Minggu, 10 Februari 2008

Regina Schemeken

Jumat, 16 April 2004 . Budaya

Membaca Foto, Membaca Narasi

BELAJAR memaknai atau menafsir sebuah perubahan yang terjadi di sebuah bangsa memang bukan perkara mudah. Apalagi pemaknaan atau penafsiran itu mesti direpresentasikan melalui medium foto. Sebab, bisa jadi -dan ini menjadi sebuah keniscayaan yang terbuka lebar- tafsir yang hendak disampaikan fotografernya berbeda, bahkan berseberangan jauh dengan penikmat fotonya. Dan ikhtiar penyamaan persepsi lewat medium foto inilah yang hendak di capai 10 fotografer muda yang menggelar karyanya di Galeri Foto Oktagon, Jakarta.


Berangkat dari sebuah ide fotografer Jerman, Regina Schmeken, 10 fotografer yang rata-rata kelahiran tahun 1980-an itu mencoba membidik perubahan politik yang terjadi di Indonesia sejak 1998 hingga kini. Tema dibidik secara verbal dengan subjek serealis mungkin, juga secara alegoris atau simbolis. Ide terinspirasi ketika Regina menggelar workshop fotografi berkaitan dengan pameran Die Neue Mitte: Fotografien 1989-2000, di Goethehaus, Februari lalu.

Dan sebagaimana karya Regina yang membidik nuansa saat Jerman bersatu, 10 fotografer muda ini pun berupaya merangkum nuansa reformasi di Indonesia. Memang, tak semua foto seri hitam putih yang dipamerkan itu mampu menangkap nuansa reformasi. Namun, sebagai karya foto, peristiwa tahun 1998 hingga kini itu cukup menarik untuk diapresiasi.

Lihatlah karya Timur Angin yang berjudul ''Sudahkah Anda Rapi Hari Ini?'' Karya fotografer muda yang pernah belajar di Fakultas Film dan Televisi, Institut Kesenian Jakarta (IKJ) itu membidik kehidupan orang-orang gila dan terisolasi dipenjara. Secara verbal, karya foto Timur memang tak terkait dengan peristiwa reformasi.

Narasi

Tapi tunggu dulu. Sebab, dalam katalog pameran yang bertajuk Lalu Kini Nanti (Past Present Future) itu ada narasi yang memperjelas karya itu. Ini: Reformasi politik 1998 yang saya rasakan seperti yang dirasakan orang-orang gila itu; tidak terasa apa-apa. Hiruk pikuk reformasi itu menurut saya seperti pikiran orang gila yang tidak pernah berpikir. Jadi begitu-begitu saja keadaannya. Kosong dan tidak ada pikiran.

Maka, sangat jelas foto karya putra cerpenis Seno Gumiro Adjidarma itu mencoba membaca peristiwa reformasi di Indonesia yang kosong, juga terpenjara. Demikian juga dengan foto karya Bela Ginanjar, Christina Phan, Evelyn Pritt, Heri Hermawan, Maya Ibrahim, Paul Kadarisman, Stefany Imelda, Tika J Simanjuntak, dan Widya Sartika Amrin. tentu saja dengan versi dan cara pandang mereka masing-masing. Maka, engan kata lain, foto-foto tersebut seakan tak bisa berdiri sendiri. Sebaliknya, penikmat harus membaca narasi dalam katalog untuk mengatahui apa maksud foto tersebut.


Tapi tak mengapa. Toh, foto-foto tersebut tetap enak dinikmati tanpa pretensi tema apa pun. So, lepaskan tema dan nikmati saja foto-foto itu sebagai sebuah karya. Dengan cara seperti itu, niscaya kita malah menemukan nilai-nilai estetis dari karya tersebut.(Benny Benke-79).

Tidak ada komentar: