Jumat, 08 Februari 2008

Jose Rizal Manua / Mahkamah

Selasa, 20 Maret 2007. BUDAYA

Mahkamah yang Melelahkan
Oleh Benny Benke


MAHKAMAH, lakon karya Asrul Sani, yang diikhtiarkan untuk menyelaraskan realisme dan surealisme, mengalir banal. Kekuatan naskah dan permainan apik Ray Sahetapy belum menggeregetkan lakon itu. Meski, sutradara Jose Rizal Manua dengan seabreg pengalaman di dunia teater sebenarnya dapat menghadirkan sesuatu yang lebih. Tak ayal, drama tiga babak berdurasi lebih dari 120 menit yang digelar tiga hari berturut-turut, Jumat-Minggu (16-18/3), di Graha Bhakti Budaya TIM, Jakarta, itu melelahkan dan membosankan. Meski, nilai edukasi lewat dialog sangat tajam, menusuk, dan koheren dengan keadaan masa kini. Apa yang kurang dari pementasan, yang untuk kali ketiga pula Mutiara Sani berperan sebagai Murni itu? Intensitas yang menghadirkan ketegangan! Ya, stamina pemain kurang terjaga dan tak merata serta dramaturgi setiap adegan pun terasa timpang. Ketika tokoh Saiful Bahri (Ray Sahetapy) berdialog dengan Murni, adu kedalaman watak mengemuka. Teristimewa pada pendalaman peran yang dipertontonkan Ray.Namun dialog dan monolog tokoh lain, seperti Rahmat (Maulana Firdaus), Pak Ahmad (Haru Patakaki), Majid (Melela Gayo), istri Majid ( Lisa A Ristargi), berlangsung, kedataranlah yang muncul. Untung, tokoh Citra I atau Pembela (Meritz Hindra) dan Citra II atau Penuntut Umum (Aspar Paturusi), Kapten Anwar (Ayez Kassar) dan Prajurit 1 Somat (Syaiful Amri) mampu memberikan warna tersendiri lewat akting komikal. Sesungguhnya sajian Sanggar Pelakon pimpinan Mutiara Sani itu cukup mengesankan. Keseriusan mereka bertahan dan nggetih di jalur teater sangat membanggakan. Apalagi mereka melibatkan generasi kedua, Gibran Sani, yang membesut musiknya.


Pengadilan Nurani

Mahkamah berkisah tentang pengadilan hati nurani atas tokoh pensiunan Mayor Saiful Bahri. Menjelang kematiannya, dia gelisah karena pada masa lalu menghukum mati Kapten Anwar yang menjalin hubungan asmara dengan Murni. Dua bulan setelah kematian Anwar di depan regu tembak, Bahri memperistri Murni. Ingin terlepas dari beban masa lalu pada era perang kemerdekaan itulah, Bahri mengajukan diri ke depan mahkamah, meminta diadili. Itulah mahkamah luar biasa yang mengusut perkara yang luput dari jangkauan pengadilan duniawi. Majelis hakim, perangkat hukum, dan undang-undang yang digunakan tak dikenal di dunia. Bahri harus menghakimi perbuatannya, dengan syarat hati nuraninya berfungsi dengan baik. Sang nurani mengatakan, ''Ajukanlah perkara Saudara pada Hakim Tertinggi yang Mahamengetahui. Sebutkanlah nama-Nya. Hanya Dia yang bisa menjawab semua pertanyaan dan memberikan keadilan.'' (53)

Tidak ada komentar: