Jumat, 08 Februari 2008

Agus PM Toh

Jumat, 14 Januari 2005. BUDAYA

Ketika Penutur Aceh Suguhkan ''Hikayat Tsunami''
SETIAP ranah kebudayaan mempunyai mediasi dan caranya sendiri untuk menuturkan sebuah cerita. Di Jawa misalnya, lebih akrab dengan pertunjukan wayang kulit, wayang wong, wayang golek atau wayang potehi. Yang menjadikan pertunjukan tradisional menjadi lebih menarik adalah bagaimana mengemasnya menjadi sesuatu yang baru atau kontemporer. Sebagaimana yang dilakukan Slamet Gundono dengan wayang suket dan berbagai variannya, Ki Entus Susmono dengan wayang planet dan berbagai terobosannya. PM Toh Agus Nur Amal, salah seorang penutur cerita tradisional dari Aceh pun mampu membesut kesenian asli Serambi Mekah semacam didong gayo dan hikayat menjadi bernas dan menghibur. Lihatlah aksi seniman kelahiran Sabang, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), 17 Agustus 1969, ini ketika membius ratusan penonton di Galeri Nasional Indonesia, Selasa (12/1) malam. Di tangan Agus, yang menambahkan nama PM Toh di depan namanya sebagai penghormatan kepada gurunya yang mahir menirukan klakson bus ALS (Antar Lintas Sumatera) PM Toh, hikayat mengalir dengan jenius, menghibur sekaligus liar. Dia menjadi pemungkas aksi ''Dwi Pekan Kepekaan Seniman; Bangkit Aceh'', yang digelar 8 - 23 Januari. Jebolan Fakultas Seni Petunjukan, Institut Kesenian Jakarta ini menyuguhkan sebuah lakon berjudul ''Hikayat Tsunami''. Dengan menghadirkan alat pertunjukan ala kadarnya, Agus yang menempatkan diri di sebuah kotak yang ia andaikan sebuah televisi, menggulirkan kisahnya. ''Terkisah seorang anak bernama Pahlawan sedang bermain di tepi pantai,'' kata dia, sembari menarik sebuah serbet berwarna putih dan menggoyang-goyangkannya layaknya deburan ombak di pantai. Sedangkan sang bocah Pahlawan dia wakilkan dengan persona dirinya yang mengenakan topi bayi. Selanjutnya, awan putih dan awan hitam yang berarak ia gantikan dengan tas plastik kresek berwarna putih dan hitam. Ketika sang bocah berpamitan kepada emaknya untuk pergi bermain, seketika dalam hitungan detik, Agus pun berubah menjadi sosok emak dengan mengganti topi bayi dengan serbet putih yang terikat di kepalanya. Tentu saja, ucapan yang disuarakannya berubah menjadi dialeg emak.


Alat peraga

Agus yang pernah berguru kepada Teungku Haji Adnan, seorang ''guru'' penutur hikayat di Blang Pidie ini, mampu menyulap benda-benda di sekilingnya menjadi alat peraga penunjang cerita. Berbagai benda seperti gayung yang menggambarkan helikopter, sapu menjadi pohon, ijuk sapu menjadi burung elang. Berbagai benda remeh temeh itu mampu menjadi media penutur sekaligus pendukung cerita. Meski dengan gaya tutur khas Aceh, ia tetap mampu menyampaikan misi dan visinya dengan balutan comedy style ke penikmat pertunjukan yang datang dari berbagai latar belakang. Dia membawakan hikayat berbau komedi, misalnya Kura-kura Tentara, Anak Emak Melawan Raksasa, Hikayat Polisi dan Bandit, serta Hikayat Tentara Nyesel Jadi Tentara. Konsep lakon-lakon itu sebagian besar dia persiapkan tak lama sebelum naik pentas. Dia juga menyuguhkan hikayat yang agak serius seperti Sidang Deria, Raja Bediu, Hikayat Malim Dewa, Hikayat Elia Tujuh, Hikayat Hamzah Fansuri dan Hikayat Cincin Setia. Namun, tetap mampu menyajikannya tanpa kehilangan kesegaran. (Benny Benke-63)

Tidak ada komentar: