Selasa, 12 Februari 2008

Yusuf Islam

Sabtu, 29 Januari 2005. BUDAYA

Yusuf Islam Galang Solidaritas untuk Aceh

JAKARTA-Tragedi kemanusiaan di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Sumatera Utara yang menghentak perhatian seluruh umat manusia di dunia, gaungnya masih terasa hingga kini. Atas nama kedukaan yang mendalam inilah, The International Islamic Committee for Aceh Reconstruction, Masyarakat Indonesia Peduli Aceh, Java Musikindo dan beberapa institusi lainnya akan menggelar konser "Aceh Loung Sayang, for a Brighter Future" di Flores Room Hotel Borobudur, Jakarta, Senin lusa (31/1) mulai pukul 19.30. ''Agenda ini menjadi istimewa karena hadirnya salah seorang ikon penting dunia yang akan menyerukan rasa solidaritasnya kepada masyarakat dunia untuk Aceh," papar Marwah Daud Ibrahim, salah seorang penggagas acara, kemarin. Ikon yang dimaksud adalah Cat Steven. Cat Steven yang pada 1977 membaiatkan diri untuk memeluk agama Islam dan mengubah namanya menjadi Yusuf Islam ini berikhtiar menunjukkan kepeduliannya terhadap tragedi kemanusiaan tersebut. "Kehadiran saya di sini bukan semata-mata atas nama solidaritas Islam tapi lebih dari itu, atas nama kemanusiaan," ujar Yusuf Islam sembari mengutip surat Al Maun dan menyenandungkan sebuah tembang legendarisnya, "Morning Has Broken". Menurut pelantun tembang "Father and Son" ini, sudah selayaknya sebagai seorang yang percaya kepada kebesaran Tuhan YME, kita dapat memandang tragedi Aceh sebagai sesuatu yang bermakna bagi perjalanan kemanusiaan. "Ini bukan semata-mata bencana alam, namun bencana kemanusiaan yang mengandung sebuah pesan yang harus mampu dengan bijak kita tangkap," imbuh dia yang telah meracik sebuah tembang berjudul "Indian Ocean" yang akan didedikasikan kepada para korban tsunami.

Artis Pendukung

Perhelatan yang menurut rencana akan dibuka oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla ini juga akan dimarakkan oleh musisi Indonesia seperti Dewa, Ari Lasso, Agnes Monica, dan Emha Ainun Nadjib serta Kyai Kanjeng-nya. Acara yang juga akan diharapkan menjadi titik tolak atau embrio konser-konser di negara lain untuk Aceh ini, menurut rencana akan melibatkan beberapa seniman besar dunia lainnya. Lantas, apa yang akan dilakukan Yususf Islam di Aceh yang menurut rencana akan ia kunjungi hari ini (29/1)? Selain menyerukan salam damai dan solidaritas umat manusia di dunia untuk Aceh, ia akan memberikan dukungan moral dari dekat. (G20-81)

Agus PM Toh

Jumat, 14 Januari 2005. BUDAYA

Ketika Penutur Aceh Suguhkan ''Hikayat Tsunami''

SETIAP ranah kebudayaan mempunyai mediasi dan caranya sendiri untuk menuturkan sebuah cerita. Di Jawa misalnya, lebih akrab dengan pertunjukan wayang kulit, wayang wong, wayang golek atau wayang potehi. Yang menjadikan pertunjukan tradisional menjadi lebih menarik adalah bagaimana mengemasnya menjadi sesuatu yang baru atau kontemporer. Sebagaimana yang dilakukan Slamet Gundono dengan wayang suket dan berbagai variannya, Ki Entus Susmono dengan wayang planet dan berbagai terobosannya. PM Toh Agus Nur Amal, salah seorang penutur cerita tradisional dari Aceh pun mampu membesut kesenian asli Serambi Mekah semacam didong gayo dan hikayat menjadi bernas dan menghibur. Lihatlah aksi seniman kelahiran Sabang, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), 17 Agustus 1969, ini ketika membius ratusan penonton di Galeri Nasional Indonesia, Selasa (12/1) malam. Di tangan Agus, yang menambahkan nama PM Toh di depan namanya sebagai penghormatan kepada gurunya yang mahir menirukan klakson bus ALS (Antar Lintas Sumatera) PM Toh, hikayat mengalir dengan jenius, menghibur sekaligus liar. Dia menjadi pemungkas aksi ''Dwi Pekan Kepekaan Seniman; Bangkit Aceh'', yang digelar 8 - 23 Januari. Jebolan Fakultas Seni Petunjukan, Institut Kesenian Jakarta ini menyuguhkan sebuah lakon berjudul ''Hikayat Tsunami''. Dengan menghadirkan alat pertunjukan ala kadarnya, Agus yang menempatkan diri di sebuah kotak yang ia andaikan sebuah televisi, menggulirkan kisahnya. ''Terkisah seorang anak bernama Pahlawan sedang bermain di tepi pantai,'' kata dia, sembari menarik sebuah serbet berwarna putih dan menggoyang-goyangkannya layaknya deburan ombak di pantai. Sedangkan sang bocah Pahlawan dia wakilkan dengan persona dirinya yang mengenakan topi bayi. Selanjutnya, awan putih dan awan hitam yang berarak ia gantikan dengan tas plastik kresek berwarna putih dan hitam. Ketika sang bocah berpamitan kepada emaknya untuk pergi bermain, seketika dalam hitungan detik, Agus pun berubah menjadi sosok emak dengan mengganti topi bayi dengan serbet putih yang terikat di kepalanya. Tentu saja, ucapan yang disuarakannya berubah menjadi dialeg emak.

Alat peraga

Agus yang pernah berguru kepada Teungku Haji Adnan, seorang ''guru'' penutur hikayat di Blang Pidie ini, mampu menyulap benda-benda di sekilingnya menjadi alat peraga penunjang cerita. Berbagai benda seperti gayung yang menggambarkan helikopter, sapu menjadi pohon, ijuk sapu menjadi burung elang. Berbagai benda remeh temeh itu mampu menjadi media penutur sekaligus pendukung cerita. Meski dengan gaya tutur khas Aceh, ia tetap mampu menyampaikan misi dan visinya dengan balutan comedy style ke penikmat pertunjukan yang datang dari berbagai latar belakang. Dia membawakan hikayat berbau komedi, misalnya Kura-kura Tentara, Anak Emak Melawan Raksasa, Hikayat Polisi dan Bandit, serta Hikayat Tentara Nyesel Jadi Tentara. Konsep lakon-lakon itu sebagian besar dia persiapkan tak lama sebelum naik pentas. Dia juga menyuguhkan hikayat yang agak serius seperti Sidang Deria, Raja Bediu, Hikayat Malim Dewa, Hikayat Elia Tujuh, Hikayat Hamzah Fansuri dan Hikayat Cincin Setia. Namun, tetap mampu menyajikannya tanpa kehilangan kesegaran. (Benny Benke-63)

Paparazzi

Jumat, 07 Januari 2005. BUDAYA

Juru Foto, Pisau Bermata Dua

KETIKA rasa keadilan sudah tidak dapat ditegakkan oleh otoritas tertinggi, atau pun kalau ditegakkan terlalu membutuhkan prosedural yang semakin memakan perasaan, maka satu-satunya jalan untuk mewujudkan rasa keadilan adalah menegakkanya dengan cara sendiri. Demikianlah yang dilakukan oleh Bo Laramie (Cole Houser), seorang selebriti Hollywood yang mencoba melindungi keluarga tercintanya dari kuntitan paparazzi. Kemarahan Bo boleh jadi berlebihan namun bukan tanpa alasan. Di dunia gemerlap industri keartisan para selebriti yang penuh dengan glamoritas, keberadaan Bo sebagai seorang superstar anyar memang sangat menarik untuk diberitakan. Hingga pada akhirnya, batasan antara wilayah publik dan wilayah privat yang dimilikinya semakin mengabur. Dan lebih ekstremnya, penderitaan yang dialaminya bersama istri dan putranya semakin menjadi makanan empuk paparazzi. Boleh jadi apa yang dirasakan Bo lewat film anyar Paparazzi tidak hanya dirasakannya sendiri. Mell Gibson bersama Bruce Davey dan Stepen McEvety selaku produser tampaknya ingin menyindir para pewarta foto spesialis gosip yang kerjanya mengotak-atik kehidupan pribadi para selebriti.

Ya, pewarta foto dalam Paparazzi memang bagai pisau bermata dua. Ia akan menjadi pahlawan yang akan segera dilupakan dan terlupakan begitu berhasil ''mengangkat '' ketenaran seseorang. Namun, dalam waktu yang nyaris bersamaan, paparazzi dapat menjungkirbalikkan karier selebriti ke jurang yang paling tidak berdasar sekalipun. Tragis memang.Dan lewat film besutan Paul Abascal yang beranjak dari skenario lugas Forrest Smith, sinema yang memasang dua sosok penting ranah perfilman Hollywood, yaitu Mel Gibson dan Mathew McChonoughny ini, mengalir dengan misi menyindir para paparazzi.

Balas Dendam

Dalam film itu dikisahkan, Bo Laraime mulai diganggu dengan keberadaan empat sekawan paparazzi yang senantiasa menguntit kebersamaan keluarga intinya. Dengan bersenjatakan kamera digital dan high-powered zoom lenses, para wartawan dan pewarta foto majalah tabloid gosip Paparazzi ini menguntit ke mana pun Bo dan keluarganya berada. Hingga pada puncaknya, akibat terus dikuntit ketika berada di sebuah mobil yang sedang melaju dalam kecepatan tinggi, sebuah kecelakaan yang mengakibatkan istrinya cidera berat dan putranya koma, memaksa Bo menuntut balas kepada para paparazzi. Betapa tidak? Karena tidak adanya saksi, empat paparazzi itu melenggang kangkung tanpa sebuah tuntutan. Sedangkan Bo musti menjalani terapi anger management. Saran psikiater terhadap Bo untuk berdamai dengan lingkungan dunia selebritinya tidak dituruti. Dia malah bersikukuh dengan pendiriannya. Selanjutnya bisa ditebak, satu per satu para wartawan dan pewarta foto gosip itu berjatuhan meregang nyawa. Dan sang pemimpin paparazzi, Rex (Tom Sizemore) pun harus menanggalkan cita-cita idealis jurnalismenya: menjadi jendela masyarakat (gosip) atas kehidupan nyata para selebriti.Memang, apa yang dilakukan oleh paparazzi tidak terlepas juga dari rasa haus keingintahuan masyarakat sendiri atas keingintahuannya terhadap kehidupan para pesohor. Dan di tangan paparazzi, kamera menjadi senjata yang menjulangkan sekaligus menikam. (Benny Benke-81)

Bangkit Aceh

Senin, 03 Januari 2005. BUDAYA
Bangkit Aceh, Bangkit Indonesia

PERAYAAN Malam Tahun Baru yang biasanya identik dengan pesta pora, dansa, hura-hura, dan kembang api, tahun ini tampaknya harus dikendalikan. Betapa tidak, bencana nasional yang diakibatkan dari gempa bumi berkuatan 8,9 Skala Richter (yang menurut para ahli berkekuatan 10 kali bom Hirosima) dengan ketinggan lebih dari 10 meter, meluluhlantakkan Aceh, Nias, dan sebagian wilayah Sumatera Utara. Ya, meski terjangan ombak yang maha dahsyat itu "hanya" berlangsung selama sembilan menit, dampak yang diakibatkannya mencapai puluhan ribu jiwa. Sebuah angka yang gigantis. Sehingga tidak heran jika masyarakat Aceh yang tergabung dalam Seniman Aceh Se-Jabotabek (Sajak), Konsorsium Wartawan Kebudayaan (KWK), dan Kafe Taman Semanggi (KTS ) menggelar acara pergantian tahun baru dengan peristiwa budaya yang jauh dari nuansa hura-hura. Mengusung tema besar "Bangkit Aceh" dan menghadirkan para budayawan, penyair, dan pekerja seni yang peduli terhadap korban bencana nasional, acara yang dipusatkan di Plaza Cafe Taman Semanggi Jakarta, Jumat (31/12) malam, itu mendapat sambutan yang baik dari seribuan hadirin. Terlebih ketika, Rieke Dyah Pitaloka mendeklamasikan sajak-sajak terbarunya yang ia dedikasikan untuk para korban gempa dan badai tsunami. "Innalillahi wa Innailaihi Rojiun," pekik pemeran Oneng dalam sitkom Bajaj Bajuri ini menyudahi aksinya yang atraktif.

Terdiam

Lain Rieke lain Sutardji Calzoum Bachri. Presiden penyair Indonesia ini lewat sajak "Belum Ada Judul" dan "Tak Cukup Sanggup" mampu menyihir audience terdiam lewat kedalaman syairnya. Sehingga, kecairan suasana yang mulai disolidkan oleh penyair Radar Panca Dahana lewat orasinya menjadi semakin kusyuk. "Sejatinya, bencana peradaban yang lebih besar daripada bencana Aceh telah terjadi di depan kita," kata Radar. "Yaitu dengan adanya badai korupsi, ketidakjujuran, dan kemunafikan yang pada saatnya hanya menunggu waktu akan semakin menghancurkan peradaban negeri ini," imbuh Radar yang seminggu tiga kali musti mencuci darahnya ini. Sebagaimana Sutardji Calzoum Bachri, Rieke Dyah Pitaloka, dan Radar Panca Dahana, penyair lainnya seperti Ahmadun Yossi Erfanda, Hudan Hidayat, Doddy Achmad Fawzy sampai Mbah Surip yang sohor dengan uluk salam "I Love You Full" ini mengemban sebuah semangat mulia. "Semangat yang menyerukan sebuah kebangkitan bagi bumi Serambi Mekah dan bumi Indonesia," seru Rieke dari atas panggung. (Benny Benke-81)