Jumat, 08 Februari 2008

Linkin Park

Senin, 14 Juni 2004. NASIONAL

Ribuan Remaja Putri Jejali Konser Linkin Park

''JAKARTA...,'' pekik Chester Bennington sembari berlari kecil maju ke bibir panggung. Seketika, ribuan penonton yang memadati pantai Carnaval Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta, Minggu (13/6) siang, langsung bangkit dari rebahannya. Panas matahari yang lumayan terik seakan terlupakan, begitu tembang pertama ''Don't Stay'' membuka konser ''Linkin Park Meteora Word Tour 2004''. Ya, sebagaimana di belahan dunia lainnya, Linkin Park (LP) -grup band pengusung warna hip-hop dengan campuran bunyian instrumen DJ (disc jockey)- lebih suka menggelar pertunjukannya pada sore hari.''Kami lebih mengutamakan unsur keselamatan para penikmat musik kami, yang biasanya dipadati remaja putri. Jadi lebih aman, kalau (konsernya) berlangsung pada sore hari,'' kata Chester Bennington, vokalis LP, di Hotel Borobudur Jakarta, Sabtu (12/6). Benar saja, tepat pukul 16.00 WIB, Chester Bennington (vokal), Rob Bourdon (drum), Phoenix (bas), Michael Kenji Shinoda (vokal, gitar), Bra Delson (gitar), dan Joshep Hann (DJ mixer), langsung memandu pencintanya untuk bernyanyi bersama dalam lagu ''Don't Stay'', yang mengawali tembang-tembangnya. Selanjutnya, konser yang melibatkan pengamanan 1.300 personel Polri, dan membutuhkan kekuatan sound lebih dari 100.000 watt itu berlangsung dengan sangat meriah. Hampir semua tembang hits dari keempat album mereka -Hybrid Theory (2000), Reanimation (2002), Meteora (2003), dan Live in Texas (2003)- tersaji dengan rapi. Maka tak ayal, berulang-ulang Chestes Bennington yang memangkas rambutnya layaknya prajurit Mohawk itu memuji penonton Jakarta. ''Fantastic! Kami memang telah lama memimpikan untuk tampil di Jakarta." Sungguh, konser yang digagas oleh Nepatya dan EC Production dengan mematok tiket seharga Rp 200.000 (festival) dan Rp 300.000 (standing VIP) itu berjalan dengan menyenangkan, dan tanpa huru-hara. Sehingga tidak berlebihan, jika LP yang juga pernah menerima MTV Asia Award dua tahun silam karena musiknya paling digemari di Asia itu, membangkang terhadap larangan (bepergian ke Indonesia, travel warning) yang dikeluarkan pemerintah Amerika. ''Ah, kami tahu Indonesia sejak lama, meski kami tidak tahu secara spesifik warna khas musik negeri ini. Jadi, ketika travel warning itu menghampiri, kami pandang dengan sebelah mata saja,'' kata Chester. (Benny Benke-69a)

Agus PM Toh

Jumat, 14 Januari 2005. BUDAYA

Ketika Penutur Aceh Suguhkan ''Hikayat Tsunami''
SETIAP ranah kebudayaan mempunyai mediasi dan caranya sendiri untuk menuturkan sebuah cerita. Di Jawa misalnya, lebih akrab dengan pertunjukan wayang kulit, wayang wong, wayang golek atau wayang potehi. Yang menjadikan pertunjukan tradisional menjadi lebih menarik adalah bagaimana mengemasnya menjadi sesuatu yang baru atau kontemporer. Sebagaimana yang dilakukan Slamet Gundono dengan wayang suket dan berbagai variannya, Ki Entus Susmono dengan wayang planet dan berbagai terobosannya. PM Toh Agus Nur Amal, salah seorang penutur cerita tradisional dari Aceh pun mampu membesut kesenian asli Serambi Mekah semacam didong gayo dan hikayat menjadi bernas dan menghibur. Lihatlah aksi seniman kelahiran Sabang, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), 17 Agustus 1969, ini ketika membius ratusan penonton di Galeri Nasional Indonesia, Selasa (12/1) malam. Di tangan Agus, yang menambahkan nama PM Toh di depan namanya sebagai penghormatan kepada gurunya yang mahir menirukan klakson bus ALS (Antar Lintas Sumatera) PM Toh, hikayat mengalir dengan jenius, menghibur sekaligus liar. Dia menjadi pemungkas aksi ''Dwi Pekan Kepekaan Seniman; Bangkit Aceh'', yang digelar 8 - 23 Januari. Jebolan Fakultas Seni Petunjukan, Institut Kesenian Jakarta ini menyuguhkan sebuah lakon berjudul ''Hikayat Tsunami''. Dengan menghadirkan alat pertunjukan ala kadarnya, Agus yang menempatkan diri di sebuah kotak yang ia andaikan sebuah televisi, menggulirkan kisahnya. ''Terkisah seorang anak bernama Pahlawan sedang bermain di tepi pantai,'' kata dia, sembari menarik sebuah serbet berwarna putih dan menggoyang-goyangkannya layaknya deburan ombak di pantai. Sedangkan sang bocah Pahlawan dia wakilkan dengan persona dirinya yang mengenakan topi bayi. Selanjutnya, awan putih dan awan hitam yang berarak ia gantikan dengan tas plastik kresek berwarna putih dan hitam. Ketika sang bocah berpamitan kepada emaknya untuk pergi bermain, seketika dalam hitungan detik, Agus pun berubah menjadi sosok emak dengan mengganti topi bayi dengan serbet putih yang terikat di kepalanya. Tentu saja, ucapan yang disuarakannya berubah menjadi dialeg emak.


Alat peraga

Agus yang pernah berguru kepada Teungku Haji Adnan, seorang ''guru'' penutur hikayat di Blang Pidie ini, mampu menyulap benda-benda di sekilingnya menjadi alat peraga penunjang cerita. Berbagai benda seperti gayung yang menggambarkan helikopter, sapu menjadi pohon, ijuk sapu menjadi burung elang. Berbagai benda remeh temeh itu mampu menjadi media penutur sekaligus pendukung cerita. Meski dengan gaya tutur khas Aceh, ia tetap mampu menyampaikan misi dan visinya dengan balutan comedy style ke penikmat pertunjukan yang datang dari berbagai latar belakang. Dia membawakan hikayat berbau komedi, misalnya Kura-kura Tentara, Anak Emak Melawan Raksasa, Hikayat Polisi dan Bandit, serta Hikayat Tentara Nyesel Jadi Tentara. Konsep lakon-lakon itu sebagian besar dia persiapkan tak lama sebelum naik pentas. Dia juga menyuguhkan hikayat yang agak serius seperti Sidang Deria, Raja Bediu, Hikayat Malim Dewa, Hikayat Elia Tujuh, Hikayat Hamzah Fansuri dan Hikayat Cincin Setia. Namun, tetap mampu menyajikannya tanpa kehilangan kesegaran. (Benny Benke-63)

Suluk Air Slamet Gundono


Senin, 13 Nopember 2006. BUDAYA

Suluk Air Slamet Gundono

JAKARTA-Air sebagaimana udara, tanah, dan cahaya matahari adalah salah satu unsur kehidupan yang memegang peranan sangat penting bagi umat manusia. Di tangan Slamet Gunduno, dalang Komunitas Wayang Suket yang bermarkas di Mojosongo, Solo, air kembali dihadirkan dalam bentuk sebuah suluk yang menarik, yaitu Suluk Air 2. Dengan menghadirkan wayang air dan memaksimalkan medium air untuk mengisahkan pengusiran Dewi Gangga dari kayangan, dia lagi-lagi berhasil membuat ratusan penonton yang menghadiri pembukaan Jakarta International Puppetry Festival (JIPF) 2006 terpesona. Selama lebih dari 90 menit bersama pendukung yang pernah mementaskan lakon serupa di Taman Ismail Marzuki (TIM), wayang air menjelma menjadi sebuah reportoar yang menghanyutkan. Sebagai pembuka festival wayang internasional yang digelar 10-18 November di Taman Fatahilah Museum Wayang Jakarta itu, Slamet bersama wakil Indonesia lainnya, Wayang Kampung Sebelah, menjadi pusat perhatian. Penonton terkesima meski sebagian besar tidak mengerti bahasa tutur lakon Suluk Air 2, teristimewa penonton dari mancanegara, karena Slamet bertutur dengan bahasa Jawa dialog Tegalan. Hampir semua pengisahan diwakilkan lewat bahasa gerak tarian dengan mengeksplorasi air, sehingga paling tidak estetika gerakan para pelakonnya menghadirkan sensasi tersendiri. Lihatlah ketika dua perempuan melakukan gerakan teatrikal saling memandikan di bathtub yang penuh air. Dengan saling memercikkan, mencipratkan, dan mengguyur, cipratan air yang ditimpa tata cahaya menghasilkan bahasa gambar yang estetis. Dalam nuansa festival berkelas internasional seperti ini, cerita seolah menjadi tidak penting lagi. Bahasa gambar yang dihasilkan dari gerak tari plus dukungan musik orisinal dari tembang-tembang yang dinyanyikan langsung, menjadi lebih utama. Slamet Gundono menyajikan tembang-tembang itu bersama Waluyo, Dwi Prito, Sutris, Iwan Dato', Ni Kadek Yulia, Indah Panca, Alfira O'Sullivan, dan Yusdi menjadi lebih utama.

Seni Kontemporer

Jakarta International Puppetry Festival (JIPF) digagas Komunitas Teater Utan Kayu, sebuah lembaga nirlaba yang didirikan oleh Goenawan Mohamad, untuk mempromosikan keunggulan seni kontemporer Indonesia . Selain dua penampil dari Solo, akan tampil kelompok wayang lain dari Indonesia, yaitu Boneka Punakawan dan Cudamani/ Wayang Listrik. Sedangkan dari mancanegara akan tampil Wilde & Vogel, Papier Theater (Jerman), Damiet Van Dalsum (Belanda), dan Shovanna Phum (Kamboja). Pada penutupan yang akan dipusatkan di halaman Teater Utan Kayu, Jakarta Timur, akan tampil Pusaka and Kumpulan Wayang Kulit Baju Merah dari Malaysia. Selain di kedua tempat tersebut, festival yang didukung Pemprov DKI Jakarta itu, juga akan digelar di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) dan Goethe Institut. Festival itu juga menyelenggarakan lokakarya oleh kelompok Figurentheater Wilde & Vogel dari Jerman. Bekerja sama dengan Forum Apresiasi Seni Pertunjukan (ASP) pimpinan Ratna Riantiarno akan diadakan pentas khusus bagi pelajar SMA Jakarta. Dalam catatan panitia, Indonesia menempati posisi khusus di dunia pewayangan dan terkenal sebagai pusat teater pewayangan tradisional. Badan dunia UNESCO bahkan menetapkan teater seni wayang Indonesia sebagai salah satu ''Masterpiece Warisan Oral dan Abstrak Kemanusiaan'' (Masterpieces of Oral and Intangible Heritage of Humanity) pada tahun 2003. (Benny Benke-45)

Nyai Ontosoroh

Rabu, 15 Agustus 2007. BUDAYA

Memanggungkan "Bumi Manusia"

APA jadinya jika novel Bumi Manusia, salah satu magnum opus karya mendiang Pramudya Ananta Toer dipindahkan dalam panggung teater? Tentu saja menjadi sebuah bahasa pengungkapan yang menarik, alternatif, menyegarkan, sekaligus bernas. Meski untuk itu, penonton harus berpayah-payah bertempur dengan dirinya sendiri menekuni lakon sepanjang tiga jam lebih. Demikianlah lakon yang digelar 12-14 Agustus di Graha Bhakti Budaya, TIM Jakarta. Wawan Sofwan yang bertindak sebagai sutradara, bekerja sama dengan Faiza Mardzoeki selaku penulis naskah, bahkan harus membutuhkan waktu dua tahun untuk menyajikan lakon yang diberi judul Nyai Ontosoroh itu. Hasilnya, dengan lebih memfokuskan jalan cerita pada peri kehidupan sang Nyai, penonton disuguhi sebuah biografi panjang seorang perempuan pribumi dalam upaya menegakkan dan merebut hak-hak hidupnya. Memang, kompleksitas novel yang tentu saja akan sulit dirangkum dalam sebuah bentuk panggung menjadi kendala sendiri. Namun, dengan kecerdikannya, sutradara jebolan StudiKlub Bandung itu, mempunyai kiat tersendiri untuk membahasakan novel dari atas panggung pertunjukan. Sayang, yang menjadi bintang tetap saja bukan para aktor-aktrisnya, penata cahaya, penata musik, penata panggung, sutradara, atau penulis naskahnya. Melainkan kebernasan naskah aslinya yang mengatasi semuanya.
Penyetaraan Hak
Lakon yang digarap dengan semangat yang prima itu akhirnya semakin meneguhkan, betapa jawaranya Pramudya menyisipkan pesan tentang penegakan dan penyetaraan hak-hak dasar manusia. Ssutradara serta semua pendukungnya berhasil menjadi penyambung cerita yang baik dari novel Bumi Manusia yang entah telah berapa puluh kali dicetak ulang sejak diterbitkan pertama. Dengan kiat menyajikan lembaran-lembaran cerita lewat adegan flashback, penonton diajak mengembara dalam perjalanan panjang dan pelik tiap-tiap tokohnya. Porsi terbesar tentu saja Nyai Ontosoroh (Happy Salma), Minke (Temmy Mellianto), Annelies (Madina Wowor), dan sederet lakon lainnya. Nyai Ontosoroh kecil atau Sanikem diperankan Nuansa Ayu, Tuan Mellema (William Bivers), Ir Mauritsz (Hendra Yan), Robert Mellema (Restu Sinaga), Bupati Bojonegoro (Banyuwinda), Darsam (Budi Ketjil), Bunda Minke (Ayu Diah Pasha), dan Jean Marrais (Ayes Kassar). Tiap-tiap tokoh yang menanggung beban persoalannya sendiri itulah yang mengarah pada keberadaan Nyai Ontosoroh, Annelies, dan Minke. Dengan cara ungkap panggung yang realis, dialog-dialog yang terjadi dan berisi tentang kegetiran, kenestapaan, ketertindasan, perlawanan, romantisme hingga kegembiraan, dihantarkan dengan menawan. Sehingga, meski belum menggetarkan, karya bersama Institut Ungu, Jaringan Nasional Perempuan Mahardhika dan Perguruan Rakyat Merdeka itu sukses memberikan suguhan yang mencerdaskan. Secerdas dan sekuat tokoh-tokoh utamanya seperti Nyai Ontosoroh, dan Minke, yang mampu menjadi citra sesungguhnya bagaimana seharusnya manusia bersikap atas berbagai macam bentuk ketidakadilan dan penindasan, yang ditimpakan padanya. Sebagaimana yang dipekikkan Minke: "Saya hanya ingin menjadi manusia bebas. Tidak diperintah dan tidak memerintah." (Benny Benke-45)

Slamet Rahardjo Djarot / Populer

Sabtu, 16 September 2006. BUDAYA

Mengejek lewat "Antigone"

SOPHOCLES, pencipta lakon Antigone, boleh jadi tak tahu Indonesia. Namun Slamet Rahadjo Djarot menyulap lakon yang diadaptasi Jean Anouil itu menjadi sangat Indonesia. Teater Populer memainkan lakon itu selama tiga jam di panggung Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) pada 15-16 September dengan apik. Dengan pendekatan kontemporer, Slamet mengontekstualisasikan perebutan kekuasaan di Thebes dengan kondisi sosial, politik, dan budaya di negeri ini saat ini. Dia bersetia pada hukum dramaturgi baku. Namun, kostum, musik, dialog, dan setting terasa lintas budaya. Para tokoh kisah, lebih dari 30 orang, menyandang nama Yunani. Akan tetapi pakaian, dialog, iringan musik sangat kekinian. Lihatlah, Haemon, anak emas Creon, penguasa Thebes. Dia berkaus oblong, jins, jaket dan sepatu kulit, serta gesper anak muda terkini. Namun dandanan Ismene, adik perempuan Antigone, bak putri kerajaan. Dia bergaun kuning keemasan menjuntai ke lantai. Para prajurit juga tak berdandan ala Yunani. Bahkan ada yang berkostum bak pecalang di Bali. Rahardjo Djarot, sang narator atau dalang, berkemeja, celana panjang tukang sate madura, jas, dan sepatu sandal. Ada pula adegan semacam gara-gara di tengah keberlarat-laratan dialog panjang sarat pesan moral. Dialog dalam gara-gara yang dimainkan Andi Bersama, Ireng Sutarno, dan Lisna kerap memancing tawa penonton. Padahal, mereka memerankan pengawal setia Creon. Selain itu, saat berdialog, puluhan anjing pun menghantam ketimpangan kondisi sosial dan politik saat ini. Dan musiknya? Terdengarlah suara suling dari Sumatera Barat dan kendang Sunda. Butuh stamina ekstra untuk menikmati tontonan itu. Untung, keaktoran Slamet, Hendro Susanto, dan Ria Probo bisa jadi pelipur. Apalagi Marcella Zalianty pun berupaya memberikan kemampuan akting terbaik. (Benny Benke-53)

Joser Rizal Manua

Sabtu, 05 Mei 2007. BUDAYA

Teater Itu Kini

SEBUT nama Jose Rizal Manua di antara sepinya orbit penggerak kesenian di Jakarta, teristimewa panggung teater. Maka, hampir dapat dipastikan semua orang akan "menundukkan kepala" kepada ayah lima anak kelahiran Padang, 14 September 1954, ini. Sebagai sastrawan, deklamator, teaterwan, dan penggerak sekaligus pendiri teater anak-anak Teater Tanah Air (TTA), kiprah suami Nunum Raraswati ini seolah tidak "pernah ada matinya". Pada 2004 bersama TTA dia meraih The Best Performance dan mendapat medali emas di The Asia Pacific Festival of Children Theatre 2004 yang diadakan di Toyama, Jepang, dengan lakon Bumi Ada di Tangan Anak-anak karya Danarto. Kemudian, masih dengan TTA, dia kembali meraih 19 medali emas di seluruh kategori pada Festival Teater Anak-anak Dunia Ke-9 yang diadakan di Lingen, Jerman, dengan lakon berjudul Wow karya Putu Wijaya. Sentuhannya, teristimewa sebagai sutradara teater, seakan terus mewarnai bahkan mengharumkan jagat perteateran Indonesia. Bahkan dalam waktu dekat ini, lakon Abang Thamrin dari Betawi karya almarhum Asrul Sani, bakal kembali mendapat sentuhannya. Lakon yang pernah menjadi pembicaraan 20 tahun lalu tersebut memang bukan lakon sembarangan. Sehingga tidak berlebihan jika Sarjana Seni dari Fakultas Teater, Institut Kesenian Jakarta (1986) itu, berpikir keras untuk mengulang kesuksesan yang pernah diraih 20 tahun silam. "Dengan memahami dan menganalisis tokoh Husni Thamrin, dengan cara memahami masa lalu dan masa kini, lakon ini pasti akan dapat menjadi sebuah pertunjukan yang menarik," katanya merumuskan penyutradaraannya ketika dipercaya Sanggar Pelakon pimpinan Mutiara Sani menjadi sutradara. Bagi ayah Shakti Harimurti, Sanca Khatulistiwa, Nuansa Ayu Jawadwipa, Nusa Kalimasada, dan Niken Flora Rinjani, teater itu kini dan di sini. "Jadi saya akan membungkus lakon masterpice H Asrul Sani ini dalam nuansa kekinian". Sebelumnya, Jose yang juga pernah turut berlakon dalam film Oeroeg juga terhitung sukses membesut lakon Mahkamah karya Asrul Sani, belum lama ini. Jose pernah bergabung dengan Teater Mandiri pimpinan Putu Wijaya sejak 1975, kemudian Bengkel Teater Rendra pada 1977, serta turut ngangsu kawruh di Teater Kecil Arifin C Noor dan Teater Populer Teguh Karya. Dia juga pernah "mencuri ilmu" kala bergabung dengan teater pimpinan Remy Sylado. Dengan pengalaman panjangnya seperti itu, rasanya kita tidak perlu terlalu khawatir dengan cara seperti apa dia menyajikan ramuannya. "Setiap sutradara mempunyai warnya sendiri dan jika ingin warna saya, tonton lakon ini 8 dan 9 Juni di TIM," tukas Jose yang meyakini prinsip hidup merenung seperti gunung, bergerak seperti ombak. (Benny Benke-45)

Jose Rizal Manua / Mahkamah

Selasa, 20 Maret 2007. BUDAYA

Mahkamah yang Melelahkan
Oleh Benny Benke


MAHKAMAH, lakon karya Asrul Sani, yang diikhtiarkan untuk menyelaraskan realisme dan surealisme, mengalir banal. Kekuatan naskah dan permainan apik Ray Sahetapy belum menggeregetkan lakon itu. Meski, sutradara Jose Rizal Manua dengan seabreg pengalaman di dunia teater sebenarnya dapat menghadirkan sesuatu yang lebih. Tak ayal, drama tiga babak berdurasi lebih dari 120 menit yang digelar tiga hari berturut-turut, Jumat-Minggu (16-18/3), di Graha Bhakti Budaya TIM, Jakarta, itu melelahkan dan membosankan. Meski, nilai edukasi lewat dialog sangat tajam, menusuk, dan koheren dengan keadaan masa kini. Apa yang kurang dari pementasan, yang untuk kali ketiga pula Mutiara Sani berperan sebagai Murni itu? Intensitas yang menghadirkan ketegangan! Ya, stamina pemain kurang terjaga dan tak merata serta dramaturgi setiap adegan pun terasa timpang. Ketika tokoh Saiful Bahri (Ray Sahetapy) berdialog dengan Murni, adu kedalaman watak mengemuka. Teristimewa pada pendalaman peran yang dipertontonkan Ray.Namun dialog dan monolog tokoh lain, seperti Rahmat (Maulana Firdaus), Pak Ahmad (Haru Patakaki), Majid (Melela Gayo), istri Majid ( Lisa A Ristargi), berlangsung, kedataranlah yang muncul. Untung, tokoh Citra I atau Pembela (Meritz Hindra) dan Citra II atau Penuntut Umum (Aspar Paturusi), Kapten Anwar (Ayez Kassar) dan Prajurit 1 Somat (Syaiful Amri) mampu memberikan warna tersendiri lewat akting komikal. Sesungguhnya sajian Sanggar Pelakon pimpinan Mutiara Sani itu cukup mengesankan. Keseriusan mereka bertahan dan nggetih di jalur teater sangat membanggakan. Apalagi mereka melibatkan generasi kedua, Gibran Sani, yang membesut musiknya.


Pengadilan Nurani

Mahkamah berkisah tentang pengadilan hati nurani atas tokoh pensiunan Mayor Saiful Bahri. Menjelang kematiannya, dia gelisah karena pada masa lalu menghukum mati Kapten Anwar yang menjalin hubungan asmara dengan Murni. Dua bulan setelah kematian Anwar di depan regu tembak, Bahri memperistri Murni. Ingin terlepas dari beban masa lalu pada era perang kemerdekaan itulah, Bahri mengajukan diri ke depan mahkamah, meminta diadili. Itulah mahkamah luar biasa yang mengusut perkara yang luput dari jangkauan pengadilan duniawi. Majelis hakim, perangkat hukum, dan undang-undang yang digunakan tak dikenal di dunia. Bahri harus menghakimi perbuatannya, dengan syarat hati nuraninya berfungsi dengan baik. Sang nurani mengatakan, ''Ajukanlah perkara Saudara pada Hakim Tertinggi yang Mahamengetahui. Sebutkanlah nama-Nya. Hanya Dia yang bisa menjawab semua pertanyaan dan memberikan keadilan.'' (53)

Profesor Sardono W. Kusumo

Selasa, 6 Januari 2004 . Budaya

Maestro Itu Kini Bergelar Guru Besar

SARDONO Waluyo Kusumo (58), maestro tari kelahiran Solo, Jawa Tengah, 6 Maret 1945, pada 14 Januari 2004 akan mendapatkan gelar guru besar dalam bidang ilmu seni tari. Penganugerahan gelar profesor dari Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesian itu, berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Pendidikan Nasional nomor 9601/A2.7/KP/2003, yang dikeluarkan pada 31 Mei 2003. Meski penganugerahan itu berkesan unik, karena gelar profesor itu baru kali pertama dianugerahkan kepada seorang seniman yang tidak sempat menyelesaikan pendidikan formal setingkat sarjana (strata 1) sekalipun, tidak ada yang dapat menyangkal besarnya sumbangsih yang telah diberikan Sardono kepada dunia pendidikan seni tari di Tanah Air. Tak cuma itu, koreografer papan atas tersebut juga telah banyak memperkenalkan serta mengembangkan khazanah tari Nusantara ke mancanegara, sejak berusia muda hingga sekarang. Seniman yang mendapatkan penghargaan Prime Clous Award dari Pemerintah Kerajaan Belanda (1998) dan penghargaan kehormatan seni dari Society for Performing Art Singapura (2003) tersebut, juga telah disejajarkan namanya dengan Maurice Bejart dan Robert Wilson, dua kreator seni tingkat dunia, sejak 1974. Pada saat disejajarkan itu, Sardono -salah satu tokoh pendiri Lembaga Kesenian Jakarta (cikal bakal Institut Kesenian Jakarta, IKJ), dan pengajar program pascasarjana di STSI Solo itu- masih berusia 29 tahun. Nama seniman yang telah mengelilingkan karyanya ke berbagai belahan penjuru dunia -mulai dari India, Jepang, Korea Selatan, Meksiko, Durham, Jerman, hingga Prancis- itu mencuat ketika repertoar Dongeng dari Dirah (1974), salah satu karya fenomenalnya yang diangkat dari cerita rakyat Bali (Calonarang), dipentaskan keliling dunia dan mendapatkan sambutan hangat dari masyarakat seni tari internasional. Tarian itu, memadukan penari alam Bali dengan unsur-unsur tarian Jawa dan kontemporer. Jauh sebelumnya, Sardono muda juga telah menghasilkan karya yang tak kalah memikatnya; antara lain Samgita Pancasona (1968), Ngrenaswara (1970), Cak Tarian Rina (1971), dan Paussieres et Lumieres de Chaillot (1973).

Sarat Nilai

Kemudian, didukung stamina yang terjaga terus, Sardono Waluyo Kusumo menyentosakan namanya dengan senantiasa mengeksplorasi tari Nusantara ke level dunia lewat karya-karya sarat nilai dan penuh pukau, seperti Yellow Submarine (1977), Kisken Kanda (1978), Meta Ekologi (1979), Hutan Plastik (1983), Hutan Merintih (1987), Maha Buta (1988), Ramayanaku (1990), Floating Light (1991), Passage Through the Gong (1993), Detik...Detik.. Tempo (1994), Opera Diponegoro (1995), Soloensis (1997), Su-Sanu Eden (1999), Ziarah Ragawi dan Biography of Body (2000), serta terakhir Nobody's Body (2002). Prosesi penganugerahan gelar profesor itu, akan dilangsungkan di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, selama dua hari (14-15/1). Acara tersebut, juga dimeriahkan dengan beberapa pertunjukan. Yaitu, pemutaran film Meta Ekologi, sebuah karya yang menampilkan secara utuh pengalaman batin Sardono ketika tinggal dan terlibat dengan masalah lingkungan yang dihadapi masyarakat Dayak Kenyah di Kalimantan. Lalu, pementasan karya tari Nobody's Body yang telah diperbaharui; serta pemutaran film Dongeng dari Dirah, hasil penyutradaraannya sendiri yang mengambil lokasi syuting di desa Teges, Bali pada 1992. Selain itu, dalam pengukuhan dirinya sebagai guru besar, Sardono juga menyiapkan sejumlah pemikiran yang akan disampaikannya dalam bentuk pidato kebudayaan. Orasi kebuyaan itu, berisi dan mengulas tentang bagaimana otonomi dan desentralisasi politik telah memengaruhi perkembangan kesenian daerah, yang menjadikan kesenian daerah eksklusif dan terlalu bersifat kedaerahan. Sisi lain yang menjadi sorot pemikiran sardono adalah soal religiusitas dan pluralisme dalam seni. Secara khusus, acara itu juga menandai diluncurkannya buku berisi kumpulan tulisan restropeksi kesenian yang pernah ditulis Sardono berjudul Hanuman, Tarzan, Homo Erectus. (Benny Benke-41)

Sardono W. Kusumo & Ananda Sukarlan

Senin, 18 Oktober 2004. BUDAYA

Sinergi Intuisi yang Mapan

KECANGGUNGAN akan menjadi sebuah keniscayaan jika dua ranah kesenian yang berbeda disepanggungkan dalam sebuah pergelaran. Kondisi itu kemungkinan besar terjadi jika tidak ada pertalian yang memungkinkan terjadinya perkawinan di antara keduanya. Namun hal tersebut tampaknya bisa dihindari oleh maestro tari Sardono W Kusumo dan maestro piano Ananda Sukarlan saat berkolaborasi dalam ''Ananda dalam Hutan Plastik'' di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 14-15 Oktober lalu. ''Ini bukan masalah siapa yang akan menyesuaikan dengan siapa. Namun kami saling merespons dengan interpretasi masing-masing perihal tema yang kita sepakati,'' terang Sardono sebelum pertunjukan. Dan di atas panggung yang berlatang belakang gemawan plastik berukuran raksasa, Ananda Sukarlan pun mulai membuka pertunjukan selama 120 menit dengan komposisi ''Penghayatan Bulan Suci'' (Trisuci Kamal/1984). ''Komposisi ini sekaligus untuk menyambut datangnya Ramadan,'' katanya sebelum membawakan suita dalam tiga bagian: Ramadan, Malam Takbir, dan Idul Fitri. Sampai di sini, repertoar yang menjual tiket termahalnya seharga Rp 250.000 ini masih berjalan dengan kewajaran. Hingga tiba saatnya Ananda mulai memainkan komposisi ''Jangan Lupa'' (Gareth Farr).


Melenakan

Dengan menarikan jari jemarinya di atas tuts piano dengan berbagai teknik, ia mulai menghantarkan sebuah peristiwa penikmatan musik yang melenakan. Sehingga tak ayal, arena pertunjukan yang nyaris disesaki penonton itu hening dan senyap hingga denting terakhir tuts piano menyudahi reportoarnya. Ya, di tangan alumnus Royal Conservatory of Music Den Haag, Belanda ini, musik telah sampai pada tataran yang mampu mengekspresikan hal-hal yang sudah tidak dapat lagi diungkapkan lewat kata-kata. ''Termasuk hal-hal spiritual yang tidak dapat diterjemahkan dengan akal. Ia hanya dapat dirasakan,'' katanya. Menurut Ananda, intuisi lebih diutamakan dalam pertunjukan ini daripada sekedar logika. Apalagi ketika para penari yang menganalogikan keberadaan hutan mulai unjuk ke atas panggung. Dan puncaknya, ketika representasi kehidupan yang telah disesaki dengan segala hal berbau plastik menyeruak ke atas panggung: dari para penari yang berbalut plastik hingga para waria yang telah terkena dampak plastik (dengan operasi plastiknya). Dan semua pergerakan para penari itu dibarengi dengan komposisi klasik seperti "Love Songs" (Gareth Farr), "Prelude in C, op 87 no 1" (Dmitri Shostakovic), "It's Snowin in Bali" (Polo Vallejo), "Invenciones", "Short Pieces for Children" (Jesus Rueda), dan "Alio Modo" (David del Puerto). Sungguh, sebagaimana paparan Ananda, pagelaran ini langsung dapat berkomunikasi dengan lubuk hati yang paling dalam, lepas dari segala kepercayaan, agama, dan latar belakang budaya penikmatnya. Apalagi, Sardono yang sesekali menyeruak ke atas panggung, menggiring suasana menjadi sangat cair, penuh nuansa humor, ringan tanpa harus kehilangan ketakziman. Benar-benar sebuah pergelaran yang dihasilkan dari sinergi intuisi yang mapan. (Benny Benke-81)

Gus Mus

Jumat, 24 Maret 2006 . NASIONAL

Kolaborasi Gus Mus-Idris Sardi
Tak Sempurna, tapi Menawan
Indonesia tanah air kita/ Bahagia menjadi nestapa/ Indonesia kini tiba-tiba/ Selalu dihina-hina bangsa.// Disana banyak orang lupa/ Dibuai kepentingan/ dunia/ Tempat bertarung merebut kuasa/ Sampai entah kapan akhirnya.

JAKARTA - Petilan sajak ''Aku Masih Sangat Hafal Nyanyian Itu'' disyairkan dengan nanar oleh KH A Mustofa Bisri (Gus Mus) diiringi musik minus one yang laras. Ketika petilan sajak yang memarodikan syair tembang "Indonesia Pusaka" itu purna, Idris Sardi dengan penghayatan penuh menggesek biola, membungkus akhir sajak dengan titi nada lagu "Indonesia Pusaka". Ketika sajak keenam dalam Pergelaran Satu Rasa Menyentuhkan Kasih Sayang yang menyandingkan Gus Mus dan Idris Sardi usai, 350-an penonton di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), Rabu (22/3) malam, memberikan aplaus meriah. Gus Dur dan sang istri Shinta Nuriyah serta Yenni Wahid dan Inayah Wulandari tampak terlihat paling bersemangat memberikan aplaus. Hadir pula Quraish Shihab, Salahudin Wahid (Gus Sholah), Rizal Ramli, Achmad Bagja, Sutardji Calzoum Bachri, dan Piyu Padi. Meski sebenarnya tak ada yang istimewa benar dengan cara pembawaan dan penghayatan Gus Mus saat melantunkan sajak-sajaknya, spontanitas "penyair balsem" itu ketika berdialog dengan Ratih Sanggarwati di atas panggung menjadi hiburan tersendiri. ''Gus, saya belum mempersilakan Anda naik ke pangggung,'' tegur Ratih Sang kepada Gus Mus yang nyelonong ke panggung. ''Saya ingin mendengar Mas Idris main,'' jawab Gus Mus. Jawaban spontan Gus Mus itu disambut gelak tawa hadirin. Idris Sardi yang hendak mendapat giliran memainkan biola secara solo pun tersenyum. Namun karena kesalahan teknis, permainan biola Idris Sardi batal. ''Kesalahan teknis. Nanti saja mainnya,'' ujar Idris. ''Baik, kalau begitu giliran saya saja, tak pernah salah teknis,'' ujar Gus Mus cepat. Ya, kolaborasi Gus Mus-Idris Sardi tentu berbeda dari kerja sama antara "Presiden Penyair" Sutardji Calzoum Bachri dan musikus blues. Sutardji mampu menyatukan puisi dengan musik. Bahkan bahasa tubuh Sutardji pun sudah blues. Begitu pula keapikan cara WS Rendra mendeklamasikan sajak diiringi musik barok Kantata Takwa. Dalam kolaborasi Gus Mus-Idris Sardi, sajak dan biola cenderung berjalan dalam aras masing-masing, tak menyatu. Kemahiran sang maestro Idris Sardi memerikan nada-nada menyayat, nglangut, dan perih memang tak terbantah. Namun untuk menyatu dengan syair-syair Gus Mus masih perlu proses dialog lebih intens. Gus Mus, dibantu Ratih Sang dan Fatin yang membacakan Sajak Atas Nama, Dalam Kereta, Hanien, Pencuri, Cintamu, Aku Masih Sangat Hafal Nyanyian Itu, Gelap Berlapis-Lapis, Kaum Beragama Negeri Ini, Ada Apa Dengan Kalian, Aku Tidak Bisa Lagi Menyanyi, Nasehat Kematian, dan tujuh sajak lain nyaris menggunakan intonasi, birama, dan penghayatan setipe serta datar. Kemampuan sebagai deklamator sebagaimana Rendra dan Sutardji menghantarkan sajak sehingga dramatis, berisi, dan bernyawa sehingga menghipnotis penikmat tak muncul dalam kolaborasi Gus Mus dan Idris Sardi. Namun bukan Gus Mus jika tak menawan hati. Kejujuran dalam sajak-sajaknya serta spontanitasnya menjadi nilai tersendiri yang menghibur hati. Sajak Gus Mus, meminjam istilah Mohammad Sobari, yang memberikan orasi budaya pada awal perhelatan, menjadi cermin masyarakat, cermin zaman. Kata-kata dan syair Gus Mus, meski terdengar lemah dan lembut, tetap memengaruhi dan menginspirasi para pendengar. ''Terima kasih atas sedekah waktu Saudara-saudara mendatangi pertunjukan kami. Maafkan jika pertunjukan kami tidak sebagus dan sehebat yang diiklankan,'' ujar Gus Mus ketika pertunjukan usai. Penonton tertawa dan menyambut dengan bahagia. (Benny Benke-53)

WS. Rendra

Kamis, 01 Desember 2005. NASIONAL

Kesaksian Para Sahabat untuk WS Rendra

Aku mendengar suara/ Jerit makhluk terluka, luka, luka, hidupnya/ Orang memanah rembulan/ Burung sirna sarangnya, sirna, sirna, hidupnya/ Orang-orang harus dibangunkan/ Aku bernyanyi, menjadi saksi.

TEMBANG ''Kesaksian'' yang dinyanyikan Aning Katamsi dan Trie Utami dengan iringan Jockie Soeryoprayogo (organ), Sawung Jabo (gitar akustik), Totok Tewel (gitar), Doddy Katamsi (bas), dan Inisisri (drum), menutup perayaan ulang tahun WS Rendra. Lebih dari seribu orang yang memenuhi arena Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, turut menyanyikan lagu karya pimpinan Bengkel Teater itu. Penyair, budayawan, sastrawan, dan aktor kelahiran 7 November 1935 di Jayengan, Solo itu pun hanya tersenyum haru disamping kawan dekatnya, Adnan Buyung Nasution dan Panda Nababan. Rampung sudah rangkaian perayaan ulang tahun ke-70 Rendra yang dilangsungkan 27 - 29 November 2005. Puncak acara bertema ''Menimbang Gerakan Kebudayaan Rendra'' diawali dengan pemutaran film dokumenter perjalanan hidup dan karier Rendra. Film produksi Yayasan Lontar sepanjang 33 menit ini mengisahkan nukilan sepak terjang Si Burung Merak. Setelah pemutaran film dokumenter, secara bergilir kawan-kawan dekat Rendra membacakan sajak-sajak buah karyanya. Diawali tampilan Panda Nababan yang membacakan sajak ''Aku Tulis Pamflet'' ini, Ratna Riantiarno (Surat Kepada Bunda Tentang Calon Menantunya), Renny Djayusman (Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta), Wowok Hesti Prabowo (Orang-Orang Miskin), Haris Kertorahardjo (Kangen) dan Jajang C Noer (Perempuan yang Tergusur). Setelah itu tampillah para personil Kantata Takwa, minus Setiawan Djodi dan Iwan Fals. ''Ini adalah Kantata Takwa minus Iwan dan Djodi. Selamat ulang tahun mas...'' kata Sawung Jabo memberi salam dam selamat ulang tahun kepada guru dan kawannya itu. Selanjutnya, tembang-tembang yang berangkat dari syair-syair Rendra seperti ''Sogokan'', ''Paman Doblang'', ''Sajak Pertemuan Mahasiswa'', ''Rajawali'' dan ''Kesaksian'' menyulap suasana tak ubahnya konser akbar dadakan yang membuat semua yang hadir memberikan tepuk soraknya. Dan di atas panggung, di antara koor tembang ''Kesaksian'' yang masih mengalun, disamping Adi Kurdi yang menuntun keseluruhan acara, Rendra dengan haru berujar, ''Terima kasih atas kedermawanan saudara-saudara yang hadir disini. Semoga anugerah usia ini semakin membuat saya berserah pada Yang Widi, Tuhan Yang Maha Esa''.
Penghargaan
Willibrodus Surendra Broto yang kemudian dikenal dengan nama WS Rendra pernah kuliah di Jurusan Sastra Barat Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, namun tidak sampai tamat. Dia kemudian memperdalam ilmunya di American Academy of Dramatical Arts, AS (1964-1967). Kembali ke Tanah Air, Rendra membentuk Bengkel Teater di Yogyakarta. Sebelumnya pada 1964, suami Ken Zuraida ini mengikuti seminar internasional di Harvard, AS. Dan pada 1971 dan 1979 mengikuti Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda. Sajak-sajaknya pernah dibacakan di sejumlah kota besar dunia seperti di Amsterdam, Berlin, Koln, Hamburg, Melbourne, Sidney, New York, Moskow dan Leiden. Karya drama WS Rendra berjudul Orang-Orang di Tikungan Jalan meraih Hadiah Pertama Sayembara Drama Bagian Kesenian Kementrian P dan K, Yogyakarta, tahun 1954. Pada tahun yang sama ia pergi ke Moskow, Rusia. Tahun 1956 cerpennya mendapat hadiah dari majalah Kisah. Tahun 1957 mendapat Hadiah Sastra Nasional BMKN untuk kumpulan sajak Ballada Orang-Orang Tercinta (1957). Sastrawan ini juga meraih berbagai penghargaan antara lain Hadiah Sastra Horison (1968), hadiah Pertama dari Yayasan Buku Utama Departemen P dan K untuk bukunya ''Tentang Bermain Drama'' (1976), Anugerah Seni dari Pemerintah RI atas karya ''Drama Mini Kata'' (1970), Hadiah Akademi Jakarta (1974). Rendra juga pernah mendapatkan Habibie Awards untuk perannya dalam dunia sastra dan budaya. Sedangkan karya-karya monumentalnya antara lain ''Empat Kumpulan Sajak'' (1961, 1978), ''Ia Sudah Berpulang'' (1963), ''Blues untuk Bonnie'' (1971), ''Sajak-Sajak Sepatu Tua'' (1972), ''Potret Pembangunan dalam Puisi'' (1980). Kumpukan sajaknya terdiri atas ''Orang-orang dari Rangkasbitung'', ''Mencari Bapa'', ''Penabur Benih''. Sajak-sajaknya telah dialihbahasakan ke berbagai bahasa, antara lain Ingris, Belanda, Prancis, Jepang, dan Rusia. Rendra juga menerjemahkan drama-drama monumental ke dalam bahasa Indonesia, seperti Sophokles Oedipus Sang Raja (1976), Oedipus di Kolonus (1976), dan Antigone (1976). Selain itu juga melahirkan karya saduran; Perampok, dan Kereta Kencana. (Benny Benke-43).

Sampek engtay, Koma

Kamis, 16 Februari 2006. BUDAYA

Pentas ''Sampek Engtay''
Pabrik Ketawa Teater Koma


JAKARTA-Teater Koma tampaknya tidak akan pernah bisa lepas dari stigma yang selama ini menempel di grup tersebut, yaitu pabrik ketawa. Dalam pentas perdana lakon Sampek Engtay, Selasa (14/2) malam, misalnya kelompok teater yang berdiri sejak 1977 itu kembali memperteguh stigma tersebut. Meski lakon tragedi cinta ini telah dipentaskan sebanyak 80 kali sejak 1988, kesegarannya masih saja mampu menghibur. Lebih dari 500 penonton yang menyesaki Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) yang menjual tiket seharga Rp 75 ribu pun diganjar dengan kepuasan puncak. Betapa tidak, hampir sepanjang pertunjukan, 30 pemain dari angkatan 2000 dan 2005 Teater Koma dan 20 kru pendukung tidak henti-hentinya mengocok perut penikmatnya. Nano Riantiarno sebagai penulis naskah yang merangkum naskah asli dari 12 versi cerita Sampek Engtay yang berbeda tidak hanya jeli menyuguhkan kekuatan naskah. Lebih dari itu, keaktoran generasi muda Teater Koma dalam menyampaikan apa yang ingin disampaikan , mampu disampaikan dengan ringan, mengena, sekaligus menghibur. Meski tidak sempurna benar, seperti dalam beberapa adegan yang terlalu berlarat-larat dan bertele-tele, kondisi itu tidak mengurangi bobot pertunjukan secara keseluruhan. Ya, Teater Koma ditangan Nano Riantiarno memang masih piawai dalam urusan membungkus tragedi dalam balutan komedi. Tragedi kisah cinta antara Sampek dan Engtay yang dalam versi aslinya penuh dengan cakapan yang mengharu-biru, menyayat-nyayat, dan membuat berlinang air mata pengapresiasinya, di tangan Koma berubah menjadi penuh gelak dan canda tawa. Sehingga tidak salah jika Putu Fajar Arcana, seorang kawan berujar tak ubahnya menonton acara Extravaganza sebagai-mana yang disiarkan salah sebuah stasiun televisi nasional swasta. Sebagaimana Sampek Engtay yang pernah dipentaskan di Gedung RRI, Jl Achmad Yani Semarang tahun 1999 lalu, alur penceritaan, pengadeganan, dan ending lakon ini masih sama. Setting-nya lebih teliti, mewah dan terperi serta kostum semakin mengalami penyempurnaan, dan penambahan beberapa adegan. Namun, secara keseluruhan tragedi-tawa Sampek Engtay ala Teater Koma adalah sama.
Dikisahkan Engtay (Tuty Hartaty) adalah seorang perempuan muda nan ayu dari Serang Banten hendak menuntut ilmu ke kota besar bernama Betawi. Atas izin kedua orang tuanya, Ciok, berangkatlah Engtay yang menyaru sebagai lelaki ke kota paling besar di zaman Hindia-Belanda itu. Sesampai di Betawi, bertemulah Engtay dengan Sampek (Paulus Simangunsong), yang mempunyai kepentingan sama: menuntut ilmu di sekolah Poetra Bangsa yang terletak di Glodok, Mangga Besar. Di asrama sekolah itulah pertalian persaudaraan antara Sampek dan Engtay yang ditempatkan sekamar mulai dan semakin terjalin dengan erat satu sama lain. Kelucuan-kelucuan tentang proses Engtay yang menyaru sebagai laki-laki di antara kawan-kawan sekolahannya inilah yang memancing tawa. Hingga akhirnya, atas nama cinta, Engtay berterus terang kepada Sampek tentang identitas sejatinya. Namun, pada saat yang bersamaan Engtay dipanggil pulang untuk dinikahkah dengan Macun (Sena Sukarya), putra Kapten Liong (Sugi Haryanto), tuan tanah dari Rangkasbitung. Sampek pun patah hati, kalah oleh cinta, menafikan logika, menuruti perasaannya yang lara dan akhirnya mati merana. Hingga akhirnya arak-arakan pernikahan antara Engtay dan Macun melewati makam Sampek. Engtay pun meminta waktu sebentar untuk mengirimkan doa kepada kekasih sejatinya itu. ''Tak ada yang bisa memisahkan cinta kita, tidak juga kematian,'' isaknya di pusara Sampek.Pada saat bersamaan, tiba-tiba kuburan Sampek membuka, maka tanpa berpikir panjang, melompatlah Engtay ke dalam kuburan kekasihnya, meninggalkan Macun yang murka. Ketika kuburan dibongkar paksa, jasad Sampek dan Engtay tidak tersua, hanya meninggalkan dua batu biru dan dua tawon kuning, yang kemudian berubah menjadi sepasang kupu-kupu, dan diikuti jutaan kupu-kupu lainnya. Semua yang menyaksikan adegan ini terkesima, beberapa di antaranya bahkan menyeka air mata. Menangis tertawa. (Benny Benke-45)

Zetan, Putu Wijaya

Senin, 19 Juni 2006. BUDAYA

Pentas ''Zetan'' Teater Mandiri
Teror yang Menghibur

JAKARTA-Ada yang segar, cair, dan menghibur dalam lakon teranyar Teater Mandiri berjudul ''Zetan: Setan Berguru Menjadi Pahlawan'' di Graha Bhakti Budaya TIM, Jakarta (17-18/6). Kali ini pentas sedikit menyempal dari pakem lakon-lakon mereka sebelumnya seperti "War", "Zero", "Jangan Menangis Indonesia", "Zoom" hingga "The Coffin is Too Big for the Hole". Dalam lakon terkininya, Putu Wijaya sebagai penulis naskah dan sutradara memberi porsi yang sangat luas dalam mengumbar kejenakaan dan tawa, meski trade mark utamanya, yaitu teater teror, tetap menjadi tulang punggung cerita. Simaklah ketika pertunjukan hendak dimulai. Pembawa acara mengumumkan, Teater Mandiri meminta maaf karena mencuri waktu penonton di tengah kemeriahan penyelenggaraan Piala Dunia. ''Tapi jangan khawatir, kami akan terus memantau hasil pertandingan antara Iran vs Portugal. Sebelum pertandingan kedua antara Ceko dan Ghana, Anda sudah berada di rumah,'' ujarnya, Sabtu (17/6). Bukan itu saja. Penonton bahkan diberi keleluasaan untuk memotret sepuas-puasnya. ''Karena Zetan juga ingin menjadi selebriti yang senang dipotret,'' lanjutnya. Pengumuman itu seketika mendapatkan respons tawa penonton, di antaranya pekerja teater Jajang C Noer dan basis God Bless Donny Fatah. Ketika pertunjukan sudah digelar, kala penonton sudah terbawa irama lakon, tiba-tiba pembawa acara mengumumkan: ''Babak pertama antara Iran vs Portugal kosong-kosong''.
Kembali Menyela

Bahkan ketika tokoh Guru yang diperankan Putu Wijaya, Arswendi Nasution, Alung Seroja dan Kardi tengah serius melakoni perannya, sang announcer lagi-lagi menyela. ''Untuk sementara Portugal unggul 1-0 atas Iran''. Demikianlah lakon "Zetan" mengalir dengan jenaka, penuh kritik, menyentil siapa saja, cair, sekaligus menghibur. Bahkan ada kesan teater teror yang biasanya menjadi andalan dan hafalan Mandiri dinegosiasikan dengan selera penonton. Ini terlihat ketika 60 menit pertama saat semua tokoh Guru secara bergantian melakukan monolog. Semua monolog yang menohok realita perihal kehidupan dan keadaan para guru di Indonesia disampaikan dengan nyinyir dan jenaka. Baru pada 60 menit berikutnya tokoh Zetan yang dicitrakan dengan sebuah boneka raksasa muncul dari balik layar. Keseriusan dan teror yang masih diselingi kejenakaan kembali hadir. Lakon "Zetan" intinya berkisah tentang tokoh Zetan yang dimainkan Yanto Kribo, Bambang Ismantoro, dan Ucok Hutagaol yang hendak menuntut ilmu kepada guru. Zetan atau setan atau syaiton itulah yang membuat para guru kelimpungan dibuatnya. ''Bagaimana mungkin setan atau syaiton hendak menjadi muridku dan lebih dari itu, kau mau menjadi pahlawan kemanusiaan,'' pekik Guru kalang kabut ketika Zetan mendatanginya. Singkat cerita, Zetan lulus cumlaude dan siap ditugaskan ke sebuah wilayah yang penuh dengan kesemrawutan di dunia bernama Indonesia. Sanggupkah Zetan mewujudkan mimpinya menjadi pahlawan di Indonesia? Semudah itukah Zetan menjadi pahlawan yang harus mengorbankan diri untuk kemanusiaan. Lewat lakon ''Zetan: Setan Berguru Jadi Pahlawan'', ketimpangan dan kebobrokan dunia pendidikan dan guru di Indonesia, diteror lewat lawakan. Hasilnya, 2-0 untuk Portugal. (Benny Benke-45)

Putu Wijaya

Selasa, 26 Juni 2007. BUDAYA

Putu Ejek Diri Sendiri
Oleh Benny Benke

PUTU Wijaya selalu tahu bagaimana menertawakan diri sendiri dan lingkungannya. Lewat lakon terbaru, Cipoa, yang dipentaskan akhir pekan lalu di Graha Bhakti Budaya, TIM, Jakarta, dia bersama Teater Mandiri kembali menertawakan keadaan. Dia menangani sendiri naskah dan penyutradaraan lakon 90 menit itu. Dia pun bersetia dengan pola pemanggungan Teater Mandiri. Namun muatan penyadaran tetaplah relevan dengan kondisi kekinian. Dia masih mengandalkan media layar backdrop putih untuk menggambarkan pengadeganan. Layar itu disorot lampu dari belakang panggung sehingga menghasilkan siluet. Ada pula boneka raksasa yang menyembulkan puluhan balon berbagai ukuran ke udara. Para pemain pun mengelebatkan bendera raksasa kian-kemari. Muncul pula efek kesemrawutan dari teriakan dan pekikan, ditingkahi musik memekakkan telinga, diperlengkap semburan asap putih dari dry ice. Tak ayal, "teater teror" yang ditawarkan pun terasa biasa-biasa saja, khas Mandiri. Untung, sebagai sastrawan Putu mahir melahirkan barisan kata lewat dialog para tokoh. Cipoa pun' menjadi bernas karena dialog-dialog itu.

Halalkan Cara
Cipoa dibuka oleh monolog panjang Semar (Putu Wijaya) tentang keadaan di sebuah negara dengan terlalu banyak penghuni berupa raksasa. Namun, raksasa itu telah lelah hidup dan memangsa manusia. Anehnya, banyak manusia justru berniat jadi raksasa. Mereka mengejar ambisi dengan menghalalkan berbagai cara. Akhirnya, Semar berubah jadi sang juragan pertambangan emas yang mengeksplorasi kekayaan alamnya demi keuntungan pribadi. Tipu-menipu dan berbagai muslihat dia gunakan dengan mengorbankan keadaan dan kepentingan para pekerja. Putu mengisahkan konflik antara juragan dan pekerja itu dengan baik, tanpa menginggung keadaan pemimpin dan rakyat Indonesia. Namun, penonton otomatis tahu ke mana lakon itu hendak dibawa. Sindiran, kritik pedas, dan teguran diberondongkan lewat dialog. "Dalam siasat pembangunan, berbohong diperlukan. Berbohong itu wajib," kata sang juragan. Ketika para pekerja menuntut keadilan, sang juragan dengan tegas "menggebuk" mereka. "Kekerasan perlu ditegakkan untuk mengejar kebenaran," katanya. Kebenaran untuk dan milik siapa? Milik penguasa tentu saja. Lakon itu juga didukung Rieke Dyah Pitaloka serta para aktor senior Teater Mandiri, seperti Arswendi Nasution. Pertunjukan usai ketika Butet Kartaredjasa dengan jas lengkap naik ke panggung. Dia membacakan sajak "Tanah Air Mata Kami" milik Sutardji Calzoum Bachri dengan suara mirip mantan presiden Soeharto. (71,53)

Massimo

Jumat, 30 April 2004. BUDAYA

Alunan Biola dari Italia

MAKSIM, yang baru saja menggelar konser di Jakarta (27/4) dengan racikan musik klasik dan techno, memang mendapatkan sambutan yang luar biasa dari golongan anak muda. Namun di tempat yang lain, Massimo Quarta, musikus papan atas dari Italia dengan sajian musik klasik murninya tenyata tak kalah menyita perhatian publik Jakarta. Dalam konser "Massimo Quarta; Concerto di Violino" di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), Rabu (28/4) malam lalu, violis asal negeri spagheti kelahiran 1965 itu membuat sekitar 500-an penonton yang memadati GKJ terpukau hampir dua jam sepanjang repertoar tunggalnya di tempat duduk masing-masing. Kemahiran Massimo yang memulai belajar musik klasik ketika berusia sembilan tahun dan mendapatkan summa cum laude serta honourable mention dari "St Cecilia" Konservatori di Roma, Italia, itu memang luar biasa. Musikus yang selama repetoarnya menolak diabadikan dengan kamera wartawan tersebut membuka konser lewat komposisi Johan Sebastian Bach; Partita II in D minor BMV 1004, Allemanda, Corrente, Sarabande, Giga, dan Ciaccona. Nyaris tanpa jeda, komposisi pertama yang berjalan hampir selama 30 menit itu langsung menyuguhkan teknik bermain biola dengan teknik tinggi. "Apa yang baru saja dipertontonkan oleh Massimo adalah permainan biola klasik, yang secara teknik hanya mampu dimainkan oleh pemain level dunia," komentar Addie MS saat jeda konser. "Itulah, sajian musik klasik dengan teknik bermain biola yang luar biasa," imbuh dirijen Twilite Orchestra tersebut, mengungkapkan kekagumannya. Memang, kemahiran Massimo -yang pernah mendapatkan penghargaan paling penting di Italia dalam kompetisi biola (Citta di Victorio Veneto 1986-Concorso "Opera Prima Philips" 1989) dan menggondol hadiah pertama "Nicolo Paganini International Violin Competition" di Genoa, Italia itu- sungguh membius penonton. Apalagi ketika repertoar kedua karya E Ysaye dengan komposisi Sonata no.6 in E major op.27 diperdengarkan. Sehingga tidak aneh, konser yang juga dihadiri oleh duta besar Italia, Prancis, dan para pejabat konsulat berbagai negara tersebut menjadi semakin memesona.

Papan Atas


Sebagai catatan, prestasi Massimo sebagai violis klasik papan atas memang telah diakui oleh publik dunia. "Berbagai tempat konser utama di dunia -seperti di Salle Playel, Theatre du Chatelet (Paris), Philharmonie am Gasteig (Munich), Philharmonie (Berlin), Alter Oper (Frankfurt), Tonhalle (Dusseldorf), Metropolitan Art Space, Bunka Kaikan (Tokyo), Warsaw Philharmonic (Warsawa), Great Hall of the Conservatory (Moskwa), dan beberapa tempat penting lainnya di Eropa-, pernah disinggahinya," terang Prof Remy Ostelio, ketua Istituto Italiano di Cultura Jakarta, atau pusat kebudayan Italia yang menjadi sponsor utama kehadiran Massimo di Ibu Kota. Atas prestasinya itulah, ia dinobatkan menjadi salah satu violis brilian pada era dan generasinya. " Selain itu, Massimo juga pernah tampil dengan berbagai kelompok orkestra penting di dunia," kata Prof Remy lagi sembari menyebut nama Radio Sinfonie Orchester Frankfurt, Tokyo Philharmonic Orchestra, The Budapest Shymphony Orchestra, dan beberapa nama penting kelompok orkestra di Eropa. Ya, di tangan Massimo, musik klasik yang terasa berat dan membutuhkan penikmatan atau apresiasi tersendiri itu tetap mampu menghadirkan sebuah aura menawan. Apalagi ketika karya pamungkas milik N Paganini dengan komposisi no. 24 caprices op.1:8 Caprices: dari no 1 in Mi maggiore-Andante sampai no 24 in La minore-Tema: Quasi diantarkan, ditambah sebuah nomor bonus Presto, 11 variazione, Finale pada akhir konser, aura itu makin memancar sempurna. (Benny Benke-41)

Todung Mulya Lubis

Rabu, 12 November 2003 , Budaya.
Pidato Kebudayaan Dr Todung Mulya Lubis

Kekejaman Menjadi Lumrah

APA jadinya, jika sebuah negara memandang sebuah kekejaman dan kekerasan menjadi suatu hal yang lumrah dan biasa saja? Apa jadinya pula, jika masyarakat mengalami sebuah gejala bernama pendakangkalan, karena dengan gampang melumrahkan penderitaaan dan kesengsaraan orang lain? Itulah antara lain, kegelisahan yang dirasakan oleh praktisi hukum Dr Todung Mulya Lubis. Kegelisahan itu, Senin (10/11) malam lalu diutarakannya dalam Pidato Kebudayaan berjudul "Menjawab Problem Kemanusiaan Kontemporer; dari Res Publica ke The Aeshetic of The Self", di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. "Realitas kesehariaan kita telah memberikan suatu gambaran yang jelas dan dahsyat, bahwa perasaan orang terhadap kebengisan telah lumer sedemikian rupa. Sehingga, meski merasa menyesakkan, orang tak dapat menghindar, menolak, apalagi menggugat; bahwa hari ini ada yang mati, entah ditembak senapan perang; entah mati terbakar; atau mati terbunuh sia-sia. Semua dianggap biasa, sama seperti orang telah menerima bahwa Jakarta macet. Kekejaman dan kekerasan, adalah kelumrahan,'' ujar mantan mantan ketua LBH itu. Lebih lanjut Todung menjelaskan, kita adalah masyarakat yang bebas; tetapi di sisi lain, sekaligus juga masyarakat yang nyaris kehilangan belas kasihan dan empati kepada penderitaan. ''Di titik itu kita bertanya, apakah memang kebebasan menjadi incompatible dengan kemanusiaan dan rasa damai?'' Dalam ikhwal itulah, Todung menawarkan prioritas menyelesaikan permasalahan yang paling urgent dan evil, yakni problem kejahatan. Menurutnya, problem Indonesia kontemporer secara sederhana dapat dirangkum ke dalam dua hal. Pertama, tendensi masih menguatnya relasi untuk mempertahankan pola-pola the past represive state. Kedua, lemahnya institusi-institusi sosial yang normal, yang memungkinkan menguatnya bentuk-bentuk kekerasan struktural (penghisapan dan penindasan ekonomi). Dua hal itu, imbuhnya, makin diperparah oleh ketidakpedulian kronis kekuasaan politik yang ada sekarang, sehingga menghasilkan gejala makin lumrahnya kekerasan dan kebiadaban sehari-hari dalam kehidupan sosial kita. '' Mulai dari perang, pembantaian orang di jalan-jalan, perang antara golongan di sejumlah wilayah, kecelakaan-kecelakaan yang menghanguskan puluhan jiwa orang, pembantaian dalam keluarga, dan masih banyak lagi.''


Bertanggung Jawab

Lalu mengapa fenomena itu dapat terjadi dengan begitu kentalnya di bumi Indonesia? Lewat jalan kebudayaan yang seperti apakah, untuk menyelesaikan permasalahan itu? Todung mengajak kita untuk menemukan pemahaman baru yang dapat memberikan benang merah, dan cara untuk keluar dari semua jenis kekejaman serta memupuk kembali kapasitas kekuatan kemanusiaan kita. ''Kita ditantang menemukan jalan untuk membereskan kekejaman yang lahir dari relasi kuasa negara, di satu sisi; tapi bisa pula mereduksi kekejaman individual yang terjadi antarmanusia ataupun komunitas, di sisi lain sekaligus.'' Karena itulah, Todung mengambil contoh kasus perdebatan antara Hannah Arendt dan Karl Jaspers, serta sejumlah gagasan dari humanis romantis Richard Rorty. Menurutnya, sebagaimana diutarakan Jasper, bibit kebengisan sesungguhnya bukan tersemat dalam diri si individu pelaku, melainkan dari negara yang memperbolehkan dan mempropagandakan kekejian itu berlangsung. Dengan kata lain, the ultimate evil dan sarang kejahatan terbesarnya bukanlah si individu, melainkan pada negara yang mensponsori kejahatan itu. ''Barangkali, Karl Jasper sejak awal berjasa memperlihatkan aspek negara sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam urusan penciptaan kekejaman politik,'' ujar Todung yang pernah menerbitkan antologi puisi secara luks itu. Sedikit berbeda dengan Jasper, Arendt lebih menyoroti pada kekuatan dan kapasitas dari pelaku kejahatan. Hal yang dahsyat dan harusnya membuat kita terperangah adalah kenyataan, bahwa banyak kekejian dan kebengisan dilakukan oleh sosok figur manusia yang biasa-biasa saja. (Benny Benke-41)
Jak Jazz Tebar Lukisan Keakraban
Showbiz News Sat, 24 Nov 2007 09:06:00 WIB

JAK Jazz 2007 yang digulirkan mulai semalam di Istora Senayan, Jakarta, berlangsung dengan penuh kehangatan dan keakraban. Dua puluh enam band dari berbagai negara yang tampil di tiga panggung utama dan empat panggung kecil berhasil membuat ribuan penonton terpuaskan.Mengapa dibilang akrab? Karena, hampir tidak ada jarak antara pemain dan penonton. Mereka bisa menikmati dengan jarak sangat dekat, hanya satu atau dua meter, sehingga bisa lebih mengapresiasi spirit yang digulirkan para pemusik.Seperti ketika Carmen Bradford & Rani Singam, dan Shionoya Satoru yang mempertontonkan kebolehan mereka di panggung utama Super Premium Stage. Atau ketika Dainius Pulauskas Sextet dan Elfa's Big Band di Big Stage 1 memberikan sebuah penikmatan betapa musik jazz bisa dengan mudah menjadi akrab dan hangat untuk semua penikmat musik.Atau ketika Budjana dan Tohpati, dua nama musisi yang sudah tidak asing bagi pecinta jazz Tanah Air, kembali memberikan penikmatan lain tentang makna jazz dengan lebih cair.Festival jazz tahunan yang kali ini mengusung tema "Paint the Town Jazz" benar-benar melukis kota. Kata "town" di sini maksudnya adalah kota-kota di daerah yang dikunjungi berbagai event pra-Jak Jazz seperti diadakannya audisi band lokal di Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya yang pemenangnya ditampilkan di Jak Jazz, sehingga warna jazz diharapkan tidak hanya berkutat di Jakarta saja tapi juga menyebar ke daerah.Menurut Veronita Kuspratiwi selaku media relations manager, dari target 20.000 penonton setiap harinya, di hari pertama festival (23/11) tercatat lebih dari 15.000 penonton memadati agenda internasional tersebut."Dengan target raihan penonton lebih dari 60.000 ribu untuk tiga hari penyelenggaraan, raihan penonton di hari pertama cukup menjanjikan," katanya.Akhir PekanBiasanya, lanjut Veronita, sebagaimana penyelenggaraan tahun lalu yang mengambil tema "Jazz in the Park", pada penyelenggaraan akhir pekan, yaitu Sabtu dan Minggu, jumlah penonton yang datang akan menemui puncaknya.Dan memang, hampir di semua panggung yang tersebar, ratusan penonton menyemut baik di panggung kecil maupun ribuan penonton lainnya di panggung utama. Antusiasme yang tinggi tersebut, menurut motor Jak Jazz 2007 Ireng Maulana, diharapkan dapat mewujudkan harapan panitia penyelenggara."Sesuai dengan tema kami melukis kota dengan jazz, semoga harapan itu menjadi nyata," kata Ireng bungah, seusai mempertontonkan aksinya di panggung utama. Maraknya tanggapan masyarakat atas festival ini, imbuhnya, diharapkan juga dapat memangkas stigma bahwa musik jazz hanya bisa dinikmati segelintir masyarakat."Karena sejatinya, musik jazz bisa dinikmati oleh semua lapisan masyarakat, dan bisa dengan sangat menjadi milik masyarakat kebanyakan."Kehangatan yang ditimbulkan oleh Jak Jazz 2007 itulah yang tampaknya mulai ditunjukkan di hari pertama penyelenggaraan, semalam. Namun, apakah para pengisi acaranya seperti Satoru Shionoya, rising star dari Jepang, merasakan kehangatan serupa?"Tentu saja kami bangga dan bahagia dapat tampil di acara sebesar Jak Jazz 2007, dan kami akan membawa pengalaman berharga ini ke negeri kami dengan bangga," ujar Shionoya mewakili keempat rekannya. (Benny Benke, Asep BS-45)

Jakarta International Java Jazz Festival (JIJJF) 2005

Minggu, 06 Maret 2005. NASIONAL

"Inilah Pesta Jazz yang Sesungguhnya..."

TIDAK ada kata yang lebih pantas untuk disematkan kepada penyelenggaraan Jakarta International Java Jazz Festival (JIJJF) 2005, selain kata luar biasa. Setelah pembukaan pada hari pertama Jumat (4/3) lalu, mendapat sambutan yang sangat antusias oleh masyarakat pencinta jazz Tanah Air. Pada hari kedua semalam (5/3), animo masyarakat semakin membludak saja. Betapa tidak, setelah disentak oleh aksi para legenda musik jazz dunia seperti George Duke dan The Godfather of Soul James Brown serta beberapa ikon penting lainnya. Semalam, giliran Deodato, Earth Wind & Fire Experience Feat Al Mckay All Star serta Incognito membius ribuan apresian yang menyesak di Plenary Hall, Jakarta Convention Center (JCC). Bahkan, sambutan luar biasa ini juga ditunjukkan di sepuluh arena atau hall lainnya yang menyuguhkan aksi dari para jazzer terkemuka Tanah Air dan mancanegara. Lihatlah, ketika JIJJF yang secara resmi saban harinya dimulai mulai pukul 14.00 WIB hingga pukul 02.00 WIB senantiasa dijejali oleh penikmatnya. Sehingga tak syak, ajang yang digagas oleh berbagai elemen yang berikhtiar membangun kembali citra positif Indonesia di dunia internasional ini berlangsung tak ubahnya fiesta rakyat yang sesungguhnya. Lihatlah, betapa tampilan pemain jazz Tanah Air seperti Adjierao & Jendela Ide Kids Percussion, Aksan Sjuman Quartet, Andien, Bali Lounge and Gita Wiryawan, Bayu Wirawan Trio, Bertha & Friends, Bintang Indrianto & Sujiwo Tejo, Bubi Chen Quartet, Bunglon, Canizzaro Featuring Mus Mujiono, Cherokee, Clorophyl, CO-P, D'Band, DJ Glenn serta beberapa nama lainnya tetap mendapat sambutan yang sangat hangat dari penikmat jazz. Sebagaimana dituturkan promotor JIJJF Peter F Gonta, musik jazz yang kerap diidentikkan sebagai musik yang (cenderung) berat dan hanya diminati oleh kalangan tertentu, tampaknya telah mengalami pergeseran makna. Lihatlah penikmat JIJJF, dari remaja usia belasan hingga paruh baya tumplek blek di sebelas arena yang tersedia.(Benny Benke-78)

Java Jazz 05

Sabtu, 05 Maret 2005. NASIONAL

Java Jazz Festival 2005
Menyatukan Timur-Barat

PEMBUKAAN:Legenda hidup George Duke memainkan pop jazz hingga funk jazz dalam pembukaan Jakarta International Java Jazz Festival (JIJJF) 2005, di Plenary Hall, JCC. - SM/Benny Benke .

"Oh, East is East, and West is West, and never the twain shall meet."

NUKILAN bait pembuka penyair Rudyard Kipling di atas tampaknya tidak berlaku lagi dengan dimulainya Jakarta International Java Jazz Festival (JIJJF) 2005 yang bergulir mulai kemarin hingga Minggu besok. Betapa tidak, puluhan musisi kelas dunia yang datang dari dunia Barat, selama tiga hari berturut-turut menyatukan hati dengan musisi Timur dalam sebuah helatan musik bernuansa jazz. Dan di Jakarta Convention Center (JCC), misi panitia penyelenggara untuk membangun jembatan kebudayaan lewat musik jazz antara Barat dan Timur menjadi kenyataan. "Kita semua pada dasarnya mencintai perdamaian meski dunia diselimuti dengan segala tragedi yang menyertakan penderitaan bagi umatnya," papar Peter F Gonta selaku Chairman of Java Jazz Festival Organizer. Berangkat dari keprihatinan inilah, imbuh salah seorang pemegang saham di RCTI dan SCTV ini, panitia berikhtiar melangkah ke depan melalui Java Jazz Festival yang menyatukan beberapa artis top jazz dunia. Ya, musik jazz yang cenderung diidentikkan sebagai "America's classical music" ini, nyatanya dimainkan dan dinikmati oleh semua warga dunia. Dan sebagaimana kekuatan sebuah musik, jazz pun mempunyai kekuatan bahasa universalnya sendiri. "Dan dengan demikian ia (jazz) bisa dinikmati siapa pun bukan," tandas Gonta. Sehingga menjadi tidak aneh, dalam pembukaan JIJJF 2005, George Duke, salah seorang legenda hidup jazz dunia yang manggung bareng Glen Fredly di Plenary Hall, mendapat sambutan yang sangat meriah dari ratusan die harder of jazz di Tanah Air. Di hall yang sama pula Ruth Sahanaya berkolaborasi dengan Jeff Kashiwa All Star. Dan pada tengah malamnya (kemarin malam-Red), sang godfather of soul, James Brown, menjadi ikon yang paling dinanti kehadirannya.

Tidak Gentar
Tidak gentarkah para artis dari Eropa, Australia, Asia, Amerika dan Amerika Latin tersebut menghadiri JIJJF 2005 di Jakarta, yang konon di dunia Barat digambarkan sebagai sebuah wilayah yang sangat tidak aman? "Tidak ada yang perlu saya takutkan disini," ujar Jeff Kashiwa, peniup saksofon terkemuka dari Jepang. Karena, kata dia, bencana bisa terjadi di mana saja dan kapan saja. "Dan pada dasarnya saya sangat meyakini masyarakat Indonesia sangat baik hati," imbuh dia, sembari menambahkan bahkan di Jepang teror juga terjadi. Memang, ikhtiar panitia penyelengara untuk menyatukan lebih dari 500 musisi internasional dan lokal sudah selayaknya mendapat dukungan. Tidak gampang mengundang para pemain jazz andal dunia seperti Amp Fiddler, Angie Stone, Deodato, DJ Maestro, Earth Wind and Fire Experience Featuring Al Mckay All Stars, Eric Benet, George Duke, Gilles Peterson, Incognito, James Brown, Jeff Kashiwa, Jeff Lorber, Laura Fygi, Lizz Wright, Michael Paulo, Michelle Nicolle, Saskia Laroo, Steve Reid, Tania Maria, Tetsuo Sakurai (pemain bas Casiopea), Tiempo Libre, dan Vinny Valentino. Mengingat, sekali lagi, pemberlakuan travel warning dari beberapa Negara para musisi berasal, masih meberlakukan larangan warganya berpergian ke wilayah Indonesia. Namun, lewat ikhtiar yang membuncah dari sebuah permaian musik bernama jazz, keraguan, ketakutan, dan kecurigaan dapat meleburkan perbedaan Barat dan Timur. Apalagi dengan menyisihkan Rp 15.000 per tiket dari tiket Rp 100 ribu hingga Rp 200 ribu dan Rp 450 ribu untuk tiket terusan selama tiga hari, untuk korban bencana tsunami di Aceh dan Sumut, JIJJF 2005 sungguh menghadirkan sebuah pengharapan baru. Pengharapan untuk mewujudkan membangun jembatan antara Barat dan Timur lewat jazz. (Benny Benke-81).

"Sarimin"

Sabtu, 17 Nopember 2007
BUDAYA

Menertawakan Supremasi Hukum
Oleh Benny Benke

SETELAH monolog "Racun Tembakau" (1986), "Lidah Pingsan" (1997), "Lidah (Masih) Pingsan" (1998), "Mayat Terhormat" (2001), dan "Matinya Toekang Kritik" (20006), Butet Kartaredjasa kembali menyuguhkan lakon terkininya. Lewat monolog "Sarimin" yang ditulis dengan bernas oleh Agus Noor, kini giliran wajah hukum di Indonesia yang menjadi sasaran tembak kritiknya. Dengan menghadirkan beberapa fakta permasalahan hukum yang bobrok dan seolah menjadi permakluman publik, lakon yang menjadi bagian dari pertunjukan Art Summit Indonesia 2007, itu digulirkan. Tidak jauh berbeda bahkan setipikal dengan lakon monolog terdahulunya, modus pementasan yang masih mengandalkan keaktoran Butet itu disajikan dengan metode banyolan. Kehadiran pengisi musik sekaligus duet abadi yang tak lain adik kandungnya sendiri, yaitu Djaduk Ferianto, pun disajikan sebagai sarana untuk menjaga, memelihara, sekaligus memperkaya tempo penceritaan. Simbolisme. Kali ini, Ong Harry Wahyu sebagai penata artistik lebih bersahaja menghadirkan peranti setting pendukung, tanpa harus kehilangan kekayaan simbolisme yang sangat mampu dan dengan mudah dibaca penonton teater yang paling awam sekalipun. Semua itu dibungkus dengan baik meski belum sempurna betul oleh pengontrol dramatik Zuki alias Kill The DJ. Istilah pengontrol dramatik digunakan oleh komunitas teater Gandrik untuk menghaluskan istilah sutradara yang mungkin terkesan berlebihan bagi Zuki. Pria itu memang masih muda dan dianggap belum layak menyandang nama sutradara yang seolah berbobot itu. Di atas itu semua, lakon ''Sarimin'' yang berdurasi 90 menit dan digelar di Bentara Budaya Jakarta, TIM, 14-17 November, memberikan perspektif lain dari sebuah pertunjukan monodrama atau monolog. Butet Kartaredjasa yang harus malih rupa sebanyak tiga kali sebagai Sarimin si tukang Topeng Monyet, Polisi, dan Pengacara asal Sumatera, dengan apik mempertontonkan makna keaktoran yang sepatutnya. Meski tampak semakin terlihat tua, dan agak kepayahan menjaga stamina, karena banyak pergerakan besar di atas panggung, aktor kelahiran Yogyakarta, 21 November 1961 itu dengan intuisi keaktorannya mampu melewati itu semua dengan baik.


Idiom Jawa


Hasilnya, penonton dibawa pada sebuah ranah pertunjukan yang menggembirakan karena lengkapnya semua unsur drama yang ada. Kesedihan yang timbul karena tragik-komedik akibat kepolosan dan kenaifan Sarimin, pada sesi lain mampu dibalik dalam bingkai sarkastik oleh kehadiran sosok Polisi. Di sisi lain, ketika sosok pengacara menjelma, Butetpun seketika mampu mengubah intonasi, rima, irama dan pembawaannya ke dalam citra pengacara yang selama ini kita kenal sering terlihat di layar infotainment. Bagusnya, meski dihantarkan dengan metode banyolan, pesan yang ingin disampaikan tentang betapa kondisi hukum di Indonesia sangat memprihatinkan, terhantarkan dengan baik dan menyengat. (45)

"The Photograph"

Sabtu, 30 Juni 2007
BUDAYA


"The Photograph"
Mengabadikan Kenangan


APA yang harus dilakukan seseorang dalam sisa hidupnya ketika dia mengetahui ajalnya sudah mengintip? Dalam film The Photograph arahan sutradara Nan Achnas, waktu penghabisan itu dikisahkannya dengan sangat puitis sekaligus prosais. Dengan bahasa gambar yang apik berkat kamera berformat 35 mm plus pengambilan sudut pandang yang estetis dari setting bangunan tua Kota Lama Semarang, film berdurasi 95 menit ini menjadi sangat memanjakan mata. Film ber-genre drama yang juga patuh dan tidak mengingkari logika bercerita ini, hampir sepanjang kisahnya berjalan dengan hening dan nyaris senyap. Isian mucic score yang dipercayakan kepada Aksan Sjuman bahkan makin membuat film produksi Triximages, Salto Film And Les Petites Lumieres ini menjadi semakin menghanyutkan. Berbeda dari genre dan cara bercerita film Indonesia kebanyakan yang akhir-akhir ini marak diedarkan ke pasaran, The Photograph yang akan ditayangkan 2 Juli 2007 menjadi sidestream dari arus besar film pop. Sebagai film seni, Nan yang pernah menghasilkan Kuldesak bersama Mira Lesmana, Riri Riza, dan Rizal Mantovani, dan Pasir Berbisik, sadar benar akan pilihannya. Keseriusannya untuk menghasilkan film bermutu, mendapat respons positif dengan meraih penghargaan, bahkan ketika film ini baru masuk pada taraf pembangunan skenario. Penghargaan Prince Clous Fund at Cinemart 2002, Goteborg Film Fund at PPP 2002, Fond Sud 2005, dan Swiss Fund at Open Doors Locarno Film Festival 2006 berhasil diraihnya.

Indekos


Hasil akhirnya, film yang juga melibatkan aktor watak peranakan dari Singapura bernama Lim Kay Tong ini membangun sebuah kesatuan film yang utuh. Dari penyutradaraan, sinematografi, alur cerita, akting, setting, hingga music score. The Photograph bermula dari keterbenturan nasib antara Sita (Shanty), seorang penyanyi karaoke bar dan pelacur paruh waktu, dengan Johan (Lim Kay Tong), seorang juru foto keliling keturunan Tionghoa yang sudah renta. Sita yang bernama asli Sariah terjebak pada permasalahan finansial yang serius kepada Suroso (Lukman Sardi). Dengan meninggalkan anak semata wayang dan neneknya di desa, beban ekonomi yang ditanggung Sita semakin tidak mudah. Dari sinilah cerita bermula, ketika Sita memohon kepada Johan untuk indekos di loteng rumahnya, sembari menghindari kejaran germo Suroso yang menuntut sejumlah rupiah kepadanya. Dari loteng kos-kosannya itulah, Sita menangkap semua kegiatan memotret Johan yang eksentrik. Hingga akhirnya semakin dekatlah hubungan Johan yang sebatang kara dengan Sita yang mau mengabdi kepadanya, selepas dia menjadi korban diperkosa tiga "tamunya". (Benny Benke-45)

koma

Senin, 14 Januari 2008

BUDAYA, Pertunjukan yang Purna
Oleh Benny Benke

"Hanya Tuhan yang mampu membuat kita terlihat bodoh dengan cara terhormat."
TEATER Koma adalah kelompok teater modern terkini di Indonesia dengan hampir semua aktornya mampu mempertunjukkan kemampuan merata dan mumpuni. Kemahiran mereka menunjukkan seni akting memikat tampak saat kelompok yang dibentuk 1 Maret 1977 itu mempertontonkan lakon ke-112, Kenapa Leonardo?, di Graha Bhakti Budaya TIM, Jakarta, 11-25 Januari. Apa yang istimewa dari lakon yang berangkat dari naskah bernas Evald Flisar, penulis Slovenia itu. Jawabnya adalah keutuhan sebuah pertunjukan teater. Naskah dialihbahasakan oleh Rangga Riantiarno, putra motor, pemikir, sekaligus inpsirator Teater Koma, yakni pasangan Nano dan Ratna Riantiarno. Lihatlah, ketika penonton masuk ke arena pertunjukan, sebuah setting mewah realis yang digarap skenografer Onny Koes sudah cukup mencitrakan lakon apa yang hendak disajikan. Sebuah lukisan raksasa berukuran lebih dari 3 x 3 meter menggantung di sisi kanan panggung, yang mengisahkan peristiwa Merchant of Venice karya Shakespeare. Ada pula empat kopi lukisan kecil karya maestro Van Gogh di kiri panggung, serta beberapa sofa, rak buku, dan meja makan besar yang mencitrakan kehidupan masa pertengahan. Setting itu sudah sangat berbicara. Ketika tokoh Martin (Budi Ros), Bu Risah (Sari Madjid), Prefoser Karuso (Dudung Hadi), Pak Ndus (Dorias Pribadi), Rebeka (Tuti Hartati), dan Pak Miring (Joko Yuwono/ Adri Prasetyo) membuka dialog, ketahuanlah siapa mereka sebenarnya: para pasien di sebuah lembaga syaraf.

Komikal

Dua puluh menit kemudian, sebagai pembuka sekaligus perkenalan para tokohnya, penonton diperkenalkan kepada satu per satu pasien yang sejatinya memiliki kecenderungan sebagaimana manusia normal di luar sana, yang tetap membutuhkan cinta, pengakuan, dan rasa aman. Meski tentu saja, semua itu disajikan dengan komikal sebagai trade mark Teater Koma. Ketika tokoh Dr Hopman (Nano Riantiarno) dan Dr Dasilva (Cornelia Agatha) nimbrung di antara mereka diiringi perawat (Herlina), kompleksitas mulai dibangun. Selanjutnya, secara pelan dan pasti lakon yang maraton bergulir selama empat jam itu, menyatukan perca demi perca permasalahan dengan intensitas yang mencekam. Apalagi terkuak sebuah perselisihan antara Dr Hopman yang arif, mengasihi serta memanusiakan pasiennya versus Dr Dasilva yang ambisius menemukan sebuah metode penyembuhan atas nama gelar PhD-nya. Perseberangan pandangan antara nilai-nilai kemanusiaan dalam menangani orang-orang yang dipandang sakit dengan ilmu pengetahuan inilah yang menjadi menu utama cerita. Nano sebagai sutradara yang matang tahu betul bagaimana menyajikan persebarangan itu dengan sangat mengena. Sehingga meski lakon yang kali ini tanpa iringan musik itu, tetap tidak kehilangan intensitasnya sebagai sebuah tontonan memikat. Buktinya, durasi empat jam yang sebenarnya sangat melelahkan itu berhasil dilipat lewat keaktoran yang aduhai. Harmonisasi antara kuatnya naskah, keaktoran, penyutradaraan, skenografi, pencahayaan, kostum apik karya Samuel Wattimena, dan berbagai elemen lainnya menjadi kunci utama purnanya lakon Kenapa Leonardo?

Kepulauan Seribu



Kepulauan Seribu
Eksotika, Serenity dan Solitude।

Jika Anda berkeinginan memanjakan diri dengan eksotika pemandangan alam yang melenakan। Mencari serenity dan solitude di pelukan alam. Dan merehatkan kepenatan dari segala rutinitas kota yang menyesakkan. Datanglah ke Kepulauan Seribu; The most beautifull archipelago's on the earth. Ya, tidak berlebihan menyematkan Yang Paling Ayu bagi Kepulauan yang memiliki 110 pulau, dengan total luas 864,59 Ha, dan luas lautan 6।997.50 km2 atau 11 kali wilayah DKI Jakarta ini. Betapa tidak। Dengan spesifikasi tiap pulau yang berbeda dan menyimpan ciri khas keindahannya masing-masing, Anda nyaris tidak bisa membedakan daya pikat antara satu pulau dengan pulau yang lain. Karena saking apiknya. Dan ikhwal inilah yang membuat orang berduit di Jakarta menggunakan pulau di kepulauan seribu untuk keperluan pribadinya। Nama-nama seperti Tommy Winata, Probo Sutedjo, Benny Sumampouw, Surya Paloh, dan Hansen adalah pengguna pulau-pulau untuk keperluan pribadi. Namun, sebagaimana kisah klise pengelolaan sumber daya alam di Indonesia, kekayaan dan keuntungan alam nan elok ini tidak membuat pihak terkait, mampu memanfaatkan daya jual Kepulauan Seribu dengan सेपतुत्न्य।''Terlalu banyak kendala pengadaan infrastruktur untuk memaksimalkan keberadaan Kepulauan Seribu,'' ujar Djoko Ramadhan, Bupati Administratif Kepulauan Seribu। Dan lewat Orientasi Wartawan Dalam Mengenal Pulau-Pulau Kecil; Potensi dan Problematikanya, Jum'at-Minggu (15-17/7) lalu, di Kepulauan Seribu Jakarta inilah, saya berkesempatan mengunjungi beberapa pulau di Kepulauan nan permai tersebut.
Dengan menumpang Kapal Motor Cepat Praja Bahari Utama I, yang bertolak dari Dermaga 20, Pantai Marina Ancol, Jakarta, kami menyongsong P। Pramuka. Setelah menempuh jarak sekitar 70 km atau 1.5 jam, sampailah kami di pulau yang difungsikan sebagai pusat administrasi Kepulauan Seribu. ''Sebelum tahun 1973 nama pulau ini adalah Pulau Elang। Tapi, sejak Abdul Gafur mengunjungi pulau ini, nama pulau berubah menjadi Pulau Pramuka,'' terang Samiun, mantan Lurah P. Pramuka. Di pulau inilah pemerintahan Kepulauan Seribu, yang terdiri dari 2 Kecamatan, 6 Kelurahan, 24 RW, dan 119 RT dijalankan। Dan dengan hanya mempunyai jumlah penduduk 20।375 jiwa dengan ciri masyarakat pesisir yang menekuni mata pencaharian menjadi nelayan. Hampir dapat dipastikan aktifitas penduduk adalah melaut. Dengan demikian ketergantungan terhadap alam pun sangatlah tinggi. ''Masyarakat pulau cenderung hanya mengetahui terminologi kata memanen (saja), dan tidak mengenal kata menanam apalagi memelihara sebagai masyarakat petani di darat,'' keluh Sumarto, Kepala Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu। Keprihatian Sumarto berserta jajarannya yang bergiat dalam Pembinaan dan Peningkatan Usaha Konservasi di Dalam dan di Luar Kawasan Hutan sangat beralasan। Bayangkan. Dengan kekayaan sumberdaya laut yang tinggi dengan keanekaragaman jenis ekosistem yang unik, kelestarian Kepulauan Seribu selayaknya di jaga, dipelihara, dan membuahkan keuntungan yang besar. Namun, sebagaimana kita maklumi bersama, kepedulian nelayan Kepulauan Seribu untuk menjaga apalagi memelihara ekosistem laut sangatlah rendah। ''Memang tidak fair jika kita mengkomparasikannya dengan kepedulian nelayan Jepang misalnya,'' imbuh Sumarto. Menurut dia, keberadaan beberapa ikan laut seperti ikan Napoleon yang elok sudah sangat sulit ditemui। Akibatnya keberadaan ikan Bulu Babi yang merupakan makanan utama ikan Napoleon menjadi menggila. ''Ketidakseimbangan ekosistem inilah yang membuat kami tetap waspada menjaga ekosistem. Salah satunya dengan menangkarkan Penyu Sisik (Eretmochelys Imbricata) yang nyaris punah''.

Tour de इस्लंद

Secara spesifik peruntukan Kepulauan Seribu yang dimukimi hanya 11 pulau, untuk rekreasi dan pariwisata 45 pulau, PHU penghijauan 26 pulau, cagar alam 17 pulau, cagar budaya 3 pulau, PHB peruntukan khusus 4 pulau, dan yang tenggelam 4 pulau. Diantara 110 pulau itu, P। Tidung adalah yang terluas (50,13 Ha) dan pulau pemukiman terkecil adalah P. Kelapa Dua (1,9 Ha). Sedangkan menurut catatan, P. Panggang, yang bersemuka dengan P. Pramuka adalah pulau terpadat kedua di Dunia setelah sebuah pulau di Nusa Tenggara, dengan jumlah penduduk 400 jiwa/Ha, kemudian P. Kelapa dan P.Harapan (350 jiwa/Ha). Dengan transportasi andalan ojek perahu yang dengan setia mengantar dan melancarkan lalulintas antarpenduduk pulau, kami melakukan aktifitas kelautan। Di perairan P. China yang kemudian berubah nama menjadi P. Karya inilah, kami melakukan snorkelling menikmati pesona coral, karang laut dan tentu saja eloknya neka warna ikan hias (ornamental fish). Dam ketika Matahari telah pulang keharibaannya, kami kembali ke base camp; P. Pramuka. Keesokan harinya, didampingi para diver, penyelam dari awak Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (TNKpS), tour de island dimulai. Setelah mampir di P। Panggang nan padat, yang konon dulu tempat para tahanan PKI di bunuh (atau dipanggang), kami melaju dengan Kapal Motor Cepat ke P.Bidadari. Atau yang lebih dikenal oleh wisatawan mancanegara dengan nama Princess Island. Di pulai milik Tommy Winata inilah kemewahan wisata kelas menengah ke atas disajikan। Selain terdapat cottage dengan tarif dollar, di sini berbagai aquarium raksasa yang berisi ikan laut dipamerkan. Dan hebatnya, disini juga terdapat semacam seaworld atau dunia bawah laut, sebagaimana yang terdapat di Ancol. Bahkan lebih hebat dari Ancol, aqurium raksasa di P। Bidadari benar-benar tertanam di dasar tepi laut, lengkap dengan berbagai ikan tangkarannya. Dari Hiu, Pari sampai bunga karang hidup. Dari P। Bidadari yang biasanya sesak huniannya oleh orang kaya Jakarta di akhir pekan, kami menyusuri jajaran barisan Kepulauan Seribu. Di salah sebuah pulau yang terkenal karena keindahan karang laut dan aneka ikan hiasnya, lagi-lagi kami melakukan snorkelling. Puas bersnorkelling kami berpindah ke P। Kotok. Di pulau tempat penangkaran Elang Bondol inilah, kesenyapan sebuah pulau benar-benar tersajikan. Memang, tidak ada jalan raya di setiap pulau di Kepulauan Seribu, bahkan motor pun hanya satu dua. Namun, di P. Kotok, serenity dan solitude benar-benar hadir dan nyata. Yang tampak hanya aktifitas para ekspatriat yang bekerja di Jakarta sedang menyelesaikan bacaan mereka di depan cottage masing-masing। ''Biasanya para ekspatriat membawa berbuku-buku novel dan beberapa minuman untuk menemani kesendirian berakhir pekan mereka,'' terang Asep Wahyu Hidayat, Sales Executive Alam Kotok. Dengan menerapkan konsep back to nature, setiap cottage di P। Kotok tidak menyediakan TV, apalagi live music di barnya. Dan rimbunan aneka tumbuhan pulau pun dibiarkan liar mengesankan hutan lindung. Di sini ketakziman menjadi jualan utama. Hiruk pikuk menjadi fosil. Dan dernyit nyanyian pohonan, kecipak deburan ombak serta cicit burung menjadi simponi alam. Di Kepulauan Seribu, eksotika, serenity dan solitude berkecenderungan menentramkan asa, memudahkan kita untuk menajamkan hati, dan membesarkan prasangka baik; bahwa alam adalah guru segalanya. (Benny Benke).


एलंग Bondol



Elang Bondol
Melanglang Menyambar केहिदुपन

Disebuah rerimbunan nan permai Elang Bondol (Heliastur Indus) tampak tenang. Burung karnivora yang tersebar diwilayah Indonesia ini merenung seperti gunung. Dengan bulu berwarna putih dan coklat yang mendominasi tubuhnya yang berukuran 45 cm, maskot DKI Jakarta ini tampak gagah dalam keterdiamannya.
Sesekali pekik suaranya membahana di seantero Pulau Kotok di Kepulauan Seribu। Ikhwal apakah yang membuat burung yang mampu terbang di ketinggian 3000 meter di atar permukaan laut dan bertahan hidup hingga masa usia 10 tahun ini, berada di pulau yang berjarak 80 km dari Jakarta? Habituasi jawabnya। Elang Bondol yang berjumlah tujuh ekor itu telah dihabituasikan atau dalam proses pembelajaran kembali ke alam atau habitat aslinya. Dan P. Kotok yang dapat ditempuh dalam waktu 90 menit perjalanan dengan kapal motor cepat dari Jakarta adalah tempat yang paling sesuai dengan habitat asli burung pemangsa ikan, mamalia kecil, reptil, dan kodok ini. ''Habitat asli Elang Bondol memang hidup di rawa-rawa, pesisir pantai, sungai, dan danau, dengan tidak melakukan perpindahan (migrasi),'' terang Asman Adi Purwanto, Observer dari Pusat Penyelamatan Satwa Tegal Alur। । Menurut Asman, Elang Bondol yang biasanya terdapat di P।Jawa dan P। Bali sudah sangat sulit ditemui, ''Beberapa memang masih ada di Sumatra dan Kalimantan. Dan untuk itulah mereka masuk ke dalam salah satu daftar hewan langka yang dilindungi oleh Undang-Undang''.

P. Kotok yang secara geografis alamnya menyediakan padang lamun (rumput atau jerami makanan Elang Bondol), dan menyediakan karang sebagai tempat perkembangan ikan sebagai mangsa makanan, juga menyediakan hutan asli sebagai penunjang perkembangan Elang Bondol.
Dan di dalam semacam tempat penangkaran yang menyatu dari tepian pantai ke tepian laut, burung yang hidupnya bergerombol ini mengalami proses pembelajaran। Ya, Elang-Elang ini memang harus melakukan pembelajaran di kandang raksasa berukuran 40 x 12 x 9 meter. Maklum mereka belum lama didapatkan dari pasar burung ilegal di Ps. Barito, Ps. Pramuka, dan Ps Jatinegara di Jakarta. ''Bahkan tiga ekor diantaranya kami dapatkan dari Ekky Soekarno Putra,'' kata Asman। Suami Soraya Haque itu memang dikenal sebagai pemelihara Elang dari berbagai jenis. Dan karena ia tidak memiliki surat ijin kepemilikan hewan yang dilindungi Undang-Undang, maka siapa pun wajib mengembalikan hewan tersebut untuk dilestarikan oleh Negara. ''Yang berhak mememlihara hewan yang dilindungi Undang-Undang jika seseorang tersebut mendapat ijin langsung dari Presiden,'' tegas Asman menukil UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya। Secara kronologis proses pelestarian Elang Bondol yang dihabituasi hingga dilepaskan ke alam bebas tidak terlalu kompleks. Pertama setelah menyita Elang Bondol di tempat perburuan, pemeliharaan, dan perdagangan satwa ilegal di pasar burung Jakarta। Kemudian, memeriksa kesehatan burung di yayasan Pusat Penyelamatan Satwa Tegal Alur. Maka, di translokasikanlah Elang-Elang itu di P. Kotok yang juga yang juga termasuk dalam Taman Nasional Kepulauan Seribu. ''Dan jika mereka telah memenuhi tiga aspek dasar sebagai binatang yang telah akrab dengan alam, maka kami akan melepaskannya,'' kata Alex, observer lainnya। Biasanya aspek dasar itu meliputi aspek umum (bertengger dan terbang), aspek berburu dan aspek sosial (hidup berkelompok dengan jenisnya). Dan jika masa 21 hari telah terlewati dan dinyatakan lulus, maka bebaslah Sang Elang melanglang menyambar kehidupan। ''Musuh utama mereka adalah predator yang lebih besar, yaitu Elang Laut Perut Putih,'' kata Asman। Elang Laut Perut Putih yang soliter atau hidup sendirian ini, memang mempunyai karakterisasi hidup yang berbeda dengan Elang Bondol yang bergerombol. Setelah menyatu dengan alam, tidak begitu saja perkembang Elang yang mempunyai radius daya jelajah tidak lebih dari 100 km dari sarangnya ini, dilepas. Mereka akan terus dimonitoring sampai alam benar-benar menyatu dan ditaklukkan kebuasannya. (Benny Benke).