Rabu, 13 Februari 2008

Djenar

Rabu, 27 Juli 2005. BUDAYA
Membaca "Nayla" Mahesa Ayu
PROSES pembacaan terhadap suatu teks, baik berupa karya ilmiah, prosa, apalagi puisi, pasti membuka sebuah keniscayaan yang sangat luas terhadap interpretasi yang beragam. Hal ini menjadi maklum mengingat proses pembacaan setiap individu terhadap teks beranjak dari pengalaman literernya masing-masing. Semakin kaya pembacaan literer seseorang dan didukung oleh ketajaman analisa serta kedalaman perenungannya, semakin berkeniscayaan itu "mendekati" kandungan makna teks yang bersangkutan. Namun dalam diskusi Nayla karya Djenar Mahesa Ayu di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin di TIM Jakarta, kemarin, bekal literer sekalipun tidak cukup mampu mengurai makna novel karya putri mendiang Sjumandjaja ini. Hal ini terjadi bukan karena Triyanto Triwikromo (sastrawan dan redaktur Suara Merdeka) serta Donny Gahral (pengajar Filsafat Universitas Indonesia), sebagai pembicara tidak cukup cakap menguak detail teks dalam novel itu. Lebih dari itu, ketidaklayakan sebuah teks untuk dilihat dari sebuah kacamata yang semestinya, sangat memungkinkan membuat mengapa pisau tajam analisis kedua pembicara tersebut tidak kebal membedah Nayla. Novel perdana putri aktris Tuti Kirana ini memang diterakan kalimat khusus pembaca dewasa pada sampul mukanya. Oleh karenanya, novel ini seolah menjadi absah jika dekat, pepat, dan berkelindan dengan gambaran dan dunia orang dewasa yang konon penuh dengan kepedihan, keperihan, kekerasan, dan (mengumbar) seks tentu saja. Dengan semangat dasar mengusung kesetaraan perempuan dengan laki-laki (feminisme), Djenar memang masih menyibukkan diri dengan "khotbah-khotbah" tentang bagaimana sepatutnya perempuan melakukan perlawanan untuk merebut kesetaraan. Jurnal Perempuan.Akibatnya, menurut Donny beberapa halaman dalam novel ini lebih layak untuk mengisi halaman jurnal perempuan. Sedangkan Triyanto yang membaca Nayla melalui karya-karya Djenar lainnya, yaitu kumpulan cerpen Mereka Bilang Saya Monyet, Jangan Main-main dengan Kelaminmu, dan Nayla itu sendiri, menilai novel ini tidak lebih dari karya historical cerpen-cerpen Djenar yang dipepatkan. "Teks sastra bisa dianalisis lewat teks itu sendiri," ujar Triyanto mendasari analisisnya. "Atau membaca Djenar dengan buku Djenar". Selain menggunakan teori semiotik untuk menangkap dan menguak tanda-tanda yang diterakan di sampul muka novel, TT, demikian Triyanto biasa disapa, menilai Nayla tidak mengandung sesuatu yang istimewa. "Opus magnum atau puncak karya dari seorang sastrawan adalah apabila ia mampu step to the homeland that man never there before atau ke suatu tempat di mana seseorang belum pernah ke sana sebelumnya," ujar Donny. Bahkan dalam bahasa suami Rieke Dyah Pitaloka ini, secara keseluruhan Nayla bernarasi dengan biasa. "Klise," katanya. Meski demikian Nayla menurut Donny tetap menyimpan sesuatu yang dekat dengan semangat filsafat atheistis. Narasi tokoh utama, katanya, mengajak pembacanya untuk mencintai kehidupan, sejalan dengan pemikiran salah satu Bapak Filosofi modern: Frederic Nietszche, yaitu "Amor Fati". "Akan menjadi ideal jika novel ini melepaskan diri dari semangat moralisme atau value karena kebenaran bersifat relatif," katanya yang berkeyakinan susastra adalah sebuah wilayah yang lebih luas dari filsafat dan oleh karenanya semestinya dipisahkan dari nilai-nilai moralisme. "Sastra itu beyond good and evil." Dengan pembacaan fragmentaris atau mozaik, Donny memang mengakui tidak bisa detail jika ia menggunakan pembacaan holistik atau close reading. Meski demikian ia menilai karya Djenar sangat radical humanism. Apa tanggapan Djenar atas pemaknaan novelnya? "Saya menulis karena hanya ingin menulis," kata dia. Kalaupun sebagian orang menilai membaca Nayla adalah sama saja dengan membaca Djenar, ia pun tidak peduli. "Kepenulisan saya tidak ada hubungannya dengan moralitas saya," imbuhnya. (Benny Benke-45)

Tidak ada komentar: