Jumat, 08 Februari 2008

Massimo

Jumat, 30 April 2004. BUDAYA

Alunan Biola dari Italia

MAKSIM, yang baru saja menggelar konser di Jakarta (27/4) dengan racikan musik klasik dan techno, memang mendapatkan sambutan yang luar biasa dari golongan anak muda. Namun di tempat yang lain, Massimo Quarta, musikus papan atas dari Italia dengan sajian musik klasik murninya tenyata tak kalah menyita perhatian publik Jakarta. Dalam konser "Massimo Quarta; Concerto di Violino" di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), Rabu (28/4) malam lalu, violis asal negeri spagheti kelahiran 1965 itu membuat sekitar 500-an penonton yang memadati GKJ terpukau hampir dua jam sepanjang repertoar tunggalnya di tempat duduk masing-masing. Kemahiran Massimo yang memulai belajar musik klasik ketika berusia sembilan tahun dan mendapatkan summa cum laude serta honourable mention dari "St Cecilia" Konservatori di Roma, Italia, itu memang luar biasa. Musikus yang selama repetoarnya menolak diabadikan dengan kamera wartawan tersebut membuka konser lewat komposisi Johan Sebastian Bach; Partita II in D minor BMV 1004, Allemanda, Corrente, Sarabande, Giga, dan Ciaccona. Nyaris tanpa jeda, komposisi pertama yang berjalan hampir selama 30 menit itu langsung menyuguhkan teknik bermain biola dengan teknik tinggi. "Apa yang baru saja dipertontonkan oleh Massimo adalah permainan biola klasik, yang secara teknik hanya mampu dimainkan oleh pemain level dunia," komentar Addie MS saat jeda konser. "Itulah, sajian musik klasik dengan teknik bermain biola yang luar biasa," imbuh dirijen Twilite Orchestra tersebut, mengungkapkan kekagumannya. Memang, kemahiran Massimo -yang pernah mendapatkan penghargaan paling penting di Italia dalam kompetisi biola (Citta di Victorio Veneto 1986-Concorso "Opera Prima Philips" 1989) dan menggondol hadiah pertama "Nicolo Paganini International Violin Competition" di Genoa, Italia itu- sungguh membius penonton. Apalagi ketika repertoar kedua karya E Ysaye dengan komposisi Sonata no.6 in E major op.27 diperdengarkan. Sehingga tidak aneh, konser yang juga dihadiri oleh duta besar Italia, Prancis, dan para pejabat konsulat berbagai negara tersebut menjadi semakin memesona.

Papan Atas


Sebagai catatan, prestasi Massimo sebagai violis klasik papan atas memang telah diakui oleh publik dunia. "Berbagai tempat konser utama di dunia -seperti di Salle Playel, Theatre du Chatelet (Paris), Philharmonie am Gasteig (Munich), Philharmonie (Berlin), Alter Oper (Frankfurt), Tonhalle (Dusseldorf), Metropolitan Art Space, Bunka Kaikan (Tokyo), Warsaw Philharmonic (Warsawa), Great Hall of the Conservatory (Moskwa), dan beberapa tempat penting lainnya di Eropa-, pernah disinggahinya," terang Prof Remy Ostelio, ketua Istituto Italiano di Cultura Jakarta, atau pusat kebudayan Italia yang menjadi sponsor utama kehadiran Massimo di Ibu Kota. Atas prestasinya itulah, ia dinobatkan menjadi salah satu violis brilian pada era dan generasinya. " Selain itu, Massimo juga pernah tampil dengan berbagai kelompok orkestra penting di dunia," kata Prof Remy lagi sembari menyebut nama Radio Sinfonie Orchester Frankfurt, Tokyo Philharmonic Orchestra, The Budapest Shymphony Orchestra, dan beberapa nama penting kelompok orkestra di Eropa. Ya, di tangan Massimo, musik klasik yang terasa berat dan membutuhkan penikmatan atau apresiasi tersendiri itu tetap mampu menghadirkan sebuah aura menawan. Apalagi ketika karya pamungkas milik N Paganini dengan komposisi no. 24 caprices op.1:8 Caprices: dari no 1 in Mi maggiore-Andante sampai no 24 in La minore-Tema: Quasi diantarkan, ditambah sebuah nomor bonus Presto, 11 variazione, Finale pada akhir konser, aura itu makin memancar sempurna. (Benny Benke-41)

Tidak ada komentar: