Jumat, 08 Februari 2008

"The Photograph"

Sabtu, 30 Juni 2007
BUDAYA


"The Photograph"
Mengabadikan Kenangan


APA yang harus dilakukan seseorang dalam sisa hidupnya ketika dia mengetahui ajalnya sudah mengintip? Dalam film The Photograph arahan sutradara Nan Achnas, waktu penghabisan itu dikisahkannya dengan sangat puitis sekaligus prosais. Dengan bahasa gambar yang apik berkat kamera berformat 35 mm plus pengambilan sudut pandang yang estetis dari setting bangunan tua Kota Lama Semarang, film berdurasi 95 menit ini menjadi sangat memanjakan mata. Film ber-genre drama yang juga patuh dan tidak mengingkari logika bercerita ini, hampir sepanjang kisahnya berjalan dengan hening dan nyaris senyap. Isian mucic score yang dipercayakan kepada Aksan Sjuman bahkan makin membuat film produksi Triximages, Salto Film And Les Petites Lumieres ini menjadi semakin menghanyutkan. Berbeda dari genre dan cara bercerita film Indonesia kebanyakan yang akhir-akhir ini marak diedarkan ke pasaran, The Photograph yang akan ditayangkan 2 Juli 2007 menjadi sidestream dari arus besar film pop. Sebagai film seni, Nan yang pernah menghasilkan Kuldesak bersama Mira Lesmana, Riri Riza, dan Rizal Mantovani, dan Pasir Berbisik, sadar benar akan pilihannya. Keseriusannya untuk menghasilkan film bermutu, mendapat respons positif dengan meraih penghargaan, bahkan ketika film ini baru masuk pada taraf pembangunan skenario. Penghargaan Prince Clous Fund at Cinemart 2002, Goteborg Film Fund at PPP 2002, Fond Sud 2005, dan Swiss Fund at Open Doors Locarno Film Festival 2006 berhasil diraihnya.

Indekos


Hasil akhirnya, film yang juga melibatkan aktor watak peranakan dari Singapura bernama Lim Kay Tong ini membangun sebuah kesatuan film yang utuh. Dari penyutradaraan, sinematografi, alur cerita, akting, setting, hingga music score. The Photograph bermula dari keterbenturan nasib antara Sita (Shanty), seorang penyanyi karaoke bar dan pelacur paruh waktu, dengan Johan (Lim Kay Tong), seorang juru foto keliling keturunan Tionghoa yang sudah renta. Sita yang bernama asli Sariah terjebak pada permasalahan finansial yang serius kepada Suroso (Lukman Sardi). Dengan meninggalkan anak semata wayang dan neneknya di desa, beban ekonomi yang ditanggung Sita semakin tidak mudah. Dari sinilah cerita bermula, ketika Sita memohon kepada Johan untuk indekos di loteng rumahnya, sembari menghindari kejaran germo Suroso yang menuntut sejumlah rupiah kepadanya. Dari loteng kos-kosannya itulah, Sita menangkap semua kegiatan memotret Johan yang eksentrik. Hingga akhirnya semakin dekatlah hubungan Johan yang sebatang kara dengan Sita yang mau mengabdi kepadanya, selepas dia menjadi korban diperkosa tiga "tamunya". (Benny Benke-45)

Tidak ada komentar: