Rabu, 27 Februari 2008

Ananda Sukarlan

Kamis, 23 Maret 2006. BUDAYA
Denting Piano yang Melenakan
JAKARTA-Apalagi yang mau dikatakan tentang Ananda Sukarlan, satu-satunya orang Indonesia yang diabadikan da-lam buku prestisius 2000 Outstanding Musicians of the 20th Century. Buku yang diterbitkan The International Biographical Center of Cambridge tersebut berisi riwayat hidup 2.000 figur yang berdedikasi dalam berbagai profesi musik. Lihatlah, ketika Ananda menarikan kesepuluh jemarinya dengan lincah di atas tuts piano di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), Rabu (21/3) lalu. Semua penonton yang menyesaki ge-dung kesenian paling bergengsi di Jakarta itu dibuat terkesima oleh kemahirannya. Terlebih pada saat nomor mi-lik D Shostakovich bertitel "Prelude & Fuque op 87 No 4 in E Minor" yang usai dihantarkannya, semakin melenakan penonton. ''Shostakovic adalah musikus dari Rusia yang semasa hi-dupnya di bawah tekanan Sta-lin,'' ujar pianis yang juga kerap tampil di hal-hal terhormat di dunia seperti di Concertgebouw Amsterdam dan Philharmonies Berlin. ''Karena mungkin dinilai terlalu berat oleh Stalin dan mengajak orang untuk berpikir, musiknya dianggap membahayakan negara. Kalau Stalin dari dulu tahu di Indonesia ada dangdut mungkin dia akan mengimpornya,'' imbuhnya yang langsung disambut gelak tawa pe-nonton. Jenius. Ya, Ananda Sukarlan, pianis jenius dengan segudang reputasi internasional, dengan catatan prestasi yang telah mendunia ini ''pulang kampung''. Dalam re-sital pianonya kali ini, dia menggelar ''2006, Triple Anniversaries'' yang merangkum 250 Tahun Mozart, 100 Tahun Shostakovich, 70 Tahun Trisutji Kamal. Pada komposisi milik Mozart, Ananda membawakan "Sonata in A Minor, K.310", yang masing-masing terdiri atas Allegro Maestoso, Andante Cantabile Con Espressione, dan Presto. Demikianlah Ananda yang namanya juga tercatat dalam buku ''The International Who's Who in Music'' memaparkan setiap komposisi demi komposisi. Dengan linear namun melenakan, Ananda menyajikan musik dalam nuansa penikmatan yang lain. Demikian halnya ketika Ananda membawakan komposisi milik pianis senior Indonesia, Trisujti Kamal. Nomor-nomor soundtrack film-film lawas seperti "Ballada Palupi" (Apa yang Kau Cari, Palupi?), "Idyll" (Yang Kembali Bersemi), "Intermezzo" (Sekuntum Duri), dan "Wanita" (Jangan Ambil Nyawaku) juga dibawakannya. (Benny Benke-45)

Tower Of Power (TOP)

Sabtu, 04 Maret 2006. BUDAYA
Dari Pentas Java Jazz
TOP Menjadi Magnet

TAMPIL di panggung utama Dji Sam Soe Hall atau yang biasa disebut Plennary Hall, Tower Of Power (TOP) menyedot perhatian penikmat jazz yang memadati Jakarta Convention Center, semalam. Ya, perhelatan musik akbar bertajuk Jakarta International Java Jazz Festival (JIJJF) 2006 telah dimulai dan akan terus menyuguhkan lebih dari 1.000 pemusik hingga Minggu (5/3) besok. TOP yang berasal Oakland, California, AS, langsung mengantarkan musik campuran jazz, funk, rock dan soul. Pamor bermusik mereka yang telah berpengalaman lebih dari 30 tahun dalam blantika jazz dunia masih menyala. Emilio Castillo (saksofon tenor, vokal), Stephen "Doc" Kupka (saksofon bariton), Rocco Prestia (bas), Adolfo Acosta (trumpet, flugelhorn), Tom Politzer (saksofon tenor), David Garibaldi (drum), Roger Smith (kibor), Jeff Tamelier (gitar, vokal), Mike Bogart (trumpet, flugelhorn, vokal), dan Larry Braggs (vokal utama), mampu menyihir ratusan penonton untuk menekuni sajian musik mereka. Grup jazz yang pernah bekerja bareng Elton John, Rod Stewart, Dionne Warwick bahkan mampu memengaruhi Sting pada awal karier bermusiknya ini, benar-benar menunjukkan tajinya. Sehingga tidak mengherankan jika penonton yang disuguhi tembang hit mereka seperti "Just Get Your Feet Back on the Ground", "Let's Take a Ride", dan "I Got You Groove" diajak ikut bergoyang hingga aksi mereka purna. Pusat Perhatian. TOP yang naik panggung tepat pukul 19.00 benar-benar menjadi pusat perhatian dalam pembukaan perhelatan akbar ini. Sebelumnya sudah hadir musisi jazz seperti Jaque Mate, Mezzoforte, JDS Present Generation of The Drums, Bali Lounge, Sova, Hyper Sax & Co. "Saya fans berat mereka," tutur Didik SSS, salah seorang saksofonis senior yang tidak henti-hentinya menghentakkan kaki bersama kawan-kawan musisi lainnya. Di antara musisi Indonesia yang juga terlihat antusias menyimak TOP diantaranya Pinkan (Cokelat), Yuke (Dewa 19), dan Yovie Widianto (Kahitna). Tower Of Power menyudahi aksinya pada pukul 20.30. Di tempat yang sama, semalam nama besar Patti Austin featuring Dave Koz All Star, dan The Brand New Heavies terus mencekoki penikmat jazz hingga pukul 02.00. Masih banyak musisi yang bakal tampil dalam JIJJF 2006 dalam dua hari berikutnya. Sebut saja Lee Ritenour, Incognito, Kool & The Gang, dan Eric Bennet. Ada pula jawara jazz anak negeri seperti Idang Rasjidi Syndicate, Benny Likumahua & The Jazz Connection, Ireng Maulana and Friends, Luluk Purwanto & Rene V Helsdingen, Indra Lesmana, dan Bubi Chen. "Saya dan semua yang terlibat dalam proyek ini hanya ingin mendudukkan nama Jakarta dalam peta musik jazz dunia yang dihormati. Dan nyatanya, kami mampu mewujudkannya dengan dukungan antusiasme pengisi acara dan penonton yang luar biasa," ujar Peter F Gontha selaku Festival Chairman. (Benny Benke-45)

Jatuh Cinta Lagi

Kamis, 02 Maret 2006. BUDAYA.
Film ''Jatuh Cinta Lagi''
Cinta Mengusik Profesi

JAKARTA-Krisdayanti (KD) tampaknya tak mau menyia-nyiakan pamor kebintangannya. Setelah berkibar dalam dunia tarik suara dan beberapa kali membintangi sinetron, kini dia terjun ke dunia layar lebar. Tidak tanggung-tanggung, KD bertindak langsung sebagai co-producer KD Movies sekaligus sebagai pelakon utama dalam film tersebut. Berapa bayaran istri Anang Hermansyah untuk film Jatuh Cinta Lagi (JCL) yang akan mulai edar 2 Maret ini? Kabarnya Rp 500 juta. ''Saya tidak akan menyebut angka persisnya. Tapi kisaran itu adalah angka yang wajar untuk seorang bintang sekelas KD,'' tutur Raam Punjabi, bos Multivision Pictures seusai perview JCL di Pasaraya Grande, Blok M, Jakarta, baru-baru ini. Meski bermain dengan kekuatan keaktrisan yang biasa-biasa saja dalam JCL, Raam yang bekerja sama dengan KD Movies berharap nama KD dapat menyedot pencintanya untuk menonton film komedi drama tersebut. Sebaik apakah film yang disutradarai Rizal Mantovani yang pernah menghasilkan Kuldesak dan Jelangkung ini? Secara penceritaan JCL yang ditulis Ve Handojo yang pernah menulis skenario Buruan Cium Gue tidak ada yang luar biasa. Dengan mengangkat dunia kepengacaraan dalam memenangkan perkara para kliennya, JCL lagi-lagi masih bersikutat kepada permasalahan silang pendapat urusan cinta para pelakunya. Alur ceritanya sangat bisa ditebak. Kesalahpahaman yang berujung pada perselisihan dan per-tengkaran akhirnya dapat diurai di akhir cerita. Yang menjadi penolong film yang membutuhkan waktu syuting selama 24 hari ini mungkin permainan cemerlang Cornelia Agatha. Salah satu nomine peraih Pemeran Wanita Terbaik FFI 2005 lewat film Detik Terakhir ini, benar-benar menunjukkan kemampuannya. Berperan sebagai aktris dangdut yang bermasalah, Lia mampu mempertontonkan arti sebuah peran yang musti dilakoninya. Penolong lainnya adalah peran Yoga Krispratama, penyunting gambar yang pernah memenangi Piala Citra lewat film Janji Joni. Dia menghadirkan gambar yang apik. Selain itu juga ada racikan musik Andi Rianto yang berpengalaman mewarnai film Arisan!, Belahan Jiwa dan 9 Naga. Komedi Drama. JCL yang menurut Rizal Mantovani berbalut semangat serial komedi drama Friends, mengalir laksana cerita teen-lit. Pengisahan tidak ada yang membuat dahi berkerut meski tidak juga membuat penontonnya terbahak. Yang ada malahan idiom-idiom slapstick usang yang coba dihadirkan kembali dalam nuansa kekinian. ''Memang, mungkin ini Friends ala Indonesia ya. Tapi beda kok,'' katanya. Dikisahkah Lila (diperankan Krisdayanti), dipercaya firma hukumnya untuk memenangkan kasus perceraian dan perebutan hak asuh kliennya. Lawan Lila dalam kasus ini adalah Andre (Gary Iskak), pengacara yang dibantu asisten setianya yang diperankan Alex Abbad. Sedangkan Cornelia Agatha yang memerani pendangdut bernama Dea Angelia bersikukuh agar hak asuh anaknya dapat diperjuangkan dengan sungguh-sungguh pula oleh pengacaranya, Andre. ertempuran di meja hijau antara Lila dan Andre plus tingkah polah Dea Angelia sebagai pendangdut yang heboh, menjadi menu utama film berdurasi 90 menit ini. ila yang sinis terhadap trik-trik kepengacaraan Andre, akhirnya mau tidak mau membuat strategi baru. Yaitu dengan masuk ke dunia Andre yang sebenarnya pada awalnya tidak disukainya. edekatan antara Lila dan Andre inilah yang justru membuat keduanya akhirnya jatuh cinta lagi. Semudah itukah Lila jatuh cinta kepada seterunya di meja hijau. Dan apakah Dea Angelia yang seronok dan terkenal dengan "goyang pompa" yang senantiasa diuber-uber kru infotainment ini mendapatkan hak asuh anaknya? Jatuh Cinta Lagi yang juga diramaikan juga dengan akting Endhita ini, mengisahkannya dengan enteng dan biasa-biasa saja. (Benny Benke-45)

Ekspedisi Mahadewa

Senin, 27 Februari 2006. BUDAYA
Film Ekspedisi Mahadewa
Aksi Petualangan Tora Sudiro Berbiaya Rp 7 Miliar

MENYEMPAL dari kebanyakan genre film Indonesia yang lagi menjamur saat ini, film Ekspedisi Mahadewa menawarkan tema aksi petualangan. Film yang konon memakan waktu 7 tahun untuk riset itu menghabiskan biaya Rp 7 miliar. Boleh dikata garapan sutradara Franklin Darmadi ini merupakan film Indonesia paling wah hingga saat ini. Didukung lebih dari 600 kru dan figuran, dengan seting outdoor dibangun di Sukabumi, Bandung dan Sentul, serta menampilkan pemeran utama Tora Sudiro. Popularitas aktor ini tak diragukan lagi. Demikian pula dengan kemampuan aktingnya. Dia meraih gelar aktor terbaik FFI lewat film Arisan (2004) dan dikenal luas berkat acara Extravaganza di Trans TV. Namun, jualan utama film yang akan diputar di bioskop mulai 9 Maret ini bukan hanya popularitas Tora Sudiro, melainkan kualitas sebuah film secara utuh. Penggarapan film ini membutuhkan studio ukuran 35 x 35 meter dengan tinggi 18 meter, yang diklaim sebagai set indoor sekali pakai terbesar yang pernah dibangun untuk film Indonesia berseting cerita modern. Film ini juga secara serius menggarap special effect dan sound effect dengan mendatangkan perangkat keras dari Hong Kong yang pernah dipakai untuk film Crouching Tiger Hidden Dragon dan Kungfu Hustle. Secara keseluruhan Ekspedisi Mahadewa memang belum sebanding kisah petualangan Indiana Jones-nya Steven Spielberg. Tapi, upaya Cinervo Pictures Production dan Surya Citra Pictures untuk memproduksi film aksi petualangan patut mendapat acungan jempol. ''Saya hanya ingin mengatakan bahwa kita juga mampu membuat film aksi petualangan,'' tutur Franklin seusai pemutaran perdana Ekspedisi Mahadewa di Cilandak Town Square, Jakarta, Jumat (24/2) lalu.
Hal senada dikemukakan aktor senior Frans Tumbuan. ''Waktu kali pertama dihubungi, saya berpikir film ini mempunyai niat besar, tapi kemampuan kecil. Namun, setelah proses pembuatannya usai, pikiran saya berubah. Ini film besar yang sama besar dengan kemampuan pembuatnya,'' kata Frans. Keris Bertuah. Film Ekspedisi Mahadewa berkisah tentang pencarian benda-benda purbakala yang bernilai sejarah sekaligus bertuah. Dikisahkan sebuah perang besar meletus di Jawa Dwipa pada abad ke-13. Seorang patih memenangi peperangan itu dengan bantuan sebuah keris. Keris itulah yang diburu oleh Tiro Mandawa (Tora Sudiro), seorang pemburu barang kuno freelance. Ekspedisi untuk menemukan keris itu dilakukannya bersama Satrio Bangun (Arie Dagienkz), Profesor Kuncoro Pranoto (Frans Tumbuan), beserta kedua anaknya, Sandiko Pranoto (Marsha Timothy) dan Panji Pranoto (Irshadi Bagas) serta Miranda Adinia (Intan Kaunang). Proses perburuan keris mendapat rintangan dari kawanan Maulana (Indra Birowo), spesialis penjarah benda-benda purbakala. Keadaan menjadi pelik ketika Miranda Adinia, yang jatuh hati kepada Tiro, ternyata berkomplot dengan Maulana. Puncak perburuan yang terjadi di Sumatra menjadi lebih pelik ketika Adinoto Madewa (Pierre Gruno), pemilik Ekspedisi Mahadewa, juga berkepentingan dengan keberadaan keris itu. Maka, perebutan kepemilikan keris antara Tiro, jagoan yang berbekal ketapel, dengan Maulana yang selalu menjinjing senjata M16 dan AK 47 menjadi menu utama film laga ini. (Benny Benke-43)

Broken Flower

Jumat, 24 Februari 2006. BUDAYA
Preview "Broken Flower"
Kerinduan pada Kenangan

APA jadinya jika seorang lelaki single paroh baya melakukan perjalanan panjang untuk menemui para mantan kekasihnya? Atas misi apakah tokoh Don Johnston (Bill Murray), lelaki paroh baya itu bersusah-susah kembali mengunjungi masa lalunya? Untuk membangunkan kembali kenangan indah yang telah pecah bekeping-keping, menyelesaikan perkara yang belum rampung, atau sekadar iseng? Dalam film Broken Flower yang pernah meraih Grand Prix Cannes International Film Festival 2005, segala romantika yang menyertai perjalanan itu dikisahkan dengan apik. Jim Jarmusch sebagai penulis dan sutradara tidak hanya menyuguhkan kisah yang tidak lazim. Dukungan para pelakon watak kelas satu juga menjadi suguhan tersendiri. Nama Bill Murray yang pernah mendapatkan Golden Globe, BAFTA, dan Independent Spirit sebagai Aktor Terbaik lewat film Lost in Translation, adalah satu daya tarik tersendiri. Selain pernah juga dinominasikan untuk kategori serupa dalam Academy Awards, Murray juga pernah melakoni puluhan film penting. Nama penting lainnya adalah Sharon Stone yang melejit lewat film Basic Instinct. Dalam waktu dekat dia juga bersiap meluncurkan sekuelnya, yakni Basic Instinct 2:Risk Addiction. Prestasi Stone ketika menyabet Golden Globe Award lewat film Casino serta beberapa kali dinominasikan dalam Academy Award, seolah memperkukuh stempel keapikan Broken Flower. Surat Pink. Kisah Broken Flower dimulai dari datangnya sebuah surat berwarna pink di pintu rumah Don. Surat yang diketik rapi tanpa alamat pengirim itu menceritakan bahwa ada remaja berumur 19 tahun yang sedang mencari Don. Si remaja itu melakukan perjalanan jauh hanya demi satu tujuan: mencari jati diri siapa ayahnya sebenarnya. Dan di dalam surat itu dituliskan dengan jelas bahwa remaja tersebut tak lain dan tak bukan adalah anak Don. Don atas desakan teman karib sekaligus tetangganya, Winston (Jeffrey Wright), mulai mengkalkulasi berapa banyak perempuan yang pernah singgah di hatinya, dan barangkali salah satu dari mereka mengirimi surat itu. (Benny Benke-45)

Selasa, 26 Februari 2008

Rumah Pondok Indah

Kamis, 23 Februari 2006. BUDAYA
Film ''Rumah Pondok Indah''
Tak Seseram Kisah Aslinya
KISAH dari mulut ke mulut yang berkembang di masyarakat Jakarta dan sekitarnya perihal keangkeran sebuah rumah di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan, sudah lama terdengar. Antara kebenaran dan fiksi dalam kisah itu pun menjadi perdebatan publik yang tak berkesudahan. Berdasarkan kisah itu, Indika Entertainment memproduksi sebuah film horor berjudul Rumah Pondok Indah (RPI). Film tersebut akan beredar di bioksop mulai Kamis (23/2) ini. Apakah kisah horor yang disajikan dalam film garapan sutradara Irwan Siregar berdasarkan skenario Faldin Martha ini mampu membuat penonton tercekam? Setelah menyaksikan pemutaran perdana film tersebut di Pondok Indah Mall, Selasa (21/2) lalu, sejumlah penonton menganggap kisahnya tidak seseram kisah-kisah yang beredar di masyarakat. Sebagaimana judulnya, seting film ini sebuah rumah angker di kawasan Pondok Indah. Dikisahkan sebuah keluarga yang terdiri atas ayah, ibu dan anak mengontrak rumah tersebut. Suatu ketika si anak yang sedang bermain sendiri di rumah menyaksikan patung yang meneteskan air mata darah. Saking kagetnya si anak pun menumpahkan minumannya, dan minuman tersebut mengenai kabel listrik yang mengandung setrum didekatnya. Mengetahui anaknya tersetrum dan tidak sadarkan diri, kedua orang tuanya panik. Tanpa berpikir panjang dibawalah anak itu ke rumah sakit, namun baru saja keluar dari depan rumah, sebuah metromini menghantam mobil mereka. Satu keluarga pun tewas seketika. Selanjutnya. Keluarga baru yang membeli rumah itu datang menempati. Mereka adalah Firda (Chintami Atmanegara). Dia membawa kedua anaknya, Elsie (Asha Shara) dan Ian (Ricky Harun). Ketiganya lalu di-teror Maya, hantu penunggu rumah tersebut. Dramatisasi. Menurut Shanker RS, produser Indika Entertainment, pembuatan film Rumah Pondok Indah telah melalui proses investigasi yang mendalam. ''Tujuhpuluh lima persen kisah dalam film ini real, sisanya dramatisasi,'' jelas Shanker, didampingi pemeran utama Chintami Atmanegara, Arswendi Nasution, Asha Shara dan Titi Qadarsih. Tujuhpuluh lima persen kisah nyata itu misalnya mengenai hilangnya penjual nasi goreng yang konon masuk ke rumah hantu itu dan pembantaian seluruh keluarga penghuni rumah itu yang sampai sekarang belum terkuak motifnya. Selain itu, matinya seluruh anggota keluarga yang pernah mengontrak rumah itu dan berbagai versi menyeramkan lainnya. Anjloknya harga rumah mewah yang sebenarnya mencapai Rp 5 milliar menjadi hanya Rp 50 juta pun dikisahkan dalam film ini. ''Meski untuk versi filmnya kami tuliskan Rp 500 juta,'' kata Shanker yang mengaku lima tahun lalu ditawari rumah hantu tersebut seharga Rp 50 juta. Memang, dalam film berdurasi 90 menit ini keinginan untuk mendapatkan efek berdiri bulu kuduk harus ditunda. Apalagi, idiom-idiom kengerian yang disajikan tidak ada yang baru. Tengoklah adegan ketika Elsie (Asha Shara) melayang di atas tempat tidur dalam keadaan telentang tak sadarkan diri. Ini mengingatkan penonton pada adegan film The Exorcist yang melegenda itu. Berbeda dengan film Jalangkung yang menghadirkan kengerian lewat idiom-idiom baru dengan teknik-teknik kejut yang orisinal dan mencekam. Yang ada dalam Rumah Pondok Indah hanyalah horor yang tawar dan tidak menakutkan. (Benny Benke-43)

Minggu, 24 Februari 2008

VIna P

Minggu, 19 Februari 2006. NASIONAL
Konser Viva Vina
Nostalgia Fans The True Diva

JAKARTA- Mengenakan gaun krem keemasan rancangan Anne Avanti, Vina Panduwinata yang tampak anggun dan ayu muncul dari balik tempat duduk penonton. Kemunculan Vina yang membuat 5.000 penonton Konser Viva Vina membalikkan tubuh itu dibarengi lantunan tembang ''Aku Masih Cinta''. Sembari membelah barisan penonton yang menyambut dengan tepukan riuh, Vina tanpa iringan musik menembangkan "Aku Masih Cinta". Dia melangkah pelan menuju ke panggung utama yang berselimut tirai raksasa di Plennary Hall Jakarta Convention Center. Setelah dia mencapai bibir panggung, terangkatlah tirai raksasa yang menyelubungi panggung utama. Saat itulah Addie MS dan 50 awak orkestranya mengiringi refrain terakhir tembang pembuka konser solo penyanyi terkemuka Indonesia itu. Belum usai sambutan meriah penonton, antara lain Kris Dayanti, Titi Dwijayanti, Camelia Malik, Harry Capri, Ari Tulang, Ubiet (Nya' Ina Raseuki), Henky Tornando, Ermy Kulit, Deddy Dukun, Iga Mawarni, Dina Mariana, dan Bella Saphira, Vina meneruskan dengan tembang ''Apa Kabar''. ''Apa kabar?'' tanya Vina ke penonton, seusai mendendangkan tembang itu. ''Setelah 25 tahun saya berkarier di dunia musik akhirnya kita bisa ketemu lagi ya,'' ujarnya. Selanjutnya, dengan sangat santun, penuh keceriaan, ketenangan, serta kematangan dia Vina bertutur tentang sejarah kariernya dalam dunia tarik suara. ''Saya mengucapkan rasa terima kasih kepada kawan-kawan seperti Eriati Erningpraja, Oddie Agam, Harvey Malaiholo, dan Titik Hamzah,'' katanya. Lalu, dia pun mengisahkan proses penciptaan dan menyanyikan tembang ''Aku Melangkah Lagi'' karya Santoso Gondowidjojo. Usai lagu ketiga, dia lagi-lagi berkisah seperti pendongeng. ''Dulu, Om Idris Sardi mengajari saya menyanyi dengan nada tinggi,'' katanya sembari menunjuk Idris Sardi yang tersenyum. Vina kemudian menembangkan lagu "Satu dalam Nada Cinta" karya Barce Van Houten yang diaransemen Idris Sardi. Para penonton pun ikut menyanyi.
Penonton konser Viva Vina hampir 80 persen orang-orang paro baya. Konser itu berlangsung menyenangkan sekaligus mengharukan. Betapa tidak. Tak seperti para penyanyi yang menggelar konser solo, Vina senantiasa menceritakan latar belakang proses kelahiran lagu-lagu yang ditembangkannya. Dan hebatnya, hampir semua orang yang terlibat di balik penciptaan lagu itu hadir di antara penonton. Tak ayal, konser Vina kali ini seolah menjadi ajang kumpul kawan lama dan fans beratnya. Tengoklah ketika Vina menghadirkan dan meminta Aryono HD berdiri agar penonton dapat mengenali parasnya ketika dia menyanyikan ''Burung Camar'' karya lelaki itu. ''Lagu ini pernah meraih Kawakami Award,'' ujar Vina. Lagi-lagi dia memperkenalkan James F Sundah yang menciptakan ''September Ceria''. ''James silakan berdiri. Ini lagu kamu.'' Lalu mengalunlah "September Ceria" yang diaransemen Addie MS tahun 1980-an. Masih sama dengan versi aslinya dulu. Vina tampaknya tahu benar bahwa orang besar tak akan pernah melupakan orang-orang membesarkan namanya. Dengarlah, lagi-lagi dia menyebut nama Bob Tutuppoli, Grace Simon, dan Guruh Soekarnoputra sebagai orang yang sangat berjasa menggemblengnya sehingga menjadi Vina seperti dikenal orang sekarang. Ya, Vina memang luar biasa. Tak mengherankan jika Addie MS yang setia mengiringi lebih dari 23 tahun menyebut Vina sebagai the True Diva. (Benny Benke-53)

Marathon

Sabtu, 18 Februari 2006. BUDAYA
Konser Marathon Radja dan Ratu
Di Semarang 11 Mei
JAKARTA-Grup rock Radja dan duo Ratu berencana menggelar konser di 40 kota selama empat bulan hingga akhir Mei 2006. Konser ini akan dimulai di Convention Center (JCC) Jakarta pada 20 Februari dan dipamungkasi di Lapangan Parkir Tumenggung Batam, 21 Mei. Harry ''Koko'' Santosa dari Deteksi Production yang kembali digandeng A Mild untuk menggelar konser marathon di pembuka tahun ini, menyatakan perizinan konser sudah siap secara keseluruhan.
''Yang pasti dengan harga tiket terjangkau dan kenyamanan yang panitia sajikan, konser ini akan benar-benar menghibur,'' katanya. Konser yang akan berlangsung kota-kota di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Lombok, dan Nusa Tenggara Barat ini dimaksudkan tidak hanya untuk memberikan hiburan kepada masyarakat musik Tanah Air. ''Lebih dari itu, konser ini kami harapkan dapat merangsang para musisi di daerah untuk semakin menajamkan kemampuannya berkarya,'' ujar Sendi Sugiharto, product group manager Sampoerna Tbk. Sedangkan Ian Kasela, vokalis Radja yang hadir bersama Moldy (gitar), Shuma (bas), dan Adit (drum) menyatakan antusiasmenya menjalani konsernya kali ini. Hal senada diutarakan Maia dan Mulan Kwok dari Ratu. ''Ini kerja marathon yang akan berlangsung dengan menyenangkan, keliling 40 kota dengan para fans tercinta,'' ujar Ian. ''Ya, apalagi Ratu juga akan membawakan lagu-lagu terbaru yang akan kami sosialisasikan,'' tukas Maia. Ratu yang berencana menggeber empat sampai enam lagu dalam setiap penampilan yang kemudian diikuti dengan sepuluh sampai 14 lagu berikutnya yang dinyanyikan Radja, juga berjanji akan memberikan kejutan bagi penonton mereka. "Karena bisa jadi kami berkolaborasi di atas panggung. Kita lihat saja nanti,'' imbuh Maia. Semarang akan mendapat jatah kunjungan Radja dan Ratu pada 11 Mei di Stadion Diponegoro. Kemudian sehari berikutnya di Pantai Kartini Jepara (12/5), Stadion Mandala Krida Yogyakarta (14/5), dan Stadion Sriwedari Solo (16/5). (G20-45)

''Sampek Engtay''

Kamis, 16 Februari 2006. BUDAYA
Pentas ''Sampek Engtay''
Pabrik Ketawa Teater Koma

JAKARTA-Teater Koma tampaknya tidak akan pernah bisa lepas dari stigma yang selama ini menempel di grup tersebut, yaitu pabrik ketawa. Dalam pentas perdana lakon Sampek Engtay, Selasa (14/2) malam, misalnya kelompok teater yang berdiri sejak 1977 itu kembali memperteguh stigma tersebut. Meski lakon tragedi cinta ini telah dipentaskan sebanyak 80 kali sejak 1988, kesegarannya masih saja mampu menghibur. Lebih dari 500 penonton yang menyesaki Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) yang menjual tiket seharga Rp 75 ribu pun diganjar dengan kepuasan puncak. Betapa tidak, hampir sepanjang pertunjukan, 30 pemain dari angkatan 2000 dan 2005 Teater Koma dan 20 kru pendukung tidak henti-hentinya mengocok perut penikmatnya. Nano Riantiarno sebagai penulis naskah yang merangkum naskah asli dari 12 versi cerita Sampek Engtay yang berbeda tidak hanya jeli menyuguhkan kekuatan naskah. Lebih dari itu, keaktoran generasi muda Teater Koma dalam menyampaikan apa yang ingin disampaikan , mampu disampaikan dengan ringan, mengena, sekaligus menghibur. Meski tidak sempurna benar, seperti dalam beberapa adegan yang terlalu berlarat-larat dan bertele-tele, kondisi itu tidak mengurangi bobot pertunjukan secara keseluruhan. Ya, Teater Koma ditangan Nano Riantiarno memang masih piawai dalam urusan membungkus tragedi dalam balutan komedi. Tragedi kisah cinta antara Sampek dan Engtay yang dalam versi aslinya penuh dengan cakapan yang mengharu-biru, menyayat-nyayat, dan membuat berlinang air mata pengapresiasinya, di tangan Koma berubah menjadi penuh gelak dan canda tawa.
Sehingga tidak salah jika Putu Fajar Arcana, seorang kawan berujar tak ubahnya menonton acara Extravaganza sebagai-mana yang disiarkan salah sebuah stasiun televisi nasional swasta. Sebagaimana Sampek Engtay yang pernah dipentaskan di Gedung RRI, Jl Achmad Yani Semarang tahun 1999 lalu, alur penceritaan, pengadeganan, dan ending lakon ini masih sama. Setting-nya lebih teliti, mewah dan terperi serta kostum semakin mengalami penyempurnaan, dan penambahan beberapa adegan. Namun, secara keseluruhan tragedi-tawa Sampek Engtay ala Teater Koma adalah sama. Dikisahkan Engtay (Tuty Hartaty) adalah seorang perempuan muda nan ayu dari Serang Banten hendak menuntut ilmu ke kota besar bernama Betawi. Atas izin kedua orang tuanya, Ciok, berangkatlah Engtay yang menyaru sebagai lelaki ke kota paling besar di zaman Hindia-Belanda itu. Sesampai di Betawi, bertemulah Engtay dengan Sampek (Paulus Simangunsong), yang mempunyai kepentingan sama: menuntut ilmu di sekolah Poetra Bangsa yang terletak di Glodok, Mangga Besar. Di asrama sekolah itulah pertalian persaudaraan antara Sampek dan Engtay yang ditempatkan sekamar mulai dan semakin terjalin dengan erat satu sama lain. Kelucuan-kelucuan tentang proses Engtay yang menyaru sebagai laki-laki di antara kawan-kawan sekolahannya inilah yang memancing tawa. Hingga akhirnya, atas nama cinta, Engtay berterus terang kepada Sampek tentang identitas sejatinya. Namun, pada saat yang bersamaan Engtay dipanggil pulang untuk dinikahkah dengan Macun (Sena Sukarya), putra Kapten Liong (Sugi Haryanto), tuan tanah dari Rangkasbitung. Sampek pun patah hati, kalah oleh cinta, menafikan logika, menuruti perasaannya yang lara dan akhirnya mati merana. Hingga akhirnya arak-arakan pernikahan antara Engtay dan Macun melewati makam Sampek. Engtay pun meminta waktu sebentar untuk mengirimkan doa kepada kekasih sejatinya itu. ''Tak ada yang bisa memisahkan cinta kita, tidak juga kematian,'' isaknya di pusara Sampek. Pada saat bersamaan, tiba-tiba kuburan Sampek membuka, maka tanpa berpikir panjang, melompatlah Engtay ke dalam kuburan kekasihnya, meninggalkan Macun yang murka. Ketika kuburan dibongkar paksa, jasad Sampek dan Engtay tidak tersua, hanya meninggalkan dua batu biru dan dua tawon kuning, yang kemudian berubah menjadi sepasang kupu-kupu, dan diikuti jutaan kupu-kupu lainnya. Semua yang menyaksikan adegan ini terkesima, beberapa di antaranya bahkan menyeka air mata. Menangis tertawa. (Benny Benke-45)

Uriah Heep

Selasa, 14 Februari 2006. BUDAYA
Konser Nostalgia Kaum Paruh Baya
JAKARTA-Di terminal kedatangan Bandara Soekarno-Hatta, Sabtu (11/2) malam, Lee Kesrlake (drumer Uriah Heep), hanya terkesiap tidak mempercayai dirinya sendiri jika ia telah menginjakkan kaki di Jakarta. ''Seperti di rumah sendiri,'' katanya bungah. Maklum, 22 tahun yang lalu, tepatnya tahun 1984 salah satu grup band hard rock legendaris dunia itu pernah menggelar konser di Istora, Senayan Jakarta. Minggu (12/2) malam lalu, band dari Inggris Raya seangkatan dan setanah air dengan Led Zeppelin, Deep Purple, Black Sabbath, Yess dan Pink Floyd ini, kembali menunjukkan kebolehannya di depan publik musik hard rock Jakarta. ''Tentu saja saya rindu ingin menyantap Salak dan Durian,'' imbuh Lee. Dan yang pasti, katanya lagi, dia sudah tidak sabar lagi untuk kembali memesan celana jins jahitan salah seorang penjahit ternama di Blok M, Jakarta. ''Apakah masih ada penjahitnya di sana?'' katanya menyelidik yang disambut gelak tawa penjemputnya. Kedatangan Uriah Heep dari Bombay India ke Jakarta adalah dalam rangka World Tour 2006. Dengan antusias, Mick Box (gitar), Lee Kesrlake (drum), Trevor Bolder (bas), Phil Lanzon (kibor), dan Bernie Shaw (vokal) bahkan tidak ingin setengah-setengah memberikan yang terbaik kepada pencintanya. ''Meski kepala kami telah berusia 50 tahun ke atas, tapi bukan berarti kami kalah dengan yang muda-muda,'' tukas Bernie Shaw. Ya, keseriusan Uriah Heep yang akan meneruskan konser ke Thailand sebelum akhirnya tur 10 kota di Rusia, memang dibuktikan di hadapan 500-an pencintanya di Tennis Indoor Senayan Jakarta. Sederhana. Lihatlah, ketika mereka menyeruak ke atas panggung yang sederhana namun pepat dengan alat musik mereka. Para personel Uriah Heep tanpa basa-basi langsung menggeber tembang-tembang hitnya. Beberapa di antaranya termaktub dalam album Very Envy...Very Umble (1970), Salisbury (1971), Look at Your Self (1971), Demons and Wizard (1972), High and Mighty (1976), dan Firefly (1977). Simak pula bagaimana dengan lihainya Bernie Shaw berkomunikasi dengan para pencintanya yang tentu saja hampir 90 persen didominasi kaum paruh baya. ''Anda semua pasti berusia di atas 21 tahun, bukan?'' ujar Bernie. ''Ah, itu bukan menjadi soal. Itu (usia) tidak mengurangi apa-apa, sebagaimana kami terus bekerja dan bekerja sebagaimana Anda semua,'' imbuh dia yang bersambut tepuk tangan meriah. Selanjutnya tembang-tembang seperti "I Wanna Free", "Tears on My Eyes", "Two Different World", "Come Away Melinda", "Easy Living", "Gypsy", "Look at Yourself", "Sunrise", dan "The Magicians Birthday" mengalir dengan lancar. Kelancaran konser yang terselenggara atas kerja tunggal Original Production ini bukan semata-mata kemampuan musikalitas para personel Uriah Heep. Lebih dari itu, hampir semua tembang yang mereka bawakan semua dikenal baik dan dinyanyikan bareng penggilanya yang sudah paruh baya. Yang tidak terduga, hampir 30 persen komposisi penonton disesaki para ekspatriat yang tinggal di Jakarta dan lagi-lagi paru baya. Jadi jangan heran, konser kali ini yang dibuka dengan penampilan God Bless seolah seperti konser kangen-kangenan para generasi kaum paruh baya yang disatukan lagi dengan kehadiran idola mereka semasa muda dulu hingga sekarang. ''Tahun 84 lalu saya nonton konser mereka di Istora dan sekarang masih dengan antusiasme yang sama sebagaimana 22 tahun lalu, saya menyaksikan mereka,'' ujar Amy Roes, salah seorang musisi rock kawakan Jakarta. (Benny Benke-45)

My Girl



Jumat, 10 Februari 2006 . BUDAYA
Balada Kasih dari Negeri Tetangga
Preview Film "Cinta Pertama"

JAKARTA- Siapakah yang sanggup membunuh kenangan? Adakah kenangan yang lebih indah yang sepatutnya kita ingat selain memori indah masa kecil. Lewat film Cinta Pertama yang disutradarai Rizal Mantovani, keindahan masa kecil film yang berjudul asli My Girl itu dihadirkan kembali. Ya, My Girl yang merupakan film layar lebar pertama yang disulihsuarakan dan diataptasi dari film aslinya mengalir dengan penuh pesona dan genial. Betapa tidak, film produksi Thailand yang pernah meraih Sutradara Terbaik Asian New Talent Award, Shanghai International Film Festival, Pengambilan Gambar Terbaik, Youth Asia Shanghai International Film Festival, Aktor Pendukung Terbaik (Chaeleumpol as Jack) Golden Supanhong Award, serta menjadi blockbuster hit di Thailand (2003) ini disulap Rizal menjadi sangat Indonesia. Dari versi aslinya yang disutradari secara keroyokan oleh Komrit Threewimoh, Songyos Sugmakayan, Nithiwat Tharatorn, Vijja Kojew, Vhitaya Thongyuyong dan Adisor, oleh Rizal dan dibantu Ferry Fadly sebagai dubbing director diadaptasi menjadi bercitarasa Indonesia. Dari dialog yang dibuat sebagaimana logika bertutur anak Jakarta lengkap dengan lo gue, ringtone tembang ''Tak Bisakah'' milik Peterpan, sampai soundtrack 16 tembang lawas tahun 80-an penyanyi Indonesia hadir dalam film berdurasi 111 menit ini. ''Ya, inilah adalah film layar lebar pertama Indonesia yang menyulihsuarakan dan mengadaptasi dari film berbahasa asing non-Indonesia,'' tutur Peter Lim, produser Cinta Pertama sesusai preview perdana di Planet Hollywood Jakarta, kemarin. Bahkan dengan segala keseriusannya, Peter Lim, Rizal Mantovany, dan Ferry Fadly musti membutuhkan waktu satu tahun untuk merubah My Girl menjadi Cinta Pertama agar benar-benar tak ubahnya film Indonesia. Kultur . ''Meski kendalanya banyak, pada dasarnya kultur yang menjadi setting dan pesan moral versi film aslinya sangat mirip dengan kebudayaan Indonesia,'' ujar Rizal. Ferry Fadly bahkan mengakui proses pengerjaan sulih suara dan adaptasi selama satu tahun adalah rekor terpanjang selama proses kreatifnya menjadi sutradara dubbing. Jadi jangan heran ketika sepanjang film ber-genre drama komedi anak-anak ini tembang-tembang milik Chrisye ("Ku Cinta Dia", "Hip Hip Hura", "Pergilah Kasih", "Kisah Cintaku"), Hetty Koes Endang ("Demi Cinta Ni Ye", "Berdiri Bulu Romaku"), Jamal Mirdad ("Yang Penting Happy"), Obbie Messakh ("Istilah Cinta"), Iwan Fals ("Kemesraan"), Betharia Sonata ("Kau Tercipta Bukan Untukku"), Rafika Duri ("Kekasih"), Ebiet G Ade ("Berita Kepada Kawan"), hingga Emilia Contesa ("Jatuh Cinta"), menjadi latar penceritaan. Tidak mengherankan pula ketika Betharia Sonata, Emilia Contesa, Rafika Duri, dan Hetty Koes Endang yang turut menyaksikan preview berkomentar nyaris senada. ''Filmnya bagus, pesan moralnya 'kena' dan mengingatkan pada masa kecil saya,'' tutur Rafika Duri. ''Ya, saya pikir itu film yang dibintangi anak-anak Indonesia, soalnya semua jenis permainannya sama,'' imbuh Hetty Koes Endang. ''Ya, nyaris sulit menemui film anak-anak buatan Indonesia sebagus ini ya, apalagi dengan muatan moral yang membumi,'' tukas Emilia Contesa. ''Ya ya, mengharu biru sekaligus penuh pesan moral yang mudah diterima anak-anak-anak,'' ujar Betharia Sonata. Dunia Anak . Keterpesonaan Betharia, Emilia, Rafika, dan Hetty memang mewakili gambaran keindahan Cinta Pertama, yang meski secara penceritaan berjalan dengan hitam putih, konflik tetap dihadirkan dengan tidak mengada-ngada serta diselesaikan tanpa campur tangan orang tua. Cinta Pertama diawali dengan pulangnya tokoh Jeamy ke kampung halamannya dari kota untuk menghadiri pesta pernikahan kawan semasa kecilnya, Nina yang tidak pernah ditemuinya sejak perpisahan menyakitkan 15 tahun yang lalu. Dalam perjalanan pulang, flashback ingatan Jeamy melayang ke ingatan masa lalunya. Nina adalah teman baik Jeamy sejak balita dan dia adalah satu-satunya teman yang mau bermain dengan Jeamy karena Jeamy senantiasa dikucilkan teman laki-laki sekelas dan sepermainannya. Perkawanan Jeamy dan Nina kecil inilah yang menjadi menu utama Cinta Pertama yang sederhana, menghibur, penuh pesan moral dan sekaligus menggembirakan. (Benny Benke-45)

Pram

Rabu, 08 Februari 2006. BUDAYA
Ketika Pram Patok Harga Tinggi
JAKARTA-Siapakah sastrawan Indonesia yang karyanya telah diterjemahkan ke dalam 37 bahasa dan sekaligus satu-satunya penulis yang paling tidak bisa dimengerti berbagai rezim di Indonesia? Jawabnya adalah Pramudya Ananta Toer. Demikianlah kesimpulan Taufik Rahzen, budayawan yang memandu acara Kongkow Budaya baru-baru ini bersama sastrawan kelahiran Blora, 6 Februari 1925, tersebut. Acara itu merupakan salah satu agenda perayaan ulang tahun yang digagas Taring Babi, Indonesia Buku (Ibuku), Dewan Kesenian Jakarta, dan berbagai institusi kepemudaan lainnya. Perayaan ultah sastrawan "32 Batang Rokok", demikian ia biasa disapa orang dekatnya, di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, Senin (6/2), itu terhitung meriah. Berbagai rumor terkini perihal kegiatan penerima Ramon Magsasay Award untuk kategori Jurnalistik, Sastra, dan Seni Komunikasi Kreatif (1995) itu didedah bareng sang empunya. Dari penyakit kepikunannya yang membuat Pram tidak bisa berkarya lagi dalam sepuluh tahun terakhir, tampikannya terhadap ikhtiar sutradara Hollywood, Oliver Stone, sampai kritikan para pencinta sekaligus pengagumnya yang menengarai pola pikirnya telah berubah menjadi kapitalis. Dalam Kongkow Budaya yang juga dihadari Max Lane, penerjemah karya Pram ke dalam bahasa Inggris, Yenni Rosa Damayanti, Rieke Dyah Pitaloka, Happy Salma hingga komunitas musik punk Jakarta Raya, Pram bahkan mengecam generasi pemuda sekarang yang tidak mampu melahirkan pemimpinnya sendiri. "Delapan puluh satu tahun adalah umur yang tidak pernah saya bayangkan, dengan segala kepahitan dan kegetirannya," tuturnya datar. "Betapa tidak terbayangkannya karena sejak sepuluh tahun kebelakang sejak umur 70 tahun saya berhenti menulis sama sekali". Mengapa penulis tetralogi Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1980), Jejak Langkah (1985), dan Rumah Kaca (1988) yang melambungkan namanya ini berhenti menulis? "Karena saya sudah pikun. Apa yang ingin saya sampaikan di tengah jalan pasti lupa," imbuhnya. Karena penyakit pikun itulah dia tidak dapat memilih kata-kata yang tepat. "Tapi pikun itu ada baiknya. Baiknya apa. Kalau ditagih saya mempunyai alasan yang tepat," katanya yang mendapat sambutan gelak tawa hadirin yang memenuhi arena Teater Kecil hingga larut malam. Harga Tinggi. Rumor perihal terlalu tingginya harga yang dipatok Pahlawan Asia versi majalah Times Singapura (2002) atas buku Gadis Pantai, bagi para pembuat film yang hendak memvisualkan novelnya memang telah bergulir dua tahun terakhir. Pertanyaan itu akhirnya mengemuka kembali. Pram yang diberi izin hadirin untuk merokok di atas panggung pun akhirnya membuka kartunya. "Hak untuk memfilmkan karya saya minimum seharga Rp 1,5 milyar untuk jangka waktu lima tahun. Masalah mau diinterpretasikan secara visual seperti apa itu terserah film maker karena itu sudah bukan bidang dan dunia saya," katanya. Kejujuran Pram ini seketika mendapat respons keras dari Yenny Rosa Damayanti. Bagi Yenny, kekecewaanya terhadap cara Pram memperlakukan karyanya seperti properti yang dijual untuk sebuah harga, tanpa mempertimbangkan karya tersebut adalah warisan bangsa, tak ubahnya seorang kapitalis.
"Karena bagi saya, karya Pak Pram adalah karya yang harus disiarkan, disebarkan, dipetakan, difilmkan, dipentaskan, dimainkan oleh siapa pun juga demi kemanusian, bukan demi sebuah harga". Menanggapi kekecewaan tersebut dengan tenang Pram menjawab: "Karya itu mutlak kepunyaan saya, jadi jika ada yang tidak suka dengan cara memperlakukan hak cipta saya sendiri, itu hak publik. Silakan," katanya. "Sejak tahun 65 semua milik saya dirampas, namun tidak ada yang membela sampai sekarang, dari rumah, buku dan semuanya. Ketika saya bawa masalah ini ke pengadilan, mereka bilang, salah alamat. Gimana ini?". Ketika suasana tegang, seorang hadirin berceloteh: "Pram juga manusia..." Dendang hadirin itu sembari menirukan nada tembang "Rocker Juga Manusia" milik Seureius Band, spontan membuat hadirin tertawa, kecuali Pram. Dukungan untuk mematok harga yang tinggi justru datang dari Max Lane dan Doddy Achmad Fawzy, penerbit buku. "Dengan mematok harga yang tinggi justru membuat profesi sebagai penulis akan semakin bermartabat," ujar Doddy. Meski mematok harga tinggi untuk karya-karyanya, bukan berarti Pram memasang harga yang sama bagi kelompok teater yang hendak mementaskan salah satu karyanya. "Bahkan selama ini Pram terlalu sering ikut membiayai kelompok teater maupun grup band yang hendak naik panggung," tutur Taufik Rahzen. (Benny Benke-45)

Matinya Toekang Kritik''

Sabtu, 04 Februari 2006. BUDAYA
Kritik Sosial Masih Jadi Andalan Butet
JAKARTA- ''Dikritik itu memang sakit, tapi jauh lebih sakit jika kritik tidak didengarkan,'' ujar Suhikayatno, tukang kritik sejati yang tidak akan pernah mati, menarasikan perasaanya. Selanjutnya, monolog ''Matinya Toekang Kritik'' yang berdurasi 90 menit itu mengalir dengan penuh gelak tawa sebagaimana ciri utama monolog yang dibawakan Butet Kartaredjasa. Lakon yang disutradari oleh Whani Darmawan, sebagaimana monolog Butet terdahulu berjudul ''Lidah Masih Pingsan'', memang masih tajam dengan berbagai kritik sosial tentang kondisi kekinian di Indonesia. Kekuatan kritik sosial yang dituangkan dalam setiap monolog Butet inilah yang menjadi kekuatan kunci utama lakon yang akan dipentaskan di Jakarta (3-5 Februari), Yogyakarta (11-12 Februari), dan Surabaya (17-18 Februari). Selain kekuatan pada naskah yang ditulis oleh Agus Noor, peran multimedia yang hampir mendominasi hampir selama pertunjukan adalah nilai plus lain ''Matinya Toekang Kritik''. Sedangkan keaktoran Butet, meski masih menarik, tampak mulai kedodoran pada pertengahan pertunjukan. Untung saja, improvasi putra almarhum Bagong Kussudiardjo ini masih piawai seperti dulu. Seperti biasanya, kekompakannya "berduet" dengan sang adik, Djaduk Ferianto sebagai penata musik bersama empat kru lainnya, membuat pertunjukan makin menarik. Simaklah ketika pada preview pertunjukan perdana di Graha Bhakti Budaya (2/2), Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, Butet menunjukkan kelihaiannya berimproviasi dengan Djaduk. ''Nama itu membawa tuah bagi yang menyandangnya,'' ujar tokoh Sukihayatno dari atas panggung dengan topi pet berlambang bintang. ''Coba-coba sekarang namanya siapa,'' tanya Suhikayatno kepada kru musik. Djadukpun spontan berpekik: ''Mudji Sutrisno!''. Multimedia. Bisa ditebak Suhikayatno yang tak lain adalah Butet memelesetkan sedemikian rupa nama Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara itu. Penonton tentu saja terpingkal, dan Prof Dr Mudji Sutrisno yang kena sasaran hanya tersenyum. Demikian halnya penonton VIP lainnya seperti Mochtar Pabottingi, Frans Seda, Ignas Kleden serta Rieke "Oneng" Dyah Pitaloka. al yang paling membedakan monolog Butet terkini mungkin peran yang sangat sentral multimedia. Suara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, mantan presiden Megawati, dan presiden Soekarno misalnya, menjadi pembuka monolog ini yang keluar dari multimedia. Dan dalam setiap pergantian atapun kontinuitas pertunjukan, layar yang menjadi setting mendiskripsikan kejadian-kejadian yang pernah terjadi di bumi Indonesia. Dari peristiwa kerusuhan Mei 1998 hingga masa proklamasi Indonesia, penggusuran dan berbagai peristiwa penting lainnya. Menurut Agus Noor, sentralitas dan banyaknya peran multimedia ini bukan berarti tanpa risiko. "Karena, sekali multimedia mengalami error maka sangat dimungkinkan akan mengganggu monolog secara keseluruhan. Meski kami sudah menggunakan multimedia selama satu bulan penuh, error masih saja terjadi. Maklim namanya juga mesin.'' Meski berisiko, Jompet, Arie Ps dan Giras Basuwonto (putra Butet) yang dipercaya memegang multimedia akhirnya toh tetap mampu menyuguhkan sebuah pertunjukan dengan apik. Memadukan kepintaran Butet dalam berlakon, meski tidak selihai dulu, dengan kecanggihan komputer. ''Matinya Toekang Kritik'' pada garis besarnya berkisah tentang Sukihayatno, seorang tukang kritik yang hidup di tahun 2012 hingga 3000- sekian. Lewat kisah hidup Suhikayatno yang kerjanya mengkritik dari satu rezim ke lain rezim, Suhikayatno bersaksi tentang kondisi negeri. Bersama Bambang (yang diperankan Butet juga), pembantu setianya, Suhikayatno terus saja mengkritik demi kebaikan dirinya sendiri dan negerinya. Hingga pada masanya kondisi zaman benar-benar menjadi tertib dan teratur, sehingga tidak ada yang bisa dikritik lagi. Anggota DPR tidak nakal lagi. Polisi, hakim dan jaksa tidak menjualbelikan perkara lagi. Mahasiswa tidak kenal narkoba dan semua berjalan dengan baik-baik saja. ''Di zaman tertib seperti ini, nabi pun sudah tidak diperlukan lagi,'' katanya masygul dan akhirnya mati. ''Saya hanya ingin menyampaikan kepada masyarakat jika kritik bagaimanapun juga masih dibutuhkan di negeri ini,'' ujar Agus Noor. (Benny Benke-45)

Shisa

Senin, 23 Januari 2006. BUDAYA
Shisha, Gaya Hidup Baru Orang Jakarta
BELAKANGAN banyak kaum muda Jakarta yang kecanduan mengisap rokok ala India. Bahkan, kebutuhan itu sudah menjadi gaya hidup mereka. Berikut laporan wartawan Suara Merdeka, Benny Benke, tentang rokok ala India, yang lebih populer disebut sebagai shisha, dan berikut kesan dari para penggemarnya. ''TIDAK ada yang lebih nikmat selain melakukan shisha bersama kawan-kawan.'' Inilah ungkapan Berky Yudika (16), yang sedang melakukan shisha atau menghisap rokok ala India, seperti dirasakan remaja lain, Eric Wijaja (16), Evo (18), dan Pierre (17). Keempat remaja yang masih duduk di bangku SMU dan universitas semester pertama itu adalah gambaran sebagian kecil dari sekian banyak orang Jakarta, yang sekarang sedang gemar-gemarnya melakukan shisha. Shisha, sebagaimana dituturkan Mohammad Nagib Alkaf, pemilik tiga tempat shisha di Jakarta, berasal dari kebudayaan tradisional India, yang telah berusia ratusan tahun. ''Setelah mengalami penyebaran dan pengembangan, ternyata shisha malah berkembang di Timur Tengah atau dunia Arab, selebihnya menyebar ke China,'' tuturnya. Nagib bersama kawan-kawannya jugalah, yang akhirnya mendekatkan budaya shisha atau bong rokok itu kepada masyarakat Jakarta, khususnya, dan Indonesia, umumnya. Menurut dia, sebelum membuka gahwacy atau warung kopi, yang terletak di kawasan Kemang, shisha hanya dapat dinikmati di hotel-hotel berbintang lima, dengan jangkauan harga sangat tinggi. ''Setelah kami kemas sedemikian rupa pada 2003 lalu, akhirnya shisha menjadi familiar di kalangan kaum muda Jakarta,'' kata dia. Bahkan, beberapa nama sohor dalam dunia keartisan, seperti, Dian Sastrowardoyo, Adam Jordan, Fauzy Ba'adila, Gilbert, hingga para politisi, seperti, Harmoko, Sys NS, sampai Alwy Shihab adalah pengunjung tetap di warung kopi miliknya untuk melakukan shisha. Apa nikmatnya shisha, sehingga banyak kaum muda, artis, politisi, hingga kalangan ekspatriat Jakarta menggemarinya? ''Kita bisa merokok dengan memilih cita rasa buah yang kita suka,'' tutur Nisa, karyawan warung kopi, yang telah setahun lebih menjadi saksi maraknya penggemar shisha. Berbagai rasa buah, seperti, anggur, strawberry, coconut, mint, rose, dan apel adalah menu pilihan utama, yang paling digemari. Biasanya shisha rasa bauh-buahan itu dinikmati bareng mint tea, sharazat (teh susu dan kapulaga/rempah dari Arab), dan jalab (juice korma).Kalaupun dibarengi dengan makan besar, menunya dari berbagai daging lembu seperti lamb les, laham mashui, shawarana, musaka, dan dajaj mashwi. Menurut Nagib, idealnya melakukan shisha pada waktu sehabis makan malam dibarengi dengan minum mint tea. ''Bahkan, kalau di Arab, air putih dingin sebagai bahan shisha biasanya diganti dengan coca cola atau vodka,'' imbuhnya. Namun, akhirnya hal itu memang menimbulkan efek mabuk. Impor. Bahan dasar shisha yang berbentuk bong raksasa setinggi 60-70 cm itu terdiri atas shisha atau bong, muassal (tembakau), arang spesial (tidak berbau, berasap, dan berasa), serta pipa. Semua bahan itu diimpor dari Dubai, Uni Emirat Arab. Untuk tembakau memang hanya ada di Dubai dan beberapa negara Timur Tengah. Pada dasarnya tembakau untuk shisha hasil dari campuran sari aneka buah dan tembakau, yang dimadu kemudian diperam, dengan kadar nikotine 0,1% dan tar 0%. ''Setelah melewati proses pemeraman, maka jadilah tembakau untuk bahan shisha,'' papar Nagib.
Tembakau shisha yang telah diperam itu selajutnya dibungkus alumuniun foil dan diletakkan di tengah shisha (bong), di mana pada bong dasarnya telah diisi air dingin (atau coca cola dingin dan berbagai minuman dingin lainnya). Setelah itu, di atap shisha, arang dibakar untuk ''membakar'' tembakau secara tidak langsung. ''Pada dasarnya, tembakau tidak terbakar langsung, hanya terkena efek panas arang yang dibakar,'' imbuh Na gib. Siapakah pengunjung dan penikmat terbanyak shisha?Sebanyak 70% adalah para ekspatriat, yang sebagian besar pernah bekerja di perusahaan-perusahaan minyak di Timur Tengah. Karena itu, sudah kenal dengan baik budaya shisha di Timur Tengah. Menurut Nagib, di Timur Tengah, biasanya shisha dijajakan di warung-warung kaki lima, yang sangat mudah sekali ditemui di jalanan. Sementara itu, 30% sisanya adalah kaum muda dan orang China. ''Bahkan, anak-anak Jakarta International School (JIS) setiap akhir pekan dapat dipastikan telah mem-booking tempat kami,'' ujar Nisa. Dengan hanya membayar Rp 35.000 untuk satu rasa shisha, yang biasanya dinikmati tiga sampai empat orang, shisha bisa dinikmati bersama hingga 30 sampai 60 menit. Dan biasanya serombongan orang yang datang memesan dua sampai tiga shisha aneka rasa. Hanya harga aneka minuman dan makanannya saja yang lebih tinggi dari harga shishanya sendiri. Di warung kopi milik Nagib sendiri frekuensi kunjungan orang yang melakukan shisha 30 sampai 50 orang setiap hari biasa. Dan di akhir pekan, teristimewa Jumat dan Sabtu, meningkat hingga 120-150 orang atau bahkan hingga 200 orang. ''Bahkan, untuk akhir pekan, biasanya orang-orang telah mendaftar dan memesan dulu. Kami pun harus ngebel jauh-jauh hari sebelumnya,'' tutur Pierre, murid salah sebuah SMA di Jakarta, yang mengaku telah melakukan shisha sejak setahun yang lalu. ''Selain enak, karena asapnya banyak dan cita rasa tembakaunya terasa, kami merasa keren aja,'' tukas Evo, rekan Pierre. (14h)

9 Naga,

Senin, 16 Januari 2006. BUDAYA
Lima Film Bersaing Rebut Penonton
JAKARTA - Pada Awal 2006 ini sejumlah film baru produksi dalam negeri beredar di bioskop. Film-film baru itu semuanya membidik penonton remaja dan masih menggunakan jurus lama, konflik remaja dengan bumbu cinta yang diakhiri dengan kisah sukses. Paling sedikit terdapat lima film baru produksi dalam negeri yang akan bersaing merebut penonton. Kelima film itu adalah Garasi, 9 Naga, Realita Cinta dan Rock 'n Roll, Jomblo, serta Gue Kapok Jatuh Cinta. Film manakah di antara lima film baru itu yang benar-benar bakal dibanjiri penonton seperti ketika Sherina, Ada Apa Dengan Cinta, dan Eiffel I'm in Love berhasil menarik masyarakat berbondong-bondong mendatangi gedung bioskop pada awal 2000-an? Salah satu di antara lima film baru itu yang layak mendapat sorotan khusus adalah 9 Naga. Film karya Rudi Sudjarwo ini mengangkat tema berbeda dari empat film lainnya. Bahkan, ketika baru diperkenalkan kepada pers belum lama ini, tagline yang berbunyi ''Manusia Terbaik di Indonesia Adalah Seorang Penjahat'' kena sensor. Demikian pula dengan poster Fauzi Baadila yang mempertontonkan pusarnya. Dua pelarangan oleh Badan Sensor Film ini sangat membantu menaikkan "suhu" 9 Naga yang skenarionya ditulis Monti Tywa.
Film ini berkisah tentang tiga sahabat Marwan, Donny, dan Lenny. Ketiganya bertekad mengambil jalan hidup yang sama, yaitu menjadi pembunuh bayaran. Namun mereka akhirnya menyadari, jalan hidup yang mereka tempuh keliru. Ketiganya pun berjuang untuk melepaskan diri dari cengkeraman kejahatan mereka sendiri.
''Saya hanya ingin menyajikan tema lain dari keberagaman tema film yang marak di Indonesia,'' tutur Rudi Sudjarwo, kemarin. Film yang original soundtrack-nya digarap Andi Rianto itu mengandalkan pemain baru Lukman Sardi, Donny Alamsyah dan Marcel Anthony ini. Satu-satunya pemain berpengalaman adalah Fauzi Baadila (Mengejar Matahari, Rindu Kami Pada-Mu) . Cinta Segitiga. Sementara itu, Garasi dan Realita Cinta dan Rock n Roll, mengusung tema sama, yaitu remaja yang menggeluti dunia musik dan cinta segitiga di antara mereka. Garasi yang disutradarai Agung Sentausa dibuat berdasarkan berpijak skenario Prima Rusdi (Ada Apa dengan Cinta?, Eliana Eliana, Banyu Biru). Film ini mencoba melakukan eksperimen dengan merekrut aktor yang berlatar belakang dunia musik. Bahkan, film yang diproduseri Mira Lesmana ini benar-benar menghasilkan sebuah grup band yang juga diberi nama Garasi. Personel grup itu, Ayu Ratna, Fedi Nuril, dan Aries Budiman dibimbing musikus Andi Ayunir. Mereka harus berakting dan menulis lagu. Untuk menunjukkan keseriusan Garasi sebagai grup band, pada ulang tahun Slank baru-baru ini mereka ikut manggung bersama band mapan lainnya. Film Garasi berkisah tentang tiga sahabat yang bercita-cita menggantungkan hidup dari musik. Dalam perjalanannya, konflik percintaan di antara mereka mempersulit mereka sendiri. Sedangkan Realita Cinta dan Rock 'n Roll yang skenario dan penyutradaraannya ditangani Upi Avianto (30 Hari Mencari Cinta, Tusuk Jalangkung) juga berkisah tentang remaja dan dunia musik.
Ipang (Vino) dan Nugi (Junot) adalah dua sahabat bengal yang tidak gemar sekolah, pembuat onar, dan mempunyai hobi bermain band. Mereka merasa bahwa dunia berada di tangan mereka. Ipang dan Nugi ternyata anak adopsi dan orangtua mereka transeksual. Belum lagi ketika persahabatan mereka nyaris berantakan dengan kehadiran teman perempuan, Sandra (Nadine Chandrawinata). Nadine sebagai Putri Indonesia (ketika proses syuting Nadine belum dinobatkan sebagai Putri Indonesia) menjadi sebuah "magnet" untuk menarik penonton. Film yang diperkuat aktor senior Frans Tumbuan ini semakin menarik dengan akting mantan aktor laga 80-an, Barry Prima yang berlakon sebagai Marina, seorang banci yang membesarkan Nugi. ''Akting Om Barry yang biasanya macho saya ubah menjadi banci dalam film ini,'' tutur Upi Avianto. (G20-43)

Realita Cinta dan Rock 'n Roll

Kamis, 19 Januari 2006. BUDAYA
Membumikan Rock 'n Roll
JAKARTA-Realita kehidupan anak muda adalah aras tema yang tidak akan pernah ada habisnya untuk dikuak. Upi, sutradara perempuan berbakat tampaknya tahu betul dunia anak muda semacam itu. Lewat film terbarunya Realita Cinta dan Rock 'n Roll (RCRR) Upi tidak hanya menyuguhkan sebuah tontonan ringan bermutu yang sarat pesan kebijakan. Lebih dari itu, tanpa berupaya menggurui, dengan bahasa anak muda, ia berhasil membumikan realita yang sarat persoalan cinta dengan bumbu rock 'n roll dengan membumi. ''Ini bukan film anak band, cinta segitiga, atau sebangsanya,'' tutur scriptwriter untuk Tusuk Jalangkung dan Lovely Luna ini seusai preview perdana film berdurasi 109 menit ini. Tapi, imbuhnya, ini adalah film-film tentang orang-orang kehilangan yang menyikapi dengan semangat rock 'n roll drama. Mengapa Upi lebih suka menyebut filmnya rock 'n roll drama? ''Karena saya mengajak penonton untuk berdamai dalam menyikapi realita yang tidak pernah bisa dibeli dan tidak seindah mimpi dengan semangat rock 'n roll'' katanya. Ya, realita dalam film yang mempertontonkan sosok lain Barry Prima sebagai seorang aktor yang transeksual ini, memang penuk sesak kompleksitas. Semua tokoh utamanya membawa permasalahannya masing-masing dan akhirnya diselesaikan dengan cara yang sahaja, mudah dicerna, dan tidak dibuat-buat.Memang, bahasa gambar, alur cerita, music score dan keaktoran RCRR menjalin sin ergisitas yang saling melengkapi dan membangun sebuah film yang utuh. Meski tidak sempurna benar, Upi yang bertindak juga sebagai scriptwriter dapat dikatakan cukup berhasil. Perkawanan. Film ini berkisah tentang dua sahabat, Nugi (Herjunot Ali), dan Ipang (Vino G Bastian). Dengan mengabaikan sekolah, mereka bercita-cita menjadi pemain band rock 'n roll. Perkawanan mereka yang serba seenaknya sendiri semakin lengkap dengan kehadiran Sandra (Nadine Chandrawinata), penjual kaset yang membuka sebuah distro. Hingga akhirnya masa terima rapor SMA tiba, baik Nugi maupun Ipang menuai banyak angka merah. Alhasil, ibu Nugie (Sandy Harun) yang hippies menyarankan Nugie untuk menemui ayahnya. Demikian halnya dengan Ipang yang baru tersadar jika orang tuanya sekarang (Frans Tumbuan) bukanlah ayah kandungnya. Kompleksitas semakin memuncak manakala Nugie telah bertemu ayahnya (Barry Prima) yang ternyata telah berubah menjadi seorang perempuan bernama Mariana. Tentu saja tidak mudah bagi seorang anak mengetahui ayahnya transeksual. Permasalahan juga menghampiri Sandra yang disia-siakan kedua orang tuanya. Maka Nugi, Ipang, dan Sandra mencari makna kesejatian dengan caranya sendiri, yakni cara rock 'n roll. ''Jika cinta menyakitkan, hidup tidak ada yang sempurna, lalu apa yang membahagiakan,'' ujar Ipang kepada Sandra. ''Kita harus berdamai dengan realita,'' balas Nugi di lain kesempatan. (Benny Benke-45)

Kamis, 21 Februari 2008

"Serambi"

Jumat, 30 Desember 2005. BUDAYA
Preview Film "Serambi"
Tsunami di Mata Korbannya

''Tsunami artinya Tuhan tidak adil,'' ujar seorang bocah kepada kawannya. ''Hush, tidak boleh bilang seperti itu. Tuhan Maha Adil. Apa pun yang diberikan Tuhan adalah kuasa-Nya,'' jawab bocah lainnya. Mendengar pembicaraan kawan-kawannya, bocah yang lain tertawa. ''Hush. Jangan ketawa, nanti diambil tsunami''.


NUKILAN di awal film dokudrama atau dokumenter semi drama terbaru karya Garin Nugroho, Viva Westi, Tonny Trimarsanto, dan Lianto Luseno itu, membuka Serambi dengan linear. Film berdurasi 80 menit yang proses pembuatannya diawali pada Februari 2005, atau dua bulan setelah tragedi memilukan itu, sebagaimana tipikal film Garin, cenderung bercerita dengan simbolik. Hal ini menjadi maklum mengingat Garin berposisi sebagai konseptor kreatif sekaligus supervisi sutradara. Sedangkan tiga sutradara muda lainnya ''hanya'' menjadi pelaksana konsep. Tipikal film yang "sangat Garin" ini terlihat dari penghadiran suasana lokal bumi serambi Mekah yang pekat dengan nuansa Islaminya, namun dibungkus dalam nuansa global dengan kehadiran ''Che Guevara'' lewat tokoh Reza Idria. Hal ini mengingatkan pada film Garin terdahulu ''Padang Rumput Savana'' lewat kehadiran ''Elvis Presley'' yang diwakilkan tokoh Kuda Liar yang diperankan Adi Kurdi. Perihal rumusan klasik ini, Garin mengakuinya. ''Dengan mengaitkan nilai-nilai lokal dalam balutan nuansa global, maka apresian penonton yang lintas bangsa dapat terjembatani,'' tutur Garin seusai preview perdana di Jakarta, kemarin. Serambi yang diproduseri Christine Hakim bekerja sama dengan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata serta Bank BNI ini pada dasarnya memotret kondisi kekinian Aceh pascabencana dengan sajian tiga cerita yang berjalan seiring. Film ini tidak mengangkat peristiwa-peristiwa besar namun hal-hal yang terkesan remeh namun pada dasarnya sangat esensial pascabencana. Serambi justru mampu menghadirkan potret-potret kuat manusia Aceh dalam meneruskan hidup. ''Pada dasarnya film ini berkisah tentang orang-orang yang kehilangan namun tetap bertahan dengan kehidupannya'' tutur Garin mengingatkan. Para tokoh yang memerankan dirinya sendiri seperti Maisarah Untari (Tari), Reza Idria, Azhari, Lisa Aulia (generasi muda), serta Usman, Jaelani, Hasyim Mulyadi, dan Cut Putri (generasi dewasa) menarasikan kehilangan mereka dengan apa adanya. Tanpa tuntunan skenario atau jalan cerita, mereka semua menjadi dirinya sendiri dan bertutur tentang kehilangan tak terkira atas orang-orang tercinta. ''Semua adegan dan dialog diambil lewat spontanitas pembicaraan para pelakonnya yang memang kehilangan orang-orang terdekat mereka,'' ujar Christine Hakim. Contohnya penuturan Usman (45), penarik becak motor khas Aceh Meulaboh. Usman yang sebatang kara karena seluruh anggota keluarga dan rumahnya lenyap ditelan tsunami, mempunyai kebiasaan baru untuk terus mengenang keluarganya. Ia hanya mau makan di bekas reruntuhan rumahnya, tempat istrinya dahulu tersenyum menyambutnya, dan anak-anaknya yang manis merindu derum motornya. (Benny Benke-45)

Bioskop

Kamis, 29 Desember 2005. BUDAYA
Minimnya Bioskop di Daerah Jadi Kendala
JAKARTA - Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N) sebagai lembaga yang mengawal pembangunan perfilman Indonesia di bawah Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, telah mendesak Dirjen Pendidikan Tinggi Depdiknas agar memasukkan kurikulum perfilman dalam dunia pendidikan. Dengan langkah itu diharapkan napas kreator perfilman Indonesia tetap terjaga untuk terus menghasilkan film-film baru. ''Sebab, kualitas akan berjalan dengan sendirinya seiring dengan kuantitas film yang ada,'' kata Ketua BP2N Djonny Safrudin. Meski berharap sokongan pemerintah, menurut Djonny, penyokong utama film Indonesia adalah penonton atau masyarakat Indonesia sendiri. ''Inilah repotnya, penonton film Indonesia sejatinya banyak terdapat di daerah hingga kota kabupaten. Namun payahnya, setelah 90-an banyak bioskop di daerah yang tutup,'' katanya. Namun, dia optimistis pertumbuhan perfilman nasional akan terus membaik. Apalagi jumlah penonton film produksi dalam negeri di bioskop makin membludak. Hal itu terlihat dari data jumlah penonton sepanjang tahun 2005, dengan predikat film terlaris dipegang film Virgin. Berdasarkan data BP2N hingga Desember 2005, jumlah penonton film pernah menjadi kontroversi itu telah mencapai angka 1.150.000. Urutan berikut diduduki Apa Artinya Cinta? yang menyedot 1.100.000 penonton. Jumlah penonton film Indonesia itu akan bertambah banyak jika bioskop di daerah dibuka kembali. ''Inilah kendalanya, selain jumlah bioskop di daerah berkurang, para pekerja film juga harus bersaing dengan tv, VCD bajakan,'' katanya. (G20-43)

Film Indonesia 2006

Kamis, 29 Desember 2005. BUDAYA
Film Indonesia 2006 Tak Banyak Berubah
Jumlah Produksi Terbanyak di Asia Tenggara
JAKARTA - Lebih dari 34 judul film telah diproduksi dan lolos sensor sepanjang tahun 2005 dan 6 film masih dalam proses penggarapan. Angka ini, menurut Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N), melebihi produksi film negara-negara di Asia Tenggara, yang biasanya tidak lebih dari 30 judul film per tahun. Thailand misalnya, menurut Ketua BP2N Djonny Safrudin, tahun 2005 menghasilkan 30 judul film, Malaysia 26-28 judul, sedangkan Filipina dan Singapura jauh lebih kecil lagi. Secara kuantitif perkembangan film Indonesia sangat menggembirakan. Namun, hal itu belum diimbangi dengan kualitas. Sebagaimana diketahui, kesamaan tema mendominasi semua film yang diproduksi setahun belakangan. Tema drama percintaan, horor, komedi romantik, dan musikal anak-anak mendominasi point of view para pembuat film. Hal itu masih akan terjadi pada tahun 2006. Hanya sedikit yang menyempal dari tema seragam ini, misalnya tema politik. Tren tema film dan unsur pembangun sebuah film juga tidak akan jauh berbeda pada tahun 2006 nanti. Sutradara Garin Nugroho menilai fenomena keseragaman tema ini tidak hanya berdampak pada menurunnya jumlah penonton bioskop, karena unsur-unsur yang ada dalam film sangat monoton dan bisa ditebak, ''Tapi, juga penurunan kualitas film itu sendiri''. Namun, kata dia, keterampilan para pembuat film Indonesia dalam mengemas sebuah film sudah sangat menggembirakan. Hanya saja dramaturginya masih menjadi masalah yang mendasar. Dramaturgi dalam pengertian sutradara yang karyanya lebih dikenal di mancanegara ini adalah unsur-unsur sedih, gembira, percintaan dan kepahlawanan yang di sini belum tergarap dengan maksimal. Bahkan, ciri-ciri film Indonesia selama 2005, menurut dia masih sangat mudah dikenali. ''Satu film biasanya berisi 5 lagu (tema), yang menggambarkan gaya hidup, fashion di ruang publik, menggunakan (menjual) bintang-bintang populer, dengan tema horor, komedi dan cinta, atau sejarah dan cinta, yang fokus di dunia remaja,'' katanya. Garin tidak serta merta menyalahkan para pembuat film, dia justru menuding keadaan dan kondisi kekinian Indonesia secara keseluruhan yang menjadi penyebab kondisi perfilman saat ini. ''Mungkin, karena mereka (movie maker) jenuh dengan jargon atau euforia kehidupan berbangsa yang memang menyedihkan selama 2005 ini,'' tuturnya. Pergeseran. Dia memperkirakan tema film 2006 akan sedikit mengalami pergeseran. Tema-tema film ke depan akan cenderung lebih realistis karena penikmat film Indonesia sudah sangat terlatih dengan tontonan dari Hollywood, Korea, dan Hong Kong yang secara dramaturgi lebih kuat. ''Jadi, jika temanya tidak berubah, film itu paling maksimal hanya bertahan 3 hari di bioskop,'' tandas Garin. Sementara itu, Slamet Rahardjo Djarot mensyukuri maraknya film Indonesia yang beredar di bioskop. ''Mungkin saya adalah tipikal orang yang paling mudah bersyukur, jadi saya malah mensyukuri maraknya film kita,'' ujar Slamet. Menurut dia, apa pun hasil karya anak-anak muda di dunia film harus diacungi jempol. ''Bahkan, saya harus mengucapkan selamat kepada mereka, karena bekerja penuh dengan kemandirian''. Slamet menambahkan, membuat film yang utuh dan memenuhi semua unsur sinematografi, bukanlah pekerjaan mudah. ''Semua unsur pembangun film juga dipengaruhi oleh situasi yang ada sekarang, sebagai cerminan,'' katanya. Karena itu, lanjutnya, bukan sesuatu yang mengherankan jika secara tematik film Indonesia menjadi seragam. Namun tema cinta, apalagi horor, di mata Slamet bukan sesuatu yang jelek. ''Karena tema cinta sampai kiamat pun tidak akan pernah ada habisnya,'' tandas dia.
Mengenai tema horor, dalam bahasa guyon kakak kandung Eros Djarot ini mengatakan tema itu jadi tren mungkin karena para pekerja film lebih percaya setan daripada para politisi dan pemimpin negeri ini. ''Intinya, tidak semua pekerja film harus menjadi pioner, meski bukan berarti harus cepat berpuas diri terhadap hasil karyanya. Karena jika seseorang cepat puas dengan karya mereka, dipastikan bakal hancur,'' tutur aktor kesayangan sutradara legendaris Teguh Karya ini. (G20)

Remy Sylado

Jumat, 23 Desember 2005. BUDAYA
Remy Sylado Cabut Tuntutan
JAKARTA - Remy Sylado yang semula mengancam akan memperkarakan secara pidana dan perdata, akhirnya mencabut tuntutannya kepada Perhimpunan Tionghoa Indonesia (Inti). Perseteruan itu terkait foto pertunjukan sandiwara Nyanyi Sam Po Kong karya Remy Sylado yang digelar di Gedung Kesenian Jakarta, 27-28 Agustus 2005 lalu. Foto pertunjukan yang diambil oleh Lisa Suroso, anggota Perhimpunan Inti, tersebut diperbanyak untuk dipergunakan sebagai desain undangan perhimpunan tersebut. Undangan tripartit yang akhirnya tersebar dengan melibatkan Dirjen Perlindungan HAM Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, serta Instituto Italiano di Cultura itu, merupakan undangan pementasan lakon ''Liang Shanbo and Zhu Ying Tai'', 30 November lalu. Karena tanpa seizin Remy Sylado selaku pemilik hak cipta foto tersebut, pemilik nama asli Japi P.A Tambajong itu melayangkan tuntutannya. Namun, Perhimpunan Inti kemudian secara terbuka menyatakan permintaan maafnya. ''Kami secara terbuka meminta maaf kepada Bapak Remy Sylado,'' kata Ulung Rusman, ketua departemen pemuda organisasi tersebut. Remy Sylado menerima permintaan maaf tersebut. ''Yang saya lakukan semata-mata adalah pembelajaran agar semua pihak mulai belajar menghargai hasil karya orang lain,'' kata Remy. (G20-43)

Rabu, 20 Februari 2008

konflik FFI 2005

Jumat, 23 Desember 2005. BUDAYA
Shanker Minta Maaf,
Juri FFI ke Jalur Hukum
Soal Isu Piala Citra Bisa Dibeli

JAKARTA - Shanker RSJ, produser PT Indika Entertainment, yang pekan lalu mengatakan Piala Citra dalam Festival Film Indonesia (FFI) 2005 dapat dibeli, akhirnya mencabut pernyataannya dalam sebuah pertemuan di Gedung Perfilman Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N), Jl MT Haryono, Jakarta, Rabu (21/12) lalu. Produser film Detik Terakhir itu juga meminta maaf kepada BP2N, selaku penyelenggara FFI 2005, dan dewan juri. Para juri film bioskop yang hadir, yakni Eros Djarot, Sophan Sophiaan, Prof Sarlito Wirawan, Angelina Sondakh dan Dr Tanete menyatakan menerima permintaan maaf tersebut. Namun, mereka tidak menutup kemungkinan melanjutkan perkara ini ke pengadilan. ''Saudara Shanker telah melakukan fitnah yang teramat sangat keji kepada dewan juri yang kredibilitasnya seolah dinafikan dengan mengatakan Piala Citra bisa dibeli,'' ungkap Sophan dengan nada sangat tinggi.
Kemarahan Sophan serta anggota dewan juri lainnya memang beralasan. Satu hari setelah malam puncak FFI 2005, 15 Desember lalu, Shanker mengatakan Piala Citra dapat dibeli. Pernyataan itu terlontar setelah dua artisnya Cornelia Agatha dan Sauzan yang dijagokan lewat film Detik terakhir gagal meraih Piala Citra. Dewan Juri FFI, BP2N, dan Ketua Pelaksana FFI 2005 Adi Soeryaabdi langsung membantah pernyataan tersebut. Mereka meminta Shanker meluruskan persoalan tersebut. Setelah melalui debat yang sangat alot, Shanker yang merasa pernah ''ditawari'' salah seorang humas panitia FFI 2005, mengakui kesalahannya. ''Saya mencabut semua pernyataan saya bahwa Piala Citra 2005 dapat dibeli, sekaligus meminta maaf kepada Dewan Juri, BP2N dan Panitia Pelaksana FFI 2005,'' katanya. Sementara itu, Eros Djarot yang memastikan diri akan memaafkan Shanker menyatakan tetap akan meneruskan kasus ini ke pengadilan. ''Ini negara hukum, masalah memaafkan itu adalah hal yang mudah, tapi you have to talk to my lawyer,'' kata sutradara Tjoet Nja' Dhien itu singkat. Demikian halnya Prof Sarlito Wirawan, Angelina Sondakh, Dr Tanate, dan Sophan Sophian, masih berpikir untuk membawa masalah ini ke pengadilan. ''Saya belum pernah merasa terhina dalam hidup saya, sebagaimana Anda menghina saya dan para dewan juri lainnya lewat kasus memalukan ini,'' kata Sophan. Menggantung. Ketua BP2N Jhoni Safrudin belum memastikan apakah oknum panitia humas FFI 2005 yang diindikasikan menawarkan Piala Citra dengan imbalan sejumlah uang akan dituntut secara hukum atau tidak. ''Kami masih melakukan proses ke dalam, apakah oknum tersebut benar-benar telah melakukan penawaran atau tidak,'' katanya. Edi Muhtadi, humas panitia FFI yang ditengarai berupaya melakukan penawaran kepada Shanker membantah tuduhan tersebut. ''Tidak benar saya telah melakukan penawaran kepada Shanker, yang saya bicarakan adalah dalam konteks wacana, dan nyatanya saya memang tidak menerima sepeser pun,'' kata wartawan Pos Kota ini. Untuk menindaklanjuti penyataan Edi Mohtadi, BP2N akan melakukan penyelidikan ke dalam lebih lanjut. ''Kalau ini berhubungan dengan personal, maka personal itu yang harus bertanggung jawab. Tapi, kalau dengan institusi, sayalah orang pertama yang bertanggung jawab,'' tegasnya. (G20-43)

Citra 2005

Jumat, 16 Desember 2005. NASIONAL
Piala Citra 2005
Nicholas Saputra dan Marcela Terbaik

JAKARTA-Usai sudah acara puncak penyerahan Piala Citra 2005 untuk insan perfilman di Tanah Air yang digelar di Jakarta Convention Center, Senayan, Jakarta, semalam. Ajang tertinggi barometer film cerita bioskop yang dihadiri dan dibuka oleh Menteri Negara Budaya dan Pariwisara Jero Wacik ini akhirnya menetapkan Nicholas Saputra sebagai Pemeran Utama Pria Terbaik dan Marcela Zalianti sebagai Pemeran Utama Wanita Terbaik. Sedangkan Hanung Bramantyo (Brownies) ditetapkan sebagai Sutradara Terbaik menggungguli Riri Riza (Gie) dan Rudy Sudjarwo (Tentang Dia). Dan film Gie dipilih oleh dewan juri yang terdiri atas Marcelli Sumarno, Angelina Sondakh, JB Kristanto, Eros Djarot, dan Sarlito Wirawan sebagai Film Terbaik. Dalam acara yang berlangsung meriah dan terbilang sukses itu, Jhoni Safrudin, Ketua Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N) selaku penyelenggara FFI, menyatakan kepuasannya. "Setelah tahun lalu (FFI 2004) berlangsung dengan apa adanya karena campur aduk dengan penyerahan Piala Vidia, Alhamdullilah tahun ini semua berjalan dengan baik," tuturnya menjelang detik-detik penyerahan Piala Citra. Kebahagiaan Jhoni serta Adi Soeryabdi selaku Ketua Pelaksana memang beralasan. Meminjam bahasa Jero Wacik, setelah 12 tahun FFI mandek dan baru bergulir tahun lalu, iklim kebangkitan industri sinema di Indonesia seolah terbayarkan dengan bergulirnya kembali FFI tahun ini. "Meski belum sempurna dan menyenangkan semua orang, namun paling tidak FFI 2005 ini terus mengalami perbaikan-perbaikan," tutur Jero ketika ditemui di Gedung Sapta Pesona, Medan Merdeka, Jakarta. Suara Sumbang . Ketidakmampuan menyenangkan semua orang yang dimaksud menteri adalah merujuk pada banyaknya suara sumbang tidak dimasukkannya film Rindu Kami Pada-Mu karya Garin Nugroho oleh Komite Seleksi Film. Mengingat karya sutradara kawakan itu justru mendapatkan apresiasi di festival-festival mancanegara yang terhitung berwibawa dan terhormat. "Setiap penjurian mempunyai kriterianya sendiri-sendiri dan kacamata dewan juri dari setiap festival pasti berbeda," tutur Jhoni. Dalam catatan BP2N, sepanjang tahun 2005 ini lebih dari 40 judul film bioskop telah dipoduksi. Ini lebih banyak dari standar produksi film di negara-negara Asia Tenggara yang rata-rata hanya 30-an judul film. Acara yang juga dihadiri oleh para pekerja film seperti Cok Simbara, Ferry Salim, Marcella Zalianty, Didi Petet, Dedi Gumilar, Sherina, Dwiki Reza, Rachel Maryam Sayidina, Surya Saputra, Dina Olivia, Mathias Muchus, Yenny Racham, Dede Yusuf, Ari Sihasale, Ria Irawan, dan Indra Warkop itu, juga menyerahkan tiga penghargaan khusus. Untuk Lifetime Achievement Award diberikan kepada Pietrajaya Burnama atas dedikasi dan jasanya terhadap dunia film Indonesia (127 film). Penghargaan Antemas untuk film cerita bioskop yang meraih penonton terbanyak (mencapai 1 juta penonton) diberikan kepada Virgin. Sementara Njoo Hansiang Award, sebuah penghargaan untuk produser film yang paling banyak menggunakan jasa produksi di dalam negeri diberikan pada PT Kharisma Starvision Plus. (Benny Benke-45)

Peraih Piala Citra:
Pemeran Utama Wanita Terbaik: Marcela Zalianti (Brownies)
Pemeran Utama Pria Terbaik: Nicholas Saputra (Gie)
Sutradara Terbaik: Hanung Bramantyo (Brownies).
Film Terbaik: Gie
Pemeran Pendukung Wanita Terbaik: Adinia Wirasti (Tentang Dia)
Pemeran Pendukung Pria Terbaik: Gito Rollies (Janji Joni)
Penulis Skenario Terbaik: Musfar Yasin (Ketika)
Editing Terbaik: Yoga K Koesprapto (Janji Joni)
Penata Sinematografi Terbaik: Yudi Datau (Gie)
Penata Artistik Terbaik: Frans XR Paat (Virgin)
Tata Suara Terbaik: Asifa Nasution dan Adi Molana (Brownies)
Tata Musik Terbaik: Anto Hoed (Tentang Dia)
Film Pendek Terbaik: Kara Anak Sebatang Pohon (Edwin)
Film Dokumenter Terbaik:Pakubuwono XII, Berjuang untuk Eksistensi (IGP Wiranegara).

Bubi Chen

Jumat, 16 Desember 2005. BUDAYA
Bubi Chen Bidani Band Rock Progresif
JAKARTA-Apa jadinya jika tangan dingin salah seorang maestro jazz Tanah Air membidani lahirnya sebuah grup band rock? Tentu saja musik rock hasil racikan Libero, band yang ditulangpunggungi tiga murid terbaik Bubi Chen, sedikit banyak bercorak jazz. Ya, Roval (bas), Pri (gitar), dan Lulu (organ), adalah anak didik Bubi Chen dengan catatan prestasi yang mengesankan. Bersama Cissy (vokal) dan Grant Collins (drum) mereka mengibarkan bendera Libero dengan mengusung corak rock komersial. ''Dengan ikhtiar memadukan antara kualitas bermain musik dan mempertimbangkan selera dengar masyarakat, kami merilis album perdana ini,'' ujar Roval di MU Cafe, Sarinah, Jakarta, kemarin. oval adalah mantan basis Rasio, sebuah grup band yang pernah melahirkan nama Ita Purnamasari. Album bertajuk Libero: Di Balik Rock yang merangkum sepuluh tembang ini, oleh Pri yang pernah membimbing Piyu Padi dan Jhon Paul Ivan (eks Boomerang), tidak hanya disulap bernuansa jazzy. ''Kami meramunya dalam nuansa progressive rock yang tetap easy listening,'' ujar Pri. Sedangkan menurut Lulu yang pernah memenangkan beasiswa musik klasik dari Royal School of Music London, corak Libero ia poles dengan nuansa organ tahun 70-80-an. ''Mungkin karena saya senang dengan nuansa rock klasik,'' tuturnya sesuai memainkan repertoar yang mengingatkan pada permaian organ Jhon Lord dari Deep Purple. Kepiawaian Roval, Pri, dan Lulu ini disempurnakan dengan permainan drum Grant Collins. Drummer dari Australia ini pernah menyandang gelar sebagai Monster from Down Under oleh majalah Modern Drums dan an One Man Percussion Ochestra oleh majalah Drum Scene. Collins yang sempat menunjukkan aksi solo drumnya lebih dari sepuluh menit itu, bahkan pernah memenangkan The Australian Academy of Music Composisition Competition. Sekarang ia sedang menyelesaikan program doktoral (S3) dalam bidang Drums and Music Composition. ''Keikutsertaan Collins ke Libero tanpa sebuah kesengajaan,'' ujar Benny Chen, putra kedua Bubi Chen selaku produser Libero. Menurut dia, awalnya Collins yang sedang mengisi klinik drums di Surabaya hanya ingin dimintai tolong untuk sekadar mengisi sebuah tembang. ''Saya ternyata tertarik dengan grup band ini. Maka Bergabunglan saya hingga usainya album ini,'' tutur Collins yang musti rela wara-wiri Australia-Indonesia. Hasil dari perkawinan musik jazz dan rock progresif itu adalah musik komersial rock ala Libero. Bahkan dengan kemampuan teknis yang baik, kehadiran alat musik tradisional India seperti tabla dan sitar semakin memperkaya corak Libero. Apa komentar Bubi Chen terhadap band ini? ''Bagus. Ayah bilang bagus, mereka bermain dengan feeling dan memang kena feeling-nya,'' ujar Benny Chen menirukan ucapan ayahnya. Apakah kemampuan teknis yang apik dari setiap personel Libero akan berbanding lurus dengan selera pasar? ''Kami kembalikan semua kepada selera pasar. Toh, kami sudah berusaha memberikan yang terbaik dari yang kami punya,'' tandas Roval setelah mengantarkan single hit ''Dia Tak Tahu'' dan ''Demi Waktu''. (G20-45)

FFI (lagi)

Rabu, 14 Desember 2005. BUDAYA
Film Terbaik Belum Tentu Dihasilkan Sutradara Terbaik
JAKARTA-Setelah melewati proses penjurian secara maraton, lima sutradara dan lima film terbaik bersaing ketat untuk memperebutkan Piala Citra di FFI 2005. Ajang tertinggi barometer film cerita bioskop di Tanah Air ini juga akan memberikan tiga penghargaan khusus.
Siapakah di antara Hanung Bramantyo (Brownies), Rudi Sudjarwo (Tentang Dia), Joko Anwar (Janji Joni), Hanny R Saputra (Virgin), dan Riri Riza (Gie) yang akan menjadi sutradara terbaik? Siapa pula di antara Janji Joni, Gie, Ketika, Brownies, dan Virgin yang akan menjadi film terbaik. Lantas, siapakah yang akan menerima Lifetime Achievement Award, Antemas, dan Njoo Hansiang Award? Menurut Jhoni Safrudin, Ketua Badan Pertimbang Perfilman Nasional (BP2N) selaku penyelenggara FFI, siapa pun yang akan dinobatkan oleh para dewan juri untuk meraih Piala Citra adalah yang terbaik. ''Bagaimanapun juga dewan juri mempunyai standar penilaian yang telah mereka tetapkan kriterianya,'' tuturnya, kemarin. Menurut Jhoni yang mengaku "hanya" mengeluarkan dana sebesar Rp 1,7 miliar untuk mengadakan FFI 2005, 12 nominasi yang ditetapkan telah melalui proses penilaian maraton yang panjang. Pertama, juri yang masuk Panitia Komite Seleksi Film yang terdiri atas Nano Riantiarno, Niniek L Karim, Edi D Iskandar, Toto Indarto, dan Prof Yasmin Zaki Zahab telah menyaring 12 nominasi yang telah ditetapkan. Setelah itu, dewan juri yang telah menerima sortiran nama dari Komite Seleksi Film menindaklanjuti dan kembali menyaring dan mengerucutkan nama. Dewan juri yang terdiri atas Marcelly Sumarno, Angelina Sondakh, JB Krisrtanto, Eros Djarot, dan Sarlito Wirawan menyusun kriteria yang mereka tetapkan. Menghormati Juri. Riri Riza ketika dihubungi menyatakan apapun yang dinilai dewan juri seyogiyannya semua nomine menghormatinya. ''Setiap festival mempunyai kriteria penilaiannya sendiri dan standar itu pasti tidak ada yang jelek,'' katanya. Nama Riri Riza, yang filmnya (Gie) bahkan masih dipertimbangkan untuk masuk tahapan penilaian tim juri untuk Foreign Language Academy Award (Oscar) mendatang, memang dijagokan meraih film terbaik sekaligus sutradara terbaik. ''Saya tidak berkomentar untuk hal itu,'' katanya merendah. Menurut Rudi Sudjarwo, nama Riri Riza memang sangat pantas untuk dipertimbangkan. ''Selain secara teknis Gie detail dan kolosal. Keaktoran pelakonnya pun bisa diandalkan,'' tutur Rudi yang namanya juga dijagokan menjadi sutradara terbaik. Rudi menambahkan, Riri yang terkenal dengan kedetailannya akan bersaing keras dengan film Ketika yang menurut penilainnya komplet. '' Janji Joni yang disutradarai Joko Anwar menurut Rudi dan Riri memang asyik sebagai sebuah film. ''Janji Joni selain lancar menuturkan cerita yang simpel, bahasa gambarnya juga bagus,'' ujar Riri. Sedangkan film lainnya seperti Brownies dan Virgin menurut mereka berdua masih mempunyai kesempatan yang sama dengan nomine lainnya. Menurut Jhoni Safrudin, tidak semua sutradara yang baik akan menghasilkan film yang baik. Jadi, film terbaik belum tentu dihasilkan oleh sutradara terbaik. ''Kasus ini terbukti pada penyelenggaraan FFI 2004 lalu,'' katanya. FFI tahun lalu Rudi Sudjarwo yang menyutradari Ada Apa Dengan Cinta menjadi sutradara terbaik. Sedangkan film Arisan yang disutradarai oleh Nia Dinatta ditetapkan menjadi film terbaik. (G20-45)

Shinta Obong

Selasa, 06 Desember 2005. BUDAYA
Film "Sinta Obong" Menuai Protes
JAKARTA-Sehubungan dengan artikel Sinta Obong di majalah Tempo (9/10) mengenai proses pembuatan film yang salah satunya dibintangi Artika Sari Dewi, International General Secretariat World Hindu Youth Organization (WHYO) memprotes film Sinta Obong yang disutradari oleh Garin Nugroho. Organinasi intelektual yang berkantor pusat di Denpasar, Bali, itu mengajukan somasi terhadap film yang dianggap melecehkan simbol agama Hindu, Kitab Ramayana. ''Ada dua hal yang membuat kami keberatan terhadap film Sinta Obong,'' terang Anak Agung Ngurah Arya Wedakarna, SE, MSi, Presiden WHYO ketika dihubungi, kemarin. Pertama, film yang akan diikutkan dalam perayaan 250 tahun Mozart di Wina, Austria, itu dalam beberapa adegannya menyalahi kakawin Ramayana. Kedua, penggambaran Rama dan Sinta tidak sesuai dengan pakem aslinya. ''Ramayana adalah kitab suci bagi agama Hindu jadi penginterpretasiannya tidak bisa sembarangan seperti itu,'' imbuh Arya yang mengklaim telah mengirimkan surat keberatan kepada panitia Perayaan 250 Tahun Mozart untuk me-recall film Sinta Obong jika pembuatnya tidak melakukan perubahan-perubahan. Opsi. WHYO yang mempunyai kantor cabang di India, Amerika, Malaysia, Singapura, Australia, Nepal, Sri Lanka, dan Thailand itu juga telah mengirimkan surat keberatan kepada pihak SET (Science, Estetika, dan Teknologi) dan Garin Nugroho. ''Kami memberikan dua opsi kepada Mas Garin jika tetap ingin menayangkan Sinta Obong''. Pertama, jika ingin tetap menayangkankan film tersebut berarti tidak boleh memakai Kakawin Ramayana sebagai pijakan. Kedua, bagian kontraversi seperti penggambaran Sinta yang hiperseksual dan pembunuhan Sinta oleh Rama dihilangkan. ''Bagaimana pun ini adalah kitab suci,'' tekannya. Meski belum mendapatkan jawaban dari pihak SET dan Garin, WHYO berharap SET dan Garin mempunyai niat baik terhadap keberatan tersebut. ''Kalaupun Mas Garin tidak menanggapi, kami percaya hukum karma,'' imbuh Arya yang juga pernah memprotes sampul kaset album Iwan Fals dan novel Dewi ''Dee'' Lestari, yang dianggap juga melecehkan simbol-simbol agama Hindu. Garin Nugroho sendiri ketika dihubungi menyesalkan jika ada protes yang terlalu prematur ditujukan kepada film terbarunya tersebut. ''Terlalu prematur jika memprotes film ini. Apalagi ini kan masih dalam proses editing,'' tuturnya. Bahkan, imbuhnya, sebagai sutradara dia juga belum tentu memberi judul film terbarunya tersebut dengan Sinta Obong. Garin yang masih berada di Aceh juga berencana akan mengadakan jumpa pers dalam waktu dekat untuk meluruskan sebuah persoalan yang mulai mencuat kepermukaan tersebut. Meski secara tidak langsung mengatakan akan melakukan perlawanan, Garin juga menyesalkan kecenderungan kesenian yang selalu "dikalahkan" jika berhadapan dengan interpretasi keagamaan. ''Ini akan menjadi preseden yang buruk bagi perkembangan kesenian di negeri kita,'' katanya. (G20-45)