Selasa, 04 Maret 2008

Iwan Fals

Jumat, 30 Juni 2006. BUDAYA
Iwan Fals Rilis Album
JAKARTA - Iwan Fals dan kawan-kawan prihatin atas kondisi kekinian Indonesia. Sebab, negeri ini seolah tak lepas-lepas dari krisis berkepanjang. Apalagi bencana terus-menerus terjadi di berbagai kawasan. Mereka lalu membentuk Solidaritas Indonesia atau Solid. Melalui lembaga nirlaba itu mereka meliris sebuah album keroyokan. Album bertajuk Satu Hati itu berisi 10 tembang. Lagu-lagu itu dinyanyikan Iwan Fals, Trie Utami, Doel Sumbang, Franky Sahilatua, Toto Tewel & Baruna, Ki Ageng Ganjur, Mel Sandy, dan Jody Yudono. Mereka akan menyumbangkan seluruh keuntungan penjualan album itu kepada korban gempa di Yogya dan Jawa Tengah. Al Zastrouw Ngatawi menuturkan itulah wujud kepedulian para musikus terhadap negeri ini. "Cuma lagu yang dapat kami wakafkan," katanya di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), kemarin (29/6). Zastrouw didampingi Franky Sahilatua, Toto Tewel, Mel Sandy, Baruna, dan Trie Utami. Dia menyatakan para musikus yang terlibat penggarapan album tak dibayar sepeser pun. "Bahkan Royal Prima Musikindo, distributor CD dan kaset itu, menyumbangkan seluruh bagiannya," kata Project Officer Solid Ali Akbar. Franky Sahilatua, yang menembangkan lagu "Ceritakan Saja", menuturkan setiap lagu dalam album itu diproduseri penyanyi masing-masing. "Jadi, setelah selesai dengan lagu masing-masing, baru kami serahkan ke seorang kawan koordinator." Mereka akan menjual album itu secara eceran atau partai besar. Peluncuran dibuka dengan tembang "Saat Minggu Masih Pagi" oleh Iwan Fals. "Sebisa mungkin kami akan berpromosi dengan menggelar konser atau dengan cara lain yang menghasilkan uang," ujar Franky. (G20-53)

LI Zie Jien

Rabu, 28 Juni 2006. BUDAYA
Super-realisme Cinta Li
LI Zie Jien, pelukis asal China, telah mengelilingkan lukisan realismenya ke berbagai belahan dunia sejak 1993. Kini, dia mengakhiri pameran itu di Jakarta. Dengan mengusung tema kemanusian dan cinta, Li ingin membangkitkan kembali semangat realisme di dunia yang telah ditinggalkan. Karya-karya alumnus Department of Oil Painting of Guangzhou Academy of Fine Arts 1982 itu nyaris tiada beda dari "pemandangan" asli. Tak berlebihan jika Agus Dermawan T, kritikus seni rupa, menyebut lukisan Li super-realis. Lihatlah, karya pelukis kelahiran Shaoyan, Provinsi Hunan, China, tahun 1954, yang berjudul ''1937. Massacre in Nanjing Kill'' itu. Lukisan di atas kanvas 213 x 290 cm itu dengan titis menggambarkan pembantaian ratusan orang China di Nanjing oleh tentara Jepang. Kengerian yang muncul dari tumpukan ratusan mayat tanpa kepala, dengan tangan terikat di belakang, dan seorang bayi yang menjerit di dada mayat sang ibu tersajikan secara dramatis. Sementara itu, dua serdadu Jepang dengan bangga memamerkan pedang yang berlumuran darah di depan gunung mayat. Lukisan koleksi Fokuangyuan Museum of Art, China, itu merupakan salah satu dari puluhan karya yang dipajang di Linda Gallery, Kemang Raya, Jakarta. Li dengan sadar menjatuhkan pilihan pada realisme dan dia mempunyai alasan. ''Dengan realisme, saya mampu memotret kejadian dalam kehidupan secara lebih jelas dan apa adanya,'' katanya akhir pekan lalu. Ratusan lukisan yang telah diapresiasi di Amerika Serikat, Taiwan, Hong Kong, Jerman, Prancis, Inggris, Thailand, Malaysia, Singapura, Australia, Afrika Selatan, Brasil, Markas PBB, Kanada, dan Belanda itu menyajikan keapaadaan yang senyatanya. ''Potret kemanusiaan adalah tema yang tak pernah habis. Karena itulah saya akan terus menggambar kehidupan apa adanya,'' kata dia. Dia telah lima kali ke Bali. Dari perziarahan ke Bali itu, Li menghasilkan "A Series of Bali" yang bersanding dengan seri lukisan lain. Misalnya, A Series of Homeles, A Series of Malaysia, A Series of Mother and Doughter, A Series of Quilt, A Series of the Native Land, A Series of Tibet, A Series of Old Taiwanese Country Ways Series. Li juga melukis potret para pemimpin seperti Mahathir Mohamad, Kofii Annan, dan Paus Benekdiktus. ''Jika Presiden SBY tak keberatan, saya dengan senang hati akan melukisnya,'' katanya. Pameran lebih akbar dengan tema sama akan diselenggarakan di Museum Nasional, Jakarta, pada 8-30 Juli. ''Saya hanya membawa pesan kemanusian dan cinta lewat lukisan. Semoga itu sampai ke para penikmat,'' ujar Li. (Benny Benke-53)

"The Photograph"

Sabtu, 30 Juni 2007. BUDAYA
Preview "The Photograph"
Mengabadikan Kenangan

APA yang harus dilakukan seseorang dalam sisa hidupnya ketika dia mengetahui ajalnya sudah mengintip? Dalam film The Photograph arahan sutradara Nan Achnas, waktu penghabisan itu dikisahkannya dengan sangat puitis sekaligus prosais. Dengan bahasa gambar yang apik berkat kamera berformat 35 mm plus pengambilan sudut pandang yang estetis dari setting bangunan tua Kota Lama Semarang, film berdurasi 95 menit ini menjadi sangat memanjakan mata. Film ber-genre drama yang juga patuh dan tidak mengingkari logika bercerita ini, hampir sepanjang kisahnya berjalan dengan hening dan nyaris senyap. Isian mucic score yang dipercayakan kepada Aksan Sjuman bahkan makin membuat film produksi Triximages, Salto Film And Les Petites Lumieres ini menjadi semakin menghanyutkan. Berbeda dari genre dan cara bercerita film Indonesia kebanyakan yang akhir-akhir ini marak diedarkan ke pasaran, The Photograph yang akan ditayangkan 2 Juli 2007 menjadi sidestream dari arus besar film pop. Sebagai film seni, Nan yang pernah menghasilkan Kuldesak bersama Mira Lesmana, Riri Riza, dan Rizal Mantovani, dan Pasir Berbisik, sadar benar akan pilihannya. Keseriusannya untuk menghasilkan film bermutu, mendapat respons positif dengan meraih penghargaan, bahkan ketika film ini baru masuk pada taraf pembangunan skenario. Penghargaan Prince Clous Fund at Cinemart 2002, Goteborg Film Fund at PPP 2002, Fond Sud 2005, dan Swiss Fund at Open Doors Locarno Film Festival 2006 berhasil diraihnya. Indekos . Hasil akhirnya, film yang juga melibatkan aktor watak peranakan dari Singapura bernama Lim Kay Tong ini membangun sebuah kesatuan film yang utuh. Dari penyutradaraan, sinematografi, alur cerita, akting, setting, hingga music score. The Photograph bermula dari keterbenturan nasib antara Sita (Shanty), seorang penyanyi karaoke bar dan pelacur paruh waktu, dengan Johan (Lim Kay Tong), seorang juru foto keliling keturunan Tionghoa yang sudah renta. Sita yang bernama asli Sariah terjebak pada permasalahan finansial yang serius kepada Suroso (Lukman Sardi). Dengan meninggalkan anak semata wayang dan neneknya di desa, beban ekonomi yang ditanggung Sita semakin tidak mudah. Dari sinilah cerita bermula, ketika Sita memohon kepada Johan untuk indekos di loteng rumahnya, sembari menghindari kejaran germo Suroso yang menuntut sejumlah rupiah kepadanya. Dari loteng kos-kosannya itulah, Sita menangkap semua kegiatan memotret Johan yang eksentrik. Hingga akhirnya semakin dekatlah hubungan Johan yang sebatang kara dengan Sita yang mau mengabdi kepadanya, selepas dia menjadi korban diperkosa tiga "tamunya". (Benny Benke-45)

Citra Ekskul

Jumat, 29 Juni 2007. BUDAYA
Citra "Ekskul" Dicabut Kembali
JAKARTA - Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N) mencabut dua Citra untuk sutradara dan film terbaik yang diberikan ke film Ekskul pada Festival Film Indonesia (FFI) 2006. Ketua BP2N Deddy Mizwar menuturkan pencabutan itu berdasar Buku Pedoman dan Pelaksanaan FFI 2006 serta SK 06/KEP/BP2N/2007. Deddy didampingi Sekretaris BP2N Bakrie dan Ketua Komisi B Djonny Sjafrudin menuturkan ditemukan data yang mengindikasikan terjadi pelanggaran hak cipta dalam Ekskul. Pencabutan itu tak mengurangi kredibilitas serta penghargaan BP2N atas kerja keras Dewan Juri FFI 2006 dan Panitia Pelaksana FFI 2006.
BP2N menyesalkan sikap pihak-pihak yang mengetahui indikasi pelanggaran hak cipta tersebut, tetapi bersikap diam. "Namun mereka mempersoalkan setelah film itu terpilih sebagai film terbaik FFI 2006," katanya. Produser PT Indika Entertainment, Shanker RSJ, menyatakan bingung atas pencabutan Citra yang diperoleh film yang disutradarai Nayato Fiula itu. "Ini gila. Namun saya tak akan menggugat lewat jalur hukum." Shanker memang tak mengelaki bahwa score music film produksinya itu diindikasikan menjiplak musik latar film Gladiator, Munich, dan Tae Gu Kie. Namun dia menyatakan telah beriktikad baik dengan menghilangkan musik latar itu ketika ditayangkan RCTI, beberapa waktu lalu. Noorca Massardi dan Remy Silado, anggota Dewan Juri Film Bioskop FFI 2006, mengemukakan langkah BP2N itu lucu dan tak dapat dimengerti. "Baru kali ini terjadi di dunia, penghargaan yang telah diberikan dicabut kembali. Inilah Republik Indonesia," ujar Noorca. Dia merasa kerjanya sebagai anggota Dewan Juri FFI 2006 telah disepelekan. Itu pula yang dikemukakan Remy Silado. Namun dia tak mau ambil pusing karena tugas juri telah selesai.(G20-53)

Film Diva

Jumat, 29 Juni 2007 . BUDAYA
Film Musikal Rasa India
BAGAIMANA sebuah mimpi diwujudkan menjadi nyata? Dengan perjuangan dan pengorbanan macam apa? Apa pula sikap seseorang saat berada di puncak karier. Film drama musikal Diva, yang dikerjakan sineas tiga negara, mengemas semua permasalahan itu secara menghibur. Sharad Sharan, sutradara asal India yang melibatkan kru teknis dari negaranya, mengarahkan dengan baik para pemain dari Malaysia dan Indonesia. Dia menggarap lakon itu sejak November 2005. Dengan biaya lebih dari Rp 7,7 miliar, film yang diedarkan di Indonesia, Malaysia, Brunei, Singapura, dan India sejak kemarin itu menjelma jadi film India kebanyakan. Tradisi Bollywood yang gemar mengaduk-aduk kesedihan dengan membenturkan permasalahan ke titik paling tragis menjadi senjata utama Sharad. Tokoh protagonis dicitrakan serbabersahabat dengan segala penderitaan. Namun akhirnya dia ''menang'', meski kemudian mati dengan meninggalkan berjuta kenangan dan linangan air mata. Diva beralur cepat, penuh drama, dan membidik semangat kaum muda Asia yang sekarang gemar jadi penyanyi. Dikisahkan, Kartika (Ning Baizuri), diva dari Malaysia, berniat membentuk kelompok vokal beranggota anak-anak muda penuh bakat. Kartika bermasalah dengan sang ibu (Fauziah Nawi), setelah kematian ayahnya. Dia pun ingin mewujudkan keinginan sang ayah, yaitu membentuk kumpulan penyanyi untuk meneruskan tradisi berkesenian keluarga. Dia merekrut Mera (Jessica Iskandar), Idit (Adam AF2), Eja (Balkisyh), dan Jay (Awal Ashari). Proses pengembangan kelompok vokal bernama Jiwa itu berliku. Apalagi saat bersamaan sang ibu meminta Arman (Jeremy Thomas) menikahi anak semata wayangnya. Kartika menolak, meski sebenarnya diam-diam mencintai Arman. Menjelang kematian, Kartika mengakui mengidap kanker ganas yang membuat fisiknya melemah. Konflik memelik ketika kelompok Jiwa meraih ketenaran dan hendak membelot ke perusahaan rekaman lain. Permasalahan yang berpangkal dan memusat pada Kartika itu tersaji lengkap dengan tarian khas Bollywood. Penggarap koreografi dan para penari datang dari India. (Benny Benke-53)