Kamis, 07 Februari 2008


St. Petersburg,

Kota Susastra dan Makam Budaya


SEBAGAIMANA layaknya Imogiri di kota Yogyakarta yang digunakan sebagai tempat persemayaman terakhir para raja raja Jawa। Kota St. Petersburg pun mempunyai tempat yang tak kalah istimewa; pemakaman The Alexander Nevskiy Lavra, The Nekropol of 18 Century, The Nekropol of People of Arts di jalan Stariy Nevskiy, St. Petersburg. Hampir sebagian besar sastrawan Rusia disemayamkan di tempat terhormat ini। Selain para sastrawan, pelukis, seniman musik, pemain teater, opera dan pemikir kebudayaan juga di 'sarekan' di sana. Di makam yang semakin tampak sakral dibawah nuansa guyuran salju yang mulai turun dan membadai itu, kami menyusuri jalan setapak dari batu dan mulai merunut pada nisan; Fyodor Dostoevski (1821-1881). Di pusara sastrawan besar dunia yang mashur dengan novel ''Crime and Punisment (Kejahatan dan Hukuman)-nya ini, - dan diklaim telah dibaca di seluruh dunia- saya meletakkan karangan bunga। Sebagaimana lazimnya pemakaman 'orang-orang besar' di Eropa. Makam sastrawan yang juga telah menghasilkan mahakarya ''The Idiot'' dan ''The Brothers Karamazow'' ini juga ditandai dengan patung diri sang empunya dengan jenggot yang menjuntai ke bawah. Di komplek pemakaman yang senantiasa ramai dikunjungi para pelancong domestik dan manca negara ini juga terbaring nama sastrawn A.V. Suvorov, Alexander Blok, Ivan Turgenev, Panglima Besar Bangsa Rus; Alexander Nevskiy, Komposer Prokofyev, M.P Musorgskiy, D.D. Shostakovich, M.I. Glinka, pelukis Bryullov dan masih banyak nama penting lainnya. Memang, makam yang didominasi oleh nama para sastrawan besar Rusia pada eranya - bahkan hingga sekarang- ini menjadi maklum keberadaanya. Karena kedudukan dan kehidupan susastra dan sastrawannya di Rusia memang teramat sangat mendapat tempat di hati rakyat.
Saking dekatnya sastra di hati rakyat, sehingga tidak aneh jika sebagian besar anak-anak di St. Petersburg berkecenderungan membandingkan tingkah polah seseorang, dengan tokoh-tokoh yang terdapat di novel susastra . Dan jika berbicara tentang susastra Rusia, rasanya tidak pepak jika tidak menyebut nama pewaris kesusastraan dunia yang agung, Count Leo Tolstoi (1828-1910). Sastrawan yang juga keturunan bangsawan ini telah menghasilkan karya jenius novel ''War and Peace (Perang dan Damai)'', serta karya fenomenal ''Anna Karenina''. Sebagaimana ternukil dalam buku Negara dan Bangsa; Uni Republik-Republik Sosialis Soviet. Nama Leo Tosltoi dan Fyodor Dovtoeski ditempatkan sebagai bintang yang cemerlang dalam seluruh konstalasi kesusastraan tinggi abad ke реп.
Namun, dalam periode sebelumnya, yang disebut ''zaman emas'' puisi (1815-1830). Rusia tidak hanya menghasilkan para penyair-penyair terbaiknya, melainkan juga melahirkan para sastrawan terkemuka. Dan yang paling fenomenal dari sekian banyak nama adalah Alexander Pushkin. Jika Anda pada suatu ketika dibawa oleh garis takdir mampir di St. Petersburg, maka sebutlah nama Alexander Pushkin, niscaya setiap orang disana dengan antusias berkisah tentang keharuman nama penyair ini.
Bahkan di St. Peterburg berbagai tempat yang pernah mempunyai ikatan kesejarahan dengan penyair yang sangat di cintai dan dibanggakan rakyat Uni Soviet pada umumnya dan dan rakyat Rusia pada khususnya itu ditandai dengan marking atau prasasti. Taruhlah sebuah cafe, di jalan Nevski Prospekt yang dulu digunakan Pushkin sebagai tempat kongkow-kongkow. Di kafe itu, kini 'terdapat prasasti yang menerangkan bahwa Puskhin kerap meluangkan waktu di sana.
Bahkan dalam sebuah kesempatan Anatoly Varonkow, wartawan senior kantor berita Russian Information Agency (RIA) Novosty mengisahkan kebesaran Puskhin.
''Pada sebuah masa, ketika Tsar sedang melakukan perjalanan dengan keretanya, ia berpapasan dengan Pushkin yang sedang berlenggang kangkung,'' kisahnya. ''Kemudian, karena nama Pushkin telah merakyat dengan karya-karyanya yang agung dan mengispirasi banyak orang. Tsar yang tanpa sengaja bersitatap dengan paras Pushkin seketika melambaikan tangan kepadanya,'' ujarnya. ''Seketika itu pula Puskhin pun membalas lambaian tangan Tsar sembari berujar; Salam!'' kisah Anatoly. Adakah seorang kaisar menyapa seorang rakyat jelata jika orang itu tidak manusia istimewa dan bukan seorang penyair? Tanya Anatoly kepada saya. Sebelum pada akhirnya ia mengajukan sebuah pertanyaan dengan membandingkan penghormatan orang Indonesia kepada penyairnya.
Seketika pikiran saya pun langsung bersijingkat ke nama penyair angkatan 1945; Chairil Anwar. ''Tentu saja ada,'' sergah saya cepat. ''Di Jakarta, di sudut Jalan Medan Merdeka Utara, dimana Monumen Nasional (Monas) berada. Di sebuah sudut yang bersebelahan dengan Masjid Istiqlal, sebuah taman bernama Chairil Anwar menghijau di sana,'' terang saya berapologi. ''Dan itu menunjukkan bangsa Indonesia pun menghormati kedudukan seorang penyair. Belum lagi pada setiap tahun, kami dulu ketika masih menjadi mahasiswa susastra dengan para sastrawan pada khususnya senantiasa memeperingati hari Chairil Anwar dengan mengadakan peristiwa budaya dan sastra,'' kilah saya meyakinkan.
Aha..., Anatoly mengangguk-angguk menandakan apa saya kurang tahu persis, sebelum ia melanjutkan kembali kisahnya tentang kebesaran Pushkin. ''Bahkan pada saat Tsar berperang dengan tentara Turki, dan berhasil menawan berapa pasukan tentaranya, kebesaran Pushkin juga terlihat di sana,'' kisahnya lagi seperti tidak mau kalah dengan cerita Chairil Anwar saya. '' Salah seorang tawanan pasukan Turki berkata kepada seorang penjaga; siapakah laki-laki yang berseragam bebas diantara para serdadu itu? Apakah ia atasan para serdadu itu sehingga mempunyai kostum yang berbeda? Tidak! Jawab penjaga itu. Ia adalah seorang penyair''.
Ya, nama Pushkin yang kualitas syair dalam puisinya sarat dengan kandungan kayali, kuno, bergaya musikal, terukur dan mengalun itu memang telah menjadi legenda Rusia। Sehingga tidak ayal di St. Petersburg patungnya banyak bertebaran dan beberapa diantaranya dalam ukuran raksasa berdiri teguh di kota Moskwa. Bahkan sampai-sampai pasir di areal pemakamannya di Pushkin Skigori (gunung Pushkin) pun kerap dijadikan cendera mata para peziarah yang datang kesana. ''Persis dengan Tembok Berlin di Jerman yang batu batanya dijadikan cinderamata, diperjual belikan bahkan disertifikatkan keasliannya,'' batin saya mengenang oleh-oleh batu bata Tembok Berlin yang dihadiahkan seorang kawan wartawan Tempo yang pernah melakukan liputan di Berlin, Jerman. Memang, nama Pushkin sebagai penyair nasional karena mampu mencitrakan bahasa literatur baru serta menggunakan kehidupan, dongeng rakyat serta sejarah Rusia dalam karya-karyanya, adalah nama yang melegenda. Lewat sajak-sajak yang ia bunga rampaikan dalam puisinya itulah, Pushkin mempermasalahkan ketidak sederajadan antara kelas penguasa dan kelas bawah di Rusia. Dan karya populernya yang bergenre novel dalam puisi; ''Eugene (Evgeni) Onegin'', yang bernarasi tentang seorang pesolek St. Petersburg dan hidup dengan keriangan. Dan diklaim mirip dengan pola hidupnya di awal-awal kepanyairannya itu, hingga kini masih menjadi masterpiece.
Foto;



25dsastra.em ; Makam Fyodor Dostoveski di pemakanan The Nekropol os People of Arts, St. Petersburg.


Tidak ada komentar: