Jumat, 08 Februari 2008

Java Jazz 05

Sabtu, 05 Maret 2005. NASIONAL

Java Jazz Festival 2005
Menyatukan Timur-Barat

PEMBUKAAN:Legenda hidup George Duke memainkan pop jazz hingga funk jazz dalam pembukaan Jakarta International Java Jazz Festival (JIJJF) 2005, di Plenary Hall, JCC. - SM/Benny Benke .

"Oh, East is East, and West is West, and never the twain shall meet."

NUKILAN bait pembuka penyair Rudyard Kipling di atas tampaknya tidak berlaku lagi dengan dimulainya Jakarta International Java Jazz Festival (JIJJF) 2005 yang bergulir mulai kemarin hingga Minggu besok. Betapa tidak, puluhan musisi kelas dunia yang datang dari dunia Barat, selama tiga hari berturut-turut menyatukan hati dengan musisi Timur dalam sebuah helatan musik bernuansa jazz. Dan di Jakarta Convention Center (JCC), misi panitia penyelenggara untuk membangun jembatan kebudayaan lewat musik jazz antara Barat dan Timur menjadi kenyataan. "Kita semua pada dasarnya mencintai perdamaian meski dunia diselimuti dengan segala tragedi yang menyertakan penderitaan bagi umatnya," papar Peter F Gonta selaku Chairman of Java Jazz Festival Organizer. Berangkat dari keprihatinan inilah, imbuh salah seorang pemegang saham di RCTI dan SCTV ini, panitia berikhtiar melangkah ke depan melalui Java Jazz Festival yang menyatukan beberapa artis top jazz dunia. Ya, musik jazz yang cenderung diidentikkan sebagai "America's classical music" ini, nyatanya dimainkan dan dinikmati oleh semua warga dunia. Dan sebagaimana kekuatan sebuah musik, jazz pun mempunyai kekuatan bahasa universalnya sendiri. "Dan dengan demikian ia (jazz) bisa dinikmati siapa pun bukan," tandas Gonta. Sehingga menjadi tidak aneh, dalam pembukaan JIJJF 2005, George Duke, salah seorang legenda hidup jazz dunia yang manggung bareng Glen Fredly di Plenary Hall, mendapat sambutan yang sangat meriah dari ratusan die harder of jazz di Tanah Air. Di hall yang sama pula Ruth Sahanaya berkolaborasi dengan Jeff Kashiwa All Star. Dan pada tengah malamnya (kemarin malam-Red), sang godfather of soul, James Brown, menjadi ikon yang paling dinanti kehadirannya.

Tidak Gentar
Tidak gentarkah para artis dari Eropa, Australia, Asia, Amerika dan Amerika Latin tersebut menghadiri JIJJF 2005 di Jakarta, yang konon di dunia Barat digambarkan sebagai sebuah wilayah yang sangat tidak aman? "Tidak ada yang perlu saya takutkan disini," ujar Jeff Kashiwa, peniup saksofon terkemuka dari Jepang. Karena, kata dia, bencana bisa terjadi di mana saja dan kapan saja. "Dan pada dasarnya saya sangat meyakini masyarakat Indonesia sangat baik hati," imbuh dia, sembari menambahkan bahkan di Jepang teror juga terjadi. Memang, ikhtiar panitia penyelengara untuk menyatukan lebih dari 500 musisi internasional dan lokal sudah selayaknya mendapat dukungan. Tidak gampang mengundang para pemain jazz andal dunia seperti Amp Fiddler, Angie Stone, Deodato, DJ Maestro, Earth Wind and Fire Experience Featuring Al Mckay All Stars, Eric Benet, George Duke, Gilles Peterson, Incognito, James Brown, Jeff Kashiwa, Jeff Lorber, Laura Fygi, Lizz Wright, Michael Paulo, Michelle Nicolle, Saskia Laroo, Steve Reid, Tania Maria, Tetsuo Sakurai (pemain bas Casiopea), Tiempo Libre, dan Vinny Valentino. Mengingat, sekali lagi, pemberlakuan travel warning dari beberapa Negara para musisi berasal, masih meberlakukan larangan warganya berpergian ke wilayah Indonesia. Namun, lewat ikhtiar yang membuncah dari sebuah permaian musik bernama jazz, keraguan, ketakutan, dan kecurigaan dapat meleburkan perbedaan Barat dan Timur. Apalagi dengan menyisihkan Rp 15.000 per tiket dari tiket Rp 100 ribu hingga Rp 200 ribu dan Rp 450 ribu untuk tiket terusan selama tiga hari, untuk korban bencana tsunami di Aceh dan Sumut, JIJJF 2005 sungguh menghadirkan sebuah pengharapan baru. Pengharapan untuk mewujudkan membangun jembatan antara Barat dan Timur lewat jazz. (Benny Benke-81).

Tidak ada komentar: