Minggu, 10 Februari 2008

Slamet Gundono / Drupadi

Senin, 10 Mei 2004 BUDAYA

Slamet Gundono Menelanjangi Drupadi


ADAGIUM yang berbunyi "bahwasanya aktor telah mati dan tergantikan kedudukannya oleh benda-benda atau elemen panggung lainnya", tidak selamanya benar. Hal itu, paling tidak dibuktikan oleh penampilan dua aktor yang bermonolog dalam pembukaan ''Pesta Monolog; Panggung Para Aktor Bicara'' di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta. Pesta monolog yang digagas Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) itu, berlangsung 8 - 16 Mei dengan menghadirkan sejumlah aktor dari penjuru Indonesia. Dalam pementasan perdana, Haji Sofyan Zahid -aktor yang menguasai budaya tutur khas Betawi- membawakan lakon Tukang Kacang Jadi Mantu Raja.



Sofyan Zahid benar-benar mampu menunjukkan kemampuannya bermonolog dengan latar budaya Betawi. Cara bertuturnya ringan, kocak, dan melibatkan penonton. Penutur hikayat berusia 62 tahun yang namanya melegenda di Jabotabek itu, mampu membuktikan, bahwa aktor dengan kemampuan seni peran yang baik tidak akan pernah tersisihkan, apalagi tenggelam oleh unsur panggung lainnya. Penampilan memikat Haji Zahid itu, seperti menjawab tantangan Ratna Sarumpaet, selaku ketua DKJ.


''Monolog adalah media tercanggih, apabila kita ingin menguji kepiawaian seorang aktor. Dalam pertunjukan monolog, seorang aktor, sebagai seorang persona, dituntut untuk menguasai sebuah panggung. Hal itu membutuhkan stamina dan penguasaan seni akting yang baik,'' katanya. Dia menambahkan, unsur penting lainnya dalam bermonolog adalah kepekaan terhadap ruang pentas serta kemampuan berkomunikasi secara baik dengan penonton.


Prasyarat keaktoran yang baik dalam bermonolog itu, juga berhasil dilalui seniman asal Solo, Slamet Gundono, yang membawakan lakon Gongseng Drupadi. Seniman yang pernah mementaskan wayang suket di Festival der Geister di Berlin, Jerman, pada 1999, itu tampil dengan gaya khasnya. Menghadirkan berbagai tokoh wayang, yang direpsentasikan dengan lombok merah, bawang merah, tomat, dan pisang yang ditusuk sedemikian rupa. Serta sebuah gitar kecil, yang mampu menimbulkan suara layaknya siter (alat musik petik khas Jawa). Gundono yang hanya menghadirkan gunungan dalam unsur pewayangan konvensional itu, tampil amat memikat.


Drupadi


Secara garis besar, monolog Gundono bernarasi tentang Drupadi yang terpaksa harus mengikuti suaminya ke Negeri Hastina untuk berjudi demi memenuhi tantangan Duryudana. Dalam perjudian -mempertaruhkan negeri beserta segala isinya- antara Pandawa dan Kurawa itulah, pihak Pandawa menjadi pecundang. Dan payahnya, dalam perjudian tersebut Drupadi menjadi bagian yang dipertaruhkan. Konsekuensinya, di depan para kerabat dan handai taulan, Drupadi ditelanjangi.


Meski melihat Drupadi dihinakan, Puntadewa -suaminya- dan para Pandawa tak mampu berbuat apa-apa. Di tengah kegalauan itulah, Drupadi menempuh jalan sendiri untuk mencari keselamatan hidupnya, meninggalkan arena perjudian.Dengan gaya bertutur yang tak kalah kocaknya dengan Haji Zahid, Gundono menelanjangi Drupadi yang disimbolkan dengan membuang buah pisang, sebelum memakannya. Dia juga berhasil menunjukkan, bahwa aktor masih menjadi pemegang peranan yang utama dalam sebuah pementasan.


Pesta monolog kali pertama itu, menghadirkan para praktisi seni peran dari berbagai penjuru Tanah air, seperti dari Bali (Nanoq Da Kansas, Cok Sawitri), Yogya (Whani Darmawan, Joned Suryatmoko), Padang (Joe Mirshal), Bandung (Asep Budiman), Medan (Burhan Folka), Makassar (Bahar Merdu), Lampung (Liza Mutiara), Surabaya (Meimura), Palu (Asmadi), Solo (Djarot Budidarsono), dan Jakarta (Rita Manu Mona, Darmanto Manardi, I Wayan Diya, Yayu Aw Unru). (Benny Benke-63a)

Tidak ada komentar: