Kamis, 07 Februari 2008


St. Petersburg,

Kota Susastra dan Makam Budaya


SEBAGAIMANA layaknya Imogiri di kota Yogyakarta yang digunakan sebagai tempat persemayaman terakhir para raja raja Jawa। Kota St. Petersburg pun mempunyai tempat yang tak kalah istimewa; pemakaman The Alexander Nevskiy Lavra, The Nekropol of 18 Century, The Nekropol of People of Arts di jalan Stariy Nevskiy, St. Petersburg. Hampir sebagian besar sastrawan Rusia disemayamkan di tempat terhormat ini। Selain para sastrawan, pelukis, seniman musik, pemain teater, opera dan pemikir kebudayaan juga di 'sarekan' di sana. Di makam yang semakin tampak sakral dibawah nuansa guyuran salju yang mulai turun dan membadai itu, kami menyusuri jalan setapak dari batu dan mulai merunut pada nisan; Fyodor Dostoevski (1821-1881). Di pusara sastrawan besar dunia yang mashur dengan novel ''Crime and Punisment (Kejahatan dan Hukuman)-nya ini, - dan diklaim telah dibaca di seluruh dunia- saya meletakkan karangan bunga। Sebagaimana lazimnya pemakaman 'orang-orang besar' di Eropa. Makam sastrawan yang juga telah menghasilkan mahakarya ''The Idiot'' dan ''The Brothers Karamazow'' ini juga ditandai dengan patung diri sang empunya dengan jenggot yang menjuntai ke bawah. Di komplek pemakaman yang senantiasa ramai dikunjungi para pelancong domestik dan manca negara ini juga terbaring nama sastrawn A.V. Suvorov, Alexander Blok, Ivan Turgenev, Panglima Besar Bangsa Rus; Alexander Nevskiy, Komposer Prokofyev, M.P Musorgskiy, D.D. Shostakovich, M.I. Glinka, pelukis Bryullov dan masih banyak nama penting lainnya. Memang, makam yang didominasi oleh nama para sastrawan besar Rusia pada eranya - bahkan hingga sekarang- ini menjadi maklum keberadaanya. Karena kedudukan dan kehidupan susastra dan sastrawannya di Rusia memang teramat sangat mendapat tempat di hati rakyat.
Saking dekatnya sastra di hati rakyat, sehingga tidak aneh jika sebagian besar anak-anak di St. Petersburg berkecenderungan membandingkan tingkah polah seseorang, dengan tokoh-tokoh yang terdapat di novel susastra . Dan jika berbicara tentang susastra Rusia, rasanya tidak pepak jika tidak menyebut nama pewaris kesusastraan dunia yang agung, Count Leo Tolstoi (1828-1910). Sastrawan yang juga keturunan bangsawan ini telah menghasilkan karya jenius novel ''War and Peace (Perang dan Damai)'', serta karya fenomenal ''Anna Karenina''. Sebagaimana ternukil dalam buku Negara dan Bangsa; Uni Republik-Republik Sosialis Soviet. Nama Leo Tosltoi dan Fyodor Dovtoeski ditempatkan sebagai bintang yang cemerlang dalam seluruh konstalasi kesusastraan tinggi abad ke реп.
Namun, dalam periode sebelumnya, yang disebut ''zaman emas'' puisi (1815-1830). Rusia tidak hanya menghasilkan para penyair-penyair terbaiknya, melainkan juga melahirkan para sastrawan terkemuka. Dan yang paling fenomenal dari sekian banyak nama adalah Alexander Pushkin. Jika Anda pada suatu ketika dibawa oleh garis takdir mampir di St. Petersburg, maka sebutlah nama Alexander Pushkin, niscaya setiap orang disana dengan antusias berkisah tentang keharuman nama penyair ini.
Bahkan di St. Peterburg berbagai tempat yang pernah mempunyai ikatan kesejarahan dengan penyair yang sangat di cintai dan dibanggakan rakyat Uni Soviet pada umumnya dan dan rakyat Rusia pada khususnya itu ditandai dengan marking atau prasasti. Taruhlah sebuah cafe, di jalan Nevski Prospekt yang dulu digunakan Pushkin sebagai tempat kongkow-kongkow. Di kafe itu, kini 'terdapat prasasti yang menerangkan bahwa Puskhin kerap meluangkan waktu di sana.
Bahkan dalam sebuah kesempatan Anatoly Varonkow, wartawan senior kantor berita Russian Information Agency (RIA) Novosty mengisahkan kebesaran Puskhin.
''Pada sebuah masa, ketika Tsar sedang melakukan perjalanan dengan keretanya, ia berpapasan dengan Pushkin yang sedang berlenggang kangkung,'' kisahnya. ''Kemudian, karena nama Pushkin telah merakyat dengan karya-karyanya yang agung dan mengispirasi banyak orang. Tsar yang tanpa sengaja bersitatap dengan paras Pushkin seketika melambaikan tangan kepadanya,'' ujarnya. ''Seketika itu pula Puskhin pun membalas lambaian tangan Tsar sembari berujar; Salam!'' kisah Anatoly. Adakah seorang kaisar menyapa seorang rakyat jelata jika orang itu tidak manusia istimewa dan bukan seorang penyair? Tanya Anatoly kepada saya. Sebelum pada akhirnya ia mengajukan sebuah pertanyaan dengan membandingkan penghormatan orang Indonesia kepada penyairnya.
Seketika pikiran saya pun langsung bersijingkat ke nama penyair angkatan 1945; Chairil Anwar. ''Tentu saja ada,'' sergah saya cepat. ''Di Jakarta, di sudut Jalan Medan Merdeka Utara, dimana Monumen Nasional (Monas) berada. Di sebuah sudut yang bersebelahan dengan Masjid Istiqlal, sebuah taman bernama Chairil Anwar menghijau di sana,'' terang saya berapologi. ''Dan itu menunjukkan bangsa Indonesia pun menghormati kedudukan seorang penyair. Belum lagi pada setiap tahun, kami dulu ketika masih menjadi mahasiswa susastra dengan para sastrawan pada khususnya senantiasa memeperingati hari Chairil Anwar dengan mengadakan peristiwa budaya dan sastra,'' kilah saya meyakinkan.
Aha..., Anatoly mengangguk-angguk menandakan apa saya kurang tahu persis, sebelum ia melanjutkan kembali kisahnya tentang kebesaran Pushkin. ''Bahkan pada saat Tsar berperang dengan tentara Turki, dan berhasil menawan berapa pasukan tentaranya, kebesaran Pushkin juga terlihat di sana,'' kisahnya lagi seperti tidak mau kalah dengan cerita Chairil Anwar saya. '' Salah seorang tawanan pasukan Turki berkata kepada seorang penjaga; siapakah laki-laki yang berseragam bebas diantara para serdadu itu? Apakah ia atasan para serdadu itu sehingga mempunyai kostum yang berbeda? Tidak! Jawab penjaga itu. Ia adalah seorang penyair''.
Ya, nama Pushkin yang kualitas syair dalam puisinya sarat dengan kandungan kayali, kuno, bergaya musikal, terukur dan mengalun itu memang telah menjadi legenda Rusia। Sehingga tidak ayal di St. Petersburg patungnya banyak bertebaran dan beberapa diantaranya dalam ukuran raksasa berdiri teguh di kota Moskwa. Bahkan sampai-sampai pasir di areal pemakamannya di Pushkin Skigori (gunung Pushkin) pun kerap dijadikan cendera mata para peziarah yang datang kesana. ''Persis dengan Tembok Berlin di Jerman yang batu batanya dijadikan cinderamata, diperjual belikan bahkan disertifikatkan keasliannya,'' batin saya mengenang oleh-oleh batu bata Tembok Berlin yang dihadiahkan seorang kawan wartawan Tempo yang pernah melakukan liputan di Berlin, Jerman. Memang, nama Pushkin sebagai penyair nasional karena mampu mencitrakan bahasa literatur baru serta menggunakan kehidupan, dongeng rakyat serta sejarah Rusia dalam karya-karyanya, adalah nama yang melegenda. Lewat sajak-sajak yang ia bunga rampaikan dalam puisinya itulah, Pushkin mempermasalahkan ketidak sederajadan antara kelas penguasa dan kelas bawah di Rusia. Dan karya populernya yang bergenre novel dalam puisi; ''Eugene (Evgeni) Onegin'', yang bernarasi tentang seorang pesolek St. Petersburg dan hidup dengan keriangan. Dan diklaim mirip dengan pola hidupnya di awal-awal kepanyairannya itu, hingga kini masih menjadi masterpiece.
Foto;



25dsastra.em ; Makam Fyodor Dostoveski di pemakanan The Nekropol os People of Arts, St. Petersburg.


St। Petersburg

Kota St. Petersburg.
The Hermitage, Museum Maha

ADAKAH kota dibelahan Eropa yang mampu menyamai keelokan Venesia, di Italia? Ada, St Petersburg namanya. Kota yang terletak di sebelah utara Moskwa, Rusia ini dibangun tahun 1703. Meski dibangun 100 tahun lebih muda dari kota New York, di Amerika Serikat. Namun, kota yang berbatasan dengan negeri Finlandia ini memang layak mendapat julukan Venesia dari Eropa timur.
Hal ini menjadi maklum karena kota yang dibangun oleh The Great Peter atau Peter Yang Agung ini memang melibatkan para arsitek ternama dari Italia pada masanya.
Nama arsitek seperti Domenico Trezzini, Jean Baptiste Le Blond, Mario Giovani Fontana, Johans Friedrich Chadel, Georg Johann Mattarnovi, Andreas Schulter dan Niccolo Michetti berandil besar dalam mewarnai St Petersburg dengan nunsa Italianya. Bahkan Bartolomeo Carlo Rastelli, yang dikenal sebagai pematung dan arsitek papan atas pada masa itu turut serta membangun kota ini. Demikian pula dengan keterlibatan pematung dan seniman Etiene Maurice Falconet.
Kemiripan antara St. Peterburg dengan Venesia semakin terlihat karena secara geografis kota St. Petersburg terdiri dari pulau-pulau kecil yang dipisahkan oleh puluhan sungai. Namun, karena kami datang pada saat musim dingin, puluhan kapal-kapal wisata yang biasanya melintasi sungai pun hanya ditepikan di dermaga yang membeku.
Sedangkan nama kota yang dapat ditempuh selama enam jam dari Moskwa dengan lokomotif ekpress ini, dalam versi Rusia terkombinasi dari beberapa bahasa. Kata ''St' terderivasi dari bahasa latin Saint yang diikuti oleh nama Apostel katolik Roma Peter, yang berarti ''Karang''. Dan kata ''Burg'', berarti ''Kota'' dalam bahasa Jerman atau Belanda. Meski ada juga yang percaya nama St Petersburg bermuara dari nama pendirinya, Peter Yang Agung.
Dalam perjalanan sejarahnya, kota yang sarat dengan bangunan bersejarah dan arsitektur Ghotik ini sempat empat kali berganti nama. Dan kaum komunis pun pernah mengagungkan St Petersburg sebagai kota kelahiran Revolusi 1917. Oleh karenanya nama St Petersburg pernah berubah menjadi Leningrad, sebagai bentuk penghormatan kepada Lenin. Yang mengawali revolusi dan perubahan di Uni Soviet pasca menggulingkan kekuasaan Tsar Nicolas II. Dan sebelumnya, kota ini pun sempat berganti nama menjadi Petrograd.
SETELAH usai mendeklamasikan 10 sajak dari 10 penyair terkemuka Indonesia dan kemudian mendiskusikannya dihadapan pengajar dan mahasiswa fakultas Ketimuran dan Melayu di St. Petersburg State University. Kami berbegas meninggalkan universitas dimana Lenin dan Putin pernah menjadi salah satu lulusan terbaiknya menuju The Hermitage.
Dengan berjalan kaki dibawah salju yang membadai dengan suhu minus 13 derajad celcius, kami pun menyusuri sungai Neva yang keberadaannya menjadi ikon yang tidak terlepas dengan kota St. Petersburg. Setelah melewati Taman dan Patung Losomonov yang dikenal sebagai bapak pendidikan Uni Soviet. Kemudian menyisir bangunan depan istana Menshikov sebelum akhirnya menyeberangi The Palace Bridge, atau jembatan Istana yang dapat membuka ditengahnya jika kapal lewat. Kami pun sampai di The Hermitage.
The Hermitage, yang berdiri bersisian dengan sungai Neva dan Palace Square dimana patung The Chariot of Glory berdiri di atasnya. Berhadapan persis dengan gedung The Admiralty yang juga mempunyai dermaga yang menempel di sungai Neva.
Sebagai museum terbesar di dunia dengan koleksi benda-benda seni yang bersejarah dan tidak ternilai harganya. The Hermitage, yang pada kekuasaan Tsar digunakan sebagai istana musim dingin (Winter Palaces of Peter the Great) ini memang tujuan favorit pelancong. Selain tentu saja masih banyak tempat bersejarah yang tak kalah eloknya di St. Petersburg seperti Peter's Square, Sungai Neva, Palace Bridge, Peter and Paul Fortress, The SS Peter and Paul Cathedral, Kapal Perang Aurora, Peterhorf dan The Summer palace of Peter the Great.
The Hermitage yang dibangun pada tahun 1754-62 oleh Rastrelli. Dan secara leksikal namanya berasal dari bahasa Prancis yang berarti ''a place of solitude'', atau tempat yang penuh dengan ketenangan. Memang benar-benar membuat hati kita tenang. Bayangkan, disana hasil karya seni dari para maestro dunia terpampang dengan perawatan yang sesuai dengan standar internasional sebuah museum. Suhu ruangan disesuaikan sedemikian rupa sehingga karya-karya lukis yang terpampang di sana dapat bertahan sangat lama kwalitas keasliannya. Sehingga pengunjung yang datang untuk menikmati hasil karya para maestro dunia pun benar-benar terpuaskan kegairahannya.
Dulu, ketika revolusi berlangsung pada tahun 1917, benda-benda bersejarah dan seni yang menjadi koleksi keluarga kerajaan. Seperti lukisan, patung dan ikon-ikon yang tidak ternilai harganya sempat raib dijarah massa yang kelaparan dan marah.
Meski pada akhirnya benda-benda bersejarah itu akhirnya dikembalikan oleh massa yang menjarahnya. Setelah Lenin menghimbau untuk mengembalikan semua barang yang telah diambil dari istana. ''Yang kita musuhi adalah para borjuis yang meninggalkan rakyatnya. Bukan benda-benda bersejarah yang tidak ternilai harganya,'' kata Lenin waktu itu, sebagaimana diceritakan oleh Henny Sujai, mahasiswa S2 Jurnalistik St. Petersburg State University.
Henny Sujai yang kemudian mengantar kami keliling St. Petersburg memang mengusai betul sejarah panjang kota yang jika kali pertama kita memasukinya, nuansanya seakan tidak jauh berbeda dengan kota Yogyakarta. ''Hampir semua mahasiswa Indonesia yang belajar di St. Petersburg dan pernah pergi ke Yogyakarta juga mengatakan hal yang sama,'' imbuh Henny, yang di salah satu mata kuliahnya mendapatkan mata pelajaran Culturologi. Jadi tidak aneh jika para mahasiswa yang mendapat mata kuliah Culturologi cenderung menguasai betul seluk beluk kultur Rusia.
Dan memasuki The Hermitage adalah pengalaman yang luar biasa. Bersama ratusan orang yang hampir setiap hari memadati museum itu kami mulai menyusuri setiap ruang, koridur, singgasana, tempat pesta, kamar membaca, ruang dansa-dansi, puluhan galeri dan berbagai tempat bersejarah lainnya dimana keluarga besar Tsar dulu pernah melewatkan keseharianya.
Dan lukisan dari maestro lukis mana yang tidak ada di Hermitage? Dari lukisan karya Jean-Honore Fragonard yang mashur dengan lukisan berjudul ''The Stolen Kiss'' (1790), Eugene Delacroix dengan ''Lionn Hunt in Morocco'' (1854), Vincent van Gogh dengan ''Cottages'' (1890), Paul Gauguin dengan ''Woman Holding a Fruit'' (1893), Pablo Picasso dengan ''Woman with a Fan'' (1908), Henri Matisse dengan ''The Dance'' (1910), Leonardo da Vinci dengan ''The Madonna with a Flower (the Benois Madonna, 1478)'', Fransisco Goya dengan ''Potrait of Antonia Sarate'' (1811), Raphael dengan ''The Conestabile Madonna'' (1502-3) hingga Rembrandt dengan ''The Return os the Prodigal Son'' (1634) semua ada di sini. Dan dalam versi originalnya!
''Lukisan-lukisan dalam versi asli ini jika digabungkan semua harganya bisa trilyunan rupiah,'' terang Henny Sujai bercanda। Tapi tunggu dulu, guyonan Henny Sujai memang beralasan, ''bahkan kalau memungkinkan semua benda bersejarah di museum Hermitage jika dilelang keuntungannya dapat menanggulangi krisis yang menimpa Rusia''. Ya, guyunan ini memang telah menjadi rahasia umum masyarakat di St. Petersburg. Namun, sebagaimana candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah. Semua benda bersejarah di Hermitage seperi patung karya Michelangelo (Crouching Boy, 1530), Auguste Rodin (Eternal Spring, 1897), Antonio Canavo (The Three Graces, 1813-16) dan Etienne Maurice Falconet (Winter, 1771) memang telah menjadi cagar budaya yang akan terus dijaga kelestariannya. (Benny Benke).



foto:



25dpeter.em ; The Hermitage, dari sungai Neva, malam hari.
25dpeter2.em; Koridor Raphael .
25dpeter3.em; Patung Cupid Wagging His Finger (1757), karya Etienne Maurice Falconet.
25dpeter4.em; Lukisan The return of the Progdigal Son (1660), karya Rembrandt.
25dpeter5.em; Lukisan The Madonna and Child (The Litta Madonna, 1480), karya Leonardo da Vinci.
(Foto: SM/Benny Benke).

Arok



A r o k
Cerita Pendek Benny Benke


DI tanah lapang itu, di tempat yang dijanjikan, dan pada waktu yang telah ditentukan, dengan keris di tangan kanan dan tombak di tangan kiri, Ametung, yang parasnya mulai berkerut melantangkan serak kesumat ke langit. Berseolah lawan tandingnya, Arok, berada di depannya. Dengan angkara tak tertahan, menderas hujan menusuk wajah serta petir menjilat-jilat, menggelegar tak terhiraukan lagi. Ametung menghunjamkan tombak ke bumi, bersimpuh kemudian mengacungkan keris ke langit. Sejurus kemudian dia menumpahkan kesumpekan, menyerapah dan mengutuk, menerjang-nerjang, meraung-raung…
“Arok! Manusia macam apa kau! Kaurendahkan martabat ksatria dengan mengobrak-abrik bahtera kerajaanku. Lalu, dengan penuh muslihat kaucuri permaisuriku dari singgasana. Tak adakah jalan kehidupan lebih mulia, kecuali kauisi dengan petaka? Arok, sejak semula aku tak percaya semua omongan adipati, perwira, punggawa, dan telik sandi bahwa kau bukan manusia!
“Namun sejak kejadian ini…. Binatang! Muslihat apakah yang kaugunakan sampai permaisuriku serta merta seakan penuh kerelaan berpaling dariku ke pelukan berandalan yang berleluhur tak jelas.
“Arok! Tidakkah kau malu pada diri sendiri bahwa tindakanmu ini penuh kenistaan? Tidakkah kaurasakan kepedihan hati ini, ditelikung istri atas nama bujuk rayu musuh besarnya?! Bukankah kau juga lelaki, Arok?! Tak pernahkah kaurasakan keperihan dikhianati sigaraning nyawa?! Tidakkah tersirat dalam benakmu yang cemerlang itu, pada saatnya pelacur ini akan berkhianat untuk kali kedua demi sekeping takhta atau apa pun namanya?”
Emosi Ametung makin pekat. Air mata mengintip dari kerut kelopak mata, hendak merinaikan butiran-butiran…. “Duhai Dedes, jangan pernah kauulang khianatmu kepada siapa pun. Tidak juga pada seekor anjing bahkan demi nirwana sekalipun. O Dedes, pergilah kau dengan kutukanku!”
Seketika, petir menjilat keris Ametung. Kecupan petir di pucuk lengkung keris Ametung menimbulkan gelegar, menulikan telinga siapa pun di sekitarnya. Kilauan petir cuma menyisakan silau beberapa jenbak dimata Ametung. Untung, semua patih, punggawa, perwira, dan para pengawal dari pakuwuan sejak semula telah sumingkir begitu sang akuwu dari Tumapel mengumbar angkara.
“Akuwu!” Demi mendengar suara tak asing lagi ditelinganya dan melisahat Arok, Ametung beringsut tegak dengan kedua kakinya seraya merapikan diri. Dia menyimpan rapi air mata serta menata hati dan pikiran selayaknya ksatria.
“Tak adakah perilaku seorang raja yang lebih bersahaja, selain menceracau dan mengumbar rasa belaka seperti seorang pemuda bercerai dari pasanganya? Tak adakah perkara yang lebih menyita perhatianmu selain masalah wanita?”
Sindiran Arok membuat Ametung yang hampir kuasa menguasai dirinya makin tajam menombakkan pandang ke musuh besarnya, yang sekarang jelma tepat di depan ke dua biji matanya, yang ketajamannya memudar dirongrong usia. Arok hanya sekitar duapuluh langkah orang dewasa di depannya.
“Ini aku Arok! Aku yang dengan perkasa merampok kekuasaan dan permaisurimu. Mari kita bersemuka, sebelum ajalmu bersua kerisku. Karena kita laki-laki, maka salah satu harus mati!”
“Ya. Karena kita laki-laki, salah satu harus mati!” Ametung tak kalah lantang menyepakati ucapan Arok.
“Sepertinya ada yang akan kauutarakan sebelum jasadmu atau jasadku berkalang tanah, Akuwu. Bicaralah!”
“Bukan kematian benar yang kutakuti. Bahkan kematian terlalu penakut menghampiriku. Sudah tak terhitung begundal macam kau kusudahi. Namun kehinaanlah yang membuatku meradang. Ketahuilah, wahai Arok, bahkan ketika nyawamu atau nyawaku meregang, kesumat dendam ini tak akan pernah tersudahkan.”
“Ohoi, ternyata Tunggul Ametung, Akuwu Tumapel, raja diraja yang disegani kawulanya, hanyalah patriot bagi diri sendiri, tidak bagi negerinya. Tidak salah kurongrong pertiwimu sembari tanpa permisi kucuri permaisurimu. Tetapi, santaikanlah barang sejenak-dua jenak amarahmu, Akuwu. Ketahuilah…, Dedes tetap akan kusanding di tampuk singgasana itu, menjadi mahligaiku, menjadi pengantinku!”
“Kau akan menuai balas di luar perhitunganmu, Arok!” hardik Ametung seraya mengarahkan mata keris ke jantung Arok.
“Akan kusongsong kapan pun saat itu tiba.” Tenang Arok menyahuti, meski kerisnya masih tersarung rapi di balik pinggul.
“Kau gentar, Arok?”
“Tidak satu titik hujan pun.” Meski, deras hujan menjadi-jadi.
“Bersiaplah, Arok!”
“Aku senantiasa siaga!”
Di bawah siraman hujan lebat, kebencian, amarah, kesumat, dan angkara, Ametung berlari kecil penuh kepastian dan kesungguhan ke arah Arok. Dia mengarahkan keris ke jantung seterunya, sedangkan tombak di tangan kiri siap dia tolakkan dari jarak yang dia yakini. Arok, yang tersongsong, masih mematung. Beranjak tak. Mencabut gaman tak. Namun sorot matanya tak lepas dari langkah Ametung yang mendekat penuh ketegapan.
Jarak menipis. Hujan menjadi-jadi. Petir menari-nari. Sembari berlari Ametung menolakkan tombak. Dalam hitungan detik, jika Arok bergeming, sia-sialah legenda yang selama ini mengelelingi kebesarannya. Seketika, dalam detik berdetak, “Blarrrrr!” Gemuruh petir meluluhlantakkan mata dan batang tombak yang mengarah tepat ke jantung Arok. Lalu…, jerit kesakitan membahana. Belum usai keterkejutan Ametung karena kilauan petir menyilaukan pandang dan menyisakan rasa perih di dada kiri yang tak tersarikan, lawan yang dia tuju raib, entah ke mana.
“Aku di sini, Akuwu.”
Sejurus kemudian Ametung membalikkan badan. Musuhnya yang baru saja lenyap tiba-tiba telah berada di depan mata… Kali ini Arok menggenggam keris. Ada sisa darah segar menetes dari keris itu. Dan Ametung…, pandang matanya mengabur. Di luar kesadaran tangan kiri Ametung membekap dada kiri. Darah segar mengintip dari balik jari-jari. Ya, jantung Ametung cedera. Keris Arok penyebabnya.
“Kalaupun tidak sekarang engkau tumpas, esok sebelum matahari terbit engkau telah berkalang tanah, Arok!” Ametung masih menebar ancaman.
“Sesumbarlah, Ametung. Pedih perihmu tak akan terobati hanya dengan menumpasku.”
“Kalaupun engkau belum tumpas juga, pada saat purnama belum sempurna, saat itulah semua petaka menyertaimu.”
“Kutukanmu tak ubahnya mantra tak menemu mangsa. Sia-sia.”
Dengan jantung robek di dada kiri, Ametung berlari sejurus ke arah Arok, memburu dan memusatkan sisa-sisa tenaga dengan keris teguh tergenggam tangan kanan. Di benak Ametung cuma ada satu tujuan: tiji tibeh, mati siji mati kabeh.
“Enyahlah manusia terkutuk!”
“Binasalah bersama nasibmu, Tua Bangka!”
Sekali lagi, sebelum keris Ametung sampai ke sasaran, kilauan sabetan keris Arok merobek lambungnya. Terburailah isi perut Akuwu Tumapel, menyudahi sejarahnya, mengakhiri riwayatnya.
Hujan belum juga mereda.
***
Di taman larangan pakuwuan, Dedes, meski membenci mendiang sang suami, tak dapat menerima begitu saja kematian Ametung. Bagaimanapun Dedes pernah menghabiskan dan melewatkan sebagian rona garis nasibnya bersama Ametung. Bening air mata menyungai di pipinya. Dedes menyesali tindakan kedua lelaki yang sama-sama membuta mencintainya. Dedes berbicara dengan suara mengiba dalam kegundahan.
“Bodoh! Di belahan bumi mana pun apa yang dipertontonkan para lelaki tak lebih dari kebodohan belaka. Atas nama angkara mereka menghunus keris dan menumpahkan darah diantaranya sendiri. Setelah itu mereka bersorak sorai seraya berkacak pinggang, menentang langit, dan berpekik layaknya ayam aduan. Tak adakah jalan lebih wajar dan sederhana? Tak bisakah kalian bersanding tanpa saling mencedera?
“Arok! Kaurebut takhta lantaran wanita atau kuasa? Dan kau, Ametung! Kaupertahankan singgasana lantaran daya atau wanita? Atau kalian berdua memang tak pantas mendapatkan keduanya? Celakalah aku yang lepas dari mulut serigala lalu jatuh ke pelukan singa.
“O…, tak adakah jaminan ketenteraman dalam garis hidupku? Bagaimana mungkin aku mendapatkan kesejahteraan dari seorang lelaki yang dengan mudah merampas kehidupan orang lain, kemudian dengan bangga membusungkan dada, mempersembahkan buah angkaranya kepadaku sebagai kado istimewa? Alangkah durjana!
“Di mana aku harus menemukan kemuliaan di antara dua lelaki yang sama-sama mengaku ksatria? Sementara itu di dada mereka bersemayam kesumat dendam.”
Dedes makin mengisak.
“Sebenarnya aku bersuka cita lepas dari kungkungan Ametung yang tak pernah tahu dan tak mau tahu belajar memperlakukan dan menghargai wanita. Namun celakanya, berandalan yang telah membebaskan aku ini…., misteri apa yang membuat aku jatuh hati kepadanya? Jangan-jangan dia memanfaatkan aku sebagai boneka belaka. Simbol di depan rakyatku, di samping takhta rampasannya?”
Mata Dedes menatap kosong ke depan, menerawang kepada... “Arok! Bicaralah. Jangan kau mematung batu membiarkan kegundahanku. Bicaralah, Arok. Aku akan menuntutmu bersumpah atas nama kedua kuburan orang tua yang melahirkanmu, meski kau tak tahu di mana kubur itu, tentang kesungguhanmu menyandingku.”
Seketika, seperti biasa, Arok datang dan pergi tanpa permisi, penuh misteri. Arok menyua Dedes pelan, pelan sekali. Seperti santun, melenakan. Dedes tak mengira Arok tiba-tiba menyusul ke taman larangan. Laksana terpana Dedes menyembah kepada Arok. Dedes menata hati.
“Matamu keruh, Dedes. Kegundahan pasti mengaduk-aduk kebeningan matamu. Jika ada sesuatu yang mengganggu pikiran permaisuriku, aku, suamimu, wajib menghalau. Barangkali tak cukupkah persembahanku kepadamu? Atau, memang beginikah cara dan balasan seorang permaisuri kepada rajanya?”
“Tidak, Suamiku. Aku hanya ingin… merasa lebih nyaman.” Dedes merendahkan suara, datar.
“Duhai, Dedes… kenyamanan macam apa yang tak mampu kuberikan kepada permaisuri terkasih? Takhta telah kauterima. Begitu pula ini sukma. Tak adakah di benak wanita, kecuali keraguan?”
“Bukan itu masalahnya.”
“Lalu apa?”
“Apakah Kakang tetap beranggapan aku ayu, bahkan pada saat tidak ayu sekalipun?” Entah kenapa tiba-tiba Dedes bisa bermanja-manja pada suami barunya, yang baru saja membunuh suami sebelumnya.
“Oh, Dedes…” Arok bergeming. Dia sejenak membiarkan kemanjaan sang istri berlalu.
“Mengapa kau diam, Kakang?”
“Tak adakah perbincangan yang lebih berisi selain melulu masalah keayuanmu yang tak terbantahkan?”
“Kalau begitu berbicaralah kepadaku tentang c-i-n-t-a.” O, apa pula ini.
“Tak pernah ada cinta sesungguhnya dalam sejarah peradaban anak manusia. Tidak di sini, tidak di sana. Tidak sekarang, tidak nanti. Cinta sudah lama mati sebelum ia ada, meski tak ada yang membunuhnya. Cinta sudah sedemikian jauh dibengkokkan maknanya. Berbicara tentang cinta, Dedes, adalah berbicara tentang omong kosong belaka. Meski, bukan kesia-siaan.” Ketus, Arok berkhotbah seperti resi atau empu saja.
“Lalu, bagaimana dengan hubungan kita?” kejar Dedes.
“Dalam banyak hal, cukup aku yang merasakan. Kau tak perlu tahu. Begitu pula sebaliknya. Biarkan ia tersimpan rapi menjadi misteri.”
“Kau naif, Arok.”
“Aku tak peduli. Aku telah melamarmu dengan banjir darah. Dan itu tidak murah.”
“Bagaimana bila suatu saat kau tak menjumpai lagi kebahagiaan bersamaku?”
“Persetan! Menyandingmu sudah lebih dari kebahagiaan.”
“Bagaimana dengan Ken Umang, istrimu terdahulu? Apakah dia sebahagia dirimu menerima kehadiranku sebagai permaisurimu?!”
“Jangan sekali pun kaubawa-bawa perempuan berbudi itu dalam urusanmu, Dedes!” Arok meninggikan suara untuk tetap mendudukkan Umang dalam hatinya. Angin mati sejenak. Dedes berpaling, menghindari tatapan mata sang suami. Dia tetap memberanikan diri bicara.
“Kau belum tahu siapa aku sebenarnya, Arok, dan mungkin tak akan pernah tahu. Timanglah masak-masak pemikiranmu sebelum ketelanjuran mengungkungmu. Bukankah mendiang suamiku sudah banyak bertutur tentang aku sebelum kauakhiri riwayatnya?!”
“Aku tahu, Dedes. Aku tahu. Jangankan aku, kau pun belum tahu siapa yang bersemayam dalam dirimu. Sudahlah, jangan berbelit. Aku sudah tahu alur perbincangan ini sejak awal.”
“Tidak sesederhana itu, Arok.”
“O, Dedes, kau berkepala batu seperti mendiang suamimu. Yang wajar sajalah. Ketahuilah, Dedes, hidup ini sederhana. Penafsirannya saja yang hebat-hebat. Ayolah, apakah kau akan terus mengkhusyuki kegelisahan-kegelisahanmu, sementara merindukan belaianku? Merindukan belaian seorang raja diraja yang sudi menerima permaisuri dari bekas musuh besarnya. Merindukan belaian seorang raja diraja yang mengurai kusut keraguanmu. Merindukan kehangatan seorang raja diraja yang tulus menidurimu setelah kelelahan menghadapi lintas permasalahan yang mengadangmu. Enak bukan? Apa lagi!”
“Kalau suatu saat kau tak membutuhkan aku lagi, atau sebaliknya? Apakah kau akan mengakhiri riwayatku sebagaimana kauhabisi mendiang suamiku dan musuh-musuhmu? Tak pernahkah terbersit dalam benakmu akan kutelikung dirimu sebagaimana kautelikung Mpu Gandring, Kebo Ijo, dan lain-lain? Mungkin lebih baik kita tak perlu membelenggu diri dalam ikatan ketergantungan sebelum ketelanjuran kebersamaan kita menciptakan tragedi lebih menyayat.”
Arok terkesiap, tak mengira perbincangan dengan sang istri lebih dari sekadar berisi. Mungkin Arok lupa, Dedes adalah putri Mpu Parwa, seorang brahmana, yang lebih diuntungkan dengan bekal ilmu dan pengetahuan daripada kaum sudra seperti dia.
“Duhai, Dedes. Aku tahu perasaanmu. Namun ketahuilah, aku telah lama berikhtiar mempersuntingmu dengan harapan melapangkan suasana hati ini. Bukan malah kaurongrong dengan kegelisahan-kegelisahan itu. Hidupku sudah terlalu sesak. Jangan kautambahi dengan kesesakanmu!”
Di luar perhitungan Dedes, kegelisahannya membangkitkan amarah Arok pada diri sendiri. “Sudahlah, apa pun yang terjadi di muka biar sejarah yang mengambil alihnya. Aku tak cukup punya kekuatan menampik kemauanku. Aku sendiri tak tahu. Kalaupun tahu, aku tak sadar. Kalaupun sadar, aku tak peduli. Kalaupun peduli, aku tak berdaya. Siapa, siapa yang sanggup melawan diri sendiri?!”
Arok muntab. “Tidak penting lagi apa yang telah kulakukan. Itu semua telah lalu dan tak akan kembali. Sekaranglah saatnya, kekinian. Dan aku, Arok, telah berketetapan melakoni sisa darmaku bersamamu, Dedes. Banyak alasan mengapa aku berketetapan hati. Namun biarlah hanya aku yang tahu. Jadi, Dedes, jangan desak aku membeberkan karena semua sudah jelas adanya.”
Dengan suara melantang Arok membaiatkan kesungguhan ke langit Tumapel. “Maka dengan ini aku baiatkan kepada khalayak ramai, alam raya beserta segala penghuninya, dan dewa-dewa penguasa semesta: di sinilah Arok dan Dedes bertakhta dan di sinilah Arok dan Dedes binasa.”
***
Seisi pakuwuan geger. Penghuni negeri panik, lintang pukang. Awan hitam pekat bergandengan dengan badai menyelimuti seantero bumi Tumapel. Hawa penyakit pun menebarkan teluh, menciptakan bencana yang belum pernah ada.
Telik sandi melapor kepada Arok. “Ametung bangkit dari kubur dan tak henti-henti memanggil-manggil nama Paduka. Ametung menuntut balas atas semua yang ditimpakan kepadanya!”
Arok terkesiap. Dia tak pernah menduga petaka terus menguntit bahtera kerajaannya, sebagaimana pernah dikutukkan Mpu Gandring ketika binasa di ujung keris ciptaannya. Sekarang, sebatang mayat menuntut balas lantaran tuah keris itu.
Arok bergegas menyambut Ametung di tempat dulu dia menyudahi akuwu itu. Kali ini mereka berada di sisi berbeda. Dia menggenggam harapan bisa menyudahi musuhnya untuk kali kedua.

*****
Dengan sisa-sisa pakaian kebesaran yang compang-camping bercampur lumpur pekuburan dan darah terus menetes dari dada kiri serta tangan kiri menyangga usus terburai, Ametung berdiri tegap di tempat dia dulu mengembuskan nafas. Kali ini Ametung menundukkan pandang ke bumi. Demikian pula keris di tangan kanannya. Angin menghantarkan bau busuk tubuhnya. Hawa tubuh Ametung inilah yang menciptakan wabah tak terkira. Arok menyongsong beberapa tombak di depan dan tersenyum.
“Sudahlah, Akuwu, berdamailah dengan nasib. Pulanglah kepada takdir kekalahan dan kematianmu.”
“Siapa pun semestinya setia pada nasibnya. Namun apakah aku harus menjadi pecundang dalam kesetiaan nasibku? Ada yang lebih berharga dan utama ketimbang sekadar berserah diri pada nasib.”
“Aku meragukan ketegaanku membuatmu merintih untuk kali kedua, Akuwu.”
“Seorang ksatria tak akan pernah merintih bila kesakitan.”
“Akuwu, dengan segala ilmu, pengetahuan, serta kesaktianmu, kau tak akan pernah sanggup mengalahkan aku! Engkau boleh saja meneror seluruh penghuni negeri ini dengan wabah anehmu. Tetapi untuk kali kedua aku akan menyudahimu. Camkan itu, Akuwu!”
“Pongahmu masih seperti dulu.” Ametung meluruskan pandang ke muka. Dia membahanakan angkara. “Camkan pula, wahai Arok, dalam banyak hal, dendam mengalahkan kematian. Dalam banyak hal lain, cintaku kepada permaisuriku yang kaucuri mengalahkan kematianku! Akulah mimpi buruk kalian berdua. Akulah garis tipis antara cinta dan kebencian. Dan, kalian berdua tidak akan pernah dapat menghentikan kematianku yang menuntut balas karenanya. Jelanglah saatmu, Arok!”
“Apa yang kauinginkan dariku dari kebangkitanmu, Akuwu?!”
“Apa yang kuinginkan?” Ametung berpikir sejenak. “O, tentu saja aku ingin rumah manis di pinggir danau, istri ayu, anak yang lucu-lucu, hasil panen yang tak pernah menipu, dan… tentu saja kepalamu, biadab!” Mata sang akuwu memerah darah, menombak Arok.
“Apakah engkau sudah tahu cara bertarung, Akuwu?”
“Apakah engkau sudah tahu cara dan rasa menyongsong kematian, Arok?!”
Arok agak gentar -- tabu yang selama ini dia hindari. “Mengapa kau membisu, Arok? Engkau gentar menghadapi kematian? Itu di luar kebiasaanmu, Arok yang Agung.” Sindiran Ametung makin mengiris nyali Arok.
“Seorang ksatria tak akan pernah gentar bila maut mengadang. Karena setiap orang akan menemukan jalan kematiannya sendiri-sendiri. Dan jalan takdir kematianku di luar jangkauanmu, Akuwu. Akan kusongsong saatku sebagaimana telah kusongsongkan kematianmu, Akuwu.”
“Kau tak akan pernah dapat membunuhku hanya dengan satu-dua kali kematian, Arok, sebagaimana kausudahi para seterumu yang lain. Akulah arwah perkecualian yang akan terus membayang-bayangi dan menghantarkanmu ke mati, takdirmu yang sejati.”
“Aku Arok, sang pembangun! Hidupku berarti dan mati pun aku menjadi lebih berarti.”
“Cih...! Simak dengan tekun kutukanku kepadamu, Arok! Kerismu, kekuasaanmu, dan garis keturunanku yang pernah bersemayam di gua garba permaisuriku dan permaisurimu akan terus berpusing-puisng laksana gangsingan dan bersarang tepat, telak, di jantung takhtamu. Saksikan, Arok! Anusapati* dan para simpatisannya akan bahu-membahu dan terus bersiaga menunggu lengahmu. Dia selayaknya pemburu mengintai dan menawarkan kematian pada mangsanya Dan kau, Arok, kau akan merasakan apa yang kurasakan: alangkah indah penderitaan ini, ditelikung kekuasaan! Selamat datang, Arok! Selamat datang. Kan kusambut saatmu. Selamat datang… di taman kehidupan sebenarnya; kematian.”
Mereka pun bertarung lagi, lagi, dan lagi. Mereka bertarung sampai benar-benar ada yang mati.

Semarang, 7 Juni 2002
Bintaro, Jakarta, 24 Agustus 2002

Catatan:
Telik sandi : Mata-mata
Sigaraning nyawa: istri
Sumingkir: menyingkir
Gaman: senjata
Tiji tibeh, mati siji mati kabeh: mati satu mati semua
Muntab: amarah meluap
Anusapati : Putra Dedes dari Ametung.