Jumat, 08 Februari 2008

"Sarimin"

Sabtu, 17 Nopember 2007
BUDAYA

Menertawakan Supremasi Hukum
Oleh Benny Benke

SETELAH monolog "Racun Tembakau" (1986), "Lidah Pingsan" (1997), "Lidah (Masih) Pingsan" (1998), "Mayat Terhormat" (2001), dan "Matinya Toekang Kritik" (20006), Butet Kartaredjasa kembali menyuguhkan lakon terkininya. Lewat monolog "Sarimin" yang ditulis dengan bernas oleh Agus Noor, kini giliran wajah hukum di Indonesia yang menjadi sasaran tembak kritiknya. Dengan menghadirkan beberapa fakta permasalahan hukum yang bobrok dan seolah menjadi permakluman publik, lakon yang menjadi bagian dari pertunjukan Art Summit Indonesia 2007, itu digulirkan. Tidak jauh berbeda bahkan setipikal dengan lakon monolog terdahulunya, modus pementasan yang masih mengandalkan keaktoran Butet itu disajikan dengan metode banyolan. Kehadiran pengisi musik sekaligus duet abadi yang tak lain adik kandungnya sendiri, yaitu Djaduk Ferianto, pun disajikan sebagai sarana untuk menjaga, memelihara, sekaligus memperkaya tempo penceritaan. Simbolisme. Kali ini, Ong Harry Wahyu sebagai penata artistik lebih bersahaja menghadirkan peranti setting pendukung, tanpa harus kehilangan kekayaan simbolisme yang sangat mampu dan dengan mudah dibaca penonton teater yang paling awam sekalipun. Semua itu dibungkus dengan baik meski belum sempurna betul oleh pengontrol dramatik Zuki alias Kill The DJ. Istilah pengontrol dramatik digunakan oleh komunitas teater Gandrik untuk menghaluskan istilah sutradara yang mungkin terkesan berlebihan bagi Zuki. Pria itu memang masih muda dan dianggap belum layak menyandang nama sutradara yang seolah berbobot itu. Di atas itu semua, lakon ''Sarimin'' yang berdurasi 90 menit dan digelar di Bentara Budaya Jakarta, TIM, 14-17 November, memberikan perspektif lain dari sebuah pertunjukan monodrama atau monolog. Butet Kartaredjasa yang harus malih rupa sebanyak tiga kali sebagai Sarimin si tukang Topeng Monyet, Polisi, dan Pengacara asal Sumatera, dengan apik mempertontonkan makna keaktoran yang sepatutnya. Meski tampak semakin terlihat tua, dan agak kepayahan menjaga stamina, karena banyak pergerakan besar di atas panggung, aktor kelahiran Yogyakarta, 21 November 1961 itu dengan intuisi keaktorannya mampu melewati itu semua dengan baik.


Idiom Jawa


Hasilnya, penonton dibawa pada sebuah ranah pertunjukan yang menggembirakan karena lengkapnya semua unsur drama yang ada. Kesedihan yang timbul karena tragik-komedik akibat kepolosan dan kenaifan Sarimin, pada sesi lain mampu dibalik dalam bingkai sarkastik oleh kehadiran sosok Polisi. Di sisi lain, ketika sosok pengacara menjelma, Butetpun seketika mampu mengubah intonasi, rima, irama dan pembawaannya ke dalam citra pengacara yang selama ini kita kenal sering terlihat di layar infotainment. Bagusnya, meski dihantarkan dengan metode banyolan, pesan yang ingin disampaikan tentang betapa kondisi hukum di Indonesia sangat memprihatinkan, terhantarkan dengan baik dan menyengat. (45)

Tidak ada komentar: