bernama Little Boy Blue & the Blue Boys yang beraliran rock n roll. Tak lama kemudian dia bertemu dengan bakal gitaris Rolling Stones, yaitu Keith Richards, ketika keduanya sama-sama duduk di Dartford Maypole County Primary School. Karena sama-sama menggemari rock n roll dan blues, keduanya sepakat bersama Brian Jones membentuk The Rolling Stones, dengan melibatkan Bill Wyman, dan Charlie Watts. Seiring berjalannya waktu, nama Rolling Stones telah menancapkan diri menjadi legenda hidup dengan segala kebesarannya. Pada suatu periode mereka pernah akrab dengan obat terlarang dan menjadi contoh buruk yang tidak pantas diteladani. Namun mereka bisa berubah dan tetap menjadi idola di berbagai penjuru dunia. Kebesaran Rolling Stones hingga kini tidak terbantahkan, khususnya sosok Mick Jagger. Bibir lebar dengan lidah menjulur akhirnya menjadi ikon supergrup ini. Bahkan, Kerajaan Inggris secara resmi menganugerahi Mick Jagger gelar Ksatria atau Knight pada 12 December 2003 atas pengabdiannya dalam perkembangan musik popular. Mengenai gelar bangsawan dari Ratu Inggris Elizabeth kepada Mick Jagger, motor Rolling Stones lainnya, ''Sang Pangeran Kegelapan'' Keith Richards berkomentar lirih, ''Ini gelar yang penuh lelucon''. ''Saya tidak dapat membayangkan sepanggung dengan seorang vokalis yang mengenakan baju zirah perang dan pedang di tanggannya,'' kata Ricards menggoda Jagger. Dan Sir Mick Jagger hanya tersenyum. (Benny Benke-43)

Discography The Rolling Stones
- Beggars Banguet (1968)
- Let It Bleed (1969)
- Sticky Fingers (1971)
- Exile on Main Street (1972)
- Some Girls (1978)
- Tatto You (1981)
- Dirty Work (1989),
- Steel Wheels (1989)
- Voodoo Lounge (1994)
- Bridges to Babylon (1997)
- Live Album - Stripped (1995)
- Hits Collection Forty Licks (2002)
- A Bigger Bang (2005)

The Rolling Stones

Kamis, 25 Agustus 2005. BUDAYA
The Rolling Stones Masih Menggelinding .
Rilis Album Baru ''A Bigger Bang''

ADAKAH grup band yang paling ditunggu-tunggu kehadiran album barunya di muka bumi ini selain Rolling Stones? Pertanyaan itu bukanlah sebuah kecongkakan. Kelegendarisan grup band yang dibentuk di London, Inggris, tahun 1962 ini memang tidak terbantahkan. Popularitas Mick Jagger sebagai selebritis dengan segala polah tingkahnya tak membuat anggota lain iri. Maka, grup ini mampu bertahan lebih dari 40 tahun dan terus menggelinding dengan menggelar konser dan memproduksi album baru. Hanya Beatles dan Bob Dylan yang dinilai mampu menyejajari kebesaran band yang beranggotakan Mick Jagger (vokal), Kieth Richard (gitar), Charlie Watss (drum), dan Ron Wood (rythm) ini. Setelah delapan tahun album Bridges to Babylon (1997) beredar, Rolling Stones akan segera merilis album baru A Bigger Bang. Album tersebut siap digelindingkan ke pasar mulai 5 September 2005. Album tersebut berisi 16 lagu baru, yakni ''Rough Justice'', ''Let Me Down Slow'', ''It Wont Take Long'', ''Rain Fall Down'', ''Streets Of Love'', ''Back of My Hand'', ''She Saw Me Coming'', ''Biggest Mistake'', ''This Place Is Empty'', ''Oh No Not You Again'', ''Dangerous Beauty'', ''Lough I Nearly Died'', ''Sweet Neo Con'', ''Look What The Cat Dragged In'', ''Driving Too Fast'', dan ''Infamy''. Di kantor EMI Indonesia, Jl Rasuna Said Jakarta, Rabu (24/8), lagu-lagu dalam album A Bigger Bang diperdengarkan untuk kali pertama di Indonesia. ''Secara resmi al-bum ini telah diperdengarkan kali pertama dalam konser di Fenway Park, Boston, Amerika Serikat, 21 Agustus kema-rin,'' tutur Petty dari EMI Indonesia. Hits Andalan. Album dengan single hits andalan ''Streets of Love'' ini masih mengacu pada corak Rock n Roll sebagaimana trade mark Rolling Stones. ''Secara musikalitas sebenarnya Rolling Stones te-lah selesai setelah album Tattoo You (1981), dan yang tersisa sekarang hanya semacam sisa-sisa kebesaran nama mereka,'' tutur Denny Sakrie, salah seorang pengamat musik Indonesia, mengomentari A Bigger Bang yang digarap hampir setahun itu. Meski secara musikalitas pencarian Rolling Stones telah usai, tambah Denny, stamina mereka tetap tidak terbantahkah untuk terus berkarya. ''Faktor usia tidak bisa dibantah turut mempengaruhi kreatifitas mereka dalam bermusik,'' katanya, seraya menyatakan salut terhadap stamina para angota Rolling Stones yang rata-rata telah berusia di atas 60 tahun. Grup band datang dan pergi. Namun yang akhirnya mampu menjadikan dirinya legenda hidup dapat dihitung dengan jari. The Rolling Stones adalah satu di antara sedikit legenda yang masih tersisa dengan kebesarannya. Para punggawa Rolling Stones yang kini telah menjadi kakek-kakek, dan lebih gemar bermain-main dengan anak cucu mereka, harus melewati perjuangan panjang untuk sampai pada posisi mereka di dunia musik. Upaya mereka untuk terus menggelindingkan karya-karya baru di usia tua juga bukan pekerjaan mudah. ''Seperti menegakkan benang basah,'' kata Mick Jagger singkat dalam situs resmi grup itu. Ya, siapa yang mengira jika para pemberontak seperti Jagger, Ricards, Brian Jones (almarhum), Bill Wyman, dan Watts mampu melawan tren musik yang sedang in pada waktu itu lewat Rock n Roll. Bahkan, tembang-tembang seperti ''(I Can't Get No) Satisfaction'', ''Street Fighting Man'', ''Sympathy for the Devil'', dan ''Gimme Shelter'' mampu membius dan mempengaruhi prilaku anak muda pada masanya. Bukan hanya itu, muatan filosofis tembang ''You Can't Always Get What You Want'' te-lah menggugah kesadaran kaum muda mengenai realitas hidup, bahwa tidak semua hal bisa di-dapatkan dalam hidup ini. (Benny Benke).

Koil

Rabu, 10 Agustus 2005. BUDAYA
Koil, Pionir dan Arsitek Underground


Aku adalah arsitek/Aku adalah pionir/Bahkan orang buta pun sadar/Aku hanyalah pembual//Tanpa rasa/Tanpa raga/Surga di hati/Terbawa mati//Ikuti rasa/Jejaki halusinasi//Aku adalah arsitek/Merekonstruksi tubuhmu/Bahkan membaptis kesadaran/Menjadikanmu diriku.
TEMBANG hits bertajuk "Mendekati Surga" yang dilantunkan JA Verdianto alias Otong, vokalis Koil Band, di-medley-kan oleh ratusan penggila musik underground. Nomor itu berkumandang di tengah himpitan ribuan penikmat A Mild Live Soundrenaline 2005 di siang terik yang menyengat di Lapangan Brigif XV Kujang II, Cimahi, baru-baru ini. Dalam rangkaian Soundrenaline 2005, keberadaan Koil yang mengusung semiindustrial rock terbilang istimewa. Betapa tidak, di tengah ingar bingar geliat musik beraliran easy listening yang akrab dan ramah dengan selera pasar, Koil tetap setia dengan aliran musiknya: underground. Bahkan grup bentukan 1994 yang diawaki Otong (vokal), Doniantoro (gitar), Imo (gitar), dan Leon Ray Legoh (drum) ini tetap bertahan dengan idealismenya ketika band papan atas seperti Sheila on 7, Peterpan, sampai Superman is Dead dengan cepat mengorbitkan namanya. "Bagi kami, musik bukan hanya masalah laku dan beken," tutur Otong yang aksi panggungnya mengingatkan pada sosok Marilyn Manson. "Lebih dari itu, musik adalah kebebasan dan kepuasan perasaan mengekpresikan kehidupan". Pilihan Koil, yang menurut majalah Time Asia edisi 23 Juni 2003/Vol 161 No 24 disebut sebagai one of Indonesia's biggest underground bands ini, tampaknya berbanding lurus dengan apresiasi pencinta underground Tanah Air. Tengoklah penjualan album Megaloblast Black (2003) yang laku 50.000 kopi. Untuk ukuran band underground, angka tersebut tidaklah mengecewakan. Apalagi Koil mengedarkan kasetnya di bawah bendera indie label yang sangat tidak sebanding jangkauan pemasarannya dibanding dengan major lebel seperti Sony-BMG, Universal, EMI, atau Warner. "Meski sebenarnya untuk ukuran penduduk Indonesia yang mencapai 210 juta, angka itu sangat kecil," ujar Bens Leo, salah seorang pengamat musik Tanah Air. Menurut dia, raihan angka penjualan kaset Koil seharusnya dapat lebih tinggi jika band yang juga menggunakan perangkat komputer sebagai pengembangan musik techno ini, memperbanyak frekwensi pentasnya. "Secara showmanship tampilan mereka di atas panggung apik. Dan kedua, musik mereka masih bisa dinikmati karena tidak terlalu hardcore. Bahkan, dilihat dari sisi seni, Koil bagus". Bens juga menilai, sebagai pelopor musik underground indie, batasan musikalitas Koil terkadang kurang jelas. "Musik underground sebenarnya hanya bagian dari musik rock seperti metal, trash hingga hardcore. Hanya beat-nya saja yang membedakan." "Lirik, musik, dan hidup kami memang dibangun dari satu kerumitan ke kerumitan lainnya. Kami tidak peduli dengan popularitas. Kami hanya peduli dengan kreativitas," jelas Otong, jebolan ITB dan ITENAS ini. Sebagai pionir underground yang masih mempunyai idealisme untuk bertahan di jalur indie, keberadaan Koil telah mencatatkan namanya dalam khazanah musik Indonesia, meski pasar tidak bersahabat dengannya. (Benny Benke-45)

Soundrenaline, Oase Festival Musik Indonesia

Selasa, 09 Agustus 2005. BUDAYA
Soundrenaline, Oase Festival Musik Indonesia
PESTA kembang api yang menghiasi angkasa Lapangan Brigif XV Kujang II, Cimahi, tepat pukul 23.30, Minggu (7/8) malam, menandai usainya rangkaian festival tahunan A Mild Live Soundrenaline 2005 di Bandung. Seiring dengan pesta kembang api yang mendapat sambutan meriah sekitar 45.000 penonton yang secara medley menembangkan ''Kamu Harus Pulang'' yang dikomando oleh Kaka Slank, maka usailah festival musik yang mendapat antusiasme yang luar biasa tersebut. Sebagaimana di Palembang, yang menjadi kota pembuka A Mild Live Soundrenaline 2005, di Cimahi pun festival yang bergulir sejak 2002 ini seolah menjadi oase bagi penikmat musik di daerah Bandung dan sekitarnya. Betapa tidak, dalam hitungan nyaris 12 jam, lebih dari 90 grup band dan musisi Tanah Air mempertontonkan aksi mereka dengan ciri khas masing-masing di tiga panggung berbeda, yang berada dalam satu arena seluas 3 hektare. Dengan hanya mengeluarkan kocek Rp 25.000, penikmat musik bebas menentukan pilihan untuk menekuni band papan atas Indonesia yang paling digemarinya. ''Kami tidak hanya ingin menghadirkan sebuah festival yang menjadi ajang berkumpulnya para musisi terdepan Indonesia,'' tutur Sendi Sugiharto, product grup manager PT HM Sampoerna Tbk. ''Lebih dari itu, festival ini kami harapkan dapat menjadi ajang one stop entertainment bagi penikmat tontonan bermutu.'' Dan hasilnya, festival yang mengusung tema besar Reborn Republic ini memang benar-benar menjadi arena wisata yang menyenangkan. Tiga panggung raksasa yang terbagi dalam dua panggung utama berukuran 18 x 12 x 9 meter yang diperuntukkan bagi band, dan musisi ternama, serta sebuah welcoming stage berukuran 9 x 4,8 x 4 meter untuk band indie dan band pemula yang lolos audisi. Dengan dukungan tata suara 200.000 watt dan tata lampu 500.000 watt serta total tenaga listrik sebesar 1.000.000 watt, seolah mengubah lapangan paramiliter ini menjadi wahana hiburan nan gemerlap. Belum lagi dengan dukungan audio visual berupa lima giant screen, sinar laser dan puluhan wahana permainan yang memanjakan kesenangan. Maka pepaklah jika hingga sampai saat ini, Soundrenaline masih menjadi barometer tertinggi festival musik di Indonesia. Kekurangan. Meski demikian, tetap ada kekurangan dari festival yang kembali akan bergulir di kota Semarang (14/8), Surabaya (21/8), dan dipamungkasi di Pulau Serangan, Bali (28/8) ini. Yaitu, pemilihan jarak arena pergelaran yang dikeluhkan penonton Bandung. ''Cimahi yang berjarak sekitar 20 km dari Bandung, cukup mengkendala,'' ujar Dean Hilman, seorang slanker dari Bandung. Selain itu, kurasi atau pemilihan grup band, teristimewa pada band pemula, sedikit terasa mengganggu kredibiltas Soundrenaline. Tengoklah penampilan pas-pasan Melanie Subono dengan band pengiringnya. Puteri promotor kondang Adrie Subono ini, tidak hanya lemah dalam olah vokal. Musikalitas pengusung genre musik punk ini pun masih jauh panggang dari api, untuk ukuran festival bergengsi sekelas Soundrenaline. Untung saja kekurangan ini mampu ditutup dengan tampilan nan cerlang oleh grup band besar seperti Koil, Naif, Peterpan, PAS band (featuring Nicky Astria), Cokelat, Seurieus, Maliq & D'essentials, Audy, Tere, Melly Goeslaw, Glen Fredly, Superglad, dan dipamungkasi Slank. Lalu apa yang membuat Soundrenaline 2005 ini masih pantas untuk ditekuni? ''Panitia cukup jeli memberikan jatah fifty-fifty antara musisi yang sudah punya nama dan grup band indie,'' puji Bens Leo, salah seorang pengamat musik Indonesia. Menurut Bens, dengan jatah yang sama antara musisi yang sudah punya nama dengan musisi indie yang masih membangun image, maka diharapkan rangsangan untuk melahirkan nama-nama anyar di belantika musik Tanah Air semakin terbuka. Dalam Soundrenaline 2005 yang juga akan menghadirkan tiga grup band dari mancanegara plus aksi Guns 'N Roses Revisited di Pulau Serangan, Bali ini, musik dihadirkan dalam nuansa wisata musik yang menyenangkan, tanpa harus kehilangan bobotnya. (Benny Benke-45)

Indonesia di Mata Maestro Lukis Rusia

Jumat, 05 Agustus 2005. BUDAYA
Indonesia di Mata Maestro Lukis Rusia
JAKARTA-Seperti apakah wajah Indonesia di mata para pelukis papan atas Rusia? Eksotik! Demikian pengakuan singkat maestro lukis Rusia Vladimir Anisimov ketika memperkenalkan 170 lukisan hasil karya pelukis kontemporer Rusia di Galeri Nasional, Jakarta, kemarin. Pengakuan Anisimov yang menggalang kawan-kawanya untuk melakukan perjalanan estetis ke Pulau Madura, Pulau Jawa, dan Pulau Sumatera yang telah berlangsung selama setahun ini, tidak mengada-ada. Puluhan lukisan yang menggambarkan pemandangan, aktivitas, trade mark serta kebudayaan di beberapa pulau itu telah berpindah ke atas kanvas dalam berbagai ukuran.
"Hasil kerja para pelukis Rusia ini adalah buah perantauan mereka dalam mencerap aura dan kebudayaan di Madura, Jawa, dan Sumatera," ujar Anisimov yang juga menyertakan lukisan khas pelukis Rusia yang beraliran romantisme realisme. Sebagai program balasan atas berkelananya para pelukis Rusia di beberapa wilayah Indonesia, para pelukis Indonesia seperti Astari Rasyid, Dwianto, Cusin, dan beberapa nama lainnya melakukan kerja kesenimanan serupa di Rusia. "Sebagaimana semangat penyelenggaraan acara ini, yaitu untuk memperingati 55 tahun hubungan Indonesia dengan Federasi Rusia. Kami para pelukis pun hendak turut memarakkan 60 tahun Indonesia," kata Anisimov. Pameran bertajuk "Russian Art Exhibition-Russian Collection 3" yang secara resmi akan dibuka di Galeri Nasional, 8-20 Agustus ini, digagas oleh Kedutaan Besar Federasi Rusia di Jakarta bekerja sama dengan Bureau of Creative Expedition Moscow. Propaganda. Perihal apakah yang membuat nama para pelukis Rusia tidak seberkibar dan seterkenal nama para sastrawannya, seperi Maxim Gorky, Pushkin, Anton Chekov, Dovtoiyoski dan beberapa nama penting lainnya, di Indonesia? Propaganda, demikian jawaban Anisimov. Hasil karya sastra, pada masa Uni Soviet, menurut dia, atas nama kepentingan politik dan harus disebarkan ke seluruh penjuru dunia. "Dengan demikian diharapkan lewat kisah dan narasinya nama Uni Soviet dikenal ke seantero dunia". Jawaban Anisimov boleh jadi sepihak meski ada benarnya. Meski menurutnya nama para pelukis besar Uni Soviet sangat dikenal juga di berbagai penjuru Eropa. "Bahkan nama mastro lukis Raden Saleh dan Affandi sangat dikenal di negeri kami," katanya sembari memberikan alasan bahwa kedudukan seorang pelukis secara sosial di Rusia masih di bawah sastrawannya. Ke-170 lukisan dari berbagai aliran, mulai dari classic realism, neo-realism, moderism, cubism hingga avangardism yang dipamerkan ini dijual dengan nilai tertinggi sebesar 200 ribu dolar AS. "Kami hanya ingin semakin dekat dengan Indonesia," kata Anisimov, mengatasnamakan maestro lukis Rusia lainnya seperti Viktor Shilov, Tatiana Fedorova, dan Eugeny Demakov. (G20-45)

"Ariel dan Raja Langit"

Senin, 01 Agustus 2005. BUDAYA
"Ariel dan Raja Langit"
Dongeng Bijak Kanak-kanak

DARI manakah nilai-nilai kebijakan semestinya bermula? Dari masa kanak-kanak jawabnya. Demikianlah yang diyakini oleh salah seorang sutradara muda Tanah Air, Harry Dagoe Suharyadi. Lewat film drama musikal anak-anak yang penuh dengan nasihat kebijakan dan kebajikan berjudul Ariel dan Raja Langit, Harry tampaknya memang mengemban misi mulia. "Saya hanya ingin menyajikan kepada anak-anak bagaimana semestinya berpikir dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai moral," ujar sutradara yang film pendeknya, Happy Ending, pernah terpilih sebagai Outstanding Short Film pada The 1st International Pusan Film Festival Korea 1996. Dengan menanamkan nilai-nilai kebajikan sejak dini, Harry berharap film berdurasi 111 menit yang ber-genre drama musikal yang dipadukan dengan sedikit horor suspense ini dapat mengena sasaran. Film yang diperkuat Cornelia Agatha (Mama Ariel), Indy Barenz (Ibu Naga), Donna Harun (Mama Galang), dan Dik Doank sebaga cameo (peran selintas) ini, secara penceritaan berjalan secara hitam putih.Hal ini menjadi maklum. Digarap Sendiri. Dengan mengemban semangat kebijakan akan mengalahkan kebatilan sebagai rumusan klasik dan klise bagi dunia anak, Ariel dan Raja Langit tetap menyimpan "sesuatu". "Sesuatu itu yang saya sajikan itu tentang value (nilai) penting rasa tanggung jawab, setia kawan, tolong menolong, toleransi, serta pentingnya rajin belajar sejak dini," imbuh sutradara Pachinko and Everyone's Happy ini. Film yang keseluruhan penggarapannya mulai dari skenario, kameraman, editing, directing, hingga pembiayaannya diproduseri sendiri oleh Harry ini, menggunakan empat setting penting. "Tempat pembuangan sampah Bantar Gebang di Bekasi, Bandung, dan Pulau Kotok di Kepulauan Seribu". Ada beberapa hal yang membuat film ini menarik bagi anak-anak selain tuntunan pen-tingnya nilai-nilai kebajikan. Akting para pelakon anaknya berjalan dengan kewajaran, naturan, tanpa terlihat dibuat-buat. Sehingga dengan demikian seperti melihat anak-anak dengan dunianya: kenakalan, keiseng-an, konflik, dan kelucuannya. (Benny Benke-45)