Rabu, 13 Februari 2008

Djenar

Rabu, 27 Juli 2005. BUDAYA
Membaca "Nayla" Mahesa Ayu
PROSES pembacaan terhadap suatu teks, baik berupa karya ilmiah, prosa, apalagi puisi, pasti membuka sebuah keniscayaan yang sangat luas terhadap interpretasi yang beragam. Hal ini menjadi maklum mengingat proses pembacaan setiap individu terhadap teks beranjak dari pengalaman literernya masing-masing. Semakin kaya pembacaan literer seseorang dan didukung oleh ketajaman analisa serta kedalaman perenungannya, semakin berkeniscayaan itu "mendekati" kandungan makna teks yang bersangkutan. Namun dalam diskusi Nayla karya Djenar Mahesa Ayu di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin di TIM Jakarta, kemarin, bekal literer sekalipun tidak cukup mampu mengurai makna novel karya putri mendiang Sjumandjaja ini. Hal ini terjadi bukan karena Triyanto Triwikromo (sastrawan dan redaktur Suara Merdeka) serta Donny Gahral (pengajar Filsafat Universitas Indonesia), sebagai pembicara tidak cukup cakap menguak detail teks dalam novel itu. Lebih dari itu, ketidaklayakan sebuah teks untuk dilihat dari sebuah kacamata yang semestinya, sangat memungkinkan membuat mengapa pisau tajam analisis kedua pembicara tersebut tidak kebal membedah Nayla. Novel perdana putri aktris Tuti Kirana ini memang diterakan kalimat khusus pembaca dewasa pada sampul mukanya. Oleh karenanya, novel ini seolah menjadi absah jika dekat, pepat, dan berkelindan dengan gambaran dan dunia orang dewasa yang konon penuh dengan kepedihan, keperihan, kekerasan, dan (mengumbar) seks tentu saja. Dengan semangat dasar mengusung kesetaraan perempuan dengan laki-laki (feminisme), Djenar memang masih menyibukkan diri dengan "khotbah-khotbah" tentang bagaimana sepatutnya perempuan melakukan perlawanan untuk merebut kesetaraan. Jurnal Perempuan.Akibatnya, menurut Donny beberapa halaman dalam novel ini lebih layak untuk mengisi halaman jurnal perempuan. Sedangkan Triyanto yang membaca Nayla melalui karya-karya Djenar lainnya, yaitu kumpulan cerpen Mereka Bilang Saya Monyet, Jangan Main-main dengan Kelaminmu, dan Nayla itu sendiri, menilai novel ini tidak lebih dari karya historical cerpen-cerpen Djenar yang dipepatkan. "Teks sastra bisa dianalisis lewat teks itu sendiri," ujar Triyanto mendasari analisisnya. "Atau membaca Djenar dengan buku Djenar". Selain menggunakan teori semiotik untuk menangkap dan menguak tanda-tanda yang diterakan di sampul muka novel, TT, demikian Triyanto biasa disapa, menilai Nayla tidak mengandung sesuatu yang istimewa. "Opus magnum atau puncak karya dari seorang sastrawan adalah apabila ia mampu step to the homeland that man never there before atau ke suatu tempat di mana seseorang belum pernah ke sana sebelumnya," ujar Donny. Bahkan dalam bahasa suami Rieke Dyah Pitaloka ini, secara keseluruhan Nayla bernarasi dengan biasa. "Klise," katanya. Meski demikian Nayla menurut Donny tetap menyimpan sesuatu yang dekat dengan semangat filsafat atheistis. Narasi tokoh utama, katanya, mengajak pembacanya untuk mencintai kehidupan, sejalan dengan pemikiran salah satu Bapak Filosofi modern: Frederic Nietszche, yaitu "Amor Fati". "Akan menjadi ideal jika novel ini melepaskan diri dari semangat moralisme atau value karena kebenaran bersifat relatif," katanya yang berkeyakinan susastra adalah sebuah wilayah yang lebih luas dari filsafat dan oleh karenanya semestinya dipisahkan dari nilai-nilai moralisme. "Sastra itu beyond good and evil." Dengan pembacaan fragmentaris atau mozaik, Donny memang mengakui tidak bisa detail jika ia menggunakan pembacaan holistik atau close reading. Meski demikian ia menilai karya Djenar sangat radical humanism. Apa tanggapan Djenar atas pemaknaan novelnya? "Saya menulis karena hanya ingin menulis," kata dia. Kalaupun sebagian orang menilai membaca Nayla adalah sama saja dengan membaca Djenar, ia pun tidak peduli. "Kepenulisan saya tidak ada hubungannya dengan moralitas saya," imbuhnya. (Benny Benke-45)

Paul Gilbert

Jumat, 15 Juli 2005. BUDAYA
Nada Aneh Gitar Paul Gilbert
TIDAK ada kata yang lebih pantas untuk menggambarkan keterkaguman publik, terutama para pemain gitar Indonesia, atas kelihaian Paul Gilbert bermain gitar selain kata "luar biasa". Betapa tidak, selama 95 menit, mantan gitaris Mr Big ini membuat sekitar 2.000 penonton yang memadati Pantai Festival, Ancol, Jakarta, Rabu (13/7) malam, terpesona menyaksikan penampilan lulusan terbaik Guitar Institute Technology, Los Angeles ini. Dengan mengenakan dandanan warna putih, Gilbert yang menyertakan Linus of Hollywood (bas) dan Jeff Bowders (drums) itu langsung menyeruak ke panggung tepat pukul 21.00 dengan memainkan nomor "Masa Ito", "Space Ship One", "I Like Rock" dan "Potato Head". Empat nomor pembuka ini disambut tepuk sorak penonton. "Terima Kasih," kata Gilbert fasih. Selanjutnya, dia mengungkapkan alasannya menggelar World Tour 2005. "Saya hanya ingin lebih dekat dengan pendengar musik saya. Tidak lebih dari itu". Guru Besar pada Guitar of Technic California ini kemudian mengalirkan "I am Not Afraid of The Police". Tak hanya mengandalkan kecepatannya menarikan jari di atas fred gitar, dia juga menyuguhkan nada-nada aneh dan tidak lazim yang membuat penikmatnya menebak-nebak padanan suara yang dihasilkan gitarnya. "Dia berani dan lihai sekali melakukan persilangan-persilangan nada. Hanya gitaris kelas dunia yang mampu melakukan teknik itu," kata Eet Syahranie dari grup Edane di bawah panggung. "Mainnya rapi dan bersih. Dia tahu kapan cepet kapan kalem," timpal Totok Tewel. Jhon Paul Ivan, mantan personel Boomerang, yang sebelumnya ber-jam session dengan Abdee Negara (Slank) dan Eet Syahranie (Edane) lewat komposisi "Juwita Malam" (Ismail Marzuki), hanya menggelengkan kepala, "Edan..." bisiknya. Konser yang dipromotori Total Production ini menampilkan tiga band pembuka, Taboo, Flip, dan Betrayer. To Be With You. Gilbert yang lihai berkomunikasi dengan penontonya tidak lupa menyuguhkan lagu-lagu favorit, antara lain "Every Hot Girls is Rockstar", "Viking Kong", "Something" (Beatles), "Heat In the Street", "Jackhammer", dan "Be My Wife". Meski pada tembang "Play Guitar" dan "Down to Mexico", Gilbert mulai tampak kelelahan dengan sedikit kendor olah vokalnya. Namun, musikus yang telah menghasilkan 9 album solo ini tetap berusaha tampil maksimal pada nomor yang ditunggu-tunggu, "To Be With You" versi terbaru. Sungguh, di tangan gitaris sekelas Paul Gilbert, konser yang berlangsung selama 95 menit itu terasa sangat pendek. (Benny Benke-43)

Gie

Selasa, 12 Juli 2005. BUDAYA
Preview "Gie"
Sebuah Interpretasi Riri Riza

"SAYA telah memutuskan bahwa saya akan bertahan dengan prinsip-prinsip saya. Lebih baik saya diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan".
Kalimat tersebut dinarasikan dengan nanar oleh Soe Hok Gie (Gie) yang diperankan oleh Nicholas Saputra ketika menyadari kawan-kawannya mulai "meninggalkannya". "Mungkin aku terlalu keras kepala," imbuh Gie semakin tidak mengerti, manakala Ira (Sita RSD), teman wanitanya juga enggan ditemui. Menjelang babak akhir film berdurasi 2,5 jam ini, keresahan adik kandung Soe Hok Djin (Arief Budiman) ini, semakin menjadi. Buntutnya, Gie kembali ke alam. "Gunung adalah tempat segala kemurnian dan keteguhan hati," tulisnya dalam surat kepada Herman Lantang, salah seorang kawan dekatnya. Di puncak Gunung Semeru, Jawa Timur, pada Desember 1969, satu hari menjelang ulang tahunnya yang ke-27, Gie tewas secara tragis akibat gas beracun. Mati muda, sebagaimana yang ia cita-citakan. "Beruntunglah bagi yang mati muda. Let the death be death". Demikianlah film Gie yang dibesut Riri Riza mengakiri ending-nya. Tidak secara verbal menggambarkan adegan saat-saat terakhir jasad Gie dipangkuan Herman Lantang, melainkan simbolisme sampainya secarik surat yang disampaikan kepada Ira dari Gie. "Sebagai sebuah film biopic, yang berangkat dari kisah nyata, film ini sebisa mungkin mendekati fakta yang melatarbelakangi kejadian aslinya," papar Riri. Namun, imbuh Riri, tetap ada beberapa versi atas interpretasinya secara pribadi. Di manakah versi interpretasi Riri terhadap film yang melibatkan figuran lebih dari 2.500 orang, biaya produksi Rp 7 milliar, dan proses syuting hingga 76 hari itu? "Saya mengaburkan beberapa nama penting yang tidak berkenan namanya saya ikutkan dalam film ini," tukas Riri. Dan akibatnya ada beberapa sosok yang benar-benar real, seperti Arief Budiman, Herman Lantang, dan Aristides Katoppo. Namun, ada pula sosok fiktif seperti Ira, Sinta, dan Jaka. Menurut Mira Lesmana, sebagai produser, pilihan ini tidak mudah. "Beberapa pihak yang pernah dekat dengan Gie menolak dikaitkan kembali namanya," tutur Mira tanpa merinci keberatan mereka. "Mereka pastinya mempunyai alasan pribadi yang harus saya hormati". "Dan karena ini bukan film dokumenter sejarah, saya tidak mempunyai kewajiban untuk taat kepada keseharian tokoh-tokohnya," sambung Riri. Hasilnya, lahirlah Gie dengan citra ketampanan Nicholas Saputra. Kerja Maraton. Film yang beranjak dari skenario Riri Riza ini, memang bukan film sembarangan. Kerja maraton selama tiga tahun, dengan riset mendalam dua tahun dan berbagai kendala yang menyertainya, sudah selayaknya mendapatkan apresiasi. Lihatlah salah satu kerja besar Riri ketika lewat tangan dingin Iri Supit (art director) mampu menyulap Kota Lama Semarang menjadi Kota Jakarta bernuansa tahun 1950-1965. Rumah Soe Hok Gie sebenarnya di Jalan Kebun Jeruk IX, Jakarta Barat pun mampu direplikakan di Jalan.Layur Semarang. Bahkan segala nuansa pendukungnya seperti keberadaan mobil, bus, sepeda motor, skuter, sepeda hingga kostum sampai dandanan rambut pun disulap bernuansa tahun 65-an. Bukan itu saja. "Saya pernah secara langsung mengarahkan 1.500 pemain dan mengatur 300 kru dalam sehari," tutur dia. "Jadi saya pernah menjawab pertanyaan dari 300 penanya yang berbeda dalam sehari". Bahkan, imbuh Riri, dia pernah memboyong peralatan film seberat 2 ton ke atas Gunung Pangrango dengan melibatkan 80 porter. "Ini perjalanan paling dramatis bagi saya sebagai seorang film maker". Ya, sosok Gie yang idealis, yang tampaknya telah berjarak dengan generasi sekarang, dihadirkan di antara generasi serbainstan sekarang. Tampaknya Riri dan Mira sadar akan hal itu. Untuk itulah, persona Nicholas Saputra menjadi jembatan penghubung yang merunutkan kembali arti penting sebuah idealisme yang melekat pada Gie. Sepenting menularkan rasa kepedulian Gie terhadap wong cilik, ketika menyaksikan seorang gembel memakan makanan dari tong sampah. "Seorang gembel terpaksa harus makan kulit mangga yang terperosok di tempat sampah. Sungguh ironis. Dua kilometer dari pemakan kulit, paduka kita mungkin sedang tertawa-tawa, makan-makan dengan istrinya yang cantik," demikian dinukil dari buku harian Gie: Catatan Seorang Demonstran. (Benny Benke-45)

Sandiwara Musikal "Mahadaya Cinta"

Minggu, 10 Juli 2005. NASIONAL
Sandiwara Musikal "Mahadaya Cinta"
Sebuah Kesatuan Pentas nan Elok

GURUH Soekarno Putra yang bertindak selaku penggagas dan pengarah seni sandiwara musikal Mahadaya Cinta benar-benar menggembirakan penontonnya. Pertunjukan perdana yang berlangsung pukul 16.00-18.45 di Istora Gelora Bung Karno, Jakarta, kemarin itu seolah terasa singkat. Kepiawaian Guruh yang mempercayakan penyutradaraan pentas kepada Didi Petet memang patut diacungi jempol. Dia berhasil meramu semua unsur kesenian menjadi sebuah one stop entertainment yang sangat melibatkan emosi penonton. Lebih dari 60 pelakon dan lebih dari 20 musikus mampu bersinergi untuk menyajikan sebuah tontonan yang memikat. Putra Proklamator RI itu mempersembahkan sebuah pertunjukan dengan rumusan sederhana, namun sangat mendasar. Dia menghadirkan persona lakon yang sangat dekat dan akrab dengan semua lapisan penonton sehingga Mahadaya Cinta menjadi tontonan keluarga. Dengan modal dasar para lulusan akademia AFI 1, 2, dan 3 yang memang mahir menyanyi dan menari, Guruh menyempurnakannya dengan olah vokal penyanyi "jadi" seperti Widhi AB Three, Shita RSD, Nina Warna, dan Harvey Malaiholo. Hasilnya, sandiwara musikal ini tak ubahnya sebuah konser tembang kenangan yang menyenangkan. Betapa tidak, semua tembang hits dari "Minus One" milik Eminem sampai tembang-tembang populer milik Chrisye berkelindan membuat penikmatnya senang dan memberikan tepuk tangan. Lebih-lebih dengan keaktoran Tora Sudiro dan Aming yang menjadi bintang serta magnet utama pertunjukan, membuat lakon yang ditulis Albertine Endah ini "nyantol" di hati penikmatnya. Demikian pula dengan tampilnya Desy Ratnasari yang dikenal sebagai aktris film dan sinetron serta penyanyi dengan kualitas vokal yang matang. Dengan dukungan gerak tari hasil kreasi Alex Hashim dan daya pikat busana rancangan Citra Subiakto, jadilah Mahadaya Cinta sebuah kesatuan pentas nan elok. Bajaj Naik Panggung. Selain itu, tata panggung yang tersaji benar-benar super mewah untuk ukuran sebuah sandiwara musikal yang pernah digelar di Indonesia. Bayangkan, dengan menghadirkan setting seperti arena disko lengkap dengan meja disc jockey, kantin, penjara, ruang tamu, ruang tidur lengkap dengan kasurnya, dan selasar jalanan, suasana tampak seperti muka gedung pengadilan. Bukan hanya itu, Guruh juga menghadirkan sebuah mobil, bajaj, mobil kancil, motor besar, dan skuter plus ke atas panggung. Tata cahaya dan sound system yang prima makin menambah bobot sandiwara musikal yang telah diimpikan Guruh sejak 20 tahun lalu itu. Ya, Guruh tampaknya masih menjadi satu-satunya kreator ulung sandiwara musikal di negeri ini. Dengan menghadirkan adegan-adegan kolosal di atas panggung plus adegan rekaman yang dipantulkan dari layar raksasa di belakang panggung, menjadikan Mahadaya Cinta tak berhenti pada tataran pergelaran. Lebih dari itu, pentas itu juga menjadi parade multimedia yang apik. Secara garis besar, Mahadaya Cinta berkisah tentang betapa sangat berarti dan maha-nya kekuatan sebuah cinta untuk mengurai segala persoalan hidup yang tidak ada habisnya. "Tuhan adalah Mahadaya Cinta yang akan menjaga umatnya dari segala kepelikan hidup jika kita percaya terhadap kekuatan cinta-Nya". Demikian Fredy (Harvey Malaiholo) menasihati putrinya, Dara, dari balik terali penjara. (Benny Benke-43n)

I La Galigo

Jumat, 08 Juli 2005. BUDAYA
"I La Galigo" Siap Guncang New York
JAKARTA-I La Galigo, lakon 12 babak yang memadukan teater, tari, musik, dan puisi yang disutradarai Robert Wilson, salah seorang sutradara papan atas dunia dari AS, bersiap memenuhi rasa ingin tahu publik dunia di Lincoln Center, New York, AS, 13-16 Juli 2005. Sebelumnya pentas tersebut menghenyakkan panggung Esplanade Theatre Singapura, Maret 2004, dan menjadi perhatian publik dunia dalam tur keliling Eropa, yakni di Spanyol, Italia, Prancis, dan Belanda. "Di tengah berbagai krisis ekonomi, politik, dan olahraga, lagi-lagi kebudayaan menjadi penyelamat muka bangsa di dunia Internasional," ujar Jero Wacik, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, di Gedung Sapta Pesona, Medan Merdeka Barat, Jakarta, kemarin.
Kegembiraan Jero Wacik beralasan. Lakon I La Galigo beranjak dari naskah Sureg Galigo sepanjang 6.000 halaman dengan aksara Bugis klasik yang ditulis antara abad XIV-XVII. Ini merupakan lakon pertama dari Nusantara yang dipentaskan dalam bentuk teater dan dipertontonkan di gedung-gedung pertunjukan terhormat di dunia. "Dan sambutan masyarakat kesenian dunia terhadap lakon yang dimainkan oleh 60 seniman asli dari Indonesia ini sangat antusias sekali," papar Restu Imansari Kusumaningrum, penggagas megaproyek yang telah bergulir selama lima tahun ini. Antusiasme itu paling tidak, menurut Restu yang melibatkan Yayasan Bali Purnati dan Change Performance Arts Italia sebagai produser, terlihat dari tiket yang terjual habis. Sastra Terpanjang. I La Galigo yang oleh para ahli didudukkan sebagai sastra terpanjang di dunia dengan syair lebih dari 300.000 baris ini, oleh Robert Wilson dipepatkan dalam sebuah pertunjukan berdurasi empat jam. Sebagai perbandingan, Epos Mahabarata berjumlah 160.000-200.000 baris. Dan dengan memasang para pelakon dari Irian Jaya, Bali, Makassar, Padang, dan Jakarta serta melibatkan Rahayu Supanggah sebagai music director-nya serta BIN House (Obin) sebagai penata kostum, jadilah I La Galigo suatu pertunjukan yang utuh. Proses latihannya memakan waktu kurang lebih tiga tahun. "Di Lincoln Center, tiket I La Galigo dijual mulai 25 sampai 150 dolar AS, dan ini merupakan pertunjukan dengan harga tiket termahal di antara pertunjukan-pertunjukan lainnya," papar Restu. Dan berkah dari suksesnya I La Galigo melakukan tur Eropa membuat Rahayu Supanggah selaku komposer, dipercaya untuk bermain secara terpisah di salah satu arena kompleks kesenian Lincoln Center pada 17 Juli 2005, dengan membawakan komposisi Sounds of Beginning. Setelah sukses melakukan tur Eropa dan Amerika, menurut rencana atas dukungan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, I La Galigo akan dipentaskan di Balai Kartini, Jakarta akhir Desember 2005 ini. "Selanjutnya, dengan melakukan restaging (penataan ulang pemanggungan), kami akan mempertontonkan I La Galigo ditempat terbuka di Bali dan Makassar, Mei 2006," tandas Restu. (G20-45)

Star Wars: Episode III - Revenge of the Sith,

Rabu, 18 Mei 2005. NASIONAL
Sindiran Politik dalam Dongeng Futuristik
Preview Film "Star Wars"


''IF you not with me, then you my enemy!'' Kalimat itu diucapkan dengan penuh keangkaramurkaan oleh Anakin Skywalker (Hayden Christensen) kepada gurunya Obi-Wan Kanobi (Ewan Mc Gregor), setelah sang guru Jedi itu bersikukuh untuk tetap berdiri pada posisi protagonis. Penolakan Obi-Wan untuk bersekutu dengan kekuatan kegelapan inilah yang memicu pertarungan hidup-mati antara Anakin, yang telah dibaiat menjadi Lord Darth Vader, dengan guru yang sebenarnya sangat dicintainya. Itulah tema sentral film Star Wars: Episode III - Revenge of the Sith, yang diyakini bakal menjadi film terakhir dari dongeng futuristik rekaan sutradara George Lucas. Episode kali ini tak hanya mengangkat tema klasik pertarungan antara kegelapan dan kebaikan, tetapi juga memuat berbagi sindiran politik dan kondisi dunia masa kini. Ucapan tokoh Anakin kepada Obi-Wan Kenobi diyakini mirip ancaman Presiden George Walker Bush terhadap musuh-musuhnya yang dianggap teroris. Episode terbaru Star Wars tersebut, Senin dan Selasa diputar perdana untuk kalangan terbatas di Jakarta, Bangkok, London dan sejumlah kota besar di Asia dan Eropa. Mulai hari ini akan diputar untuk umum di Eropa dan Asia, dan Kamis besok baru akan beredar di bioskop-bioskop Amerika. Persiapan peredaran film ini memang dirancang sangat baik. Diawali dengan preview di arena Festival Film Cannes, Prancis, Minggu (15/5) lalu. Dalam acara itu, seluruh bintang pendukung dihadirkan. Bahkan, termasuk sejumlah aktor berkostum stormtrooper, pasukan perang Kaisar Kegelapan, untuk mengawal George Lucas, Hayden Chistensen, Natalie Portman dan pemeran utama lainnya. Atraksi mereka mampu membangkitkan rasa penasaran bagi yang belum pernah nonton Star Wars, dan membuat para penggemar dongeng galaksi antah berantah itu untuk segera menyaksikan filmnya. Hindari Kematian . Keberpihakan Anakin, yang diramal bakal menjadi ''sang terpilih'', terhadap kekuatan kegelapan bukan tanpa sebab. Dalam sebuah mimpi, Istri Anakin, Senator Padme Amidala (Natalie Portman) tergambarkan bakal mati saat melahirkan. Takut kehilangan orang yang paling dicintainya, maka bersekutulah Anakin dengan kegelapan yang bakal memberinya kekuatan maha dahsyat. Dan, yang mampu memberikan kekuatan itu adalah Chancellor Palpatine (Ian McDiarmid), sang diktator dari Suku Sith. Berbekal harapan bakal memiliki kekuatan mahadahsyat, Anakin bermaksud membelokkan kematian yang bakal menghampiri istrinya. Namun, kematian tetap datang menjemput. Ironisnya, wanita itu mati di tangan Anakin sendiri. Kekaisaran Galaksi jatuh ke tangan Choncellor Palpatine. Selanjutnya, Anakin yang telah berubah wujud menjadi Lord Darth Vader bersama Palpatine memerintah Kekaisaran Kegelapan dengan tangan besi atas nama perdamaian. Visual Effect . Sebagai sebuah cerita panjang Star Wars: Episode III - Revenge of the Sith memang tidak berdiri sendiri. Karya monumental George Lucas itu dimulai sejak film perdana Stars Wars (1977), Star Wars II: The Empire Strike's Back (1980), dan Star Wars III: Return of the Jedi (1983). Belakangan trilogi dongeng futuristik itu diedarkan ulang menjadi Star Wars Episode IV, V dan VI. Hal itu dilakukan setelah Lucas meluncurkan presekuel Star Wars: Episode I - The Phantom Menace (1999), Star Wars: Episode II - Attack of the Clones. Presekuel ketiga kisahnya sangat terkait dengan kondisi dunia masa kini. Dialog-dialog yang sesak dengan sindiran-sindiran terhadap politisi yang dinarasikan lewat para anggota Dewan, bersliweran di sana-sini. ''Pada dasarnya dalam eposide ini, Stars Wars berkisah tentang orang baik yang dapat berubah menjadi jahat karena suatu sebab (politis),'' tutur George Lucas yang juga menulis skenario film tersebut. Lucas memang tidak main-main dengan misinya lewat serial legendaris ini. Konon, ambisi Chonsellor Palpatine untuk menegakkan kekuasaannya di seantero Galaksi, dengan dalih dan alasan menjaga perdamaian, menyindir kebijakan Presiden George Walker Bush ketika menyerbu Irak. Terlepas dari sejauh mana kebenaran sindiran itu, Stars Wars: Episode III - Revenge of the Sith, tetap menawarkan sesuatu kepada penikmatnya. Selain kisahnya yang universal, kekuatan Star Wars juga sangat didukung hasil kerja kru Industrial Lights Magic (ILM) dalam menggarap 2.200 adegan dengan teknik visual effect. Film ini terasa lebih megah dibanding Lord of The Rings. (Benny Benke, Hartono-43)

"Gerbang 13"

Rabu, 11 Mei 2005. BUDAYA
Preview "Gerbang 13"
Pistol, Narkoba, dan Umpatan

JAKARTA-Ketika para produser dan sutradara di Tanah Air mempunyai kecenderungan menghasilkan film yang bersegmentasi dunia putih abu-abu atau remaja, Nanda J Umbara tampaknya mempunyai keberanian lain untuk menghasilkan sebuah karya dengan genre yang berbeda. Lihatlah ketika debutan baru dalam dunia layar lebar ini merilis film teranyarnya yang berjudul Gerbang 13. Dengan mengambil latar belakang cara kerja agen kepolisian yang menyamar untuk melawan mafia narkoba dari Thailand, film ini sepertinya akan memberikan nuansa lain dalam perfilman Indonesia. Apalagi sinema yang didanai oleh Badan Narkotika Nasional dan dijadwalkan akan beredar di Amerika ini, juga menyajikan sesuatu yang lain, yakni action. ''Kami memang meramunya dengan nuansa lazimnya film action,'' tutur Nanda seusai preview perdana yang dihadiri para pendukung lakonnya, kemarin. Dan lihatlah, sederet nama tenar dalam dunia selebriti di Tanah Air diikutkan dalam film yang menggunakan bahasa tutur golongan bimbingan Orang Tua ini. Nama Jikun /rif, Andi /rif, dan Gito Rollies tampaknya akan menjadi cameo (peran selintas) yang lumayan mewarnai film ini. Dan layaknya sebuah film action, Gerbang 13 pun pepat dengan berbagai adegan adu jotos, baku tembak, darah, dan baku serapah. Ya, meski terlalu banyak dialog yang diselingi dengan sumpah serapah pelakonnya, baik menggunakan bahasa Inggris maupun Indonesia, toh film ini masih berjalan dalam alurnya, meski penuh kenaifan. Narkoba.Dikisahkan Anwar Sukhoi, pengedar narkoba jalur distribusi dari Thailand, yang lucunya adalah campuran Jawa dan Thailand, berikhtiar menancapkan benderanya di Asia Tenggara. Kedatangan Anwar Sukhoi di Indonesia ini berimbas pada banyaknya perang antargeng karena perebutan lahan bisnis di Jakarta. Untuk menangkal maraknya beredarnya narkoba di masyarakat inilah, sebuah tim undercover dibentuk oleh AKBP Bunga Restu Audini (Lia Candra). Dengan dukungan sepenuhnya dari Brigjen Sahid yang tidak lain adalah sahabat baik dari mendiang ayah Bunga sendiri, tim bawah tanah pemberantas narkoba ini terbentuk. Uniknya, tim ini terdiri atas gabungan polisi dan mantan pelaku kriminal yang bersinergi untuk menggulung para bandar narkoba. Mulai dari Reno, mantan kurir dan penyelundup narkoba yang mempunyai indra keenam, hingga Varra (Donna Agnesia), mantan model dan cyber criminal yang telah jera. Kemudian ada Elang, pelaku kriminal yang telah insyaf dan bekerja bareng dengan Inspektur Adrian, seorang Niper andal, dan Brigade Belo, negosiator kriminal. Selanjutnya, sebagaimana kisah hitam putih dalan dunia persilatan, Afman (Eddy Moron) yang berposisi sebagai antagonis bersama bosnya, binasa di tangan para polisi Indonesia. Sedangkan Anwar Sukhoi, yang datang dari Bangkok, Thailand, diringkus layaknya pesakitan setelah bersusah payah beradu jotos dengan Elang. (G20-81)

The Interpreter,

Jumat, 06 Mei 2005. BUDAYA
Antara Kata-kata dan Senjata
LEBIH manjur mana, kekuatan kata-kata atau kekuatan senjata dalam menyelesaikan sebuah pertikaian? Dalam film The Interpreter, antara kata-kata dan senjata dipertemukan dalam sebuah situasi yang sama-sama sulit. Sutradara peraih Oscar, Sydney Pollack, meramunya menjadi sebuah tontonan menegangkan sekaligus mengasyikkan. Dalam film itu, Pollack menyajikan kisah intrik yang belum pernah diangkat ke film. Sebagai peramu suspence dan thriller, Pollack telah membuktikan kepiawaiannya lewat film-film berkualitas seperti Three Days of the Condor, Absensce of Malice, The Firm, Out of Africa dan Tootsie. Kisah The Interpreter berseting di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pollack melakukan pengambilan gambar di sana atas ijin langsung dari Sekjen PBB Kofi Annan. Pollack bahkan melibatkan staf PBB dalam proses produksi filmnya. Hasilnya, film yang dibuat berdasarkan skenario karya Charles Randolph, Scott Frank dan Steven Zailin ini memperlihatkan berbagai intrik politik di PBB. Kehadiran Nicole Kidman (Cold Mountains, Moulin Rouge) dan Sean Penn (Mystic River, The Tin Red Line, Carlito's Ways) menambah kekuatan film ini. Film berkisah tentang Silvia Broome (Nicole Kidman), seorang interpreter atau penerjemah di PBB yang secara tidak sengaja mendengar rencana pembunuhan seorang kepala negara dari ruang kerjanya di Markas Besar PBB. Akibatnya, dia dianggap sebagai orang berbahaya yang harus dilenyapkan agar rencana pembunuhan politik tersebut tidak terbongkar. Maka, Silvia melaporkan kasus itu ke polisi. Silvia kemudian bertemu dengan Tobin Keller (Sean Penn), agen FBI, yang bertugas melindungi saksi pelapor. Dari sini pula beda pendapat antara seorang penerjemah yang mempercayai kekuatan kata-kata lewat jalur diplomasi dengan keyakinan seorang agen rahasia yang lebih percaya senjata untuk menyelesaikan masalah. Namun, kata-kata maupun senjata, jika tidak dipakai pada tempat yang semestinya, sama-sama bisa berakibat fatal. Darah tumpah dimana-mana. (Benny Benke-63)

Ian Antono

Rabu, 27 April 2005. BUDAYA
Musisi Senior Bikin Album Keroyokan
JAKARTA-Tidak ada senioritas atau yunioritas dalam ranah jagad musik Indonesia. Demikianlah ungkapan Ahmad Albar ketika mengomentari komposisi album keroyokan Kedamaian. Ungkapan vokalis God Bless ini memang benar adanya. Bersama musisi senior lainnya yang telah malang melintang di industri rekaman seperti Ian Antono, Fariz RM, Trie Utami, Ita Purnamasari, Ekky Lamoh, Mus Mujiono, Jet Liar, Doddy Katamsi, Mel Shandy, Toto Tewel, Imaniar, Abadi Soesman, dan Dwiki Darmawan, dia kembali memarakkan jagad musik Indonesia. Dengan melibatkan beberapa nama anyar dalam blantika musik seperti Cantika (putri Minati Atmanegara), Dea Mirella, dan paduan suara Universitas Tri Sakti, album untuk solidaritas sesama warga bangsa ini boleh jadi menjadi album keroyokan di pembuka tahun ini. "Pada beberapa dekade yang lalu kami memang pernah merilis Tujuh Bintang, yang formatnya juga keroyokan," tutur Mus Mujiono di Hard Rock Cafe, Jakarta, kemarin. Namun, imbuh adik Mus Mulyadi ini, album Kedamaian ini lebih ditujukan untuk mengukuhkan rasa solidaritas para musisi terhadap kondisi kekinian Indonesia yang semakin memprihatinkan. Memang album yang merangkum 12 tembang yang semua syairnya ditulis oleh Ir Nugroho Suksmanto ini, seluruh narasinya berkisah tentang carut-marut kondisi sosial, politik, budaya, dan ekonomi di Indonesia. Kebebasan."Dan yang semakin membuat album ini berbobot adalah, kami diberi kebebasan produser untuk mennerjemahkan syair ke dalam berbagai aliran musik yang kami senangi," ujar Trie Utami yang dalam album ini menembangkan "Visi" berduet dengan Doddi Katamsi. Bahkan Ian Antono, yang berperan sebagai music director pada tembang "Gelombang Tsunami", "Adakah Kedamaian", dan "Tangis Bumi", turut pula menyumbangkan suaranya bersama seluruh musisi pendukung. "Kami hanya ingin turut menyumbangkan apa yang mampu kami berikan sebagai seorang seniman musik. Tidak kurang tidak lebih," kata pencipta lagu "Syair Kehidupan" yang melegenda itu. Sebagai sebuah ikhtiar untuk menunjukkan dan memberikan sesuatu yang berguna bagi sesama warga bangsa, Kedamaian yang digarap selama delapan bulan ini memang tidak menjual musik an-sich. "Kami juga mengajak masyarakat untuk tidak lelah-lelahnya menjaga rasa solidaritas terhadap sesama," imbuh Ekky Lamoh. Dengan demikian, album yang berformat CD dan kaset ini sampai ke masyarakat penikmatnya. "Dan yang lebih penting, sebagian keuntungan penjualan album ini kami sumbangkan kepada yang memerlukan," kata Reynold, produser album ini. (G20-81)

Dewaruci dan Jabang Tetuko,

Senin, 25 April 2005. BUDAYA
Teater Wayang Gaya Ki Enthus
JIKA pertunjukan wayang kulit kehilangan daya tarik dan mulai ditinggalkan penontonnya, yang kali pertama harus disalahkan adalah dalangnya. Sebab, daya tarik wayang datang dari bagaimana dalang mengkreasikan karyanya. Kesimpulan itu nampaknya sangat dipahami Ki Enthus Susmono. Dalam pergelarannya di Anjungan Lampung, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta, akhir pekan lalu, dalang asal Tegal itu kembali membuktikan kepiawaiannya meramu lakon. Tampil dua malam berturut-turut, 21-22 April, dengan lakon Dewaruci dan Jabang Tetuko, Enthus lagi-lagi menyajikan ramuan baru pertunjukkan wayang. Dia me-mixing wayang kulit dengan wayang golek. Selain itu, dia juga memberi kebebasan kepada para pangrawit mengekpresikan kemampuan mereka dalam olah tari, vokal dan bermain sandiwara.
Maka, tak berlebihan bila pergelaran Ki Enthus kali ini disebut teater wayang. Betapa tidak, sebagaimana teater, wayang sebagai seni kolektif, di bawah Enthus, bukan saja meramu segala bidang seni (rupa, musik dan sastra), melainkan juga merangkum manajemen, psikologi, sejarah, filsafat dan sebagainya. Tiga unsur dasar pertunjukan wayang, yaitu sabetan (cara memainkan wayang), catur (cerita, dialog, dan monolog), serta karawitan (musik) diramu di luar kelaziman wayang tradisional. Karena itu, menyaksikan wayang Ki Enthus tak ubahnya menyaksikan berbagai seni pertunjukan yang dikemas dalam pagelaran one stop entertainment. Maka, tidak mengherankan jika ratusan penonton tetap bertahan di tempat duduknya hingga pergelaran berdurasi lebih dari 240 menit itu selesai. Cara memainkan wayang seperti ini tentu saja berisiko. Sebab, sangat dimungkinkan lakon yang disampaikannya terdistorsi. Apalagi dengan membiaskan antara lakon realis dan absurd. Sebab, dalam realisme, segala sesuatunya harus wajar sesuai realita. Sedangkan dalam absurdisme, segala seuatunya tidak masuk akal atau sama sekali tidak nyata. Namun, justru inilah yang membuat pertunjukan wayang Ki Enthus senantiasa dinanti penggemarnya. (Benny Benke-63).

Maksim

Rabu, 20 April 2005. BUDAYA
Musik Klasik Berparas Pop
KETIKA lampu mulai benderang secara perlahan, "Bohemian Rhapsody", komposisi legendaris milik grup Queen mulai mengalun secara lamban pula pada awalnya. Namun, ketika repertoar aransemen Freddy Mercury dan Tolga Kashif itu telah dirampungkan secara utuh oleh Maksim Mrvica bersama Twilite Orcestra, sekitar 3.500 penonton dibuat terpana. Betapa tidak. Setelah lebih dari sepuluh menit komposisi itu membius penonton, Maksim yang bertukar pandang dengan Addie MS sebagai conductor Twilite Orchestra, benar-benar menyudahinya secara klimaks. Tak syak, bergemalah lapangan Tennis Indoor Senayan Jakarta oleh tepuk sorak penonton yang musti rela merogoh sakunya sebesar Rp 240 ribu (tribun), Rp 400 ribu (VIP) dan Rp 600 ribu (VVIP). Penampilan laki-laki kelahiran Sibenik, Kroasia ini memang masih memesona, sebagaimana kehadirannya di Jakarta tahun lalu. Dia mengawali karier bermain musik sejak berumur sembilan tahun, di bawah bimbingan Professor Marija Sesko. Menginjak usia 11 tahun, pertunjukan konser perdananya; Haydn's Piano Concerto in C Major terselenggara. Bahkan, ketika perang pecah di Negeri Baltik, tidak menyurutkan keteguhan hatinya untuk terus mengasah kemampuan. "Satu-satunya yang dapat membuat saya menjalani hidup adalah piano," tutur peraih penghargaan The Nicolai Rubinstein International Piano Competition dan Pontoise Piano Competition, dalam temu wartawan di Kemang, Jakarta, sehari menjelang konser (18/4). Mulus. Dan benar saja. Dalam konser yang digagas oleh Java Musikindo ini, Maksim membuktikan ucapannya. Dengan menarikan jarinya di atas tuts piano, komposisi seperti "Piano Concerto No. 2 In C Minor" (Rachmaninov), "Kolibre", "Piano Concerto No.1 In B Flat Minor", "3 rd Movement", "Olympic Dream" dan berbagai komposisi lainnya yang terangkum dalam album The Piano Player (2003) dan Variation Par I & II (2004), mengalun dengan mulus. Musik Klasik yang cenderung identik dengan suasana solitude, personal dan membutuhkan apresiasi tersendiri dalam penikmatannya, di bawah ramuan Maksim menjadi sesuatu yang ringan, tidak berjarak, akrab dan jauh dari stigma kesakralan. "Saya hanya ingin mendekatkan musik klasik dengan ramuan pop," katanya. Dan harapannya tampaknya bersambut, dua albumnya yang beredar di Indonesia terjual 15.000 kopi. Sebagai ganjaran atas pencapaiannya, EMI Music Indonesia menghadiahkan Gold Award. (Benny Benke-81)

Jitet Koestana

Kamis, 14 April 2005. DAYA
Semarang Rajai Lomba Karikatur Indonesia

JAKARTA - Tiga peserta dari Semarang merajai Lomba Karikatur 2005 bertajuk Plus-Minus 60 Tahun Indonesia. Ikhsan Dwiono, Jitet Koestana, dan A Lukis Haryadi yang berturut-turut menempati urutan pertama, kedua, dan ketiga berhak memboyong hadiah Rp 10 juta, Rp 6 juta, dan Rp 4 juta. Dalam pengumuman lomba yang digagas oleh Institut Studi Arus Informasi (ISAI) dan beberapa lembaga mitra kerjanya di Kedai Tempo, Jalan Utan Kayu Jakarta, kemarin, tiga peserta dari Semarang tersebut menyisihkan lebih dari 700 karikatur yang masuk ke meja panitia. ''Setelah melalui seleksi yang ketat dari lebih 700 karikatur yang masuk panitia, terpilih tiga pemenang dan dua orang yang menggondol penghargaan khusus,'' papar Bambang Bujono, salah seorang panitia lomba yang mewakili komunitas Galeri Lontar. Menurut Bambu, demikian mantan wartawan senior majalah Tempo ini disapa, dari seluruh karya yang diterima panita, hampir 100 karya bertemakan korupsi, kulusi, dan nepotisme (KKN). '' Sehingga tidak heran jika sebagian besar karya menampilkan tikus sebagai tokoh sentralnya''. Putus Asa. mbu yang duduk bersama Dwi Koendoro (Kompas) dan Pramono R Pramoedjo (Sinar Harapan) menilai kecenderungan para peserta yang menghadirkan tema KKN dengan simbol tikus memang tidak terlepas dari kondisi Indonesia dewasa ini. ''Boleh jadi para karikaturis atau masyarakat telah sedemikian putus asa, frustasi, muak pada korupsi dan pelakunya, hingga simbol pelaku pun dimerosotkan sampai ke hewan got menjijikkan yang bisa hidup di mana saja itu,'' kata Bambu. an lihatlah, karya A Lukis Haryadi yang meraih juara tiga pun menggambarkan sebuah pohon bernama Indonesia, berusia 60 tahun, dan tikus-tikus de-ngan merdekanya berumah di pokok-pokok dan dahan-dahannya. Lain halnya dengan karya Jitet Koestana yang menggambarkan lambang Garuda yang terbebas dari sangkarnya, namun masih terperangkap dalam sangkar yang lebih besar. edangkan karya Ikhsan Dwiono menggambarkan gedung bertingkat yang di keempat sudut atapnya terpasang masing-masing satu teropong. Di teropong itu tertuliskan Program Taskin, JPS, Subsidi Rakyat Miskin dan Repelita, serta dipadukan dengan bangunan rumah padat dan ku-muh di bawah gedung tersebut. Dan tragisnya digambarkan pula seorang pengemis yang menengadahkan mangkuk ke atas gedung. Karikatur Ikhsan Dwiono inilah yang berhasil menggondol juara pertama. (G20-81)

Avril Lavigne

Selasa, 05 April 2005. BUDAYA
Avril Tak Sekadar Menyanyi
TANPA basa-basi pembuka, apalagi prakata yang tak berguna, Avril Lavigne langsung menghentak publik Jakarta yang menyesaki konsernya yang digelar di Tennis Indoor Senayan, Jakarta, semalam. Namun sambutan penonton tak semeriah pada konser Simple Plan pekan lalu. Mengenakan kaos hitam selengan yang dipadukan jins kusam dan sepatu kets kebanggan, dara belia yang belum genap berusia 21 tahun ini membius 4.500 penonton yang menyaksikan konser "Bonez Tour 2005" tersebut. "Mengapa saya menamai tur konser ini dengan nama bonez (tulang) tour. Karena selaras dengan titel album saya kedua: Under My Skin. Di bawah kulit kan ada tulang," jawabnya santai di Hotel Hilton sebelum pentas. Dan di atas panggung yang bermandikan cahaya, Avril yang pernah mendapat acungan jempol dari James Hetsfield, motor dan vokalis Metallica, karena aksinya dalam konser Metallica Icon, menggiring pencintanya untuk turut mendendangkan tembang-tembang hitnya. Seperti tidak menyia-nyiakan ajakan Avril, tembang-tembang seperti "Complicated", "I'm With You", "Losing Grip", "My Happy Ending", "Freak Out", "Forgotten", dan "Nobody's Home" pun di-medley-kan bersama. Tak syak, ketenaran penyanyi remaja yang memulai kariernya sebagai penyanyi di altar gereja dan pada awal kariernya gemar menyanyikan tembang country dan folk song ini, benar-benar teruji tajinya. Betapa tidak. Hanya dalam hitungan dua tahun, dua albumnya: Let Go dan Under My Skin laku terjual sebanyak 20 juta kopi di seluruh dunia. Dan untuk wilayah Indonesia, 420 ribu kopi ludes. Atas pencapaiannya ini pula perusahaan rekaman Sony BMG Music Entertainment menghadiahi Avril dengan 8 Platinum. Membuat Lirik. Apa yang membuat Avril sedemikian semelejit itu dalam kebeliaan dan rentang waktu yang sedemikian cepat? "Saya tidak tahu. Yang saya tahu saya mempunyai kemampuan membuat lirik dan lagu, dan kebetulan juga saya barengi dengan penguasaan beberapa instrumen musik," tutur dia mencoba merendahkan diri untuk memformulasikan ketenarannya. Dan benar juga, di atas panggung, Avril yang mengaku terinspirasi dengan kehidupan keseharian yang disaksikannya dalam membuat lirik, memainkan gitar, piano, dan drum dengan sama baiknya. Belum lagi, dengan gaya yang sesekali petakilan namun mengasyikkan, ia benar-benar menjadi pusat perhatian. Memang, dengan tulang dasar mengusung musik ber-genre pop rock, Avril yang melibatkan Chantal Kreviazuk, penyanyi Kanada yang sohor dengan tembang "Leaving on the Jet Plane" dalam penggarapan album keduanya ini, benar-benar menghadirkan sebuah penikmatan musik pop rock yang gampang, tidak pelik. dan easy listening. (Benny Benke-81)

Film "Me Vs High Heels"

Kamis, 31 Maret 2005. BUDAYA
Film "Me Vs High Heels"
Maunya Gue Banget Gitu Loh...!
''Ah, kalau saja dapat pacar itu semudah mengedipkan mata, tentu nggak ada lagi orang yang kesepian di dunia ini..''
DUNIA remaja adalah sebuah aras yang tidak akan pernah ada habisnya untuk dikuak dinamikanya. Keremajaan yang biasanya identik dengan pencarian kejatidirian inilah yang kerap menjadi bahan tulisan seorang penulis. Dan beranjak dari novel buah karya Maria Ardelia berjudul ''Me Vs High Heels - Aku Vs Sepatu Hak Tinggi'' inilah, sebuah film anyar yang membidik kalangan remaja kembali membujuk penonton muda usia untuk mengapresiasikannya. Film produksi Starvision yang dalam proses syuting hanya memakan waktu 30 hari nonstop ini, tampaknya masih setali tiga uang dengan tema-tema remaja kebanyakan. Hal ini menjadi maklum mengingat Maria yang juga bertindak langsung sebagai penulis skenarionya, ketika menulis novel chic-lit (chic literature atau bacaan perempuan) ini masih berusia 16 tahun. Sehingga tidak heran jika sepanjang hantaran dualog (perbincangan antara dua tokoh), dialog (perbincangan antara dua tokoh lebih) dan monolog (tokoh yang bernarasi) penuh dengan idiom-idiom anak remaja Ibu Kota masa kini. Lontaran kata atau kalimat seperti ''please deh'', ''situ OK'', ''hari gene'', ''gitu loh'', ''gue banget'', ''gitu deh,'' dan idiom lain yang biasanya digunakan remaja di Jakarta ini, berkelindan merangkai sebuah bahasa gaul yang mempunyai wilayah pemakainya sendiri. Berkenaan dengan logika cerita? Memang bukan pekerjaan mudah memindah logika tulisan dari sebuah novel ke dalam bahasa audio visual. Dan Pingkan Utari, sebagai sutradara, meski telah berusaha keras untuk melempangkan jalinan cerita ke dalam bahasa gambar yang gaul dan meminjam bahasa mereka, ''maunya gue banget gitu loh...'', tampaknya masih tersandung dengan pencitraan kehidupan anak remaja meteropolitan yang terlalu kosmopolitan. Dan hasilnya dalam beberapa adegan, seperti ketika tokoh Arnold dan Sasha yang notabene masih duduk dibangku SMA mengunjungi launching perdana produk mobil Mercy keluaran terbaru, terasa sangat-sangat tidak membumi. Memburu Cinta. Dikisahkah Sasha (Ayushita) jatuh hati kepada Arnold (Hengky Kurniawan). Sebagai remaja putri yang apa adanya, tomboi, enerjik, slengean, pengemar basket, dan sepak bola serta suka berlaku seenaknya, Sasha adalah persona yang disayangi karibnya. Namun, karena ia jatuh hati kepada Arnold yang tampan, baik, tajir, dan suka cewek feminim, Sasha berusaha mati-matian merubah citranya sesuai dengan apa yang ada dibenak laki-laki pujaannya. Dengan bantuan kawan-kawannya: Dondon (Raffi Ahmad), Lola (Nuri Maulida), dan Roland (M. Dwi Andhika), maka berbenahlah Sasha untuk merubah jatidirinya menjadi ''orang lain'' dengan harapan mendapatkan cinta Arnold. Bahkan, sampai-sampai Sasha musti rela mengenakan sepatu hak tinggi yang sangat dibencinya demi mendapatkan citra feminim. Silang sengkarut dalam rangka merubah diri inilah yang menjadi tema sentral film yang akan mulai edar 7 April tersebut.(Benny Benke-81)

Simple Plan

Senin, 28 Maret 2005. BUDAYA
Konser Simple Plan
"Kami Tak Peduli Aliran Musik"
JAKARTA - ''Pada dasarnya kami memainkan jenis musik pure pop-punk rock, meski sebenarnya kami tidak mengklasifikasikan genre musik. Yang penting, kami hanya memainkan musik. Kalaupun para kritikus dan wartawan menganggap musik kami beraliran punk, pop, rock atau apa pun namanya, kami tidak peduli. Yang penting, kami bermain musik,'' tegas Pierre Bouvier, vokalis Simple Plan (SP), menjelang konser bertajuk ''Still Not Getting Any...'' di Jakarta, Sabtu (26/3) lalu. Di Lapangan Tennis Indoor Senayan Jakarta itu, grup band yang beranggotakan Pierre Bouvier (vokal), Chuck Comeau (drum), David Desrosier (bas, vokal latar), Sebastien Lefebvre (gitar, vokal latar), dan Jeff Stinco (gitar) tersebut membuktikan keanekaragaman musik yang disuguhkannya. Di hadapan lebih dari 5.000 pencinta fanatiknya yang didominasi oleh kalangan muda remaja, kelima awak band yang rata-rata masih berusia 20 tahunan itu menggoyang arena dengan ingar bingar musik campur aduknya. Dengan tulang dasar permainan musik pop-rock dan punk-rock, SP langsung menghentak dengan tembang-tembang yang terangkum dalam album No Pads, No Helmet, Just Balls... dan Still Not Getting Any. Meski dengan teknik permainan musik yang sebenarnya biasa-biasa saja, SP yang pernah sepanggung dengan berbagai grup band papan atas dunia -mulai dari Rancid hingga Aerosmith- itu, justru melengkapi ketenaran namanya dengan aksi panggung yang memikat. Betapa tidak, di usia yang masih tergolong muda, SP yang pernah dinominasikan meraih empat penghargaan di ajang MTV Video Music Award, benar-benar menunjukkan agresivitas dan energisitas yang mampu "menghasut" pencintanya untuk turut serta berjingkrak sepanjang pertunjukan. Apalagi pada tembang-tembang hits seperti "Shut Up!", "Welcome to My Life", "Addicted", "Im Just the Kid", "There About You", "Me Against the World", dan "Jump". Nomor-nomor itu, benar-benar menyuguhkan sebuah tontonan berkelas dan spektakuler. (Benny Benke-81m)

Cake

Sabtu, 26 Maret 2005. BUDAYA
Konser Cake di Jakarta.
Kalem dan Menghanyutkan
I will survive/ As long as I know how to love/ I know I'll be alive/ I've got all my life to live/ I've got all my love to give/ I will survive / I will survive...

TIDAK ada tembang yang lebih ditunggu-tunggu oleh sekitar 1.000 pencinta Cake, selain "I will Survive", saat menyaksikan konser "The Pressure Chief World Tour" di Tennis Indoor Senayan, Jakarta, Kamis (24/3) malam. Grup band asal Sacramento, Amerika Serikat, itu memang terbilang sukses mendaur ulang single "I Will Survive" milik Gloria Gaynor. Mereka tampaknya berhasil mentaskan keinginan penonton yang telah rela membeli tiket dengan harga Rp 250.000 untuk tribune dan Rp 200.000 untuk kelas festival. "Kalian memang benar-benar penikmat musik yang fantastis," kata John Mc Crea, vokalis dan motor Cake, ketika tembang yang paling banyak dinyanyikan di klub-klub itu purna dinyanyikan bersama penonton. Selain "I Will Survive", tembang "Perhaps-Perhaps-Perhaps" yang masih dicomot dari album kedua "Fashion Nugget" juga mendapatkan sambutan meriah. Sebagai sebuah grup band beraliran folk, hip-hop, soul, funk dan country, Cake memang cenderung menyajikan komposisi lagu yang datar dan kurang menggigit. Bersahaja. Apalagi dengan tata panggung dan pembawaan para personel Cake yang sangat bersahaja. Namun, kebersahajaan yang dipertontonkan John Mc Crea (vokal dan gita), Xan Mc Curdy (gitar), Gabe Nelson (bas), Vince Diviore (terompet dan organ) serta Todd Roper (drum) tetap mampu menghanyutkan penikmatnya. Apalagi ketika grup band yang telah menghasilkan lima album ini hendak menyudahi pertunjukannya. Tak ayal, teriakan,"we want more," membahana di seantero arena. Grup telah merilis album Motorcade of Generosity (1994), Fashion Nugget dengan hits I Will Survive dan Perhaps-Perhaps-Perhaps (1996), Prolonging The Magic (1998), Comfort Eagle (2001) dan Pressure Chief (2004). Ya, meski tak semarak dan semeriah tampilan grup-grup band yang berbasis massa kalangan muda, tampilan Cake yang kalem tetap menghanyutkan pencintanya, "I will survive/ I will survive..." (Benny Benke-63)

KOMA: ''Maaf, Maaf, Maaf: Politik Cinta Dasamuka''

Kamis, 10 Maret 2005. BUDAYA

Pentas Teater Koma
Mengaktualkan Lakon Lama



''Politik itu seperti sandiwara. Palsu dan pura-pura. Tugas politikus maupun pemain sandiwara hanya berusaha meyakinkan orang, bahwa apa yang dilakukannya adalah kebenaran yang menjanjikan''.



MONOLOG itu diucapkan dengan nanar oleh Ario (Syaeful Anwar), seorang kepala keluarga, yang tiba-tiba tanpa sebab yang jelas mengklaim dirinya sebagai Kaisar Dasamuka. Dan, sebagai Dasamuka jelmaan, ia pun menyebut anggota keluarganya dengan nama-nama kisah Ramayana.
Istri terkasihnya (Ratna Riantiarno) ia sebut Dewi Sinta, Adik perempuannya (Cornelia Agatha) ia panggil Sarpakanaka, pengasuhnya sejak bayi (Sari Madjid) ia rekrut menjadi Penyihir Istana, dan kepala pembantu rumah tangga (Prijo S Wienardi) menjadi Patih Bandem Prahasta. Selanjutnya, silang sengkarut sebuah rumah tangga yang menjelma intrik tak berujung mengalir dengan gaya khas Teater Koma; komedik tragik. Kondisi Sosial. Lakon produksi ke-105 berjudul ''Maaf, Maaf, Maaf: Politik Cinta Dasamuka'' karya Nano Riantiarno ini digelar secara maraton di Graha Bhakti Budaya, TIM Jakarta, 2-15 Maret. Pentas itu sekaligus untuk memperingati ulang tahun ke-28 Teater Koma. Lakon ini memotret kondisi sosial Indonesia saat ini, sehingga tidak aneh jika lakon yang dipentaskan kali pertama di Teater Tertutup Pusat Kesenian Jakarta TIM, 12-16 April 1978 ini, masih mempunyai kekuatan tutur yang cukup mengena. Bahkan, pada masa itu, sebagaimana dikisahkan Nano, pada hari terakhir pergelaran, jumlah penonton mencapai 200 persen dari kapasitas tempat duduk. Akibatnya, ketika pemain hendak naik ke pentas, mereka terpaksa menguak kerumunan penonton, memohon izin lewat dan berujar: ''Maaf, maaf, maaf.'' Nah, kata "maaf, maaf, maaf" itulah yang sekarang menjadi judul utama pementasan kali ini. Pada zamannya, lakon itu memang dianggap fenomenal hingga sempat menuai cekal dari pemerintah. Namun, zaman memang membawa sejarahnya sendiri. Sambutan penonton setia Teater Koma memang masih banyak, namun tidak cukup untuk menyesaki tempat duduk yang tersedia di arena pertunjukan. (Benny Benke-81)

godfather of soul, James Brown.

Selasa, 08 Maret 2005. BUDAYA
Penutupan Java Jazz Festival 2005
Jazz dengan Interpretasi Sendiri

TIDAK ada yang lebih menggembirakan dan mengesankan perasaan hati selain bersemuka dan menyimak langsung aksi salah seorang legenda hidup musik dunia. Dan di Jakarta International Java Jazz Festival (JIJJF) 2005, hal itu tampaknya menjadi nyata. Simaklah ketika lebih dari 5.000 penonton setia musik jazz yang menyesaki Plenary Hall di Jakarta Convention Center (JCC), kemarin malam (6/3), histeris menyambut kemunculan kembali sang godfather of soul, James Brown. Kehadiran legenda hidup musik soul dan funk kelahiran 3 Mei 1933 di Macon, Georgia, Amerika Serikat ini sekaligus mempamungkasi JIJJF yang maraton bergulir sejak Jumat lalu. Meski Brown sudah semakin tampak renta di usianya yang ke-72, magnetnya untuk menghasut pencintanya untuk bergoyang masih liat. Simaklah betapa penikmat jazz ber-medley sembari berjingkrak dan berpekik ketika tembang "I Got You (I Feel Good)" yang dicomot dari album I Got You (I Feel Good) (1966) memulai intronya:

Whooooaaa!/I feel good/I knew that I would, now I feel good/ I knew that I would, now so good/So good/ I got you//. Whoooa! I feel nice/ Like sugar and spice/ I feel nice/ Like sugar and spice/ So nice / So nice/ I got you...//



Kemunculan Brown untuk kali kedua kemarin malam, setelah pada malam perdana JIJJF juga mendapat sambutan luar biasa itu, tampaknya menjadi klimaks yang melegakan siapa saja. Sang maestro yang dikenal sebagai pencetak rekor penjualan album terbesar kedua di dunia di belakang nama Elvis Presley ini benar-benar menunjukkan tajinya. Dengan dukungan nama besar dan kemampuan musikalitas yang sangat mapan, Brown yang pada masa mudanya sempat selama empat tahun menginap di hotel prodeo lantaran perampokan ini, menyuguhkan musik jazz dari hasil interpretasinya sendiri.
Definisi. Ya, sebagai salah seorang the most famous black artist, penerima Lifetime Achievement Award pada ajang Grammy Awards ke-34 (1992), Brown lah yang memadukan musik new rhythms dengan muatan lirik yang berhubungan dengan kondisi sosial dan politik, kemudian meredifinisikan ulang musik soul, gospel, dan black music tradisional menjadi musik anyar; funk. Dan musik funk, sebagaimana kita maklumi bersama adalah musik yang membuat seseorang akan bergerak bila mendengarnya. Dan sebagaimana definisi funk menurut penerima Lifetime Achievement Award dari Rhythm & Blues Foundation Pioneer Awards (1993) ini, ternyata tidak seserdehana yang kita sangka. "Memang, dengan tetap berdasar pada musik gospel dan jazz saya memainkan musik ini," paparnya dalam sebuah wawancara. Dan untuk itulah, imbuh Brown yang juga pernah terlibat sebagai cameo (peran selintas) dalam film The Blues Brother (John Belushi dan Dan Aykroyd) ini, dia bersyukur kepada Tuhan atas karunia kemampuan untuk memahami beat yang berbeda (dari kebanyakan orang). Masih menurut penyanyi kulit hitam paling berpengaruh di tahun 1970-an ini, pada dasarnya setiap orang mempunyai jiwa soul pula. "Everybody's got soul! Everybody doesn't have same culture to draw from. But everybody's got soul". Dan di atas panggung utama yang bermandikan cahaya nan cerlang, ketika waktu tepat menunjuk tengah malam, kakek Brown tak henti-hentinya berpekik dengan suara khasnya yang serak-serak kering: "Ini funk bung, ini funk...let's move on....". Sungguh, kesohoran dan kebesaran seorang James Brown yang dikenal diseantero dunia memang benar-benar membius siapa saja yang menikmati aksi panggungnya. Dan semua itu, kepopuleran yang bercampur legenda, tetap membuatnya tidak tinggi hati. "I'll never forget who I am, where I came from, where I am today, and who put me here: You". Dan tak henti-hentinya pula ia berterima kasih kepada publik penonton Jakarta yang senantiasa disapanya: "Beautiful audience, I love you..". Ribuan penonton pun, baik laki-laki maupun perempuan membalas salamnya dengan suara yang diserak-serakkan layaknya orang sedang sakit tenggorokan: "I loove you too..." (Benny Benke-81)

Jakarta International Java Jazz Festival (JIJJF) 2005

Minggu, 06 Maret 2005. NASIONAL
"Inilah Pesta Jazz yang Sesungguhnya..."

TIDAK ada kata yang lebih pantas untuk disematkan kepada penyelenggaraan Jakarta International Java Jazz Festival (JIJJF) 2005, selain kata luar biasa. Setelah pembukaan pada hari pertama Jumat (4/3) lalu, mendapat sambutan yang sangat antusias oleh masyarakat pencinta jazz Tanah Air. Pada hari kedua semalam (5/3), animo masyarakat semakin membludak saja. Betapa tidak, setelah disentak oleh aksi para legenda musik jazz dunia seperti George Duke dan The Godfather of Soul James Brown serta beberapa ikon penting lainnya. Semalam, giliran Deodato, Earth Wind & Fire Experience Feat Al Mckay All Star serta Incognito membius ribuan apresian yang menyesak di Plenary Hall, Jakarta Convention Center (JCC). Bahkan, sambutan luar biasa ini juga ditunjukkan di sepuluh arena atau hall lainnya yang menyuguhkan aksi dari para jazzer terkemuka Tanah Air dan mancanegara. Lihatlah, ketika JIJJF yang secara resmi saban harinya dimulai mulai pukul 14.00 WIB hingga pukul 02.00 WIB senantiasa dijejali oleh penikmatnya. Sehingga tak syak, ajang yang digagas oleh berbagai elemen yang berikhtiar membangun kembali citra positif Indonesia di dunia internasional ini berlangsung tak ubahnya fiesta rakyat yang sesungguhnya. Lihatlah, betapa tampilan pemain jazz Tanah Air seperti Adjierao & Jendela Ide Kids Percussion, Aksan Sjuman Quartet, Andien, Bali Lounge and Gita Wiryawan, Bayu Wirawan Trio, Bertha & Friends, Bintang Indrianto & Sujiwo Tejo, Bubi Chen Quartet, Bunglon, Canizzaro Featuring Mus Mujiono, Cherokee, Clorophyl, CO-P, D'Band, DJ Glenn serta beberapa nama lainnya tetap mendapat sambutan yang sangat hangat dari penikmat jazz. Sebagaimana dituturkan promotor JIJJF Peter F Gonta, musik jazz yang kerap diidentikkan sebagai musik yang (cenderung) berat dan hanya diminati oleh kalangan tertentu, tampaknya telah mengalami pergeseran makna. Lihatlah penikmat JIJJF, dari remaja usia belasan hingga paruh baya tumplek blek di sebelas arena yang tersedia.(Benny Benke-78)

Tejo JIJF 2005


Jumat, 04 Maret 2005. BUDAYA


Java Jazz Festival 2005
Sujiwo Tejo Kawinkan Jazz dan Wayang


Jakarta - Interpretasi musik jazz tampaknya semakin mengalami perluasan makna. Paling tidak, demikianlah yang dirasakan oleh Sujiwo Tejo. Musikus yang juga dikenal sebagai ''dalang edan'' ini menunjukkan perluasan interpretasi musik orang kulit hitam Amerika ini dengan caranya sendiri. Dia akan tampil sebagai pembuka Jakarta International Java Jazz Festival 2005 (JIJF) di Jakarta Convention Center, 4 Maret, mulai pukul 18.45. Tejo berkolaborasi dengan pemain bas Bintang Indrianto akan menyuguhkan jazz dalam nuansa yang lain. Betapa tidak, dengan melibatkan 47 artis dan musisi yang tergabung dalam Eksotika Karmawibhangga Indonesia (EKI), ditambah Hendri Lamiri (violin), Bang Sa'at (suling), dan Anton Seva (Kibor), Tejo akan mengemas penampilannya bagai sebuah reportoar teater. Dia tak hanya memboyong para penari ke panggung, tapi juga akan melibatkan pergelaran wayang dalam atraksi tersebut. Tiga dalang dari Solo pun dilibatkannya. ''Kami hanya mengikuti alur cerita dan musik yang dibalut dalam nuansa jazz ini ke atas sebuah pakeliran,'' tutur Nanang Hape, didampingi dua dalang lulusan STSI Surakarta, Sambowo dan Irwan. Lalu, tembang apakah yang dibawakan Tejo? ''Saya membesut tembang teranyar yang terangkum dalam album Syair Dunia Maya,'' tutur dia.
Dalam latihan di Jl Padang, Manggarai, Jakarta kemarin, tembang-tembang yang terangkum dalam album ketiganya, seperti ''Hujan'', ''Blakothang'', ''Panakawan dan Saya', ''Dewi Ruci'', ''Syair Dunia Maya'', dan ''Zen-Die'' disulap oleh Bintang Indrianto menjadi bernuansa jazz. Ketika ketukan jazz yang dibarengai dengan pekikan Tejo melengking, para tokoh Punakawan seperti Bagong, Gareng, Petruk dan Semar berdendang dari balik layar. Selain melibatkan pertunjukan wayang, pentas jazz yang tergolong unik ini juga menyertakan penyanyi anak-anak seperti Nala Amrytha dan paduan suara anak-anak Bintang Melodia. ''Musik di Indonesia itu sebenarnya sangat kaya. Ia tidak hanya mampu menggabungkan nada pentatonik dan diatonik dalam sebuah nuansa yang mistis, namun ia di atas interpretasi pengertian musik Barat, bahkan jazz sekalipun,'' kata Tejo yang juga memainkan saksofon, terompet, trombone dan perkusi. (G20-63)

Le Petit Prince dari Folkteatern i Gavleborg, Swedia,

Senin, 28 Februari 2005. BUDAYA
Kebijakan Pangeran Kecil

"Lihatlah pada bintang gemintang di angkasa pada saat kau berduka, karena di salah satu bintang itu, aku berada"

KALIMAT itu dinarasikan oleh Pangeran Kecil ketika ia memutuskan membiarkan dirinya dipatuk oleh seekor ular beracun yang mematikan. Dalam hitungan detik, sang Pangeran pun mangkat. Dan sang pilot -yang terdampar di padang Sahara-hanya tertegun menyaksikan sobat kecilnya dengan kesadaran penuh memilih "pulang" ke alam baka. Demikianlah teater boneka Le Petit Prince dari Folkteatern i Gavleborg, Swedia, menutup dongeng sepanjang 60 menitnya yang digelar di Teater Kecil, TIM, baru-baru ini. Dongeng rakyat yang melegenda dari Swedia karya Antoine de saint-Exupery (1900-1944) ini mampu membius ratusan penonton yang menyesaki arena pertunjukan. Antoine adalah seorang penulis berkebangsaan Prancis yang pernah menjadi seorang pilot di masa Perang Dunia II. Sehingga tidak syak jika kisah yang dilahirkan kembali pada 1934 dan telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 50 bahasa ini, tersampaikan dengan gamblang ke masyarakat penikmat berbahasa apapun. Lihatlah, meski Le Petit Prince yang disutradarai oleh Michael Meschke menggunakan pengantar dalam bahasa Swedia, sang sutradara yang menyulihkannya ke dalam bahasa Inggris tetap mampu dengan apik menghantarkan ceritanya. Hal ini menjadi maklum karena boneka Swedia yang dikendalikan tiga orang ini mampu beraksi layaknya sebuah gambar animasi. Sehingga segala pergerakan tubuhnya yang elastis itu mampu mewakili perwatakan dan kisah penceritaan yang dinarasikan sang sutradaranya. Computerized. Secara garis besar penceritaan atau tematik yang dibidik Le Petit Prince bernarasi tentang nilai-nilai sebuah kebijakan dan kebajikan. Sebagaimana kisah-kisah dongeng dari Indonesia pun mengemban semangat serupa: menyeru pada kebaikan menjauhi kebatilan. "Secara tematik, kekayaan khazanah cerita di negeri kita lebih kaya," papar Nanang HP, salah seorang dalang muda berbakat Indonesia. Namun, lanjut dia, intensitas dan pencahayaan yang serba computerized, membuat efek tontonan boneka Swedia ini menjadi lebih memikat. Memang, dengan menyulap panggung layaknya pertunjukan teater yang sesungguhnya, yaitu dengan detail permaian cahaya yang matematis, Le Petit Prince tak ubahnya tontonan boneka dari balik layar kaca. Teristimewa ketika diceritakan sang Pangeran Kecil melakukan pengembaraan ke angkasa raya. Setting panggung yang tadinya hanya berupa padang sahara mendadak berubah menjadi langit malam yang berpesta pora dengan gemintang dan puluhan planet dan komet yang berseliweran. Sehingga imajinasi penikmatnya turut terbawa dalam arus penceritaan yang digulirkan. "Ada tida faktor yang membuat sebuah boneka dapat hidup. Boneka itu sendiri, keterampilan dan sensitivitas para pemainnya, serta imajinasi penikmatnya," tutur Michael Meschke. Dan benar saja, imajinasi penonton dewasa yang biasanya cenderung sulit untuk memahami imajinasi anak-anak, dalam dongeng ini mampu dijembatani dengan baik lewat kelihaian gaya penyuguhan boneka ala Swedia. (Benny Benke-81)

Panggung Pinggir Kali

Sabtu, 26 Februari 2005. BUDAYA
Panggung Pinggir Kali: Potret Buram Kaum Pinggiran
INILAH satu dari sekian banyak film nasional yang menyempal dari tema yang biasanya digarap: remaja metropolis. Berangkat dari skenario pemenang pertama Lomba Penulisan Skenario Film Cerita Kompetitif 2004 yang diadakan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, film Panggung Pinggir Kali (PPK) yang ditulis Djuli Ismail menyoroti potret buram kehidupam kaum pinggiran (urban) di Indonesia. Dan di bawah arahan H Uci Supra, PPK yang memasang artis dangdut Kristina sebagai aktris pendukung utama wanita bersama Agus Kuncoro sebagai pasangan mainnya, menawarkan sesuatu yang lain. Menjadi lain karena di tengah munculnya film seperti Brownies, 30 Hari Mencari Cinta, Eiffel Im In Love, Ada Apa Dengan Cinta, Tentang Dia atau Bangsal 13, PPK berada di wilayah "luar mainstream". Meski sebenarnya secara penceritaan, film yang diproduksi Pantap (panitia tetap) Film Kompetitif Budpar bekerja sama dengan PT Jatayu Cakrawala Film ini sungguh sangat dekat dengan realitas yang ada. Namun, kedekatan dari sebuah tema yang ada di masyarakat biasanya justru tidak mendapatkan tanggapan yang positif dari masyarakat penontonya sendiri. Kasus serupa telah terjadi terhadap beberapa film nasional yang berangkat dari kasus serupa. Tengoklah film Sorta, Surat untuk Bidadari, Bulan Tertusuk Ilalang, Cemeng 2005, serta 100% Sari. Hal yang sama terjadi juga pada beberapa judul film yang mendapat subsidi atau bantuan pemerintah, seperti Telegram dan Daun di Atas Bantal. Apakah kasus serupa, bagusnya sebuah film, dan sepinya apresiasi penonton akan terjadi terhadap film ber-genre drama sosial ini? "Ya, kami menyadari itu, apalagi jaringan bioskop di daerah banyak yang gulung tikar," papar Ady Surya Abdi, salah seorang anggota Pantap Film Kompetitif 2004. Kalaupun ada jaringan bioskop yang bertahan, tambah Ady, itupun jaringan bioskop 21 yang cenderung tidak terjangkau penonton kelas menengah ke bawah. Berbeda misalnya, dengan film-film yang membidik segmen penonton "putih abu-abu" yang biasanya justru cenderung akan meledak di pasaran. Mimpi Mapan. Panggung Pinggir Kali berkisah tentang persahabatan Maharani (Kristina) dengan Raisan (Agus Kuncoro). Perkawanan sejak kecil di antara keduanya berlanjut hingga remaja. Dan sebuah panggung di pinggir kali yang dibangun Rais untuk Rani menjadi media bagi mereka berdua untuk mengkhayalkan mimpi-mimpi mereka. "Suatu saat Rani ingin menjadi seorang biduan terkenal," harap Rani kepada Rais. "Dan jika pada saatnya Rani menjadi biduan, jangan pernah lupa pada kang Rais ya," harap Rais. Selanjutnya, mereka berdua pun berdendang, Rani berpura-pura menjadi biduan kecil dan Rais menjadi pengiringnya dengan ketipung. Semua peristiwa nan indah itu terjadi di sebuah panggung pinggir kali di sebuah desa. Hingga pada saatnya nasib memisahkan mereka. Rani yang mahir menyanyi mulai menjadi biduan kelas kampung dan pada akhirnya terdampar ke Jakarta, nyaris menjadi korban prostitusi terselubung. Sedangkan Rais menjadi pedagang kelontong keliling hingga akhirnya mampu mendirikan sebuah kios permanen di sebuah tempat di kota Jakarta. Rani yang akhirnya selamat dari jaringan prostitusi, bergabung dengan sekelompok penyanyi dangdut jalanan. Di film ini, akting Agus Kuncoro sangat menolong untuk menutupi akting Kristina yang terlalu datar dan naif. (Benny Benke-81)

NEPS, lagi

Jumat, 25 Februari 2005. BUDAYA
NEPS Mantap di Jalur Country Ballad
JAKARTA - Masih ingat tembang "Lancar"? Yang pada dekade 80-an dipopulerkan oleh Iwan Fals. Tembang berirama country buah karya Dama Gaok itu kini kembali bergaung di tangan NEPS. Ya, grup musik yang kelahirannya juga dibidani Iwan Fals itu memang telah melaunching album perdana bertajuk Pemimpin di Leuwinanggung, Bogor, 19 Desember 2004. Album itu, Rabu (23/2) lalu dirilis ulang di Hard Rock Cafe, Jakarta. NEPS nampaknya mempunyai keberanian memilih warna musik country ballad di tengah kepungan ingar-bingar musik R & B, rap, rock, underground, pop kreatif yang easy listening hingga berbagai warna neo dan techno. "Kami menyadari bermain dalam sebuah ranah musik yang tidak terlalu dekat dengan selera masyarakat kebanyakan," papar Ganang Pricahyono, manager NEPS. Namun, lanjut Ganang, dengan menawarkan kekuatan lirik yang berisi kritik-kritik sosial dan imbauan moral, pihaknya yakin bakal memiliki pangsa pasar tersendiri. "Kami mempunyai misi mulia untuk melakukan gebrakan moral melalui musik dan lagu," tegasnya. Memang, NEPS yang bermakna "Nafas Evaluasi Potret Sosial" ini menawarkan lirik-lirik yang tidak kacangan. Maka, tembang-tembang mereka, seperti "Pemimpin", "Bom", "Masa SMA", "Pahlawan Reformasi", "Tai", "Lancar", "Renungan", "KKN", "Jakarta", "Kau" dan "Sepi" sarat dengan seruan penegakan nilai-nilai kehidupan berbangsa dan bernegara.Pilihan Bermusik. Namun, bukankah idealisme bermusik dan selera pasar cenderung tidak berbanding lurus? "Ini adalah pilihan bermusik yang telah kami tetapkan sejak awal kami melangkah," tukas Dama Gaok. Dama Gaok bersama keempat putra-putrinya yang mengibarkan bendera NEPS. Ya, Dama Gaok yang pada awal karier Iwan Fals ikut mengiringi dengan banjo, kini bersama para buah hatinya Dossy (vokal, bass), Greep Akbar (gitar), Mila (kibor, harmonika), dan Rifa (violin) berseru lewat musik country. Meminjam bahasa Iwan Fals, segala sesuatu yang disampaikan dengan hati , niscaya akan sampai ke hati, apa pun itu bentuknya. Dan lagu, jika dihasilkan dari hasil cipta, rasa dan karsa yang berasal dari hati yang paling dalam pun pada akhirnya akan sampai ke hati pendengarnya. Setelah turut manggung di Parkir Timur Senayan Jakarta akhir Desember 2004, tampil di konser Kemanusiaan di Ancol, serta manggung di Bandung 8 Januari lalu, NEPS bersiap melakukan promosi ke beberapa stasiun radio di Jawa dan Bali. (G20-63)

Hitch

Kamis, 24 Februari 2005. BUDAYA
Film Hitch; Ketika Dokter Cinta Dilanda Asmara
JANGAN pernah berkecil hati terlalu lama, jika Anda merasa tidak yakin dengan kemampuan diri untuk mendapatkan cinta dari seseorang yang Anda cintai. Karena tuan Alex 'Hitch'' Hitchens (Will Smith) dengan senang hati akan meluangkan waktunya untuk membantu menemukan sisi yang paling luar biasa dari pesona Anda. Selanjutnya, hanya dengan sedikit advis dan menjaga citra kepribadian, dalam hitungan hari, orang yang Anda cintai telah dalam pelukan Anda. Demikianlah cerita film Hitch, yang dalam dua pekan terakhir, memuncaki box office di Amerika dan Eropa. Sutradara Andy Tennant mampu memindahkan skenario karya Kevin Bisch ke dalam media gambar yang menyentuh.Dialog-dialog yang sangat membumi dan mendasar perihal perasaan seseorang yang mencintai dan dicintai, dialirkan dengan bernas tanpa pretensi menggurui. Dengan sedikit balutan konflik antartokoh utama, film komedi ini mejadi semacam makanan ringan yang gurih. Maka, tidaklah mengherankan film yang dibuat dengan biaya murah, menangguk keuntungan besar dalam beberapa pekan pemasarannya . Film ini tidak menyajikan adegan-adegan spektakuler layaknya dalam film eksyen maupun petualangan. Namun, penonton tetap dapat menikmati sajian luar biasa, yakni berupa adegan-adegan yang menggambarkan keseharian seseorang ketika dan sedang dilanda asmara. Tentu saja, sisi humanis yang dibidik dalam film ini yang akhirnya menimbulkan derai tawa. Kekikukan, kegugupan, keragu-raguan dan aneka rasa yang konon menyesaki perasaan seseorang yang sedang dimabuk asmara, menjadi bahan tertawaan dalam film ini. Dokter Cinta. Tokoh utama film ini, Alex 'Hitch' Hitchens (Will Smith), dikisahkan sebagai penasihat urusan cinta dan asmara yang membuka praktik di New York. Advise yang diberikannya kepada klien pada intinya adalah membangunkan sisi romantis klien dan membangkitkan semangat mereka untuk bersungguh-sungguh dalam mengejar cinta dari pria atau wanita idamannya. Pada suatu ketika, Albert (Kevin James), seorang konsultan berbadan subur jatuh hati kepada seorang selebritis ternama Allegra Cole (Amber Valletta). Dan atas advis Hitch, Albert tidak bertepuk sebelah tangan, sehingga hal ini menimbulkan keheranan awam, termasuk wartawan gosip Harian Standart, Sara Melas (Eva Mendes). Namun, pada saat yang sama, sang dokter cinta Hitch jatuh hati kepada wartawati gosip ini. Pada saat bersamaan pula sedang melakukan proses investigasi terhadap sang dokter cinta, yang santer diberitakan telah menyukseskan hubungan banyak pasangan ini. Bisa ditebak, memberikan advis kepada orang lain tentu berbeda dengan memberikan advis kepada diri sendiri. Mampukah sang dokter cinta ini menemukan sisi yang paling romantis dalam dirinya untuk menarik hati wanita pujaannya? Dalam film ini, kisah asmara tak diuraikan dalam jalinan kisah yang penuh derai air mata. Malah sebaliknya, kisah asmara disajikan dengan canda dan tawa. Sebab, memang seharusnya demikianlah adanya. Jadi, mengapa harus takut jatuh cinta. (Benny Benke-63)

Red Poppy-The Magnificent Ladies Percussion

Senin, 21 Februari 2005. BUDAYA
Harmonisasi Perkusi China Klasik dan Modern
MASIH ingat 12 Girls Band? Kelompok musik yang beranggotakan 12 gadis belia dan mahir memainkan berbagai perangkat musik tradisional China. Keterampilan memadukan kemampuan musik tradisional dan modern membuat mereka keliling dunia, bahkan sempat mampir di Jakarta tahun lalu. Setali tiga uang dengan 12 Girls Band, Red Poppy-The Magnificent Ladies Percussion pun mengusung semangat musikalitas yang sama. Tidak ada yang membedakan modus sintaksis titian musik mereka. Hanya spesifikasi musik saja. Dengan memboyong aneka jenis perkusi tradisional China, Red Poppy yang beranggotakan tujuh gadis belia dari kota Beijing ini pun mengalkulturasikannya dengan irama musik modern. Tengoklah ketika mereka beraksi di Hailai International Executive Club, Ancol, Jakarta, baru-baru ini. Red Poppy, yang metode perekrutan anggotanya juga melalui berbagai tahapan audisi ratusan pemain perkusi berbakat di China ini, dengan jurus yang sama, berupaya mensintesa musik klasik China dan modern. Dan hasilnya, bebunyian perkusi yang identik dengan suara klotekan sampai dentuman, berkelindan dengan irama musik modern yang diputar secara minus one. Secara gagasan bermusik memang tidak ada yang baru dari Red Poppy. Bahkan, keberanian mengemas berbagai piranti perkusi yang kemudian dipadukan dengan musik modern pun sudah kerap dilakukan. Safrie Duo, sebuah duo pemain perkusi asal Denmark telah melakukan hal yang sama, bahkan dalam era-era sebelumnya, para pemain perkusi dari Brazil kerap memamerkan ketrampilan teknisnya dengan tidak kalah apiknya. Bahkan, dalam ranah permainan perkusi tanah Air, Inisisri yang baru saja pulang berkeliling dari negeri Belanda untuk mamerkan ketrampilan memainkan perkusi, dapat dikatakan selangkah lebih maju. Menjual. Tapi apa yang membuat Red Poppy yang sempat ditempa selama beberapa tahun secara profesional untuk mematangkan kemampuan teknisnya dapat laku dijual hingga ke berbagai belahan manca negara? Kemampuan menjual dan membujuk telinga pendengar untuk mendatangi dan membeli produk keseniannya adalah kunci utama. Simaklah ketika komposisi seperti "Flying Tiger Jumping Dragon", "Mountain Drums", "Titian ke Kampung Halaman", "Biji Pulm yang Tergelincir", "The Sea", "Angel", dan "A Sing Sing So" yang disulihkan ke dalam bahasa China. Yang terjadi adalah tak lebih dari bebunyian seperangkat perkusi yang berkesan hanya menjadi tempelan musik modern yang diputar secara minus one. Memang, Bond, Vanessa Mae dan 12 Girls Band, bahkan Maxim pun melakukan hal yang sama. Namun, dalam kasus Red Poppy, prosentasi dominasi permaian perkusi mereka sangat minoritas jika dibandingkan dengan musik modern yang diputar secara minus one. Pertunjukan mereka yang perdana di Jakarta atas prakarsa Buena Produktama ini adalah pertunjukannya yang ke-600 di dunia. Sebelumnya, Kanada, Amerika, Afrika Selatan, dan Korea juga telah mereka singgahi. Sebagai satu-satunya grup resmi perkusi dari China, Red Poppy menurut rencana akan berkeliling ke beberapa kota di Indonesia. ''Kami hanya ingin semakin memperkaya telinga pencinta musik Tanah Air dengan alternatif musik semacam ini,'' ujar Kahn dari Kahn Enterprise yang merencakan kembali memangungkan kembali Red Poppy di Jakarta 5 Maret mendatang. (Benny Benke-81)

Constantin

Senin, 14 Februari 2005. BUDAYA
Film Constantine; Misteri Tombak Takdir

KALIMAT penutup itu diucapkan dengan datar oleh John Constantine (Keanu Reeves), setelah berhasil menggagalkan kelahiran Menmon ke muka bumi. Menmon dikisahkan sebagai putra setan yang berhasil ditumpas Constantine melalui pertarungan hidup mati yang sangat menegangkan. Film yang dibuat berdasarkan karakter komik Hellblazer terbitan DC Comics/Vertigo ini dapat digolongkan dalam genre action-drama. Dengan kekuatan pada sudut gambar yang sangat beragam, sutradara Francis Lawrence berhasil menyuguhkan sebuah tontonan yang apik. Barangkali skenario yang ditulis Kevin Brodbin dan Frank Cappello memudahkan menjadikan Lawrence untuk memvisualkan kisah mistik gaya Amerika tersebut. Pesona Reeves yang mencuat lewat film Speed memang menjadi jualan utama film Constantine. Sebagai sosok yang dianugerahi kemampuan untuk dapat melihat mahkluk lain selain manusia, Constantine mempunyai tugas yang tidak ringan. Betapa tidak, anugerah yang dimilikinya sebagai manusia setengah malaikat setengan setan, membuatnya menghadapi dua pilihan tinggal di neraka atau surga setelah mati. Jika pilihan kedua yang dikehendaki, dia harus membayarnya dengan menumpas setiap makhluk setengah malaikat setengah setan yang cenderung bertindak batil. Bisa ditebak, nyaris setiap saat kerja Constantine bergelut dengan setan yang berbentuk aneka rupa. Hingga pada saatnya, datanglah seorang detektif Angela Dodson (Rachle Weisz) ke rumahnya. Dengan maksud menyelidiki kematian Isabel, saudari kembarnya (juga diperankan Rachel Weisz), yang misterius. Angela ingin menguak segala misteri kematian Isabel yang dilaporkan sebagai bunuh diri. Sementara itu, di pelosok Mexico City, seorang gelandangan menemukan kembali sebuah Tombak Takdir. Seperangkat mata tombak yang dipercaya menyebabkan kematian Yesus Kristus di kayu salib. "Yang membuat mati Yesus bukan karena ia disalib, melainkan karena Tombak Takdir yang ditikamkan di tubuhnya," ujar Constantine. Selanjutnya, Tombak Takdir yang telah menuju Los Angeles pun siap menebarkan terornya. Dan Constantine, sebagaimana tokoh lakon, tidak tinggal diam untuk menggagalkan kelahiran kembali anak setan. Penonton tidak harus mengamini logika cerita film ini, namun sebagaimana keyakinan Constantine, dalam banyak perkara Tuhan memang bekerja dengan misterius. (Benny Benke-63)

NYAK Ina Raseuki

Senin, 07 Februari 2005. BUDAYA

Mengurai Komposisi Aneka Rupa
NYAK Ina Raseuki dengan taksu sesekali memukul bedug yang ada disampingnya. Hampir berbarengan dengan bunyi bedug yang menggaung, dari mulut penyanyi sopran yang tenar dengan sapaan Ubiet ini mengalir komposisi "Funeral Pyre". Sepintas, olah vokal dan bebunyian yang dihasilkan dari mulut pengajar vokal AFI ini tak ubahnya mantra. Mengalir naik turun namun berirama. Tak berapa lama kemudian, Stephanie Griffin yang menggesek biola meningkahi komposisi pembuka ''Doa Persembunyian, A Prayer for Refugee". Demikianlah konser musik komtemporer yang diselenggarakan untuk memperingati 20 tahun kolaborasi Tony Prabowo dan Goenawan Mohammad, bertajuk ''A Prayer for Refugee, Doa Persembunyian'' di Graha Bhakti Budaya TIM Jakarta, 4-5 Februari, dalam repertoar pembukanya. Dalam ranah musik kontemporer, siapa yang tidak mengenal nama Tony Prabowo. Salah satu komponis terkuat di Indonesia ini, akhirnya mempertunjukkan kejenialannya di ''rumah sendiri''. Setelah beberapa tahun ke belakang, karya-karyanya kerap dipertunjukkan di Amerika Serikat, Eropa, Australia, dan Korea Selatan. Dengan menggandeng Goenawan Mohamad, lulusan Institut Kesenian Jakarta ini kembali mempertontonkan sebuah perhelatan musik yang dinukilkan dari opera "Kali". Dan siapa pula yang tidak kenal Goenawan Mohamad. Salah satu penyair dan essais terkuat di Indonesia ini memang lebih dikenal dalam ranah susastra. Tengoklah kumpulan sajaknya seperti Parikesit (1971), Interlude (1973), Asmaradana (1992), Misalkan Kita di Sarajevo (1998) hingga Goenawan Mohamad: Puisi Pilihan (2004). Lewat kekuatan diksionalnya yang naratif, penulis "Catatan Pinggir" di majalah Tempo ini kembali "menghasut" Tony Prabowo untuk kembali menginterpretasikan karya-karyanya.
Kepedihan Kurawa. Melalui petilan opera "Kali" bagian 3, 4, dan 5 (1996-2000) yang ditulis oleh Goenawan. Tony menyajikan kisah Kali yang menyuguhkan sisi lain cerita Mahabharata, yang bernarasi tentang kepedihan Kurawa menjelang kekalahannya. Dan limbretto (larik syair dalam opera) yang ditulis dalam sebuah puisi panjang tentang kematian, kepedihan dan kekejaman, mampu disajikan lewat komposisi musik komtemporer ini dengan apik. Simaklah, betapa tokoh Kali, Senjaya, Gandhari, Kunthi dan Dhastarasta mampu diambil perannya oleh para penyanyi opera terkemuka Tanah Air seperti Binu D Sukarman, Ivan Yoha, Fitri Muliati, Rosana Unsulangi, dan Daniel Christanto. Ditambah dengan besutan interpretasi ke dalam sebuah orkestrasi yang mumpuni oleh Avip Priatna, salah satu konduktor terkuat di Indonesia, yang mampu menghantarkan pertunjukan ini menjadi sebuah ajang yang berkelas. Sehingga tidak syak jika selama dua malam berturut-turut, konser yang diprakarsai oleh Dewan Kesenian Jakarta ini, mendapat sambutan hangat dari berbagai lapisan masyarakat. Ya, ini merupakan karya Tony terkini yang konon banyak terpengaruh karya-karya vokal dari komponis besar dunia seperti Arnold Schoenberg, Anton Von Webern, Alban Berg, dan Pierre Boules serta Oliver Messian. Memang tidak hanya berlandaskan kepada sebuah genre musik. Dengan mengaharmoniskan kekuatan jazz, klasik, dan musik komtemporer, Tony bahkan melangkah ke aras lintas musik. Menurut dia, di luar ranah musik kontempoerer ia banyak terpengaruh oleh sejumlah karya musik rock seperti Gentle Giant dan Van der Graff Generator.
Dan hasilnya, pertunjukan yang juga pernah dipentaskan di Seatle, Amerika Serikat ini, mampu membius penikmatnya dari berbagai lintas musikalitas. Dengan kemampuan menata musik diatas bahasa dan kemudian mengalihkannya ke bentuk titi nada yang dihasilkan dari sebuah proses matematis dan struktur yang rapi, Tony, dengan komposisinya benar-benar menghasilkan bebunyian yang terperi.
Menurut rencana, setelah konser yang mendapatkan sambutan hangat penggemar musik komtemporer di Jakarta ini, Toni bersiap merampungkan "Pastoral dan Tan Malaka" dalam bentuk opera. (Benny Benke-81)

Nyak Ina Raseuki (GM & Toni P)

Senin, 07 Februari 2005. BUDAYA

Mengurai Komposisi Aneka Rupa

NYAK Ina Raseuki dengan taksu sesekali memukul bedug yang ada disampingnya. Hampir berbarengan dengan bunyi bedug yang menggaung, dari mulut penyanyi sopran yang tenar dengan sapaan Ubiet ini mengalir komposisi "Funeral Pyre". Sepintas, olah vokal dan bebunyian yang dihasilkan dari mulut pengajar vokal AFI ini tak ubahnya mantra. Mengalir naik turun namun berirama. Tak berapa lama kemudian, Stephanie Griffin yang menggesek biola meningkahi komposisi pembuka ''Doa Persembunyian, A Prayer for Refugee". Demikianlah konser musik komtemporer yang diselenggarakan untuk memperingati 20 tahun kolaborasi Tony Prabowo dan Goenawan Mohammad, bertajuk ''A Prayer for Refugee, Doa Persembunyian'' di Graha Bhakti Budaya TIM Jakarta, 4-5 Februari, dalam repertoar pembukanya. Dalam ranah musik kontemporer, siapa yang tidak mengenal nama Tony Prabowo. Salah satu komponis terkuat di Indonesia ini, akhirnya mempertunjukkan kejenialannya di ''rumah sendiri''. Setelah beberapa tahun ke belakang, karya-karyanya kerap dipertunjukkan di Amerika Serikat, Eropa, Australia, dan Korea Selatan. Dengan menggandeng Goenawan Mohamad, lulusan Institut Kesenian Jakarta ini kembali mempertontonkan sebuah perhelatan musik yang dinukilkan dari opera "Kali". Dan siapa pula yang tidak kenal Goenawan Mohamad. Salah satu penyair dan essais terkuat di Indonesia ini memang lebih dikenal dalam ranah susastra. Tengoklah kumpulan sajaknya seperti Parikesit (1971), Interlude (1973), Asmaradana (1992), Misalkan Kita di Sarajevo (1998) hingga Goenawan Mohamad: Puisi Pilihan (2004). Lewat kekuatan diksionalnya yang naratif, penulis "Catatan Pinggir" di majalah Tempo ini kembali "menghasut" Tony Prabowo untuk kembali menginterpretasikan karya-karyanya. Kepedihan Kurawa. Melalui petilan opera "Kali" bagian 3, 4, dan 5 (1996-2000) yang ditulis oleh Goenawan. Tony menyajikan kisah Kali yang menyuguhkan sisi lain cerita Mahabharata, yang bernarasi tentang kepedihan Kurawa menjelang kekalahannya. Dan limbretto (larik syair dalam opera) yang ditulis dalam sebuah puisi panjang tentang kematian, kepedihan dan kekejaman, mampu disajikan lewat komposisi musik komtemporer ini dengan apik. Simaklah, betapa tokoh Kali, Senjaya, Gandhari, Kunthi dan Dhastarasta mampu diambil perannya oleh para penyanyi opera terkemuka Tanah Air seperti Binu D Sukarman, Ivan Yoha, Fitri Muliati, Rosana Unsulangi, dan Daniel Christanto. Ditambah dengan besutan interpretasi ke dalam sebuah orkestrasi yang mumpuni oleh Avip Priatna, salah satu konduktor terkuat di Indonesia, yang mampu menghantarkan pertunjukan ini menjadi sebuah ajang yang berkelas. Sehingga tidak syak jika selama dua malam berturut-turut, konser yang diprakarsai oleh Dewan Kesenian Jakarta ini, mendapat sambutan hangat dari berbagai lapisan masyarakat. Ya, ini merupakan karya Tony terkini yang konon banyak terpengaruh karya-karya vokal dari komponis besar dunia seperti Arnold Schoenberg, Anton Von Webern, Alban Berg, dan Pierre Boules serta Oliver Messian. Memang tidak hanya berlandaskan kepada sebuah genre musik. Dengan mengaharmoniskan kekuatan jazz, klasik, dan musik komtemporer, Tony bahkan melangkah ke aras lintas musik. Menurut dia, di luar ranah musik kontempoerer ia banyak terpengaruh oleh sejumlah karya musik rock seperti Gentle Giant dan Van der Graff Generator. Dan hasilnya, pertunjukan yang juga pernah dipentaskan di Seatle, Amerika Serikat ini, mampu membius penikmatnya dari berbagai lintas musikalitas. Dengan kemampuan menata musik diatas bahasa dan kemudian mengalihkannya ke bentuk titi nada yang dihasilkan dari sebuah proses matematis dan struktur yang rapi, Tony, dengan komposisinya benar-benar menghasilkan bebunyian yang terperi. Menurut rencana, setelah konser yang mendapatkan sambutan hangat penggemar musik komtemporer di Jakarta ini, Toni bersiap merampungkan "Pastoral dan Tan Malaka" dalam bentuk opera. (Benny Benke-81)