Selasa, 11 Maret 2008

Sugeng Sarjadi

Jumat, 08 September 2006 . BUDAYA
Jazz Islami Sugeng Sarjadi
Produser Bintang Indrianto merilis album Sound of Belief di Grand Wijaya Center, Jakarta, kemarin. Album di bawah label Indie Jazz itu berisi 12 tembang. Empat lagu baru dan delapan komposisi yang meraih sukses lewat album The Sound of Belief tahun 2004. Motor penggarapan album itu Sugeng Sarjadi. Ekonom, politikus, sekaligus pengusaha yang getol bermain jazz itu mengancangkan album tersebut untuk menyambut Ramadan.
''Tujuan paling mendasar mengisi pangsa pasar musik jazz yang islami,'' ujar Bintang Indrianto. Dia menuturkan peredaran 15.000 kopi album itu di bawah bendera Sony-BMG. Album beraliran fusion jazz itu diracik Dewa Budjana, Tohpati, Idang Rasjidi, Balawan, dan Nya' Ina Raseuki (Ubiet). ''Jazz itu tiada batas. Ia dapat membaca keluasan genre musik apa pun,'' kata Denny Chasmala, sang pengaransemen dan komponis. Musikus lain yang terlibat antara lain Dian HP, Netta, Joel Achmad, Gerry Herb, Hendri Lamiri, Mates, Sa'at, dan Rayendra Soenito. Mereka biasa terlibat pula album rohani kristiani. ''Justru itu makin menunjukkan betapa lewat musik nilai kejujuran musikalitas dikedepankan. Di sinilah Pancasila termaknai,'' kata Sugeng Sarjadi. Simaklah, lewat tembang ''Chanting for Life'', ''Tears of Knowing You'', dan ''Im Talking To You'', syair islami hingga salawat Nabi mengalir dalam nuansa jazz. Petilan doa sampai suara azan menjadi bagian tak terpisahkan pula. Akrab . Di tangan Sugeng Sarjadi, jazz jadi begitu islami. Tidak menjelimet dan cenderung melenakan. ''Kami hanya ingin menawarkan alternatif, betapa musik jazz bisa kita jadikan sarana doa untuk mendekatkan diri pada Sang Pencipta,'' ujarnya. Dengarlah, lewat tembang ''The Opening, Muhammad Miracles'' hingga ''Let's Give Shalawat A Swing'', jazz jadi begitu akrab. Apakah itu tak menyalahi kaidah keislaman? Utomo dari Paramadina menuturkan sejauh musik mensyiarkan kemuliaan dan mengajak ke kebaikan, tak jadi masalah. ''Karena Tuhan tidak cerewet dan memberikan kebebasan kreatif kepada umat. Meski, tetap pada asas kepatutan dan kewajaran.'' Sugeng Sarjadi menuturkan pernah memperdengarkan album itu di Majelis Ulama Indonesia (MUI). ''Jadi, insya Allah, tak ada kontroversi dengan album ini.'' (Benny Benke-53)

Sukmawati Soekarnoputri

Selasa, 05 September 2006. BUDAYA
Sajak Sukma buat Ibu
JAKARTA - "Smile, coward/smile till your last breath/It show that you are a psychopath.//Do you know the difference between the true warrior and the crooked?/Do you know, coward/Your smile is disguisting/And when you die, we will see without our tears."

Petilan sajak "The Coward General" (Juli 2000) itu tak merujuk ke nama tertentu. Namun, karena sang penulis adalah Sukmawati Soekarnoputri, tentulah tentu bisa terbaca kepada siapa sebenarnya sajak itu diperuntukkan. Ya, sajak itu satu dari 40 sajak terbaru Ketua Umum Partai Nasional Indonesia (PNI). Kini, puluhan sajak itu dibukukan dalam kumpulan Ibu Indonesia terbitan Rakyan Adhi Putra. Lewat kumpulan sajak itu, Sukma merasa lebih lepas, bebas, kreatif, dan ekspresif menumpahkan jiwa seni. Lulusan Jurusan Tari Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (sekarang IKJ) itu menuturkan sajak adalah sarana paling efektif untuk menyampaikan ide dan kegelisahan secara estetis. ''Setelah 1995 saya membukukan kumpulan Puisi untuk Bapak. Alhamdullilah, tahun ini saya berhasil melahirkan kumpulan puisi kedua,'' ujar perempuan kelahiran Jakarta, 26 Oktober 1951, itu. Sebagian besar sajak tulisan antara akhir tahun 1991 dan Oktober 1999 itu berkisah tentang ibu dari segala sisi, teristimewa Ibu Indonesia. Beberapa berkisah tentang ihwal yang erat bertalian dengan keindonesiaan. Misalnya, ujar dia, sajak "Rama dan Rahwana" (1994), "Kepada Bangsa Yahudi" (1995), "Tragedi 27 Juli" (1996), "Go Home Yankees" (1997), dan "A Nation in Waiting" (1999).
Dia menyatakan bangga, menghargai, dan mencintai kreativitas ibu-ibu Indonesia. ''Karena itu, sebagai seniman saya persembahkan kumpulan puisi ini untuk Ibu Indonesia,'' ujar dia. Kumpulan sajak itu juga memperoleh sentuhan estetis dari Poppy Darsono, Ghea Panggabean, Dolo Rosa, dan Titi Qadarsih. (G20-53)

Agni

Sabtu, 26 Agustus 2006 . NASIONAL
Agni dari Jateng Puteri Indonesia 2006

JAKARTA-Agni Pratistha Arkadewi yang mewakili Jawa Tengah terpilih sebagai Puteri Indonesia 2006. Mahasiswi S-1 Desain Komunikasi Universitas Bina Nusantara itu mengungguli Ananda wakil dari Kalimantan Selatan sebagai runner up I dan Rahma M Landy wakil dari DKI Jakarta 5 sebagai runner up II. Setelah sebelumnya lolos dalam babak 5 besar dan 10 besar serta mengungguli 37 konstestan lainnya yang terdiri dari 33 provinsi di Indonesia, dara ayu kelahiran Canbera, Australia 8 Desember 1987 itu akhirnya mengenakan mahkota tiara yang pernah dikenakan Puteri Indonesia 2005, Nadine Chandrawinata. Terkejut . Seusai mengayunkan langkah dan lambaian pertamanya sebagai Puteri Indonesia 2006, kepada wartawan, adik model dan pemain film Sigi Wimala itu menyatakan keterkejutannya. "Saya tidak menyangka terpilih sebagai Puteri Indonesia 2006. Mengingat semua kontestan mempunyai kesempatan dan kemampuan yang merata," katanya terbata di Teater Tanah Airku, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, semalam (25/8). Menurut Todung Mulya Lubis, salah satu juri, kemenangan Agni diperoleh karena kemampuan dan kelengkapannya dalam menggabungkan tiga kriteria. "Dia mempunyai tiga syarat utama sebagai seorang puteri, yaitu brain, beauty dan behaviour." Dengan terpilihnya gadis bertinggi 175 cm itu, maka proyeksi Yayasan Puteri Indonesia untuk mengikutkannya dalam ajang Miss Universe 2007 semakin terbuka lebar. "Jika semua berjalan dengan lancar, kami akan mengikutkan Agni dalam ajang Miss Universe 2007, sebagaimana yang telah ditempuh Nadine," ujar Mooryati Sudibyo. Terpilihnya Agni sebelumnya sudah banyak ditebak berbagai kalangan karena kecakapannya dalam menjawab pertanyan dewan juri. Dalam sesi pertanyaan pamungkas tiga besar, dia yang diberi pertanyaan apa pendapatnya perihal wilayah geografis Indonesia yang terdiri dari lautan dan daratan. (Benny Benke-64)

Camus: Teroris

Kamis, 10 Agustus 2006. BUDAYA
Teroris Juga Manusia
"Pengeboman, teror, dan kekerasan bukanlah cara yang tepat sebagai pembenaran perjuangan, apa pun alasannya." KALIAYEV/Yanek (Joind Bayuwinanda) memekikkan kalimat itu, setelah urung mengebom iring-iringan kereta para bangsawan. Sebab, di dalam kereta itu ada anak-anak. Kegagalan membunuh bangsawan tiran Rusia itu menimbulkan pertentangan di kalangan para teroris. Bagi Stevan (Soepri Boemi) yang radikal, segala cara adalah halal. "Apa gunanya menyelamatkan beberapa anak kecil, sementara nasib ribuan anak kecil lain di luar sana tak jelas juntrungannya karena tiran terlalu lama berkuasa?" ujar Stevan. Sejak kegagalan itu, Annencov/Boria (Madin Tyasawan), Dora (Lisa A Ristagi), Voinov (Ndang Rumeksa), Yanek, dan Stevan berdebat soal tujuan perjuangan mereka. Itulah yang terbeber dalam naskah Teroris karya Albert Camus. Naskah yang diterjemahkan dengan cerdas oleh Arief Budiman itu mengalir dengan garang, lempang, dan penuh dialog perihal eksistensialisme. Camus sebagai filsuf besar melalui naskah drama itu bukan cuma menghadirkan teroris sebagai sekumpulan manusia tanpa hati. Dia melontarkan berbagai pertanyaan mengenai arti kemanusiaan, tujuan perjuangan, dan cinta. Dan semua itu mengalir secara cerdas melalui para pelakon. Naskah itu mementahkan pencitraan teroris yang selama ini cenderung identik dengan manusia tanpa budi yang selalu menghalalkan segala cara. Ya, teroris toh manusia juga. Teater Stasiun mementaskan naskah itu, Senin (7/8), di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Teater Stasiun yang tiga kali (1994, 1995, dan 1996) menjuarai Festival Teater Jakarta menyajikan Teroris dengan pendekatan realis dan penataan panggung minimalis. Kemampuan para aktor menafsirkan naskah yang disutradarai Edi Yan Munaedi itu tak mengecewakan. Namun dalam beberapa adegan terlalu berlebihan dan terlalu didrama-dramakan. Mereka cenderung mengabaikan naturalisasi sebagai salah satu kekuatan akting. Untung, pilihan naskah yang bernas dengan dukungan musik minus one dan pencahayaan temaram mampu menghidupkan roh pertunjukan. (Benny Benke-53)

Sawung Jabo

Selasa, 08 Agustus 2006. BUDAYA
Mengagumi Kematangan Sawung Jabo
JAKARTA-Luar biasa. Demikianlah yang dirasakan ratusan penonton yang menyaksikan konser "Antalogi Sawung Jabo: Satu Langkah Sejuta Cakrawala" di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM), Sabtu (5/8) malam. Penyandang nama asli Mochamad Djohansyah kelahiran Surabaya 4 Mei 1951 itu seolah tak memberikan ruang bernafas kepada penikmatnya selama 90 menit aksinya. Betapa tidak, begitu WS Rendra usai merampungkan sajak pembuka, dia bersama 12 musisi pendukungnya langsung menggeber lagu layaknya kereta. Nyaris tidak ada jeda. Setiap tembang purna dilantunkan, tanpa basa basi atau retorika dia melanjutkan ke tembang selanjutnya. Demikian seterusnya sampai-sampai penonton harus bersabar menepukkan kegembiraan dan keterpesonaan mereka hingga konser benar-benar usai. Suami Susan Piper yang malam itu tampak kalem, santun, dan matang itu memang jauh dari stigmanya selama ini. Masih hangat dalam ingatan ketika dia biasanya binal dan liar di atas panggung. Baik ketika masih bergabung dengan kelompok Swami, Kantata Takwa, maupun Sirkus Barock, dialah yang biasanya paling pertama mengobarkan keliaran. Dalam konser yang juga disaksikan teman-teman tercintanya seperti Jockie Soerjoprajogo, Setiawan Djodi, Eros Djarot, dan beberapa nama sohor lainnya, tak ada lagi pekikan lepas, tidak juga teriakan, apalagi kaos yang terlepas dari tubuhnya. Bahkan beranjak dari tempat duduknya pun tidak Jabo lakukan. Semua mengalir dengan detail, kusyuk, terperi, dan melenakan. Di atas panggung, Jabo hanya bersila seperti orang mengaji yang takzim dengan dirinya sendiri. Aura Kedalaman. Dalam tempo lambat lagunya tak jarang dia hanya menggerak-gerakkan jarinya ke atas, sembari menggoyangkan sedikit tubuhnya ke kiri dan ke kanan. Sementara matanya cenderung terpejam seperti sedang merasakan sebuah aura kedalaman. Bila sebuah lagu telah jeda, dia hanya mengatupkan kedua tangannya di muka dan dahinya, sembari sedikit menundukkan kepala, tanda penghormatan kepada penonton. Selanjutnya, tanpa memberikan kesempatan kepada penonton yang hendak memberikan penghormatan balik dengan tepukan tangan, dia mengalirkan lagu selanjutnya. Semua lagu hits Jabo yang terangkum dalam single album Anak Setan (1975), Fatamorgana (1994), Jula Juli Anak Negeri (2001), Musik dari Seberang Laut (1997), dan Ada Suara tanpa Bentuk (2001) mengalir dengan apik dalam aransemen baru. Musisi pendukungnya seperti Totok Tewel, Inisisri, Gondrong Gunarto, Baruna, dan istri tercinta Susan Viper, serta beberapa nama lainnya, dengan andal dan penguasaan musik yang matang, semakin membuat bernas konser yang akan dikelilingkan di Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya itu..
''Saya hanya ingin menggambarkan konser ini dalam sebuah tarikan napas dari persenyawaan pengalaman hidup dan pengalaman batin saya,'' katanya di belakang panggung. (Benny Benke-45)

''The 1st Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF) 2006''.

Senin, 07 Agustus 2006. BUDAYA
Festival Film Asia di Yogyakarta
JAKARTA-Garin Nugroho menggelar sebuah festival film bergengsi tingkat Asia di Yogyakarta. Festival film yang diikhtiarkan untuk dapat kembali mengangkat nama Yogyakarta setelah terkena gempa itu bertajuk ''The 1st Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF) 2006''. Dengan mengambil tema ''Sinema di Tengah Krisis'', festival yang juga sekaligus dibarengkan dengan HUT Ke-250 Kota Yogyakarta itu difasilitasi Yayasan Konfiden, sebuah institusi penggiat film di kota itu. Festival yang juga dimaksudkan sebagai jendela budaya bangsa itu akan menayangkan tidak kurang dari 50 komunitas film, yang terdiri atas film dokumenter, film pendek, film cerita, film animasi, dan beberapa kategori lainnya. The 1st Jogja-Netpac Asian Film Festival 2006 yang digelar 7-12 Agustus 2006 akan dibuka dengan film Opera Jawa karya Garin Nugroho dan ditutup dengan Blue Cha Cha karya Cheng Wen-tang dari Taiwan. Tercatat 18 film cerita dari Asia yang berkisah tentang tragedi dan harapan akan diputar di Benteng Vredenburg, LIP, Studio 21 Ambarukmo, dan Bioskop Mataram, Yogyakarta. Sejumlah film dari Timur Tengah seperti dari Irak, Iran, Lebanon, dan Afghanistan akan bertarung memperebutkan Golden Hanoman dan Silver Hanoman dengan film dari China, Taiwan, Hong Kong serta Indonesia. Film terbaru dari Indonesia yang diikutsertakan antara lain Koper (Richard Oh), Betina (Lola Amaria), Aries (Faozan Rizal), dan Opera Jawa (Garin Nugroho). Sedangkan untuk kategori film dokomenter, film Gerimis Kenangan, dari Sahabat Terlupakan (Seno Joko Suyono dan Benny Benke), Terlena (Andre Vltchek), Ketika Tinta Bicara (Yuda Kurniawan A), serta Foto, Kotak dan Jendela (Angga Dwimas Sasongko).(G20-45)

the ant bully

Sabtu, 05 Agustus 2006. BUDAYA
Preview "The Ant Bully"
Belajar dari Semut

Dari mana manusia bisa memetik pelajaran betapa arti penting kebersamaan? Dari semut. Itulah jawaban yang diberikan film animasi The Ant Bully karya sutradara John A Davis berdasar buku John Nickle ini.
Apa lagi kebijakan yang bisa dicontoh agar bisa senantiasa bergotong royong? Toleransi. Ya, dengan toleransi, semangat gotong royong pun terpupuk. egitulah pesan utama film yang diproduseri Tom Hanks dan Gary Goetzman ini. Meski "cuma" film animasi, penggarapan The Ant tak main-main. Aktor dan aktris kelas satu Hollywood, seperti Julia Robert, Nicolas Cage, dan Meryl Streep, menjadi pengisi suara para tokoh utama. Dan itu cukup efektif untuk membujuk para pencinta ketiga bintang tersebut datang ke gedung bioskop. Film ini juga didukung teknologi komputer animasi berbasis seni yang dapat menghasilkan gambar nan elok. The Ant tak ubahnya film animasi Goetzman terdahulu, The Polar Express. Film ini bertutur melalui bahasa sederhana. Namun di tangan sutradara yang pernah diunggulkan meraih Academy Award lewat film Jimmy Neutron: Boy Genius, The Ant patut menjadi pilihan sebagai tontonan keluarga. Alkisah, Lucas Nickle (Zach Tyler Eisen), bocah berusia 10 tahun, tak punya kawan, kecuali kakak perempuannya, Tiffani (Allyson Mack). Ketika pada akhir pekan kedua orang tua mereka berpergian ke Puerto Vallarta, lengkaplah kesendirian Lucas. Apalagi sang nenek yang dia cintai, Momo (Lily Tomlyn), sudah pikun dan sibuk dengan fantasi tentang makhluk ruang angkasa. Keadaan memburuk karena anak tetangga sebelah selalu menjadikan dia bulan-bulanan. Lucas tertekan. Ketertekanan emosional membuat dia melampiaskan amarah ke sebuah sarang semut. Sarang semut di halaman rumah itu porak-poranda ketika Lucas menyemprotkan pistol air. Nun jauh di dalam tanah, komunitas semut gerah atas aksi Lucas. Mereka menjuluki bocah itu sang perusak. Tak ada jalan lain bagi bangsa semut untuk mengatasi kebengalan Lucas, kecuali menyerang balik. Mereka dipimpin Wizard Ant Zoc (Nicolas Cage), semut dukun sakti yang berhasil menciptakan ramuan ajaib. Mereka pun mengubah Lucas menjadi seukuran bangsa semut. Kawanan semut itu lalu menculik dan menyekap Lucas di sarang mereka. Pengadilan para semut memutuskan Lucas bersalah. Ratu Semut (Meryl Streep) menjatuhkan hukuman: Lucas harus hidup bersama bangsa semut dengan segala aspek kehidupan mereka. Dia tak bakal dikembalikan ke ukuran asli sebagai manusia, sebelum bisa mengambil hikmah dari komunitas semut. (Benny Benke-53)

Mendadak Dangdut.

Jumat, 04 Agustus 2006. BUDAYA
Preview ''Mendadak Dangdut''
Kelucuan Serbamendadak
Ada yang menarik, segar, dan menghibur dari film terbaru Rudi Soedjarwo, Mendadak Dangdut. Bertolak belakang dari film terakhirnya, 9 Naga, yang mengalir serius, dalam film ini sutradara muda yang melejit lewat film Ada Apa dengan Cinta? itu menghadirkan keriangan dan penuh kelucuan. Monty Tiwa, penulis skenario kesayangan Rudi, bukan cuma menghadirkan skenario yang bernas dan cerdas. Jalinan cerita yang sangat membumi dan dekat dengan keseharian khalayak kebanyakan, dunia dangdut, membuat Mendadak Dangdut mengalir enak dan lancar. Kekuatan skenario berpadu dengan penyutradaraan yang baik serta polesan musik jitu Andi Rianto membuat film produksi Sineart Pictures itu boleh dibilang berhasil. Plus penampilan pintar para aktor utama, seperti Titi Kamal, Kinaryosih, Dwi Sasono, dan Sakurta H Ginting, kian lengkaplah film yang bakal beredar mulai Kamis (10/8) itu. Film ini cuma membutuhkan waktu syuting tak lebih dari tujuh hari di beberapa sudut sekitar Jakarta. Namun hal itu tak membuatnya kehilangan kualitas. Seusai pemutaran pra-edar di Jakarta, kemarin, Rudi menuturkan pilihannya pada drama komedi bukan tanpa alasan. ''Saya hanya ingin menghibur pononton. Ya, menghibur lewat ceritanya, lagu-lagunya, sampai kemampuan akting para pelakon,'' katanya di dampingi Titi Kamal, Kinaryosih, dan Dwi Sasono. Komunikasi. Dengan meneguhi konsep ''film bukan seni, film adalah komunikasi'', ujar dia, Mendadak Dangdut adalah film pertama dari tiga judul film yang akan dirampungkan dengan konsep serupa. Dua film lain yang masih diproses adalah Pocong, dan Maaf, Saya Menghamili Istri Anda. Dia telah membuat jembatan yang baik bagi penonton melalui tema yang dekat, akrab, dan jadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Tanpa menanggalkan ku alitas penggarapan, dia yakin idealismenya tersalurkan lewat film semacam ini. Mendadak Dangdut berkisah tentang Petris (Titi Kamal), perempuan ayu, penyanyi alternative rock yang sukses di dunia MTV. Kehidupan Petris berbalik 180 derajat bersama Yulia (Kinaryosih), kakak dan manajernya. Suatu malam di mobil mereka ditemukan 5 kg heroin milik Gerry (Vincent R), pacar Yulia yang minggat entah ke mana. Alih-alih bekerja sama dengan polisi, Petris dan Yulia malah kabur. Mereka membuat rencana serbamendadak, asal tak dipenjara. Dalam pelarian mereka bertemu Rizal (Dwi Sasono), pemilik organ tunggal Senandung Citayam yang baru saja ditinggal sang penyanyi. Yulia usul Petris menyaru jadi penganyi dangdut diiringi organ tunggal. Petris sang pembenci musik dangdut mendadak jadi penyanyi dangdut. Kelucuan, kenaifan, kepolosan, kejujuran, dan keapaadaan dunia dangdut itulah yang disuguhkan Rudi dengan pintar. Lewat kacamata Petris yang metropolis, dunia dangdut pun bisa bercerita banyak. (Benny Benke-53)

House Musix 2006 (Pipit Nadela)

Kamis, 03 Agustus 2006. BUDAYA
Optimisme Dangdut House Music
JAKARTA-Pekerjaan paling sulit dalam industri musik Indonesia adalah memprediksi sebuah album akan laku di pasaran atau tidak tanpa memperdulikan jenis album dan genre musik yang melatarbelakanginya. engamat musik Bens Leo menyatakan hal itu di Hard Rock Cafe, Jakarta, kemarin. Apalagi dalam ranah dunia dangdut yang cenderung lebih ramai pemainnya jika dibandingkan genre musik lain seperti pop, rock, apalagi jazz. Bahkan penyanyi dangdut yang telah mempunyai nama, pendengar, sekaligus pencinta mapan sekaliber Rhoma Irama, Meggy Z, Mansyur S, Evie Tamala, Iis Dahlia sampai Inul Daratista pun tidak menjamin penjualan albumnya akan berjalan lancar. Hal inilah yang juga membuat Bens tidak akan memberi prediksi terhadap album House Musix 2006 (Pipit Nadela) dan Sun (Maya Aulia). ''Karena tidak akan pernah ada orangyang benar-benar bisa menebak selera dan kemauan pasar. Tidak juga seorang music director yang paling berpengalaman dan mempunyai telinga tajam dan jam terbang tinggi sekalipun,'' kata Bens. Album baru bergenre dangdut house music dan dangtut pop itu memang milik para pendatang baru di blantika dangdut yang marak penghuninya. Kendati demikian, bukan berarti tidak ada peluang untuk mereka berdua. Pipit misalnya, yang merangkum tembang-tembang hits dangdut seperti ''Menjanda Lagi'', ''Jakarta-Penang'', dan ''Siapa Bilang'' meracik musiknya dengan dinamis. ''Kedinamisan musik dangdut inilah yang menjadi andalan album ini,'' tutur Pipit Nadela. Penyanyi yang mengaku seangkatan Inul Daratista dan telah malang-melintang di dunia panggung lebih dari lima tahun itu, yakin jika album dangdut versi house music miliknya bakal diterima pasar. Hal senada diutarakan Maya Aulia. Dengan melibatkan pencipta tembang dangdut andal seperti H Ukat S dan Pudji R, dia yakin album perdananya berkeniscayaan bersaing di pasar dangdut yang sesak. ''Ya, itu tadi, karena kita tidak akan pernah tahu selera dan kemauan pasar. Jadi, ya optimistis saja,'' tutur Pipit diamini Maya. Menurut Bens, biasannya album jenis dangdut house music dan dangdut pop semacam itu memiliki pangsa pasar yang jelas, yaitu kelas menengah ke bawah yang menurutnya merupakan pangsa pembeli kaset yang sebenarnya. (G20-45)

sania

Kamis, 03 Agustus 2006 . BUDAYA
Citra Baru dalam Album Sania
JAKARTA- Sania datang lagi. Lewat album teranyar Sania 3: Cintai Aku Lagi, penyandang nama asli Siti Tuti Susilowati itu masih setia dengan warna musik R&B. Ada yang baru dari pencitraan mojang kelahiran 29 Desember 1975 ini. Berbeda dengan citra dirinya yang kental dengan rambut kriwil ketika merilis album Santai (1998) dan album Bablas (2002), kini lewat album ketiganya dia berubah 180 derajat. Dengan pembawaan, kostum, cara bicara, hingga model rambut lurus, dia berikhtiar ingin menonjolkan sisi feminim yang tersembunyi di dalam dirinya, tanpa harus kehilangan aura black music. Dengan gaya yang lebih santun, menurut Marketing Manager Universal Music Indonesia (UMI) Daniel Tumewu, Sania diharapkan lebih diterima oleh pendengar musik Indonesia. ''Selama ini Sania seolah berada di orbit musik yang berjarak dari pendengar musik Indonesia karena style-nya'' katanya di Hard Rock Cafe, Jakarta, kemarin. Hal senada dikatakan Antonny, Managing Director UMI. Dengan citra yang lebih santun, dan image baru, diharapkan Sania menghadirkan sesuatu atas kebintangannya. ''Di album ini tidak ada lagi istilah funky,'' katanya. Semakin Matang . Album yang merangkum 12 tembang dengan single hit andalan ''Cintai Aku Lagi'' dan ''Ibunda'', Nti selaku produser dan arranger album ini meyakini musikalitas Sania semakin matang. Dengan dukungan pencipta lagu andal seperti Dewi Rae (''Ibunda'' dan ''Kamu Bilang''), Guruh Soekarno Putra (''Terlalu''), Tohpati (''Cintai Aku Lagi'' dan ''Jangan Pusing''), serta sentuhan orkestrasi Sa'unine String Section Yogya, kesungguhan album ini memang meyakinkan. ''Ini adalah bagian dari proses pendewasaan saya dengan perubahan citra saya yang tampak lebih feminis,'' kata Sania. ''Namun, sejatinya isi kepala saya masih funky kok,'' imbuh dia. Dengan dandanan dan tingkah polah yang lebih santun, dia berharap musiknya semakin diapresiasi pendengar musik Indonesia. Bahkan untuk menunjukkan kematangan dan kesungguhannya dalam menerjuni industri musik Indonesia, dia membentuk band dan dancer pengiring sendiri. Hasilnya, di atas panggung beberapa tembang terkininya mengalir dengan baik, lancar, dan menghibur. Lalu, apakah pencitraan akan berdampak pada penjualan album di pasar? (G20-45)

Spectacles: Wow

Selasa, 01 Agustus 2006. BUDAYA
Anak-anak pun Bersatu saat Kala Menculik Bulan
TEATER Tanah Airku dinobatkan sebagai penampil terbaik dalam 9th World Festival of Childrens Theatre (Festival IX Teater Anak-anak Tingkat Dunia) di Lingen, Jerman, beberapa waktu lalu. Mereka merebut 19 medali emas, menggungguli Kuba, Zimbabwe, Rusia, dan 20 negara peserta lain. Lakon yang membuahkan kemenangan itu mereka pentaskan kembali di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, Minggu (30/7). Empat belas anak melakonkan naskah Spectacles: Wow karya Putu Wijaya itu dengan menarik. Selama lebih dari 90 menit mereka membuat ratusan penonton, termasuk Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo, bertahan di tempat duduk. Jose Rizal Manua, sutradara yang dinobatkan dalam ajang tahunan itu sebagai sutradara teater anak-anak terbaik, menyuguhkan lakon itu secara jenial. Anak didik Rendra itu membesut lakon dunia anak-anak itu dengan hidup, senyata dan sedekat mungkin dengan keseharian anak-anak. Rumusan memindahkah kenyataan ke panggung itu membuat penonton terlarut hampir sepanjang pertunjukan. Jangan heran jika sekumpulan anak berteriak histeris, terkikik-kikik, menutup mata, bersembunyi di balik bangku, atau memberi tahu pelakon di panggung ke mana lawan main bersembunyi. bahkan terkadang mereka menghardik jengkel karena seorang tokoh salah jalan. Ya, Jose tahu benar menghadirkan ketakutan, keingintahuan, kebahagiaan, kejijikan, dan kemarahan anak-anak dengan bahasa universal. Garin Nugroho yang menjadi penasihat dan konsultan kreatif mengakui rumusan Jose itulah yang jadi kunci keberhasilan. ''Naturalisme dunia anak-anak yang dihadirkan Jose membuat lakon itu kuat dan sangat bisa dimengerti anak-anak yang mempunyai bahasa universal tersendiri,'' tutur sutradara Opera Jawa itu sesuai pementasan. Dia menyatakan senang. Apalagi salah seorang anaknya ikut bermain. Dia berharap lakon serupa dijadikan penyampai pesan kepada anak-anak. Spectacles: Wow berkisah tentang anak-anak Indonesia yang bersama kawan-kawan dari berbagai benua bermain di bawah cahaya bulan. Saat mereka asyik memainkan berbagai dolanan, Kala menculik bulan. Anak-anak itu bersatu padu untuk merebut kembali sang rembulan. Jose menyatukan metode penyutradaraan gaya Putu Wijaya dan pencahayaan dinamis khas Teater Mandiri serta kekuatan keaktoran khas Rendra. Langkah itu manjur, sehingga mereka mampu mengungguli peserta dari negara-negara yang mempunyai tradisi berteater lebih tua dan kuat. (Benny Benke-53)

Viky Sianipar

Senin, 31 Juli 2006 . BUDAYA
Viky Sianipar Rilis Album Baru
JAKARTA - Viky Sianipar, musikus muda berbakat, merilis album anyar Indonesian Beauty. Dalam album itu dia mengangkat musik dari ranah Batak, Sunda, Jawa, dan Melayu. Dia menciptakan penafsiran secara mandiri sehingga memperkaya khazanah musik keempat wilayah itu dengan pemahaman baru. Viky menggandeng musikus yang menguasai wilayah garapan masing-masing. Mereka adalah Sujiwo Tejo, Kiki Dudung, Johannes Limbeng, Asep BP Natamihardja, serta musikus dari Prancis, Phillipe Ciminato. Dia yang juga jadi music director memilih para vokalis yang menyanyikan tembang dari keempat wilayah tersebut. Hasilnya, Es Lilin, Sing-sing So, Horas Banyuwangi, Suara Suling, Indonesia Pusaka, serta enam tembang lain mengalun dengan warna baru. Kebaruan dari musikus yang menghasilkan album Toba Dream 1, Toba Dream 2, Nommensen, dan Hatahon Ma itu terdengar indah, apik, dan melenakan. Apakah album serius dengan penggarapan tak kalah pelik itu bakal diapresiasi pasar? ''Saya tahu album-album yang memperkaya khazanah musik negeri ini tak begitu bergaung di pasar dibandingkan dengan album pop atau rock," ujar Viky di studionya Jalan Minangkabau, Jakarta, akhir pekan lalu. ''Namun semangat saya untuk menonjolkan keindahan musik tradisional Indonesia dari ratusan etnis yang tersebar di 17.000 pulau tak bakal padam,'' imbuh dia. Kegairahan menghidupkan dan memperkaya musik Indonesia itulah yang jadi alasan bagi Sujiwo Tejo dengan senang hati mau bekerja sama. Dalang mbeling dan musikus serbabisa itu menuturkan langkah idealis Viky patut diapresiasi. Karena, ujar dia, siapa yang akan memelihara kekayaan musik Indonesia jika bukan musikus Indonesia. ''Masalahnya, bagaimana mengemas musik tradisional menjadi enak didengar dan laku di pasaran,'' kata penyumbang suara lewat tembang "Suara Suling" itu. Tejo telah mengeksplorasi musik tradisi Jawa lewat album Pada Suatu Ketika dan Pada Sebuah Ranjang. Dia mempunyai kiat sederhana untuk memperkaya musik tradisional. ''Ya, terus menguak musik tradisi.'' (G20-53)

''Miami Vice''


Sabtu, 29 Juli 2006. BUDAYA
Preview ''Miami Vice''
Realitas Michael Mann

MASIH ingat serial TV Miami Vice yang memopulerkan Don Jhonson pada tahun 80-an? Kini, Michael Mann, salah satu sutradara besar Hollywood, mengangkat karya Anthony Yerkovich itu ke layar lebar. Mann telah menghasilkan karya masterpiece seperti Man Hunter, Heat, The Insider dan Collateral. Dia juga telah kerap bekerja sama dengan para aktor kelas wahid, seperti Al Pacino, Robert De Niro, Russel Crowe, dan Tom Cruise. Tak ayal, dia mampu menggubah serial televisi itu menjadi karya apik. Keapikan itu, sebagaimana karya yang lain, tak cuma hadir lewat bahasa gambar, keaktoran pelakon, dan alur cerita menawan. Lebih dari itu, sebagaimana ciri khasnya, dia menghadirkan realitas keseharian semirip mungkin. Emosi pelakon yang muncul, baik protagonis maupun antagonis, adalah emosi keseharian yang lazim dalam kehidupan. Tak ada akting yang dibuat-buat atau didramatisasi. Semua mengalir wajar, biasa-biasa saja. Namun nyata. Simaklah, nukilan dialog Isabella (Gong Li) dan Sonny Crockett (Colin Farrell) tentang nasib. ''Hidup seperti gravitasi,'' ujar Sonny yang jatuh hati kepada Isabella. ''Kau tak mungkin bisa menawar gravitasi.'' Isabella mengerti maksud Sonny. Ya, apa yang terjadi, terjadilah. Soal hubungan mereka, biar nasib yang membawa. Setelah itu mereka bergandengan. Tak ada air mata, tak ada rengekan. Klise. Namun dalam film drama aksi ini terselip sebuah klise. Bahwa kebatilan, apa pun wujudnya, bakal dikalahkan kebaikan. Betapapun kecil kebaikan itu. Kebaikan diwakili kesatuan polisi gabungan DEA, FBI, ATF, Miami-Dade Police Department (termasuk SWAT) dan Immigration and Customs Enforcement/ICE), polisi kepabeanan. Adapun kejahatan diwakili para bandar besar narkoba dari Amerika Selatan yang menguasai distribusi di Miami dan sekitarnya. Film ini makin bernas dengan kehadiran Collin Farrell (pemeran dalam Alexander, The New Worlds, The Recruit, Phone Both), Jamie Foxx, peraih Academy Award 2004 lewat Ray, dan Gong Li (Memoirs of Geisha, Red Sorgurm, Farewell My Concubine). Alkisah, duet Detektif Sonny Crockett dan Ricardo Tubbs (Jamie Foxx) dari Kepolisian Miami ditugaskan menyaru untuk memetakan dan membongkar sindikat penjualan obat bius internasional. Sonny jatuh hati pada Isabella, wanita ayu keturunan Kuba-China, tangan kanan salah satu raja kartel yang mereka incar. Silang sengkarut untuk menomorsatukan perasaan atau profesionalitas menjadi sajian mengasyikkan lewat akting Farrell dan Gong Li. Akting Foxx pun tak kalah memikat. Mann yang menulis skenario film ini mampu mengadon ketegangan, intrik, dendam, asmara, dan tragedi secara realistis dalam bungkus aksi. (Benny Benke-53)

Jamila & sang Presiden

Kamis, 27 Juli 2006 . BUDAYA
Murka Jamila Murka Ratna
AKU lebih memilih Presiden untuk meniduriku sebagai permintaan terakhir daripada memintanya memberikan pengampunan. Karena pengampunan berarti akan memberikan kesialan-kesialan berikutnya.'' Itulah ucapan Jamila 2 (Atiqah Hasiloan) kepada Kepala Sipir Penjara Bu Ria (Peggy Melati Sukma) ketika hendak dihukum mati. Ya, bagi dia, lebih baik mati dan masuk neraka. Apalagi nerakanya pasti berbeda dari neraka para politikus dan pejabat negara. Sang pelacur berusia 26 tahun itu telah membunuh seorang menteri yang menidurinya. Namun ketika dia meregang nyawa, Presiden datang untuk menyaksikan prosesi hukuman mati itu. Ketika lakon sepanjang 105 menit itu berakhir, penonton menampakkan kelegaan. Ya, sebelumnya mereka terteror lakon penuh amarah atas kondisi sosial, ekonomi, politik, dan budaya di negeri ini itu. Pertunjukan itu meneguhkan kredo Ratna Sarumpaet, penulis naskah, sutradara, dan motor Teater Satu Merah Panggung, bahwa teater adalah alat menunjukkan, menyampaikan, dan mengampanyekan pikiran. Di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), Selasa (25/7) malam, Ratna menumpahkan ide dan kemarahannya atas ketimpangan di negeri ini. Dia menghantam siapa saja yang berseberangan dengan subjektivitasnya. Panggung Minimalis . Lakon Jamila & sang Presiden mengingatkan khalayak pada kesuksesan Marsinah, Nyanyian dari Bawah Tanah (1994) dan Marsinah Menggugat (1997). Lebih sukses daripada Pesta Terakhir (1996), Alia, Luka Serambi Mekah (2000). Dia akan mementaskan lakon itu di Surabaya (4-5/8), Medan (11-12/8), Bandung (21-22/8), dan Palembang (25-26/8). Sebelumnya dia mementaskannya dengan judul Pelacur & sang Presiden saat berkolaborasi dengan perupa Jeihan di Balai Sudirman, Jakarta, beberapa waktu lalu. Dalam versi baru kali ini, tempo mengalir lebih cepat, berderap-derap. Pertunjukan disesaki protes khas Satu Merah Panggung. Untung, para pelakon utama seperti Atiqah Hasiloan, Lolla (Jamila 1), Peggy Melati Sukma, dan Rita Matu Mona (Ibu Darmo), mampu berperan dengan baik. Dukungan penataan tari Boy G Sakti, koreografer Gumarang Sakti Dance Company, mempertinggi tegangan lakon itu. Panggung minimalis dipadu kekuatan naskah yang tersampaikan dengan teknik kilas balik membuat penonton mudah mencerna. Satu yang mengganggu adalah obral kemarahan sepanjang pertunjukan. Ya, hampir semua peraga marah sehingga menghantarkan semua dialog lewat pekikan, teriakan, dan jeritan. Padahal, bukankah diam bisa menjadi puncak kemarahan? Lewat sosok Jamila 1 dan Jamila 2, Ratna mencapai titik kemurkaan. Mereka terus-menerus marah dan mengutuki nasib. Terus-menerus menyerapahi hidup dan orang-orang yang menjerumuskan mereka ke lembah nista. (Benny Benke-53)