Jumat, 08 Februari 2008

Todung Mulya Lubis

Rabu, 12 November 2003 , Budaya.
Pidato Kebudayaan Dr Todung Mulya Lubis

Kekejaman Menjadi Lumrah

APA jadinya, jika sebuah negara memandang sebuah kekejaman dan kekerasan menjadi suatu hal yang lumrah dan biasa saja? Apa jadinya pula, jika masyarakat mengalami sebuah gejala bernama pendakangkalan, karena dengan gampang melumrahkan penderitaaan dan kesengsaraan orang lain? Itulah antara lain, kegelisahan yang dirasakan oleh praktisi hukum Dr Todung Mulya Lubis. Kegelisahan itu, Senin (10/11) malam lalu diutarakannya dalam Pidato Kebudayaan berjudul "Menjawab Problem Kemanusiaan Kontemporer; dari Res Publica ke The Aeshetic of The Self", di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. "Realitas kesehariaan kita telah memberikan suatu gambaran yang jelas dan dahsyat, bahwa perasaan orang terhadap kebengisan telah lumer sedemikian rupa. Sehingga, meski merasa menyesakkan, orang tak dapat menghindar, menolak, apalagi menggugat; bahwa hari ini ada yang mati, entah ditembak senapan perang; entah mati terbakar; atau mati terbunuh sia-sia. Semua dianggap biasa, sama seperti orang telah menerima bahwa Jakarta macet. Kekejaman dan kekerasan, adalah kelumrahan,'' ujar mantan mantan ketua LBH itu. Lebih lanjut Todung menjelaskan, kita adalah masyarakat yang bebas; tetapi di sisi lain, sekaligus juga masyarakat yang nyaris kehilangan belas kasihan dan empati kepada penderitaan. ''Di titik itu kita bertanya, apakah memang kebebasan menjadi incompatible dengan kemanusiaan dan rasa damai?'' Dalam ikhwal itulah, Todung menawarkan prioritas menyelesaikan permasalahan yang paling urgent dan evil, yakni problem kejahatan. Menurutnya, problem Indonesia kontemporer secara sederhana dapat dirangkum ke dalam dua hal. Pertama, tendensi masih menguatnya relasi untuk mempertahankan pola-pola the past represive state. Kedua, lemahnya institusi-institusi sosial yang normal, yang memungkinkan menguatnya bentuk-bentuk kekerasan struktural (penghisapan dan penindasan ekonomi). Dua hal itu, imbuhnya, makin diperparah oleh ketidakpedulian kronis kekuasaan politik yang ada sekarang, sehingga menghasilkan gejala makin lumrahnya kekerasan dan kebiadaban sehari-hari dalam kehidupan sosial kita. '' Mulai dari perang, pembantaian orang di jalan-jalan, perang antara golongan di sejumlah wilayah, kecelakaan-kecelakaan yang menghanguskan puluhan jiwa orang, pembantaian dalam keluarga, dan masih banyak lagi.''


Bertanggung Jawab

Lalu mengapa fenomena itu dapat terjadi dengan begitu kentalnya di bumi Indonesia? Lewat jalan kebudayaan yang seperti apakah, untuk menyelesaikan permasalahan itu? Todung mengajak kita untuk menemukan pemahaman baru yang dapat memberikan benang merah, dan cara untuk keluar dari semua jenis kekejaman serta memupuk kembali kapasitas kekuatan kemanusiaan kita. ''Kita ditantang menemukan jalan untuk membereskan kekejaman yang lahir dari relasi kuasa negara, di satu sisi; tapi bisa pula mereduksi kekejaman individual yang terjadi antarmanusia ataupun komunitas, di sisi lain sekaligus.'' Karena itulah, Todung mengambil contoh kasus perdebatan antara Hannah Arendt dan Karl Jaspers, serta sejumlah gagasan dari humanis romantis Richard Rorty. Menurutnya, sebagaimana diutarakan Jasper, bibit kebengisan sesungguhnya bukan tersemat dalam diri si individu pelaku, melainkan dari negara yang memperbolehkan dan mempropagandakan kekejian itu berlangsung. Dengan kata lain, the ultimate evil dan sarang kejahatan terbesarnya bukanlah si individu, melainkan pada negara yang mensponsori kejahatan itu. ''Barangkali, Karl Jasper sejak awal berjasa memperlihatkan aspek negara sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam urusan penciptaan kekejaman politik,'' ujar Todung yang pernah menerbitkan antologi puisi secara luks itu. Sedikit berbeda dengan Jasper, Arendt lebih menyoroti pada kekuatan dan kapasitas dari pelaku kejahatan. Hal yang dahsyat dan harusnya membuat kita terperangah adalah kenyataan, bahwa banyak kekejian dan kebengisan dilakukan oleh sosok figur manusia yang biasa-biasa saja. (Benny Benke-41)

Tidak ada komentar: