Rabu, 13 Februari 2008

Le Petit Prince dari Folkteatern i Gavleborg, Swedia,

Senin, 28 Februari 2005. BUDAYA
Kebijakan Pangeran Kecil

"Lihatlah pada bintang gemintang di angkasa pada saat kau berduka, karena di salah satu bintang itu, aku berada"

KALIMAT itu dinarasikan oleh Pangeran Kecil ketika ia memutuskan membiarkan dirinya dipatuk oleh seekor ular beracun yang mematikan. Dalam hitungan detik, sang Pangeran pun mangkat. Dan sang pilot -yang terdampar di padang Sahara-hanya tertegun menyaksikan sobat kecilnya dengan kesadaran penuh memilih "pulang" ke alam baka. Demikianlah teater boneka Le Petit Prince dari Folkteatern i Gavleborg, Swedia, menutup dongeng sepanjang 60 menitnya yang digelar di Teater Kecil, TIM, baru-baru ini. Dongeng rakyat yang melegenda dari Swedia karya Antoine de saint-Exupery (1900-1944) ini mampu membius ratusan penonton yang menyesaki arena pertunjukan. Antoine adalah seorang penulis berkebangsaan Prancis yang pernah menjadi seorang pilot di masa Perang Dunia II. Sehingga tidak syak jika kisah yang dilahirkan kembali pada 1934 dan telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 50 bahasa ini, tersampaikan dengan gamblang ke masyarakat penikmat berbahasa apapun. Lihatlah, meski Le Petit Prince yang disutradarai oleh Michael Meschke menggunakan pengantar dalam bahasa Swedia, sang sutradara yang menyulihkannya ke dalam bahasa Inggris tetap mampu dengan apik menghantarkan ceritanya. Hal ini menjadi maklum karena boneka Swedia yang dikendalikan tiga orang ini mampu beraksi layaknya sebuah gambar animasi. Sehingga segala pergerakan tubuhnya yang elastis itu mampu mewakili perwatakan dan kisah penceritaan yang dinarasikan sang sutradaranya. Computerized. Secara garis besar penceritaan atau tematik yang dibidik Le Petit Prince bernarasi tentang nilai-nilai sebuah kebijakan dan kebajikan. Sebagaimana kisah-kisah dongeng dari Indonesia pun mengemban semangat serupa: menyeru pada kebaikan menjauhi kebatilan. "Secara tematik, kekayaan khazanah cerita di negeri kita lebih kaya," papar Nanang HP, salah seorang dalang muda berbakat Indonesia. Namun, lanjut dia, intensitas dan pencahayaan yang serba computerized, membuat efek tontonan boneka Swedia ini menjadi lebih memikat. Memang, dengan menyulap panggung layaknya pertunjukan teater yang sesungguhnya, yaitu dengan detail permaian cahaya yang matematis, Le Petit Prince tak ubahnya tontonan boneka dari balik layar kaca. Teristimewa ketika diceritakan sang Pangeran Kecil melakukan pengembaraan ke angkasa raya. Setting panggung yang tadinya hanya berupa padang sahara mendadak berubah menjadi langit malam yang berpesta pora dengan gemintang dan puluhan planet dan komet yang berseliweran. Sehingga imajinasi penikmatnya turut terbawa dalam arus penceritaan yang digulirkan. "Ada tida faktor yang membuat sebuah boneka dapat hidup. Boneka itu sendiri, keterampilan dan sensitivitas para pemainnya, serta imajinasi penikmatnya," tutur Michael Meschke. Dan benar saja, imajinasi penonton dewasa yang biasanya cenderung sulit untuk memahami imajinasi anak-anak, dalam dongeng ini mampu dijembatani dengan baik lewat kelihaian gaya penyuguhan boneka ala Swedia. (Benny Benke-81)

Tidak ada komentar: