Rabu, 13 Februari 2008

KOMA: ''Maaf, Maaf, Maaf: Politik Cinta Dasamuka''

Kamis, 10 Maret 2005. BUDAYA

Pentas Teater Koma
Mengaktualkan Lakon Lama



''Politik itu seperti sandiwara. Palsu dan pura-pura. Tugas politikus maupun pemain sandiwara hanya berusaha meyakinkan orang, bahwa apa yang dilakukannya adalah kebenaran yang menjanjikan''.



MONOLOG itu diucapkan dengan nanar oleh Ario (Syaeful Anwar), seorang kepala keluarga, yang tiba-tiba tanpa sebab yang jelas mengklaim dirinya sebagai Kaisar Dasamuka. Dan, sebagai Dasamuka jelmaan, ia pun menyebut anggota keluarganya dengan nama-nama kisah Ramayana.
Istri terkasihnya (Ratna Riantiarno) ia sebut Dewi Sinta, Adik perempuannya (Cornelia Agatha) ia panggil Sarpakanaka, pengasuhnya sejak bayi (Sari Madjid) ia rekrut menjadi Penyihir Istana, dan kepala pembantu rumah tangga (Prijo S Wienardi) menjadi Patih Bandem Prahasta. Selanjutnya, silang sengkarut sebuah rumah tangga yang menjelma intrik tak berujung mengalir dengan gaya khas Teater Koma; komedik tragik. Kondisi Sosial. Lakon produksi ke-105 berjudul ''Maaf, Maaf, Maaf: Politik Cinta Dasamuka'' karya Nano Riantiarno ini digelar secara maraton di Graha Bhakti Budaya, TIM Jakarta, 2-15 Maret. Pentas itu sekaligus untuk memperingati ulang tahun ke-28 Teater Koma. Lakon ini memotret kondisi sosial Indonesia saat ini, sehingga tidak aneh jika lakon yang dipentaskan kali pertama di Teater Tertutup Pusat Kesenian Jakarta TIM, 12-16 April 1978 ini, masih mempunyai kekuatan tutur yang cukup mengena. Bahkan, pada masa itu, sebagaimana dikisahkan Nano, pada hari terakhir pergelaran, jumlah penonton mencapai 200 persen dari kapasitas tempat duduk. Akibatnya, ketika pemain hendak naik ke pentas, mereka terpaksa menguak kerumunan penonton, memohon izin lewat dan berujar: ''Maaf, maaf, maaf.'' Nah, kata "maaf, maaf, maaf" itulah yang sekarang menjadi judul utama pementasan kali ini. Pada zamannya, lakon itu memang dianggap fenomenal hingga sempat menuai cekal dari pemerintah. Namun, zaman memang membawa sejarahnya sendiri. Sambutan penonton setia Teater Koma memang masih banyak, namun tidak cukup untuk menyesaki tempat duduk yang tersedia di arena pertunjukan. (Benny Benke-81)

Tidak ada komentar: