Minggu, 10 Februari 2008

Enthus: Gareng Mantu

Sabtu, 26 Juni 2004 BUDAYA

Superman dan Batman Mantu Gareng


"Apakah kau Gatotkaca?"
"Inggih Raden Mas Batman," jawab Gatotkaca santun kepada Batman sembari bertanya ulang, "Engkau Raden Mas Superman?"
"Inggih, kulo Superman," jawab Superman yang bersisihan dengan Batman kepada Gatotkaca.

DEMIKIANLAH, nukilan dialog antara tiga tokoh superhero dari dua ranah kebudayaan yang berbeda. Namun, hal itu benar-benar terjadi dalam medium perkeliran wayang planet besutan Ki Entus Susmono. Bisa dibayangkan, kelucuan macam apa yang ditimbulkan akibat dialog dan aksi para superhero tersebut. Bukan itu saja, dalam lakon berjudul Gareng Mantu yang dipentaskan di Museum Keprajuritan, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta, Kamis (24/6) malam, dalang asal Tegal itu juga menghadirkan tokoh wayang pop seperti George Bush, Saddam Hussein, tengkorak, helikopter sampai rudal.

Lakon Gareng Mantu yang njepat (melesak) dari kaidah pewayangan konvensional itu, tak ubahnya tontotan pop ala MTV dalam format wayang. Terlebih ketika Ki Entus membungkus pergelaran berdurasi 180 menit itu dengan medium mixing dari berbagai unsur kesenian. Dari teater yang mengandalkan keaktoran pelakon, lengkap dengan setting pelaminan di kanan panggung bersebelahan dengan kelir, sampai tari dan tembang.

Para pengrawit (pemain musik) berkostum aneka rupa. Dari kostum robot, pengemis, tentara, sampai anak SD lengkap dengan topi dan dasi "tut wuri handayani". Sebagaimana sabetan Ki Entus; menonjok, menampar, melempar, hingga melentingkan wayang, adalah hal biasa. "Lakon ini berkoneksitas sangat erat dengan kondisi perpolitikan Tanah Air dewasa ini," kata laki-laki bertubuh subur itu.

Semua Golongan

Lakon tersebut, bernarasi tentang putri Gareng nan ayu bernama Dewi Sari Lengkung dari planet Pendaringan. Putri itu menjadi rebutan para ksatria, seperti Prabu Hantu Bumi, Joko Bedug, dan Amoro Resi. Sebab mereka percaya, barang siapa mampu memperistri Dewi Sari Lengkung, derajatnya akan terangkat dan menjadi raja. Maka,dimulailah berbagai intrik, janji, dan aksi sepihak kandidat masing-masing untuk memenangkan hati Dewi Sari Lengkung. Ahirnya, putri nan mempesona itu memberikan lima cangkriman (tebakan) kepada Joko Bedug.

Bila Joko Bedug mampu menjawab teka-teki tersebut, Dewi Sari Lengkung bersedia diperistri. Ki Entus telah mengemas lakon dengan cara yang sedemikian rupa; menghibur, cair, ringan, dan enteng. Dengan wayang planetnya, dia mampu mendekatkan wayang kepada kalayak ramai. Penonton tak merasa bosan digurui atau disesaki berbagai jargon kepentingan golongan tertentu.

"Lakon ini berdiri di atas semua golongan, tidak membodohkan, bahkan memberikan tawaran pencerahan kepada penikmatnya," katanya. Ya, wayang planet Ki Entus Susmono, meneguhkan bahwa wayang sebagai warisan kebudayaan Indonesia dapat menyesuaikan bentuk dengan zaman, bergantung kreasi dalangnya. (Benny Benke-63a)

Scapino Ballet Rotterdam

Kamis, 17 Juni 2004 BUDAYA

Scapino Ballet Rotterdam
Kelenturan Tubuh, Kebebasan Interpretasi


SEBAGAIMANA musik, tari pun mempunyai bahasa universal sendiri untuk menyampaikan pesan kepada penikmatnya. Demikian pula dengan pesan yang hendak disampaikan kelompok tari Scapino Ballet Rotterdam, Belanda. Scapino didirikan pada 1945 oleh Hans Snoek dan menjadi pelopor balet di Eropa dan Belanda. Tidak mengherankan jika dalam setiap pertunjukannya, Scapino selalu merebut perhatian penggemar balet.


Demikian pula ketika Scapino Ballet Rotterdam pimpinan Ed Wubbe ini menggelar nomor "Kathleen" dan "Rosary" di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), Selasa (15/6) malam. "Kathleen" yang diklaim sebagai tari kontemporer itu memang menawan. Betapa tidak? Lima belas penari laki-laki dan perempuan yang tampil secara koreografis ditingkahi permainan cahaya dan racikan musik dari komposer tenar Belanda, Rubern Stern, menyajikan sebuah tari balet yang berkualitas.


''Kami menyiapkan nomor ini secara maraton dengan para penari yang terlatih sejak dini. Nomor ini pula yang biasanya kami bawakan di Eropa,'' ujar Ed Wubbe seusai pertunjukan. Bahkan dalam nomor "Rosary" yang lebih membebaskan para penarinya untuk menginterpretasikan musik karya komponis Franz Schubert ''String Quintet in C'', para penari Scapino seakan membawa penikmat balet yang menyesaki GKJ ke nuansa dongeng yang melenakan.


''Tarian balet semacam ini sangat menawan. Jarang-jarang ada balet berkualitas mau tampil di Jakarta,'' ucap Vicky Burki. Scapino telah menampilkan lebih dari 100 nomor pertunjukan. Pesan apakah yang hendak disampaikan kelompok ini lewat komposisi ''Kathleen'' dan ''Rosary''?
''Kelapangan jiwa untuk menerima keindahan tanpa pretensi apa pun. Nikmati sebuah keindahan sebagai sebuah momen yang tidak terlupakan,'' kata Ed Wubbe.


Sungguh, penampilan Scapino selama 120 menit sebagai pembuka Jakarta Anniversary Festival II pada Selasa (15/6) lalu di GKJ memang menawarkan sebuah keindahan tersendiri. Adapun penampilan kelompok tari balet dari Belanda itu masih akan dapat kita nikmati hingga 28 Juni mendatang.(Benny Benke-63j)

Slamet Gundono / Drupadi

Senin, 10 Mei 2004 BUDAYA

Slamet Gundono Menelanjangi Drupadi


ADAGIUM yang berbunyi "bahwasanya aktor telah mati dan tergantikan kedudukannya oleh benda-benda atau elemen panggung lainnya", tidak selamanya benar. Hal itu, paling tidak dibuktikan oleh penampilan dua aktor yang bermonolog dalam pembukaan ''Pesta Monolog; Panggung Para Aktor Bicara'' di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta. Pesta monolog yang digagas Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) itu, berlangsung 8 - 16 Mei dengan menghadirkan sejumlah aktor dari penjuru Indonesia. Dalam pementasan perdana, Haji Sofyan Zahid -aktor yang menguasai budaya tutur khas Betawi- membawakan lakon Tukang Kacang Jadi Mantu Raja.



Sofyan Zahid benar-benar mampu menunjukkan kemampuannya bermonolog dengan latar budaya Betawi. Cara bertuturnya ringan, kocak, dan melibatkan penonton. Penutur hikayat berusia 62 tahun yang namanya melegenda di Jabotabek itu, mampu membuktikan, bahwa aktor dengan kemampuan seni peran yang baik tidak akan pernah tersisihkan, apalagi tenggelam oleh unsur panggung lainnya. Penampilan memikat Haji Zahid itu, seperti menjawab tantangan Ratna Sarumpaet, selaku ketua DKJ.


''Monolog adalah media tercanggih, apabila kita ingin menguji kepiawaian seorang aktor. Dalam pertunjukan monolog, seorang aktor, sebagai seorang persona, dituntut untuk menguasai sebuah panggung. Hal itu membutuhkan stamina dan penguasaan seni akting yang baik,'' katanya. Dia menambahkan, unsur penting lainnya dalam bermonolog adalah kepekaan terhadap ruang pentas serta kemampuan berkomunikasi secara baik dengan penonton.


Prasyarat keaktoran yang baik dalam bermonolog itu, juga berhasil dilalui seniman asal Solo, Slamet Gundono, yang membawakan lakon Gongseng Drupadi. Seniman yang pernah mementaskan wayang suket di Festival der Geister di Berlin, Jerman, pada 1999, itu tampil dengan gaya khasnya. Menghadirkan berbagai tokoh wayang, yang direpsentasikan dengan lombok merah, bawang merah, tomat, dan pisang yang ditusuk sedemikian rupa. Serta sebuah gitar kecil, yang mampu menimbulkan suara layaknya siter (alat musik petik khas Jawa). Gundono yang hanya menghadirkan gunungan dalam unsur pewayangan konvensional itu, tampil amat memikat.


Drupadi


Secara garis besar, monolog Gundono bernarasi tentang Drupadi yang terpaksa harus mengikuti suaminya ke Negeri Hastina untuk berjudi demi memenuhi tantangan Duryudana. Dalam perjudian -mempertaruhkan negeri beserta segala isinya- antara Pandawa dan Kurawa itulah, pihak Pandawa menjadi pecundang. Dan payahnya, dalam perjudian tersebut Drupadi menjadi bagian yang dipertaruhkan. Konsekuensinya, di depan para kerabat dan handai taulan, Drupadi ditelanjangi.


Meski melihat Drupadi dihinakan, Puntadewa -suaminya- dan para Pandawa tak mampu berbuat apa-apa. Di tengah kegalauan itulah, Drupadi menempuh jalan sendiri untuk mencari keselamatan hidupnya, meninggalkan arena perjudian.Dengan gaya bertutur yang tak kalah kocaknya dengan Haji Zahid, Gundono menelanjangi Drupadi yang disimbolkan dengan membuang buah pisang, sebelum memakannya. Dia juga berhasil menunjukkan, bahwa aktor masih menjadi pemegang peranan yang utama dalam sebuah pementasan.


Pesta monolog kali pertama itu, menghadirkan para praktisi seni peran dari berbagai penjuru Tanah air, seperti dari Bali (Nanoq Da Kansas, Cok Sawitri), Yogya (Whani Darmawan, Joned Suryatmoko), Padang (Joe Mirshal), Bandung (Asep Budiman), Medan (Burhan Folka), Makassar (Bahar Merdu), Lampung (Liza Mutiara), Surabaya (Meimura), Palu (Asmadi), Solo (Djarot Budidarsono), dan Jakarta (Rita Manu Mona, Darmanto Manardi, I Wayan Diya, Yayu Aw Unru). (Benny Benke-63a)

Anton Chekov

Kamis, 18 Maret 2004 Budaya

Sebuah Pesona Cerita yang Cerdas


SIAPA yang tidak kenal kemahsyuran Anton Pavlovick Chekhov, raja cerpen (cerita pendek) dunia kelahiran Taganrog, Rusia, 29 Januari 1860? Sastrawan yang meninggal pada 14 Juli 1904 itu, mewariskan karya abadi dengan kandungan nilai kemanusiaan yang tidak pernah lekang oleh zaman. Ya, meski karya Chekhov banyak dilatarbelakangai oleh gambaran keadaan masyarakat Rusia yang sedang mengalami pembusukan menjelang abad XX, namun benang merah kandungan sastrawi dan sosialnya masih dan akan terus dapat mengikuti serta senantiasa relevan dengan perkembangan peradaban.


Maka tidak aneh, jika nama penulis naskah drama Dyadya Vanya (Paman Vanya), Tri Sestri (Tiga Bersaudara), Veshnyovii sad (Kebun Ceri) dan Pinangan yang melegenda itu, didudukkan bukan hanya sebagai sastrawan dunia, melainkan juga sebagai sosiolog par ecellence.

Pancarkan Kecerdasan

Dalam rangka memperingati 100 tahun meninggalnya Chekhov, Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Selasa (16/3) malam lalu menggelar pembacaan karya Chekhov oleh Landung Simatupang, di Bentara Budaya Jakarta. Di tangan penggiat sastra dan teater yang sekarang bermukim di Yogyakarta itu, karya Chekhov yang diabadikan dalam buku terbarunya Pengakuan: Sekumpulan Cerita Pendek benar-benar memancarkan kecerdasan.

Sungguh, Landung yang pernah mengajar drama dan tranlation di jurusan Inggris, Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta itu mampu mengantarkan karya Chekov dengan bertaburan pesona. Lewat teknik pembacaannya yang mumpuni dan pepak dengan aksi dramaturgis yang membumi, cerpen-cerpen Chekhov --seperti ''Pengakuan''dan ''Cermin Perot''.
Lewat kepiawaiaannya, Landung didampingi E Wahyudi (piano) dan A Untung Basuki (gitar) membuat sekitar seratus audience dan Duta Besar Rusia untuk Indonesia serta beberapa anggota Konsulat Kebudayaan Rusia betah menikmati pembacaannya. Memang, kecerdasan cerpen Chekov menjadi benar-benar terantar dengan apik lewat aksi Landung yang penuh pukau. (Benny Benke-41)

House of Sand and Fog

Kamis, 22 April 2004 BuUDAYA


Makna Sebuah Rumah


APA makna sebuah rumah? Ada dua jawaban. Pertama, rumah tidak lebih sebagai tempat tinggal. Kedua, sebagai bagian yang tak terpisahkan dari hidup, sehingga kita pantas mempertahankannya, meski nyawa taruhannya. Film House of Sand and Fog, yang kini memasuki masa edar, menawarkan makna rumah secara cantik. Berangkat dari novel best seller karya Andre Dubus III, film itu mengisahkan kehidupan dua anak manusia yang berada di persimpangan. Dalam film tersebut, sutradara Vadim Parelman terlihat sangat berhasil memindahkan kesepian dan keterasingan lewat kehidupan tiga tokoh sentralnya.


Dikisahkan, Kathy Nicolo (Jennifer Connelly) -yang tinggal di bungalo warisan orang tuanya di Timur Laut Kalifornia- harus hengkang dari tempat itu karena kesalahan birokrasi. Akibatnya, rumah warisan yang pernah ditinggali mendiang ayahnya selama 30 tahun itu mesti dilelang oleh negara. Selanjutnya, Massoud Amir Behrani (Ben Kingsley), seorang imigran dari Iran, menjadi pemilik sah rumah itu. Kathy yang merasa diperlakukan tidak adil melakukan perlawanan. Tapi perjuangan untuk mendapatkan haknya kembali itu macet. Pasalnya, si pemilik baru memiliki surat-surat sah pembelian rumah tersebut.

Kathy pun mengalihkan gugatannya kepada negara. Tapi apa lacur, negara sudi membeli kembali rumah itu dengan harga empat kali lipat dari Behrani. Namun, Behrani yang telanjur nyaman dengan rumah barunya itu, tak meluluskan niat tersebut.

Kekuatan Naskah

Silang sengkarut pun melingkupi kehidupan Kathy, yang homeless dan tunawisma di negerinya sendiri. Kepelikan semakin menjadi, manakala seorang deputy sherif bernama Lester Burdon (Ron Eldard) diam-diam menaruh simpati pada nasib Kathy. Ia berupaya menolong Kathy dengan menekan Behrani lewat kewenangannya. Simpati juga datang dari Nadi (Shohreh Aghdashloo), istri Behrani.

Namun, akan semudah itukah Behrani menyerahkan rumahnya kepada Kathy? Pada putaran berikutnya, Behrani menyelamatkan Kathy yang akan bunuh diri. Nah, apakah keberadaan sebuah rumah telah benar-benar menjadi lebih penting dari selembar nyawa? Atau justru nyawa kita adalah rumah kita yang sebenar-benarnya?

Kecantikan film ber-genre drama itu, sangat didukung oleh kekuatan naskah aslinya. Ya, novel House of Sand and Fog yang kali pertama diterbitkan 1999 tersebut pernah menjadi salah satu finalis ''National Book Award''. Yakni, sebuah ajang yang diberikan untuk buku-buku berkualitas di Amerika Serikat.Bahkan, saking seringnya buku itu dibicarakan, Oprah Winfrey -host terkemuka di Amerika Serikat- memasukkan novel tersebutr ke dalam Oprah Book Club (buku wajib baca bagi para anggotanya).


Dan kedahsyatan novel itu, tampaknya berhasil dipindahkan Vadim ke bahasa gambar yang elok. Film itu melibatkan sejumlah bintang top, seperti Jennifer Connely dan Ben Kingsley.(Benny Benke-79)

House of Sand and Fog

Kamis, 22 April 2004 BuUDAYA

Makna Sebuah Rumah


APA makna sebuah rumah? Ada dua jawaban. Pertama, rumah tidak lebih sebagai tempat tinggal. Kedua, sebagai bagian yang tak terpisahkan dari hidup, sehingga kita pantas mempertahankannya, meski nyawa taruhannya. Film House of Sand and Fog, yang kini memasuki masa edar, menawarkan makna rumah secara cantik. Berangkat dari novel best seller karya Andre Dubus III, film itu mengisahkan kehidupan dua anak manusia yang berada di persimpangan. Dalam film tersebut, sutradara Vadim Parelman terlihat sangat berhasil memindahkan kesepian dan keterasingan lewat kehidupan tiga tokoh sentralnya.


Dikisahkan, Kathy Nicolo (Jennifer Connelly) -yang tinggal di bungalo warisan orang tuanya di Timur Laut Kalifornia- harus hengkang dari tempat itu karena kesalahan birokrasi. Akibatnya, rumah warisan yang pernah ditinggali mendiang ayahnya selama 30 tahun itu mesti dilelang oleh negara. Selanjutnya, Massoud Amir Behrani (Ben Kingsley), seorang imigran dari Iran, menjadi pemilik sah rumah itu. Kathy yang merasa diperlakukan tidak adil melakukan perlawanan. Tapi perjuangan untuk mendapatkan haknya kembali itu macet. Pasalnya, si pemilik baru memiliki surat-surat sah pembelian rumah tersebut.

Kathy pun mengalihkan gugatannya kepada negara. Tapi apa lacur, negara sudi membeli kembali rumah itu dengan harga empat kali lipat dari Behrani. Namun, Behrani yang telanjur nyaman dengan rumah barunya itu, tak meluluskan niat tersebut.

Kekuatan Naskah

Silang sengkarut pun melingkupi kehidupan Kathy, yang homeless dan tunawisma di negerinya sendiri. Kepelikan semakin menjadi, manakala seorang deputy sherif bernama Lester Burdon (Ron Eldard) diam-diam menaruh simpati pada nasib Kathy. Ia berupaya menolong Kathy dengan menekan Behrani lewat kewenangannya. Simpati juga datang dari Nadi (Shohreh Aghdashloo), istri Behrani.

Namun, akan semudah itukah Behrani menyerahkan rumahnya kepada Kathy? Pada putaran berikutnya, Behrani menyelamatkan Kathy yang akan bunuh diri. Nah, apakah keberadaan sebuah rumah telah benar-benar menjadi lebih penting dari selembar nyawa? Atau justru nyawa kita adalah rumah kita yang sebenar-benarnya?

Kecantikan film ber-genre drama itu, sangat didukung oleh kekuatan naskah aslinya. Ya, novel House of Sand and Fog yang kali pertama diterbitkan 1999 tersebut pernah menjadi salah satu finalis ''National Book Award''. Yakni, sebuah ajang yang diberikan untuk buku-buku berkualitas di Amerika Serikat.Bahkan, saking seringnya buku itu dibicarakan, Oprah Winfrey -host terkemuka di Amerika Serikat- memasukkan novel tersebutr ke dalam Oprah Book Club (buku wajib baca bagi para anggotanya).


Dan kedahsyatan novel itu, tampaknya berhasil dipindahkan Vadim ke bahasa gambar yang elok. Film itu melibatkan sejumlah bintang top, seperti Jennifer Connely dan Ben Kingsley.(Benny Benke-79)

Pruntemp des poetes (bulan puisi)

Jumat, 12 Maret 2004 Budaya

Printemps des poetes (Bulan Puisi)
Antara Goenawan dan Rieke


UNTUK kali ke dua, Pusat Kebudayaan Prancis (Centre Culture Francais) Selasa (9/3) lalu mengadakan malam pembacaan puisi di Galeri Cemara 6, Jakarta. Tidak jauh berbeda dengan penyelenggaraan tahun lalu, ajang yang dimaksudkan untuk menyemarakkan bulan puisi (printemps des poetes) di seluruh lembaga budaya Prancis yang tersebar di berbagai penjuru dunia itu, masih berupaya menghadirkan penyair-penyair papan atas dari Indonesia dan Prancis.


Nama seperti Goenawan Mohamad, Sitor Situmorang, Ajip Rosidi, dan Ayat Rohaedi, yang membacakan karya masing-masing, ternyata masih mampu menawarkan suasana kontemplasi lewat syair-syairnya; meski cara membaca mereka cenderung datar dan ala kadarnya. Demikian pula dengan Toety Herati Noerhadi, Joko Pinurbo, Eka Budianta, Putu Oka Sukanta, dan Dorothea Rosa Herliani serta dua penyair Prancis, Isabelle Pincon dan Roland Reutenauer.


Mungkin, yang agak menolong suasana dalam hajat yang juga dihadiri oleh Duta Besar Prancis untuk Indonesia, Renaud Vignal, tersebut adalah kehadiran Rieke Dyah Pitaloka. Berbeda dengan cara pembawaan para penyair yang lebih senior darinya, Rieke yang telah mempunyai kumpulan puisi Renungan Kloset itu mampu membuat puluhan apresian lebih mengkhidmati repertoarnya.


Dari segi esensi isi teks, syair sajak mahasiswa S2 Filsafat UI berjudul "Selamat Pagi Tuhan" dan "Mempelai wanita" tersebut memang masih kalah "kelas" dengan "Asmaradana" dan "Zagreb"-nya Goenawan Mohammad, serta "Nyanyian Malam Hari" dan "Ibu Kota Senja"-nya Toto Sudarto Bactiar yang dibacakan oleh Sitor Situmorang. Namun, kenyataan itu bukanlah persoalan pelik dalam acara tersebut. Sebab, toh agenda tahunan itu lebih ditujukan untuk saling memperkenalkan dan mendekatkan karya para penyair Indonesia dengan penyair Prancis.


"Agenda ini lebih diikhtiarkan untuk lebih mendekatkan dan mempererat hubungan kebudayaan Indonesia-Prancis lewat puisi," kata Renaud Vignal. Pada kesempatan itu, Dubes Prancis untuk Indonesia tersebut meluncurkan buku kumpulan puisi Indonesia-Prancis yang diterbitkan oleh CCF dan Indonesia Tera berjudul L'espoir; Une rencontre poetique franco-indonesienne (Harapan; Sebuah pertemuan puisi Indonesia-Prancis). Dalam acara "Bulan Puisi" yang berlangsung dengan khidmat tersebut, juga dibacakan puisi-puisi klasik Prancis karya Beaudelaire, Rimbaud, dan Verlaine. (Benny Benke-41)

Starsky & Hutch

Sabtu, 17 April 2004 Budaya

Kekonyolan Dua Detektif


MASIH ingat film serial televisi detektif 1980-an berjudul Starsky & Hutch? Bagi segolongan orang yang dulu pernah menjadi pemerhati film di layar kaca TVRI, pasti tidak asing dengan serial drama komedi produksi TV ABC itu. Dan, berangkat dari adaptasi serial televisi yang pernah menjadi hits itulah, Todd Phillips yang bertindak selaku penulis skenario dan sutradara membesut film berdurasi 95 menit tersebut ke layar lebar.


Film mlayar lebar itu, nyaris tidak berbeda dengan pelakonan dan jalan cerita dari serial televisinya. Dalam versi layar lebar, pelakonan dibintangi oleh Ben Stiler selaku David Starsky dan Owen Wilson sebagai Ken Hutchinson. Film yang masuk dalam kategori parental guide -atau bimbingan orang tua karena beberapa adegan dan dialognya berbau sarkastis- itu masih menjual kekonyolan pengadeganannya.

Jualan kekonyolan itu pula, yang dulu sempat membuat Paul Michael Glaser dan David Soul menjadi bintang televisi yang melegenda (1975-1979). Apalagi trade mark dandanan celana blue jeans dan sepatu cat Adidas putih itu masih dipertahankan menjadi simbol yang tidak terpisahkan dengan keberadaan dua detektif slengekan. Dan tentu saja, tidak klop tanpa menyebut kehadiran mobil Ford Gran Torino 1974 berwarna merah tumpangan mereka.

Dan alur cerita pun sebagaimana film drama komedi kebanyakan, teramat sangat ''hitam putih'', sehingga membuat penonton tidak perlu mengernyitkan dahi untuk mengetahui siapa si jahat yang semestinya ditumpas dan siapa yang semestinya dibela meski berpolah lewat aksi konyolnya.

Klise

Jadi, penonton tinggal duduk manis menyimak kekonyolan demi kekonyolan dengan latar belakang waktu medio 1970-an. Dikisahkan, detektif Starsky yang berdedikasi tingggi namun temperamental serta brangasan mesti berpasangan dengan detektif Hutch yang cengengesan dan mata duitan. Atas rekomendasi komandan mereka, kapten Doby (Fred Williamson), kedua detektif tersebut mesti membongkar jalinan pembunuhan misterius yang berkepanjangan.

Di-back up oleh Huggy Bear (Snoop Dogg) yang bertindak selaku informan, penyelidikan akhirnya merunut kepada dua penari cheerleader nan seksi bernama Kitty (Juliette Lewis) dan Holy (Amy Smart). Informasi yang dirangkum keduanya dari dua cheerleader itulah, yang akhirnya menjadi titik terang peristiwa pembunuhan berantai tersebut, yuakni mengarah kepada seorang pengusaha ternama bernama Reese Fieldman (Vince Voughn).

Namun kendala menghampiri penyelidikan keduanya, karena mereka tidak dapat membuktikan kesalahan Fieldman semudah membalikkan telapak tangan. Akhirnya, karena lakon mesti menang, mereka pun dapat mengetahui kalau Fieldman mempunyai kelenaan, yaitu mempunyai formula kokain yang berasa manis dan tidak terdeteksi oleh hidung anjing pelacak nomor wahid sekalipun.

Selanjutnya, kisah klise pada ending adegan pun menjadi benderang; Starsky dan Hutch tentu saja dapat meringkus sang biang kejahatan, meski harus jatuh bangun, baku pukul, dan baku kebut dengan antek-antek Fieldman. Lalu, apakah sukses versi televisinya akan dapat dilanggengkan oleh versi layar lebarnya, sebagaimana serial Charlie Angels yang sempat dibuat sekuel itu? Kita tunggu saja. (Benny Benke-41)

Regina Schemeken

Jumat, 16 April 2004 . Budaya

Membaca Foto, Membaca Narasi

BELAJAR memaknai atau menafsir sebuah perubahan yang terjadi di sebuah bangsa memang bukan perkara mudah. Apalagi pemaknaan atau penafsiran itu mesti direpresentasikan melalui medium foto. Sebab, bisa jadi -dan ini menjadi sebuah keniscayaan yang terbuka lebar- tafsir yang hendak disampaikan fotografernya berbeda, bahkan berseberangan jauh dengan penikmat fotonya. Dan ikhtiar penyamaan persepsi lewat medium foto inilah yang hendak di capai 10 fotografer muda yang menggelar karyanya di Galeri Foto Oktagon, Jakarta.


Berangkat dari sebuah ide fotografer Jerman, Regina Schmeken, 10 fotografer yang rata-rata kelahiran tahun 1980-an itu mencoba membidik perubahan politik yang terjadi di Indonesia sejak 1998 hingga kini. Tema dibidik secara verbal dengan subjek serealis mungkin, juga secara alegoris atau simbolis. Ide terinspirasi ketika Regina menggelar workshop fotografi berkaitan dengan pameran Die Neue Mitte: Fotografien 1989-2000, di Goethehaus, Februari lalu.

Dan sebagaimana karya Regina yang membidik nuansa saat Jerman bersatu, 10 fotografer muda ini pun berupaya merangkum nuansa reformasi di Indonesia. Memang, tak semua foto seri hitam putih yang dipamerkan itu mampu menangkap nuansa reformasi. Namun, sebagai karya foto, peristiwa tahun 1998 hingga kini itu cukup menarik untuk diapresiasi.

Lihatlah karya Timur Angin yang berjudul ''Sudahkah Anda Rapi Hari Ini?'' Karya fotografer muda yang pernah belajar di Fakultas Film dan Televisi, Institut Kesenian Jakarta (IKJ) itu membidik kehidupan orang-orang gila dan terisolasi dipenjara. Secara verbal, karya foto Timur memang tak terkait dengan peristiwa reformasi.

Narasi

Tapi tunggu dulu. Sebab, dalam katalog pameran yang bertajuk Lalu Kini Nanti (Past Present Future) itu ada narasi yang memperjelas karya itu. Ini: Reformasi politik 1998 yang saya rasakan seperti yang dirasakan orang-orang gila itu; tidak terasa apa-apa. Hiruk pikuk reformasi itu menurut saya seperti pikiran orang gila yang tidak pernah berpikir. Jadi begitu-begitu saja keadaannya. Kosong dan tidak ada pikiran.

Maka, sangat jelas foto karya putra cerpenis Seno Gumiro Adjidarma itu mencoba membaca peristiwa reformasi di Indonesia yang kosong, juga terpenjara. Demikian juga dengan foto karya Bela Ginanjar, Christina Phan, Evelyn Pritt, Heri Hermawan, Maya Ibrahim, Paul Kadarisman, Stefany Imelda, Tika J Simanjuntak, dan Widya Sartika Amrin. tentu saja dengan versi dan cara pandang mereka masing-masing. Maka, engan kata lain, foto-foto tersebut seakan tak bisa berdiri sendiri. Sebaliknya, penikmat harus membaca narasi dalam katalog untuk mengatahui apa maksud foto tersebut.


Tapi tak mengapa. Toh, foto-foto tersebut tetap enak dinikmati tanpa pretensi tema apa pun. So, lepaskan tema dan nikmati saja foto-foto itu sebagai sebuah karya. Dengan cara seperti itu, niscaya kita malah menemukan nilai-nilai estetis dari karya tersebut.(Benny Benke-79).

Shaolin

Rabu, 3 Maret 2004 . Budaya

Kungfu Asli dari Shaolin


TAK sebagaimana sambutan meriah yang mereka terima dalam kunjungan perdananya ke Indonesia pada 2000 lalu, penampilan kelompok shaolin dari Henan, China, di Sport Mall Kelapa Gading, Jakarta, Sabtu-Minggu (28-29/2) lalu hanya mendapatkan respon yang biasa-biasa saja dari penontonnya. Dalam enam pertunjukan selama dua hari, aksi keturunan shaolin ke-33 yang menyertakan 24 anggotanya itu memang tampil tidak sebagaimana bayangan sebagian besar penonton.


Padahal, aksi bertajuk ''The Real Kungfu Show-World Tour 2004'' itu telah menyertakan unsur kebaruan dalam tampilannya. Yakni adanya jalan cerita yang dituturkan secara linear tentang sejarah shaolin. ''Kami memang mengemas atraksi ini ke dalam sebuah cerita tentang asal mula shaolin. Inilah yang membedakannya dengan atraksi pada tahun 2000 lalu,'' tutur sutradara melalui penerjemah.


Di panggung ukuran 12 m x 15 m, dan lighting 250.000 watt, pentas para sholin dari pegunungan Shongsan, Zhengzu, itu pun mulai berkisah tentang dirinya sendiri. Dengan mengambil titik sentral lewat pengisahan tokoh sholin tua (88 tahun) dan belia (8 tahun), para shaolin unjuk kebolehan. Mereka memamerkan 18 senjata yang merangkum dalam 172 jurus (100 jurus dasar, 36 jurus internal, dan 36 chikung).

Dan lihatlah, betapa elok atraksi mereka, mulai kepiawaian mengolah tubuh, sampai memainkan berbagai senjata; golok, tombak, toya (tongkat), ruyung, dan pedang. Mereka juga fasih memainkan berbagai jurus-jurus kungfu, seperti jurus kera, elang, katak, serta jurus dewa mabuk. Namun, sambutan penonton ternyata cenderung tertuju pada aksi kemampuan para shaolin ketika memamerkan kekebalan tubuh. Misalnya ketika seorang shaolin diangkat dengan belasan tombak dalam poisi telentang. Beberapa gagang tombak terliaht melengkung sementara mata tombak ''menancap'' di leher, dada, dan perut.

Toh di luar itu, berbagai atraksi yang sering dijumpai dalam film-film silat Mandarin tak tak begitu mengejutkan bagi sebagian besar penonton. Bahkan, adegan di film dirasa lebih dahsyat.
''Di bioskop atau teve, mereka (para shaolin) malah bisa berkelahi sambil terbang,'' komentar seorang penonton. Memang mustahil mendapatkan adegan seperti itu dalam pertunjukan shaolin kali ini. Sebab, sebagaimana dikatakan sutradara pertunjukan, aksi meringankan tubuh yang sering ditayangkan dalam film-film silat tidak lebih dari trik kamera belaka.

''Di atas panggung, paling tinggi mereka hanya bisa melompat dua meter. Karena itu nama pertunjukan ini the real shaolin kungfu.'' Setelah Jakarta, tur yang digelar Kahn Enterprise itu akan tampil di Yogyakarta (3/3), Cirebon (4/3), Surabaya (6-7/3), Bandung (9-10/3), Bogor (17/3), Balikpapan (20/3), dan Samarinda (21/3).(Benny Benke-79)

Romusha: Jan Banning

Senin, 1 Maret 2004 . Budaya

Jejak Getir Korban Romusha

PERANG, apa pun alasannya, selalu meninggalkan kisah sedih baik bagi sang pemenang maupun yang tertaklukkan. Maka, proporsi "menang jadi arang, kalah jadi abu" pun menjadi stigma yang tidak terpisahkan bagi siapa saja yang "menyemarakkan" perang. Demikianlah Jan Banning, fotograper asal Belanda, mencoba bercerita tentang kisah sedih para korban kekerasan dan kebiadaban Perang Dunia II (saat Jepang menduduki Indonesia) dalam pameran foto bertajuk "Tracks of War/Jejak-Jejak Perang".


Ya, sebanyak 24 potret (berikut teks) dipajang dalam pameran yang digelar di Erasmus Huis, Kuningan, Jakarta. Objeknya adalah para lelaki yang pernah menjalani kerja paksa pada jalur kereta di perbatasan Thailand dan Burma, serta Pekanbaru, Sumatera dipajang. Banning, yang memulai proyek "mengumpulkan keping-keping kemanusiaan" ini dari emosi pribadinya (kakeknya diperkerjakan di jalur Burma, dan ayahnya di jalur Pekanbaru), berhasil menemukan 15 mantan tawanan perang kulit putih dan Indo di Negeri Kincir Angin. Satu orang di Jakarta, dan delapan orang mantan romusha dari Sumatera dan Jawa.


Sebelum memotret, Banning mengawali dengan mewawancarai para korban. Mereka "digiring" untuk mengenang pengalaman tergetir dalam hidup mereka, hingga akhirnya mereka difoto telanjang dada. Sang fotografer berhasil membidik pertanyaan dasar lewat pamerannya; Apakah akibat dari pengalaman yang sangat pahit selama menjalani kerja paksa itu untuk hidup mereka selanjutnya?


Simaklah misalnya pengakuan Ngadiyo, laki-laki kelahiran Gunung Kidul, Yogyakarta, tahun 1912. Ia adalah salah satu korban romusha. Ngadiyo menjalani kerja paksa di Singapura, lalu dipindah di jalur kereta api Birma-Siam. "Kami disuntik agar tetap sehat, tapi makanannya begitu sedikit. Banyak orang mati karena kelaparan." Ia menuturkan, jatah makanan untuk empat orang sebenarnya hanya cukup untuk satu orang. Ada juga yang mati karena beri-beri kering atau basah, juga malaria atau batuk darah.


"Setiap hari tiga orang meninggal, lalu menjadi lima sampai sepuluh orang. Dua ratus orang yang berangkat bersama saya dari Singapura, mungkin hanya 70 orang yang selamat." Seorang korban lain adalah Sardi. Laki-laki kelahiran 1928 di desa Candisari, Grobogan, Jateng ini menjadi romusha di jalur kereta api Muara Sijunjung, Pekanbaru. "Seorang kawan saya sakit, saya disuruh mengubur. Teman saya itu bilang, 'saya belum mati". Tapi kami harus menguburkannya. Jika tidak, kami bisa mati."


Dan yang lebih menyedihkan, pengalaman menjadi pekerja paksa ternyata bisa membuat orang mati rasa, seperti yang diakui Ben de Lizer. "Tidak gampang untuk membunuh orang. Tapi kalau sudah sekali melakukannya, kita tidak takut lagi," ujar Ben yang lahir 27 Oktober 1920 di Semarang. Menurut dia, jika saat ini ada orang yang melukainya, ia dengan tanpa rasa bersalah akan menembak orang tersebut. Ia tidak lagi peduli. Pada malam hari, ia kerap bermimpi. Namun ia tidak tahu mimpi apa. Ia selalu terjaga dan berteriak.


"Kalau saya dipanggil lagi oleh negara, saya akan ikut lagi karena senjata masih bisa untuk dipegang. Saya juga tidak tahu kenapa. Mungkin itulah akibat perang. Saya sudah membunuh banyak orang, sehingga membuat saya tidak takut mati. Kalau memang sudah waktunya, orang akan mati."(Benny Benke-79)

21 gram


Sabtu, 14 Februari 2004 .Budaya


21 Gram Nyawa Kita


MAUT bisa datang dengan beribu cara, dan itulah takdir. Betapapun gentar atau gagahnya seseorang dalam menyambutnya, toh elmaut tetap menimbulkan kegetiran bagi yang ditinggalkannya. Dan begitu seseorang mati, konon berat jasadnya menjadi lebih ringan 21 gram.
Nah, film 21 grams garapan Alejandro Gonzalez Inarr ini kira-kira bercerita tentahg ''sesuatu'' sebelum kita kehilangan yang ''21 gram'' itu. Tentang harapan, rasa putus asa, juga daya tahan sebelum mati menghampiri.


Film yang kali pertama diputar di Venice International Film Festival 2003 ini memasang aktor-aktor kelas Oscar, seperti Sean Pen, Benicio Del Toro, dan Naomi Watts. Kisah 21 grams beranjak dari skenario Guillermo Arriaga. Kerja bareng antara Arriaga dan Inarritu ini adalah untuk kali kedua, setelah mereka sukses menggarap Amores Perros yang masuk nomenee di ''Academy Award''.

Alkisah, Paul Rivers (Sean Pen), seorang profesor perguruan tinggi, menderita gagal jantung. Didampingi istrinya, Mary (Charlotte Gainsbourg), ia menjalani bahtera yang serba payah. Selain karena ke mana-mana Rivers harus menenteng tabung oksigen, Mary ternyata juga mengalami gangguan pada alat reproduksinya sulit hamil.

Satu-satunya kemungkinan yang akan membuat keduanya akan bertahan hidup adalah jika ada seseorang yang rela menyumbangkan jatung untuk Rivers. Sedangkan Mary mesti menjalani inseminasi buatan agar bisa hamil. Pada kisah yang lain, Christina Peck (Naomi Watts) menjalani hidup yang bahagia dan ideal bersama suaminya, Michael (Danny Huston) dan dua anak mereka. Dan pada kisah ketiga, Jack Jordan (Benicio Del Toro), mantan narapida yang telah kembali ke jalan Tuhan, hidup bersahaja bersama istrinya, Mariane (Melissa Leo) serta dua anak mereka.

Hingga suatu hari, truk yang dikemudikan Jordan menyambar Michael beserta dua putrinya. Karena panik, Jordan melarikan diri. Dari kecelakaan inilah sebuah kisah muncul, mempertautkan tiga kelurga yang sebelumnya tak pernah bersentuhan satu sama lain. Begitulah. Anak-anak Michael meninggal, sedangkan ia sendiri hampir pasti tak bisa diselamatkan. Akhirnya, dalam keadaan genting, Christina atas rekomendasi dokter mendonorkan jantung suaminya.


Bisa ditebak, jantung itu dicangkokkan kepada Rivers. Dan Jordan, atas nama tanggung jawabnya kepada Tuhan, menyerahkan diri ke Kepolisian. Ia dipenjara selama dua tahun. Tapi film ini tidak berakhir sesederhana itu. Rivers yang merasa berutang budi, berusaha menemukan si pendonor. Hingga akhirnya ia menemukan Christina yang sedang menuju depresi. Sementara itu, di dalam penjara Jordan kembali ke sifatnya yang asli. Ia menghujat Tuhan atas segala takdir yang tak pernah dapat ia mengerti dengan akal sehatnya.


Kisah semakin rumit dan pelik ketika diam-diam Rivers dan Christina saling jatuh cinta. Dan atas nama cinta, juga balas budi, Rivers pun berniat membalaskan sakit hati Christina atas kelalaian Jordan yang mengakibatkan anak-anaknya mati. Dari rangkaian itu, maka makna sebuah nyawa pun menjadi dialektika yang menyayat-nyayat antara Rivers, Christina, dan Jordan. Simak, misalnya, kegelisahan batin Rivers ketika jantungnya yang kedua itu ternyata juga mulai mengalami kegagalan. Ia pun seperti bertanya, ''Apa arti 21 gram dari tubuh kita jika kita ternyata rela melepaskannya?'' (Benny Benke-79)

Lost in Translation

Rabu, 18 Februari 2004 . Budaya

Film Unggulan Academy Award
Kegagapan Budaya Orang AS


ACADEMY Award, sebuah ajang penghargaan paling bergengsi bagi insan perfilm dunia, segera digelar di Kodak Theater, Hollywood Boulevard dan Higland Avenue, Los Angeles, California, Amerika Serikat (AS), Minggu (29/2) mendatang. Hajat besar yang diklaim menjadi tolok ukur kesukesan sebuah film di kancah perfilman internasional itu, menempatkan beberapa judul film sebagai nominator peraih piala Oscar.


Di antara sekian judul film unggulan itu, Lost in Translation berhasil menyabet empat nominasi. Film yang bernarasi tentang kegagapan orang Amerika Serikat ketika hidup dan mengalami gegar budaya di negeri Sakura, Jepang, itu memang telah membuktikan keunggulannya. Paling tidak, hal itu ditunjukkan dengan sukses meraih tiga Golden Globe Award untuk kategori Film Komedi Terbaik, Skenario Terbaik (Sofia Coppola), dan Aktor Komedi Terbaik (Bill Murray). Adapun empat kategori yang menominasikannya untuk meraup Oscar, terdiri dari kategori Film Terbaik, Sutradara Terbaik (Sofia Coppola), Skenario Orisinal (Sofia Coppola), dan Aktor terbaik (Bill Murray).

Memang, Lost In Translation menjadi istimewa bukan hanya karena terlahir dari hasil karya seorang sutradara muda berbakat, Sofia Coppola, putri salah satu sutradara langganan Oscar, Francis Ford Coppola. Tapi, di tangan Sofia pula, film ber-genre drama komedi yang beranjak dari sebuah ide sederhana itu menjadi istimewa karena cara penulisan skenarionya berbeda. Karena itu tidak salah, jika Sofia menempatkan namanya sendiri sebagai salah satu nominator untuk meraih Oscar kategori original screenplay, bersaing dengan film The Barbarian Invasion, Dirty Pretty Things, Finding Nemo dan In Amerika.

Gegar Budaya

Film yang juga untuk kali pertama menempatkan aktor Bill Muray sebagi salah satu nominator peraih gelar aktor terbaik itu, pada intinya berkisah tentang dua anak manusia dewasa yang ''tersesat'' dan mengalami gegar budaya di sebuah wilayah yang kebudayaannya berbeda 180 derajat dengan kebudayaan aslinya. Jika mujur, Murray yang bersaing dengan Johnny Depp (Pirates of The Caribbean: The Curse of The Black Pearl), Ben Kingsley (House of Sand and Fog), Jude Law (Cold Mountain) dan Sean Penn (Mystic River), akan meraih Oscar perdananya.

Dikisahkan, Bob Harris (Bill Murray), seorang bintang film papan tengah AS, diharuskan untuk beradegan dalam sebuah iklan di Jepang. Di negeri Matahari Terbit itulah, kontak budaya yang menimbukan kegegaran budaya mulai menghinggapi Harris. Betapa ia musti "berdamai" dengan shower yang terlalu pendek, kamar yang sempit, membungkuk setiap kali bertemu orang, serta -yang paling menjadi kendala- bahasa yang aneh dan asing di telinganya. Semestinya, Harris berkeinginan untuk segera ke negeri ibunya; namun atas nama kontrak dan profesionalitasnya, kepulangan ke AS terpaksa ia urungkan.

Hal yang sama, terjadi pada Charlotte ( Scarlett Johansen), yang mengalami kejenuhan sampai di ambang akut. Meski suaminya, John (Giovanni Ribisi), seorang fotografer yang workaholic, sangat menikmati kehidupan barunya. Nah, potret kegegaran budaya Harris dan Charlotte di negeri yang lebih mencintai bahasa ibunya sendiri daripada bahasa Inggris itulah, yang menjadi titik sentral film Lost In Translation. Sebuah tema yang jarang dipikirkan oleh para sineas, bukan?(Benny Benke-41)

Harry Roesli

Senin, 12 Januari 2004 . Budaya

Joke dari Gus Dur

MAU tahu guyonan terbaru dari Harry Roesli? Belum lama ini, seniman slebor yang doktor musik dan gemar mengenakan pakaian serba hitam ini mengumbar joke-joke segar di hadapan puluhan wartawan cetak dan elektronik, di Zoom Cafe, Jakarta. ''Ada sebuah kisah,'' katanya, mengawali joke-nya. ''Suatu hari, Megawati, Amin Rais, Gus Dur, Aa Gym, dan seorang santrinya berpergian naik pesawat. Karena sesuatu hal, pesawat itu rusak. Kelima orang tadi harus turun dengan menggunakan parasut. Karena parasutnya hanya empat, padahal yang mesti diselamatkan lima, maka diaturlah siapa dulu yang menggunakan parasut itu,'' ujar Harry Jumat (9/1) petang.


Lalu seniman asal Bandung itu melanjutkan, ''Karena Megawati presiden, maka ia meloncat duluan. Setelah itu Amien Rais bilang, ''Ia harus diawasi. Kalau tidak bisa bahaya''. Maka melompatlah ia menggunakan parasut kedua. Mengetahui hal itu, giliran Gus Dur berujar, ''Wah kalau anak dua itu dibiarkan meloncat, bisa berantem mereka berdua. Jadi saya juga harus meloncat dari pesawat ini demi menengahi mereka.'' Lalu, ia pun melompatlah. Kini, giliran santri Aa Gym yang panik dan berkata kepada gurunya, ''Silakan Aa meloncat dengan parasut terakhir,'' katanya pasrah.


''Nggak, kita barengan aja,'' jawab Aa Gym kalem.
''Tapi parasutnya kan tinggal satu?''
''Parasutnya masih dua. Tadi Gus Dur ngambil ransel saya!'' kata Aa Gym.
Tentu saja, dongeng Harry membuat terpingkal-pingkal wartawan. Namun tidak takutkah ia bahwa ceritanya bakal menyinggung perasaan Gus Dur?
''Lho, wong saya dapat cerita ini langsung dari Gus Dur kok!''

Ya, Harry Roesli yang duduk di samping Humphrey R Djemat dan artis Cornelia Agatha memang sedang sibuk mensosialisakan acaranya bersama AAI (Asosiasi Advokat Indonesia). Acara yang berikhtiar memadukan pembacaan puisi dan musik itu rencananya akan berlangsung di Graha Bhakti Budaya, TIM, Jakarta, Senin (12/1) malam, dengan tema ''Harmonisasi''.

Acara yang menempatkan Harry sebagai music director itu, rencananya juga menampilkan pembacaan puisi dari para advokat, seperti Humphrey, Yan Apul, Denny Kailimang, Nursyahbani Katjasungkana, dan beberapa nama lain. Acara itu diharapkan bisa menunjukkan bahwa para profesional seperti advokat tidak hanya melulu berkutat pada keseriusan dan permasalahan ''pasal-pasal'' yang baku.


''Kami juga dapat mengepresikan dan menerjemahkan fakta-fakta kehidupan dalam bentuk renungan-renungan lewat rangkaian kata-kata yang biasa kita sebut puisi,'' kata Humphrey. Menurut Harry, ternyata para advokat itu tidak hanya bekerja dengan otak kiri saja, tapi juga menggunakan otak kanan. Lha kalau Kang Harry sendiri menggunakan otak yang mana? ''Wah, kalau saya mah kalau bekerja nggak pakai otak!'' (Benny Benke-79)

City of God

Kamis, 19 Februari 2004 . Budaya

Film Unggulan Academy Award
Tradisi Kekerasan di "Kota Tuhan"


BRASIL, sebuah negara di selasar Amerika Latin yang selama ini masyarakatnya dikenal sebagai ''pemeluk teguh'' sepak bola dan senantiasa melahirkan talenta baru di cabang olahraga tersebut, ternyata -sebagaimana tipikal negara berkembang lainnya- menyimpan sisi kelam kehidupan masyarakatnya. Dan beranjak dari kekelaman kisah nyata di sebuah kota bernama Cidade de Deus, di Rio de Jenerio, itulah sebuah film berjudul City of God lahir.


Film berdurasi 130 menit dan ber-genre drama action hasil besutan Fernando Meirelles tersebut, sanggup membetot perhatian para kritikus film dunia. Film itu penuh dengan adegan baku tembak, darah muncrat, dan tubuh-tubuh yang bergelimpangan. Sinema yang diproduksi 2002 tersebut, terasa "menghentak" bukan karena para pelakonnya sudah tersohor, melainkan justru karena hanya sekumpulan anak jalanan berusia belasan diarahkan untuk berakting dengan wajar, natural, dan artifisial (apa adanya). Dan hasilnya sungguh menakjubkan, empat nominasi Academy Award diraihnya.

Untuk sementara, Fernando Meirelles bisa tersenyum bangga. Sebab, selain menempatkan namanya sebagai nominator sutradara terbaik -bersaing dengan sineas-sineas mapan seperti Peter Jackson (The Lord of The Ring: The Return of The Ring), Peter Weir (Master and Commander: The Far Side of The World), Clint Eastwood (Mystic River) dan Sofia Coppola (Lost In Translation)-, film City of God ikut meramaikan persaingan dalam kategori best cinematography, best film editing, dan best adapted screenplay (Brulio Mantovani).

Dari empat nominasi yang didapatkan, peluang paling besar -menurut para kritikus film- yang akan diraih oleh City of God adalah kategori naskah adaptasi terbaik. Hal itu dimaklumkan, karena film tersebut berangkat dari kisah nyata -bukan mitos-, dan mempunyai kekuatan dramatis yang sangat kuat dibanding nominator lainnya, seperti American Splendor, The Lord of The Ring: The Return of The King, Mystic River dan Seabiscuit.

Kota Setan

Kengerian kisah nyata yang digulirkan oleh film yang dibintangi Alexandre Rodrigues, Matheus Nachtergaele, Alice Braga, Seu Jorge, Leandro Firmino da Hora, dan sejumlah bintang baru, itu memang mendapat banyak pujian. ''Sadis, menghentak, namun penuh keindahan,'' ulas surat kabar New York Post. "Itu adalah film langka yang dibuat dengan teramat menggoda pemirsanya, hingga tanpa sempat membuat perbandingan dengan film lainnya,'' lanjut ulasan tersebut. Bahkan surat kabar Chicago Tribun menetapkan kepelikan film tersebut berada satu tingkat di atas sinema garapan Alejandro Gonzales Innaritu; Ameros Perros.

Film yang bernarasi tentang kehidupan anak-anak yang tumbuh dan berkembang di jalanan dengan sepak terjang gengnya (slum) masing-masing sembari menenteng pistol itu, bertitik sentral pada pengisahan dua anak yang menjalani nasib berbeda. Salah satunya bernama Rocket (Alexandre Rodrigues). Karena muak dengan iklim kekerasan yang saban hari hadir di hadapannya, ia berketetapan menjadi seorang fotografer.

Sedangkan anak satunya -bernama Little Ze (Leandro Firmino da Hora)-, bersama karibnya meneruskan tradisi kekerasan di City of God. Yaitu, menjadi berandalan dengan mamasok narkoba ke seantero kota, serta berperang dengan siapa saja yang menghalangi bisnisnya. Meski aparat penegak hukum seperti polisi mengadangnya, kesadisan Little Ze tetap menggelinding mulus di kota kelam tersebut. Angle itulah, yang membuat City of God tak ubahnya kota setan yang setiap hari mendatangkan ketakutan, karena aturan ditegakkan oleh siapa pun yang memegang senapan.


Di "kota tuhan" itu, usia kanak-kanak biasanya tidak lebih dari 15 tahun. Dan merupakan mukzizat, apabila seorang anak mampu mempertahankan usianya lebih dari 15 tahun tanpa hengkang dari kota tersebut. (Benny Benke-41)

Asrul Sani

Selasa, 13 Januari 2004 . Budaya

In Memoriam Asrul Sani

"Terimalah Hidup Apa Adanya!"

SULTAN Marah Sani Syair Alamsyah, Yang Dipertuan Padang Nunang Rao Mapat Tunggul Mapat Cacang, mungkin tidak pernah mengira -demikian pula Nuraini binti Itam Nasution- kalau pada masanya putra mereka yang bernama Asrul Sani bakal menjadi salah seorang tokoh penting dalam perjalanan dan perkembangan perfilman Indonesia. Bahkan dalam lingkup yang lebih luas, ayah enam putra kelahiran Rao, Sumatera Barat, 10 Juni 1927 itu bakal mewarnai perjalanan kesenian dan kebudayaan Tanah Air hingga akhir hayatnya.


Demikianlah, intisari pidato perpisahan yang disampaikan Salim Saad (mewakili keluarga), Rosihan Anwar (mewakili Akademi Jakarta), Pramana (mewakili Institut Kesenian Jakarta) dan Ratna Sarumpaet (mewakili Dewan Kesenian Jakarta) di depan jenazah Drs H Asrul Sani, yang disemayamkan sejak pukul 10.40 WIB, di Graha Bhakti Budaya II, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Senin (12/1) pagi, kemarin.


Ya, Asrul Sani yang mengawali kariernya sebagai seorang penyair, sebelum pada akhirnya menjadi penggerak utama perfilman Tanah Air bersama almarhum Usmar Ismail, telah mangkat dalam usia 76 tahun. Sekitar pukul 22.00 WIB, Minggu (11/1), malam suami Siti Nuraini dan Mutiara Sani itu wafat dikediamannya, Jl Attahiriyah II, Kompleks Warga Indah 4E, Pejaten Barat, Jakarta Selatan, setelah selama setahun berada di atas kursi roda.


''Tidak ada yang menduga beliau akan secepat ini meninggal dunia; karena meskipun selama setahun ini berada di atas kursi roda dan sakit-sakitan, sebenarnya almarhum tampak sehat-sehat saja,'' terang Ratna Sarumpaet, adik kandung Mutiara Sani, sembari terbata-bata. Di mata wartawan senior Rosihan Anwar -yang berbicara tidak hanya mewakili Akademi Jakarta namun juga sebagai pribadi-, sosok Asrul Sani yang pernah mengenyam pendidikan Royal Academy for Dramatic Arts Amsterdam (1950-1953) serta Departemen Teater dan Sinema di University of Southern California (USC), adalah persona yang bersahaja.


''Dalam film Markamah yang almarhum sutradarai, yang di dalamnya saya ikut terlibat, ada sebuah dialog yang berujar: Hidup tidak ada apa-apanya,'' ujar Rosihan Anwar yang -pada kesempatan itu duduk bersama Ramadhan KH dan Sitor Situmorang- tak mampu menyembunyikan kedukaannya. ''Dari dialog itu, ada pesan dan peringatan dari almarhum yang filosofinya: Terimalah hidup apa adanya,'' imbuhnya.

Memang, penulis Tiga Menguak Takdir, Mantera dan Kumpulan Sajak (Budaya Jaya), karya sastra yang telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa, itu semasa hidupnya bukanlah manusia biasa. Berbagai karya telah lahir dari ketekunan dan dedikasinya dalam dunia kesenian dan kebudayaan Tanah Air; yaitu antara lain berupa antalogi puisi, lagu, cerpen, esai, naskah film , naskah drama, naskah terjemahan (novel, puisi, drama), skenario, dan film. Bahkan, Asrul -yang semasa revolusi 1945-1950 menjadi anggota Laskar Rakyat Jakarta dan kemudian masuk TNI pasukan OO1 dibawah pimpinan Kolonel Lubis itu- juga meraih berbagai penghargaan.

Anugerah tersebut antara lain, piala Golden Harvest untuk film terbaik dalam Festival Film Asia (1971) lewat film Apa yang Kau Cari Palupi; delapan buah Piala Citra untuk cerita dan skenario film terbaik, masing-masing dalam film Kemelut Hidup (1979), Bawalah Aku Pergi (1982), Sorta (Cerita Asli) (1983), Titian Serambut Dibelah Tujuh (1983), Kejarlah Daku Kau Kutangkap (1986), Nagabonar (1987), Nagabonar (Cerita Asli) (1987) serta Nada dan Dakwah (1992). Selan itu, sineas andal itu juga menerima The World Intelectual Property Organization (WIPO) Medal for Yhe Best Indonesia Author of the Year 2001, serta anugerah ''Bintang Mahaputera Utama" dari Pemerintah RI pada Agustus 2000.

Sebagai penerima Bintang Mahaputera Utama, sutradara panggung yang juga pernah mementaskan lakon Anton Chekov (Burung Camar), Satre (Pintu Tertutup), Robles (Monserrat), Lorca (Yerma), dan Albert Camus (Caligula) itu berhak dimakamkam di Taman Makam Pahlawan, lengkap dengan upacara militernya.

''Namun demikian, almarhum yang juga kakak, kawan, guru, dan sekaligus ayah bagi saya menolak untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan,'' ujar Ratna Sarumpaet, yang mengaku banyak belajar teknik penulisan naskah drama dari almarhum.

Kesan kehilangan terhadap mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI (1966-1982) itu, tidak hanya dirasakan oleh para pekerja film dan kesenian yang pernah bersentuhan denganya; seperti Rosihan Anwar, Ratna Sarumpaet, Abiyati Abiyoga, Retno Maruti, Jajang C Noer, Pong Harjatmo, Putu Wijaya, Idris Sardi, Cok Simbara, dan Harry Capri, namun juga oleh para pekerja film yang jauh sesudahnya, seperti Mira Lesmana dan Riri Riza.

''Berbicara tentang Asrul Sani, adalah berbicara tentang setengah dari perjalanan film nasional,'' ujar Riri Riza. ''Almarhum adalah trade mark perfilman Indonesia. Siapa yang tidak tahu Titian Serambut Dibelah Tujuh, Nagabonar, dan karya masterpiece lainnya. Meskipun saya hanya bersentuhan dengan belaiu ketika diajar di bangku IKJ, ketika almarhum mengajar sebagai dosen tamu,'' imbuh Riri yang mengaku banyak terinspirasi oleh gaya penulisan naskah Asrul Sani.

Memang, tidak akan pernah cukup kata untuk menarasikan kebesaran Asrul Sani, sehingga tidak aneh jika kebesaran mantan rektor kedua IKJ -setelah Umar Kayam- itu masih menancap tajam di benak Cristine Hakim.''Saya memang nyaris jarang bersentuhan langsung dengan almarhum. Namun hati saya senantiasa bergetar, jika berada pada satu forum dengan almarhum,'' kata salah satu Pahlawan Asia 2003 itu. ''Sebagai seorang produser, saya baru tersadar; bahwa memang sulit menemukan penulis naskah film yang wahid; dan almarhum adalah the best scriptwriter. Sampai sekarang pun, saya masih mengaguminya,'' imbuhnya.

Jenasah Asrul Sani, yang setelah disemayamkan di Graha Bhakti Budaya II disandingakan dengan Chairul Basri -kakak Asrul yang juga meninggal dunia 10 menit lebih awal-- di Jl Prambanan, Menteng, Jakarta Pusat, akhirnya dikebumikan di peristirahatan terakhirnya, di makam Menteng Pulo, Jakarta, dengan suasana yang penuh khidmat. Inalillahi wainna ilaihi rojiun. Selamat jalan, Bang Asrul!(Benny Benke-41)

Arbain Rambey

e Rabu, 28 Januari 2004 . Budaya

Kesenyapan pun Bercerita

THE best thinking has been done in solitude. Demikian bunyi sebuah pameo yang terkenal di kalangan para eksistensialisme, atau para pemikir kedirian, kemanusiaan, dan bahkan kebudayaan, yang menyemburatkan makna bahwa buah pikir yang adiluhung biasanya dilahirkan dari suasana yang tenang. Meski tidak semua pemikiran besar berbuah dari sebuah ketenangan, namun ketenangan -yang dalam skala lebih ekstrem timbul dari suasana keheningan yang ngungun- memang cenderung menimbulkan pengalaman batin mendalam bagi yang mengalaminya.


Demikian pula yang terjadi dengan Arbain Abdul Wahidin Rambey (43), yang menarasikan keheningan lewat pameran fotografi berjuluk ''Senyap'', di Bentara Budaya Jakarta, sejak 22 hingga 29 Januari 2004. Wartawan dan fotografer Harian Kompas yang sebelumnya pernah menggelar pameran foto bertema ''Cahaya Jiwa'' (2002), ''Mandailing'' (2002), dan ''The Voice of Silence'' (2003) itu, kali ini memajang 50 foto hasil buruannya di berbagai belahan tempat sepi, sejak 1995 hingga 2004 ini.


''Saya memang senang di tempat sepi sejak kecil,'' kata pemenang dan penerima berbagai penghargaan foto tingkat nasional itu berkisah. "Sebab, masa kecil saya dekat dengan makam Bergota, Semarang. Bahkan sebenarnya, saya ingin memajang semua foto tentang kuburan, tapi nanti kelihatan terlalu ekstrem,'' imbuh laki-laki yang menghabiskan masa SD hingga SMA di Kota ATLAS -sebelum hijrah ke Bandung untuk melanjutkan jenjang sarjana di ITB, Jurusan Teknik Sipil- itu.


Kesenyapan

Lihatlah, foto-foto hitam putih dan berwarna yang ia kurasi sendiri, hasil dari berbagai perburuan "kesenyapan", mulai dari Gedong Batu Semarang, Kraton Yogyakarta, Asta Tinggi, Samosir, Masjid Banten, Mahat, Bromo, Leuser, Pulau Tukung, Kebun Raya Bogor, hingga Zenshen China, Menara Eifel Prancis, Brusel, Denmark, sampai Iran.

Semua hasil bidikan kamera itu menarasikan kesenyapan yang menawarkan pesan sendiri-sendiri; dan kesenyapan itu seolah mengajak berdialog dengan penikmatnya. ''Foto-foto alternatif di luar pakem (kelaziman-Red) foto jurnalistik yang bernarasi tentang kesenyapan itulah, yang hendak saya hadirkan kepada kalayak ramai,'' ujarnya.Maka tak berlebihan, ketika Arbain Rambey berharap ''kesenyapan'' itu dapat mengisahkan sebagian lamunannya yang menyukai sepi.


Ya, kesenyapan di tangan dan di dalam konsep pemikiran fotografer tersebut memang merepresentasikan ketenangan, solitude. Namun, dalam ketenangan itu mengalir banyak cerita.(Benny Benke-41)

The Last Samurai

Jumat, 2 Januari 2004 . Budaya

Kehormatan di Jalan Pedang


''Dapatkah seseorang mengetahui takdirnya?" "Dapat, sampai ia benar-benar berusaha terhadap nasibnya dan menguak takdirnya." "Tapi tidakkah setiap bangsa, sebagaimana manusia, mempunyai nasibnya sendiri." "Ya. Dan takdir kita lahir dan mati sebagai seorang samurai!"PERCAKAPAN itu terjadi antara Kapten Nathan Algren ( Tom Cruise) dan Katsumoto, seorang pemimpin samurai. Mereka bercakap-cakap menjelang perang penghabisan melawan tentara kekaisaran Jepang.


Sebuah pertempuran yang tak adil. Sebab, para samurai dengan pedang dan anak panah harus melawan para tentara yang bersenjatakan bedil dan meriam. Toh selama ini para samurai dengan semangat busido telah bertempur dengan heroik. Tentu saja, banyak samurai yang mati. Dan dua orang yang bercakap-cakap tadi adalah Samurai terakhir dari sebuah pertempuran yang tak adil.


The Last Samurai, film terbaru produksi Warner Bros yang bergenre drama-epik ini disutradarai Edward Zwick. Sebagai seseorang yang mengagumi kebudayaan dan film Jepang sejak remaja, film bersetting kebudayaan Jepang ini memang merupakan salah satu obsesinya.
Sebelumnya, ia telah menghasilkan film-film epik-drama, seperti The Legend of the Fall, Shakespeare in Love dan Glory.


"Sejak remaja saya terobsesi dengan film Akira Korosawa, The Seven Samurai," akunya. Dan sejak saat itulah, Zwick belajar keras untuk dapat mengetahui segala seluk beluk penyutradaraan. Dari story telling, membangun sebuah karakter, sampai dramatisasi tema. Dan lihatlah. Diawali dengan riset dan studi sejarah yang panjang, Zwick menemukan periode Restorasi Meiji. Yakni sebuah era menjelang akhir kekuasan Shogun Kuno menuju Jepang yang lebih modern, setelah mengurung diri dari dunia luar selama 200 tahun.


Nah, The Last Samurai adalah film tentang yang bercerita tentang masa transisi di Jepang. Dan sesuatu yang terjadi pada setiap masa transisi adalah, selalu ada yang menyayat antara yang kuno dan modern. Lewat film ini, Zwick bukan saja berhasil menceritakan sebuah sejarah, tapi sekaligus juga mampu memberikan gambar-gambar yang memesona. Betapa setiap gambar, landscape, dan ruang memiliki cerita karena terjadi junta posisi.


Anda bisa melihat seorang laki-laki yang mengenakan setelan jas lengkap bersanding dengan seorang perempuan berkimono. Atau seorang prajurit yang membidikkan senjata, berhadapan dengan ksatria dengan pedangnya.


Membelot


Dikisahkan, Kapten Nathan Algren (Tom Cruise) dikontrak kekaisaran Jepang untuk membangun pasukan ketentaraan yang lebih kuat dan modern. Maka, berlayarlah mantan tentara Perang Sipil di Amerika ini menuju negeri Sakura. Dalam perjalanannya itu, ia dan pasukannya bertempur melawan pasukan Samurai. Ia kalah. Pasukannya luluh-lantak dibantai para Samurai pimpinan Katsumoto (Ken Watanabe).


Katsumoto ternyata terkesima dengan kemampuan Algren, sehingga ia menawannya. Dalam statusnya sebagai tawanan itulah Algren justru mengerti banyak tentang pasukan Samurai. Hingga akhirnya ia memiliki rasa simpati terhadap kehidupan para Samurai. Algren pun belajar mengenai semangat busido dan kesejatian seorang Samurai. Pada ujungnya, ia memutuskan untuk bergabung menjadi salah seorang Samurai. Dan bersama Katsumoto, Algren bahu-membahu melawan tentara kekaisaran Jepang.(Benny Benke-79)

Jeihan

Rabu, 10 Maret 2004 . Budaya

Misteri dan Paradoks Jeihan


JEIHAN Sukmantoro, pelukis beraliran ekspresionis kelahiran Solo, 26 September 1938, tampaknya semakin mantap mengukuhkan namanya di ranah percaturan seni lukis di Tanah Air. Bertempat di Hotel Gran Melia, Kuningan, Jakarta, Senin (8/3) malam lalu, maestro seni lukis yang juga konseptor gerakan puisi mbeling era 1970-an itu menggelar pameran tunggal bertajuk ''Misteri dan Harmoni''. Dengan memajang puluhan karya terkininya yang masih bernarasi tentang sosok perempuan urban, perahu, laut, dan bunga matahari, jebolan Seni Rupa ITB dan anggota komite The World Art and Cultural Exchange Asociation New York itu masih mampu menghadirkan kemisteriusan melalui karya lukisnya.


''Dalam pandangan saya, hingga beberapa tahun ke belakang, karya Jeihan telah usai,'' terang Maman Noor, selaku kurator pameran yang dibuka oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, I Gede Ardika tersebut. ''Namun ternyata, penilaian saya keliru. Ada unsur kebaruan yang ditawarkan dalam karya terbarunya itu,'' imbuh salah satu kritikus seni rupa terkemuka tersebut, merujuk pada lukisan Jeihan tentang kapal dan ombak.


Menurut pengajar STSI Bandung itu, karya Jeihan berbeda dengan karya terdahulunya yang tersohor dengan sosok perempuan bermata hitam-nya.''Pada lukisan perahu dan ombak, brush stroke (sapuan kuas)-nya cenderung lebih liar, dengan membiarkan lelehan cat sebagai setting-nya. Itulah, yang membedakan dengan karya terdahulunya, yang dihasilkan dari sapuan yang halus dan tertata,'' ungkap Maman lebih teknis.

Sebuah Paradoks

Sementara itu Prof Jacob Sumardjo, budayawan yang dekat secara personal dengan kreatornya, menilai karya Jeihan mencerminkan sebuah paradoks dunia ambang. ''Sebagai seorang putra kelahiran Solo, yang dikenal dengan kesantunan dan simboliknya. Jeihan justru tampil dengan segala ketegasan dan kekakuan lewat garis-garis lukisannya. Itulah yang menghadirkan paradoks,'' terangnya.


Ya, Jeihan yang dikenal sebagai pelukis yang memiliki manajemen modern dan oleh karenanya memiliki perwakilan pemasaran karya di Amerika, Eropa, dan Australia, itu memang menghadirkan karya yang nomor wahid. "Sebenarnya, saya hanya membebaskan hati saya untuk berkarya, dengan menanggalkan kaidah-kaidah teknis,'' ujar Jeihan, memberikan kiat di balik proses kelahiran lukisannya.

''Pokoknya, bebaskan diri Anda dari belenggu-belenggu yang membuat Anda mandheg (berhenti) berkarya. Pokoknya melukislah; namun melukis yang dihasilkan dari proses kontemplasi yang dalam, tentu saja,'' imbuhnya berfilosofi. Memang, memahami misteri lukisan Jeihan -untuk kemudian menemukan harmoni di dalamnya- sungguh tidak semudah membaca teks yang dituturkan secara verbal. ''Kita harus mampu membaca sosok di balik kreasinya, the man behind the art-nya. Karena dengan demikian, niscaya kita dapat memahami karyanya,'' terang Maman Noor, sembari mencontohkan, untuk menikmati lagu ''Imagine''-nya John Lennon yang melodius, semakin pepak penikmatannya jika kita memahami liriknya.


Ya, meski tidak ada yang baru di bawah matahari, untuk karya Jeihan -yang pada malam pertama pameran beberapa "kemisteriusannya" telah laku terjual di atas kisaran ratusan juta rupiah per lukisan, ternyata masih menyajikan unsur kebaruan yang lain. Unsur itu, adalah kemisteriusan yang harmonis.(Benny Benke-41)

Chrisye (II)

Minggu, 24 Septembr 2006. BINCANG BINCANG

Bertumpu pada Keindahan Keluarga

L RAHADI dan Hana, orang tua yang telah melahirkan Chrismansyah Rahadi, tidak pernah berpikir jika kelak anaknya akan menjadi salah satu penyanyi penting Indonesia. Betapa tidak? Anak kedua dari tiga bersaudara kelahiran Jakarta, 16 September 1949 ini pada awalnya toh berperilaku sebagaimana anak-anak kebanyakan. Memang pada masa kanak-kanak Chrisye, demikian laki-laki itu akhirnya dikenal, suka menyanyi. Akan tetapi itu pun pada batas wajar. "Ya menyanyi sebagaimana anak kecil lain menyanyi. Sebatas hobi," ujar ayah empat orang anak ini membuka cerita.

Dibangku SMA-lah aktivitas menyanyinya menjadi semakin kuat. Hingga lulus SMA pada 1967, ayah Anissa (23), Risty (20), serta si kembar Masha dan Pasha (17) ini, sempat "mampir" sejenak di Teknik Arsitektur dan APK (Akademi Pariwisata & Perhotelan Trisakti). Namun panggilan hati untuk menyanyi ternyata lebih kuat. Ia akhirnya memutuskan keluar dari dua fakultas itu. Setelah keluar dari bangku kuliah inilah, bersama kawan-kawan dia membentuk grup Sabda Nada Band pada 1968-1969. Setelah itu bersama kawan-kawan di Gang Pegangsaan seperti Zulham Nasution, Gauri Nasution, Keenan Nasution, Onan, dan Tami membentuk Gipsy Band yang bertahan hingga 1974.


The Pros adalah band berikut yang menaungi kreativitas Chrisye. The Pros berawakan Broery Marantika, Dimas Wahab, Pomo, Ronnie Makasutji, dan Abadi Soesman. "Bersama dua band ini kami sempat manggung di New York selama dua tahun di Ramayana Restaurant," kenang Chrisye. Sekembali ngamen dari Negeri Paman Sam itulah dia bergabung dengan Guruh Soekarno Putra dengan membentuk Guruh Gipsy. Setelah menelorkan beberapa album, pria kalem yang pernah bermain dalam film Seindah Rembulan dan Gita Cinta Dari SMA, ini akhirnya memutuskan bersolo karier.


Setelah itu namanya pelan dan pasti terkenal dalam blantika industri musik Indonesia, lewat tembang "Lilin-Lilin Kecil" karya James F Sundah pada 1977. Dukungan. Setelah itu bergilir album "Badai Pasti Berlalu" karya Eros Djarot melejit lewat olah vokalnya. Kemudian "Sabda Alam" dan tembang-tembang populer lain seperti "Aku Cinta Dia", dan "Hip Hip Hura" pada kurun 1986.


"Semua itu tidak mungkin bisa saya raih tanpa dukungan istri yang baik," katanya sembari melirik Yanti, perempuan berjilbab yang menurunkan kecantikannya kepada Annisa, putri sulung mereka yang baru saja diwisuda. "Bahkan anak-anak, teristimewa si kembar juga memberikan dukungan yang tidak kalah penting dalam perjalanan karier saya hingga saat ini."
Bahkan pada saat Agustus 2005 lalu ketika Chrisye didiagnosa menderita kanker paru-paru stadium empat, dan mengharuskannya dirawat di Rumah Sakit Mount Elizabeth, Singapura. Serta mengharuskannya melalui serangkaian kemoterapi, keempat anak-anaknya, dan istrinya tidak henti-hentinya memberikan dukungan yang luar biasa.


"Merekalah semangat hidup saya yang sebenarnya," katanya haru. Berkat dukungan istri dan anak-anak yang mencintai dan dicintainya inilah, puluhan album dihasilkan dan membuatnya meraih sejumlah penghargaan. Dari BASF Award, Golden Record, HDX Award, MTV Video Music-Best Male Singer, AMI Sharp Award sebagai Penyanyi Solo Terbaik Kategori Pop Progressive, hingga BASF Award sebagai Penyanyi Legendaris (1994) diraihnya. Dan puluhan penghargaan bergengsi lain yang akan sulit diikuti penyanyi Indonesia lainnya. (Benny Benke-35).

Koil

Sabtu, 22 September 2007. BUDAYA

Kuasa Kata Koil
Oleh Benny Benke


Ini negara bodoh yang sangat aku bela/layaknya kekasih yang tercinta/tiap jengkal aku mendaki terasa hampa NUKILAN lagu berjudul "Sistem Kepemilikan" itu sudah sangat mencitrakan mau ke mana arah lirik itu. Otong sebagai pencipta lagu sangat tahu bagaimana menggunakan kuasa kata ditempatkan untuk menyampaikan idealisasi yang ada di benaknya."Sistem Kepemilikan" adalah salah satu dari delapan lagu dan sebuah single bonus dari album anyar Black Light Shine On milik grup cadas Koil. Sebagai salah satu band beraliran hard rock dan heavy metal yang paling banyak mendapat pengakuan dari publik penikmat musik ingar bingar, Koil kembali datang setelah enam tahun menghilang. Selama enam tahun itu pula Otong (vokal), Donny (Gitar), Imo (bas), dan Leon (Drum) secara maraton mengasah kreativitas mereka untuk menghasilkan sebuah album yang diharapkan dapat mengulang pencapaian album terakhir mereka, Megaloblast (2001).


Megaloblast yang sempat di-remix pada 2003 tercatat meraih angka penjualan hingga 30.000 keping. "Sebuah angka yang fantastis untuk ukuran album indie label dan ber-genre heavy metal," ujar pengamat musik Remy Soetansyah. Kini, dengan sederetan lagu dengan tema yang lebih matang dan banyak berkisah tentang keIndonesiaan serta dipadukan dengan kualitas musik yang mumpuni, sanggupkah band bentukan tahun 1993 itu kembali mengibarkan nama mereka? Sebagai jawabnya, Jumat kemarin (21/9), bertempat di salah sebuah studio di bilangan Cililitan, Jakarta Timur, album Black Light Shine On diperkenalkan. Kesempatan itu bersamaan dengan pembuatan video klip "Semoga Kau Sembuh Part II" yang diihktiarkan juga sebagai soundtrack film Kuntilanak 2.

Menengah ke Bawah

Apa yang istimewa dari album yang juga dicetak 30.000 keping dan 10.000 keping di antaranya dibagikan gratis sebagai bonus pembelian majalah Rolling Stones itu? "Karena album ini menyasar penikmat musik Indonesia dari lapisan menengah ke bawah. Kami menyajikan musik bagus dengan kualitas suara yang bagus pula, tapi dapat dibeli dengan harga murah," papar Otong, menjelang syuting video klip yang disutradarai Rizal Mantovani. Hal yang lain yang diperhitungkan adalah kekuatan lirik yang terangkum di beberapa lagu lain di antaranya "Kenyataan dalam Dunia Fantasi", "Semoga Kau Sembuh", "Ajaran Moral Sesaat", "Aku Lupa Aku Luka", dan "Hanya Tinggal Kita Berdua".


Simaklah lirik "Ajaran Moral Sesaat" yang mengungkap kemarahan, sinisme, dan sekaligus kemuakan kepada orang-orang yang gemar menggunakan agama dan moral justru untuk menindas sesamanya. Kau pikir agama adalah alat heh/ mengikuti ajaran moral sesaat hah/menjual nama Tuhan nama nabi nama kitab suci/dan semua yang kita segani. Atas kedalaman dan kekuatan lirik-liriknya yang banyak menyoroti ketimpangan sosial, politik, ekonomi, dan budaya, Otong yang memang menulis semua syair memberikan komitmen. "Kita butuh sesuatu untuk bangsa ini. Dari sinisme yang saya kemukakan di beberapa lagu awal, akhirnya toh saya tetap akan membela negara ini, apapun akibatnya."


Lucunya, album yang dalam kalangan pencinta musik underground atau bawah tanah diklaim paling ditunggu-tunggu itu, juga dibagikan secara gratis dalam bentuk MP3. "Ini bagian dari strategi pemasaran," imbuh dia. Strategi lainnya adalah menggelar sejumlah tur konser yang rencananya dialirkan mulai November di Jakarta, Bandung, Yogyakata, Surabaya, dan Denpasar. Akankah Koil yang telah menghasilkan album Demo from Nowhere (1994), KOIL (1996), single "Kesepian Ini Abadi", dan Megaloblast (2001) kembali menjadi tonggak baru musik Indonesia?. (45)