Rabu, 13 Februari 2008

Gie

Selasa, 12 Juli 2005. BUDAYA
Preview "Gie"
Sebuah Interpretasi Riri Riza

"SAYA telah memutuskan bahwa saya akan bertahan dengan prinsip-prinsip saya. Lebih baik saya diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan".
Kalimat tersebut dinarasikan dengan nanar oleh Soe Hok Gie (Gie) yang diperankan oleh Nicholas Saputra ketika menyadari kawan-kawannya mulai "meninggalkannya". "Mungkin aku terlalu keras kepala," imbuh Gie semakin tidak mengerti, manakala Ira (Sita RSD), teman wanitanya juga enggan ditemui. Menjelang babak akhir film berdurasi 2,5 jam ini, keresahan adik kandung Soe Hok Djin (Arief Budiman) ini, semakin menjadi. Buntutnya, Gie kembali ke alam. "Gunung adalah tempat segala kemurnian dan keteguhan hati," tulisnya dalam surat kepada Herman Lantang, salah seorang kawan dekatnya. Di puncak Gunung Semeru, Jawa Timur, pada Desember 1969, satu hari menjelang ulang tahunnya yang ke-27, Gie tewas secara tragis akibat gas beracun. Mati muda, sebagaimana yang ia cita-citakan. "Beruntunglah bagi yang mati muda. Let the death be death". Demikianlah film Gie yang dibesut Riri Riza mengakiri ending-nya. Tidak secara verbal menggambarkan adegan saat-saat terakhir jasad Gie dipangkuan Herman Lantang, melainkan simbolisme sampainya secarik surat yang disampaikan kepada Ira dari Gie. "Sebagai sebuah film biopic, yang berangkat dari kisah nyata, film ini sebisa mungkin mendekati fakta yang melatarbelakangi kejadian aslinya," papar Riri. Namun, imbuh Riri, tetap ada beberapa versi atas interpretasinya secara pribadi. Di manakah versi interpretasi Riri terhadap film yang melibatkan figuran lebih dari 2.500 orang, biaya produksi Rp 7 milliar, dan proses syuting hingga 76 hari itu? "Saya mengaburkan beberapa nama penting yang tidak berkenan namanya saya ikutkan dalam film ini," tukas Riri. Dan akibatnya ada beberapa sosok yang benar-benar real, seperti Arief Budiman, Herman Lantang, dan Aristides Katoppo. Namun, ada pula sosok fiktif seperti Ira, Sinta, dan Jaka. Menurut Mira Lesmana, sebagai produser, pilihan ini tidak mudah. "Beberapa pihak yang pernah dekat dengan Gie menolak dikaitkan kembali namanya," tutur Mira tanpa merinci keberatan mereka. "Mereka pastinya mempunyai alasan pribadi yang harus saya hormati". "Dan karena ini bukan film dokumenter sejarah, saya tidak mempunyai kewajiban untuk taat kepada keseharian tokoh-tokohnya," sambung Riri. Hasilnya, lahirlah Gie dengan citra ketampanan Nicholas Saputra. Kerja Maraton. Film yang beranjak dari skenario Riri Riza ini, memang bukan film sembarangan. Kerja maraton selama tiga tahun, dengan riset mendalam dua tahun dan berbagai kendala yang menyertainya, sudah selayaknya mendapatkan apresiasi. Lihatlah salah satu kerja besar Riri ketika lewat tangan dingin Iri Supit (art director) mampu menyulap Kota Lama Semarang menjadi Kota Jakarta bernuansa tahun 1950-1965. Rumah Soe Hok Gie sebenarnya di Jalan Kebun Jeruk IX, Jakarta Barat pun mampu direplikakan di Jalan.Layur Semarang. Bahkan segala nuansa pendukungnya seperti keberadaan mobil, bus, sepeda motor, skuter, sepeda hingga kostum sampai dandanan rambut pun disulap bernuansa tahun 65-an. Bukan itu saja. "Saya pernah secara langsung mengarahkan 1.500 pemain dan mengatur 300 kru dalam sehari," tutur dia. "Jadi saya pernah menjawab pertanyaan dari 300 penanya yang berbeda dalam sehari". Bahkan, imbuh Riri, dia pernah memboyong peralatan film seberat 2 ton ke atas Gunung Pangrango dengan melibatkan 80 porter. "Ini perjalanan paling dramatis bagi saya sebagai seorang film maker". Ya, sosok Gie yang idealis, yang tampaknya telah berjarak dengan generasi sekarang, dihadirkan di antara generasi serbainstan sekarang. Tampaknya Riri dan Mira sadar akan hal itu. Untuk itulah, persona Nicholas Saputra menjadi jembatan penghubung yang merunutkan kembali arti penting sebuah idealisme yang melekat pada Gie. Sepenting menularkan rasa kepedulian Gie terhadap wong cilik, ketika menyaksikan seorang gembel memakan makanan dari tong sampah. "Seorang gembel terpaksa harus makan kulit mangga yang terperosok di tempat sampah. Sungguh ironis. Dua kilometer dari pemakan kulit, paduka kita mungkin sedang tertawa-tawa, makan-makan dengan istrinya yang cantik," demikian dinukil dari buku harian Gie: Catatan Seorang Demonstran. (Benny Benke-45)

Tidak ada komentar: