Selasa, 05 Februari 2008

"GERIMIS KENANGAN DARI SAHABAT TERLUPAKAN" (GKST)

February 16, 2007
FILM DOKUMENTER INDONESIA
DIBALIK PRODUKSI FILM DOKUMENTER "GERIMIS KENANGAN DARI SAHABAT TERLUPAKAN" (GKST)

Film dokumenter GKST kami produksi selama satu bulan di Rusia pada akhir febuari hingga akhir maret tahun 2006.

Proses pengerjaan film memakai konsep low-budget film dengan pembiayaan pembuatan yang dilakukan secara swadaya. Kontribusi finansial terbesar diperoleh dari Prof. Mudji Sutrisno dan Taufik Rahzen. Itu sebabnya dalam film ini mereka berhak dicatat sebagai Produser Eksekutif. Selama sepuluh hari mereka berdua turut menyaksikan proses pengambilan gambar dan wawancara di dua kota Rusia: Moscow dan St. Petersburg.

Produser film adalah Henny Saptatia Sujai. Pre-produksi, termasuk didalamnya perencanaan: pemilihan dan eksplorasi tokoh, penentuan setting tempat dan waktu dilakukan oleh produser. Mengingat sempitnya waktu dan penghematan beaya, maka post-produksi terpaksa dilakukan di Jakarta. Editing dilakukan oleh dua freelance editors , didampingi sutradara dan asistennya.
Sutradara dan asisten sutradara adalah dua wartawan dari Jakarta, masing-masing Seno Joko Suyono (Tempo) dan Benny Benke (Suara Merdeka). Keawaman mereka dalam proses produksi visual, seperti: sinkronisasi dan kontinuitas gambar, untunglah tak terlalu tampak. Berkat pengalaman mereka sebagai wartawan cetak, perhatian penonton teralihkan pada pilihan isi kutipan wawancara setiap nara sumber yang pada setiap sekuennya secara tepat diberi aksentuasi ilustrasi.
Karenanya, bahkan dari kaca mata produser, dengan rendah hati disampaikan, bahwa secara keseluruhan kekuatan film dokumenter GKST memang bukan terletak pada sisi sinematografinya.
Meskipun demikian, kamera operator Agung Giardha, mahasiswa S1 jurusan jurnalistik Universitas Persahabatan Bangsa-Bangsa Moskow, selama satu bulan telah menunjukan dedikasinya menjadi kunci proses pengumpulan material dengan merekam sebanyak 25 kaset mini DV, yang tiap kasetnya berdurasi 90 menit.
Film dokumenter GKST terwujud berkat dukungan banyak pihak. Ucapan terimakasih tertuju bagi semua yang berperan dalam proses pembuatannya.
Posted by Henny Esde N Sujai on February 16, 2007 at 04:16 AM | Permalink | Comments (0)


FILM DOKUMENTER INDONESIA
Indonesianist Rusia Bertutur Dalam Film Pemenang Piala Citra 2006 “Gerimis Kenangan dari Sahabat Terlupakan”

Dewan juri Festival Film Indonesia (FFI) pada pengumuman pemenang piala Citra tanggal 21 Desember 2006 telah menganugrahkan ikon perfilman Indonesia itu untuk “Gerimis Kenangan dari Sahabat Terlupakan”(GKST) sebagai film terbaik kategori dokumenter.

Film dokumenter GKST telah mengabadikan penuturan 15 Indonesianist Rusia yang bermukim di Moskow dan St. Petersburg. Mereka ini hanyalah sebagian saja dari seluruh peneliti Rusia yang hingga saat ini masih menekuni kajian Indonesia.

Dengan gaya tuturan tanpa narasi, film ini sengaja diproduksi sebagai hadiah terindah yang patut dipersembahkan kepada para Indonesianist Rusia atas dedikasi dan kesetiaan mereka tetap menggeluti khasanah pengetahuan tentang Indonesia.

Film yang diproduksi selama satu bulan, sejak awal Februari hingga awal Maret 2006, di Rusia itu berdurasi sekitar 70 menit. GKST menampilkan orang-orang Rusia yang memiliki minat dan kenangan tentang Indonesia. Semua dengan latar belakang beragam, diantaranya: diplomat, wartawan, leksikograf, perwira militer, penerjemah presiden, linguist, etnograf, sejarawan, dosen, mahasiswa, bahkan supir taksi dan penjaga kedai buku.

Sebagai prolog, film dokumenter yang proses pengumpulan materialnya hanya melibatkan empat personil ini, menyajikan visualisasi nostalgia pertemanan Ludmila Nikolaevna Demidyuk dengan Utuy Tatang Sontani, sastrawan Indonesia yang dicekal kembali ke tanah air, dan akhirnya wafat di Rusia pada 17 September 1979. Mereka pernah sama-sama mengajar di jurusan Indonesia Institut Studi Asia Afrika, sebuah institusi dibawah Universitas Negeri Moskow Lomonosov.

Adegan-adegan di pemakaman ketika Ludmila Demidyuk tidak menemukan pusara sahabatnya (Utuy), sengaja ditonjolkan sebagai prolog, memberi aksentuasi natural dan dramatik di awal film. Spontanitas inilah yang menjadikan frase ‘Sahabat Terlupakan’ menjadi lebih bermakna.

Tuturan GKST dibagi dalam dua subtema. Pertama, “Ingatan Dingin Moskwa” berisi nostalgia para ilmuwan Moskow yang bertutur tentang tokoh-tokoh seperti Semaun, Alimin, Soekarno, bantuan militer kepada Indonesia dan keterlibatan Soviet di belakang operasi Trikora. Kedua, “Roh-roh Batak, Kunjarakarna dalam Beku St. Peterburg”, mengisahkan tentang kajian-kajian yang orang Indonesia sendiri bahkan tak lagi mempedulikannya: Bahasa Jawa kuno, agama Batak kuno atau tradisi persufian Melayu.

Banyak kisahan dalam film ini yang belum diketahui oleh masyarakat Indonesia kebanyakan, misalnya: kesaksian Yuri Sholmov, konsul jendral pertama Rusia yang ditempatkan di Surabaya. Mantan diplomat ini mengisahkan keterlibatan Uni Soviet dalam Operasi Trikora untuk pembebasan Irian Barat tahun 1962. Menurutnya Uni Soviet membuka tangan mengulurkan bantuan pada Indonesia, setelah Jendral A. H. Nasution yang gagal mencari bantuan ke negara-negara Barat, akhirnya datang ke Moskow, meminta dukungan Uni Soviet.

Bagi masyarakat Indonesia adalah hal yang sama sekali baru, ketika nama Alimin, Semaun, Muso dan Darsono yang selama ini hanya dikenal dalam konteks politik dan pertikaian ideologi jaman orde-lama, ternyata merupakan orang-orang yang punya andil penting dalam mengenalkan Indonesia pada masyarakat Uni Soviet.

Kenyataan ini kita peroleh dari kesaksian yang disampaikan Lev Dyomin, profesor ilmu jurnalistik mantan wartawan harian Pravda yang pernah bertugas di Indonesia dan Yuri Sholmov. Mereka berdua mengaku sebagai murid Semaun, secara aktif mengajar mereka percakapan dan praktek berbahasa Indonesia. Mereka menunjukan pada kita bahwa tokoh-tokoh yang selama ini berada di pojok lain dalam buku-buku sejarah Indonesia, seperti Muso dan Alimin, misalnya, di tahun-tahun awal Indonesia merdeka telah menyusun buku pelajaran bahasa Indonesia pertama, dengan tulisan tangan mereka sendiri.

Nostalgia masa lampau mengembalikan ingatan kita akan hubungan erat Indonesia-Rusia, terutama ketika profesor Alexei Drugov, mantan perwira yang pernah ditugaskan di Surabaya, memaparkan instruksi dari Moskow kepada prajurit dan perwira Rusia yang ditugaskan di Indonesia waktu itu. “Jika terjadi peperangan di Indonesia, para prajurit dan perwira Rusia harus ikut berperang seperti halnya mempertahankan perbatasan sendiri. Artinya berperang membela Indonesia”.

GKST mempersembahkan tuturan para Indonesianist Rusia dari berbagai aspek kajian dan beragam perspektif. Film ini menampilkan profesor Tsyganov sang Sukarnois, yang pernah begitu khawatir akan terjadi penangkapan pada Bung Hatta. Sigaev mantan penerjemah Soekarno membagi nostalgia tentang kunjungan presiden pertama Indonesia itu ke Rusia. Larissa Efimova menemukan bukti otentik baru tentang kritik tajam Stalin kepada Aidit dan Muso atas rencana revolusi yang direncanakan Partai Komunis Indonesia tahun 1948. Bukankah ini titik terang atas pertanyaan: siapa dibalik gerakan Muso tahun 1948 di Madiun?

Sementara Ludmila Pakhomova memaparkan analisanya tentang ekonomi Indonesia, profesor Natalia Alieva membuktikan dengan hitungan untuk sampai pada kesimpulan bahwa Bahasa Indonesia memiliki struktur hampir ideal. Losyagin sang leksikograf, hingga kini pun tetap menyiapkan kamus-kamus Indonesia-Rusia atau Rusia-Indonesia. Sedangkan Profesor Villen Sikorskiy, dengan analisanya, menawarkan agar sejarah kesusastraan Indonesia direvisi.

Dari St. Petersburg, Elena Revunenkova sang etnograf memukau kita dengan kajian Batak Kuno yang dikuasainya. Ia pulalah yang menunjukan pada kita kekayaan koleksi benda-benda pamer Indonesia di museum etnografi Rusia. Profesor Ogloblin dan kader muda Aleksandra Kasatkina memaparkan minat mereka terhadap kajian Jawa Kuno: kajian Kunjarakarna dan kitab-kitab kuno Jawa. Sejarawan muda Irina Katkova menggiring kita pada kekayaan naskah Nusantara yang tersimpan di institut kajian oriental, tempatnya bekerja.

Sebagai pengganti epilog, digambarkan situasi Rusia yang berubah menuju kapitalisme dan kesan para Indonesianist. Visualisasi lain di akhir film dengan ilustrasi puisi Rendra dalam perjalanannya dari Vladivostok menuju Moskow melalui Siberia, lantunan lagu “Rayuan Pulau Kelapa” yang dinyanyikan generasi tua dalam bahasa Rusia, melodi “Indonesia Raya” yang dimainkan kelompok obade di gerbang obyek wisata Rusia, semata-mata adalah pesan untuk menyuarakan harapan kembalinya hubungan akrab Indonesia-Rusia.

Film dokumenter “Gerimis Kenangan dari Sahabat Terlupakan” terwujud berkat kerjasama, dukungan dan kebaikan hati banyak pihak. Ucapan terimakasih tertuju kepada semua yang memberi andil dalam proses pembuatannya dan terutama kepada mereka yang tetap setia mencurahkan ruang batinnya untuk menggali kebudayaan Indonesia dari jauh, yang namanya pun terdengar asing bagi masyarakat awam Indonesia: Ibu Lyudmila Demidyuk, Ibu Elena Revunenkova, Ibu Natalia Alivea, Ibu Larissa Efimova, Ibu Lyudmila Pakhomova, Sdri. Irina Katkova, Sdri. Aleksandra Kasatkina, Bapak Yury Sholmov, Bapak Lev Dyomin, Bapak Aleksander Ogloblin, Bapak Vladimir Losyagin, Bapak Vladilen Sigaev, Bapak Vladilen Tsyganov, Bapak Aleksei Drugov, Bapak Vilen Sikorskiy, Nusantara Society (Moscow), Kabinet Nusantara (St. Petersburg), Museum Etnografi Negeri Rusia Kunstkamera / Museum Peter I, Museum Hermitage dan kurator seni Asia Tenggara: Ibu Olga Despande.

*Penulis (Henny Saptatia Sujai) adalah produser film “Gerimis Kenangan dari Sahabat Terlupakan”, PhD reseacher pada fakultas jurnalistik, Universitas Negeri St. Petersburg.

Posted by Henny Esde N Sujai on February 16, 2007 at 03:25 AM | Permalink | Comments (0)

January 22, 2007
ROMO MUDJI SUTRISNO: KENANGAN BERSAMA DALAM PRODUKSI "GERIMIS KENANGAN DARI SAHABAT TERLUPAKAN"
Romo Mudji Sutrisno. Gelar akademisnya: Professor. Sebagaimana seharusnya seorang professor, Romo menulis banyak buku. Beberapa judul dihadiahkannya langsung pada saya. Tentu disertai pesan dan tanda-tangan beliau. Di akhir tulisan ini saya sengaja menyertakan sedikit dari judul-judul buku Romo yang telah terbit. Mudah-mudahan berguna.

"Romo" adalah gelar religius. Gelar religius ini lebih populer dan akrab di telinga kita. Itu sebabnya hampir semua orang merasa sungkan menyapa beliau hanya dengan sebutan: "Pak Mudji", atau bahkan "Prof Mudji" sekalipun. Mungkin bagi Romo sendiri, soal sapaan bukan masalah besar. Hanya saja, kita akan merasa bahwa menggunakan sapaan "Romo", kok memang terdengar lebih santun.

Biografi Romo Mudji Sutrisno bisa ditemukan dimana-mana, juga di website internet. Biasanya tertulis bahwa nama lengkap Romo adalah: FX Mudji Sutrisno, SJ. Romo lahir di Surakarta, 12 Agustus 1954 dan beragama Katolik. Pekerjaan resminya adalah dosen STF Driyakara dan dosen Pasca Sarjana UI. Tentang pendidikan formal, hampir selalu ditulis bahwa Romo adalah lulusan Seminari Mertoyudan - Magelang, lulusan STF Driyakara - Jakarta (1977), lulusan Gregoriana University - Roma dan lulusan Ichigaya Sophia University - Tokyo.

Romo orang yang sabar dan senang memberi teladan. Senang kebersihan. Bangun tidur selalu paling pagi. Mandi juga paling awal. Romo tak enggan memasak untuk sarapan kami bersama. Sering Romo mencuci piring dan gelas kotor, bahkan bukan hanya yang telah dipakainya saja.

Begitulah kesan yang saya tangkap setelah mengamati keseharian Romo Mudji selama kami (ber-enam) berkumpul dan tinggal bersama di apartemen sewaan, baik di Moscow maupun di St. petersburg. Ketika itu kami sedang mempersiapkan produksi film dokumenter "Gerimis Kenangan dari Sahabat Terlupakan" tahun 2006.

Setiap hari bersama, sejak pagi hingga pagi lagi, membuat saya berkesempatan mengamati hal-hal kecil tentang keseharian Romo. Pengalaman kecil ini ingin saya bagikan disini, sebab saya percaya, justru dari hal-hal kecil dan sepele, seorang bijak bisa mencernanya dengan dalam, lalu mengembangkannya menjadi sebuah ide besar.


...... (Bersambung)


(Mohon sedikit bersabar untuk menunggu cerita lebih lengkap... Untuk sementara nikmati saja dulu album foto berjudul: ROMO MUDJI DALAM BERMACAM POSE)


Sebagian dari karya-karya Romo Mudji Sutrisno: Nuansa-Nusansa Peradaban (January 1993), Langkah-Langkah Peradaban (January 1994), Getar-Gatar Peradaban (January 1994),Pendidikan Pemerdekaan (January 1995), Filsafat, Sastra dan Budaya (January 1995), Sari-Sari Pencerahan (January 1997), Driyarkara: Dialog-dialog panjang bersama penulis (January 2000), Hermeneutika Pascakolonial: Soal Identitas (January 2004), Ide-ide Pencerahan (January 2004), Driyarkara: Filsuf yang mengubah Indonesia (January 2006), dll.

Posted by Henny Esde N Sujai on January 22, 2007 at 02:45 AM | Permalink | Comments (1)

Kenangan dari Sahabat yang Terlupakan

Saturday, March 3, 2007
Kenangan dari Sahabat yang Terlupakan
kontributor: kalangwan tanpo jati

Bapak Utuy pasti menyambut kedatangan kita. Dia pasti tersenyum di atas sana. Jadi kita taburkan saja bunga-bunga ke makan-makam yang tidak diperhatikan, makam-makam yang sudah tidak ada namanya.

Kata-kata itu diucapkan Prof. Ludmilla Demidyuk, pengajar sastra Indonesia di Universitas Moskwa. Ludmilla siang itu datang ke pemakaman umum Moskwa untuk berziarah ke makam Utuy Tatang Sontani, pengarang terkemuka Indonesia pada masa Orde Lama yang dikenal lewat novel berjudul Tambera. Sayangnya, seusai habis-habisan mencari, makam Utuy tak juga kelihatan. Ludmilla akhirnya ambil keputusan untuk menaburkan bunga-bunga setaman yang dibelinya ke makam-makam tak terawat atau (dalam kata-kata Ludmilla sendiri) “makam-makam yang sudah tak diperhatikan dan tak ada namanya.”

Ludmilla, saya kira, tepat sekali mengatakan itu. Utuy Tatang Sontani adalah satu dari sekian banyak anak negeri ini yang punya karya besar dan dihormati orang tetapi justru tak pernah dihargai secara adil oleh bangsanya, tak diperhatikan, seakan-akan seperti orang-orang tak bernama. Utuy ada di deret terdepan dari para anonim sejarah Indonesia.


Siapa yang kini ingat, misalnya, Semaoen atau Alimin atau Darsono? Mereka adalah nasionalis-nasionalis generasi awal yang bergerak lebih dulu daripada Soekarno-Hatta atau Sjahrir. Hanya karena mereka dianggap eksponen komunis, kita seperti memberi permakluman jika mereka tak diberi tempat yang lapang dan apa adanya dalam narasi sejarah Indonesia.

Maka sungguh mengejutkan jika film Gerimis Kenangan dari Sahabat yang Terlupakan (salah satu film buatan anak negeri yang diputar dalam Jogja Netpac Asian Film Festival yang berlangsung pada 7-12 Agustus 2006) produksi Indonesian Council for Caulture Relation (ICCR) bisa mewawancarai saksi hidup bagaimana para penubuh nasionalisme Indonesia generasi pertama itu beraktivitas dan hidup di pembuangan Rusia. Beberapa di antaranya bahkan pernah menjadi murid Semaoen.

Yuri Sholomov dan Lev Dyomin adalah salah dua murid Semaoen yang masih hidup dan berhasil diwawancarai. Keduanya adalah generasi pertama orang Rusia yang memelajari bahasa Indonesia. Semaoen bahkan merelakan diri menjadi pengajar bahasa Indonesia dan ia sendiri turun tangan langsung menyusun buku/diktat tata bahasa Indonesia khusus bagi murid-muridnya (buku itu ditunjukkan di salah satu adegan film ini). Siapa yang menyangka, Semaoen, penulis brosur Penoentoen Kaoem Boeroeh yang termasyhur itu pernah menulis buku jenis begini?

Semaoen sadar kerja macam itu bukan kerja sepele. Ia meletakkan penulisan buku itu dalam kerangka diplomasi politik kebudayaan. Dengan menulis itu, Semaoen setidaknya sedang menyiapkan sekelompok orang yang kelak bisa diharapkan menjadi jembatan dari saling pengertian dan kerjasama kedua negara. Semaoen paham Rusia (dulu Sovyet) adalah salah satu kekuatan yang potensial bisa men-support Indonesia. Itulah sebabnya, selain mengajar bahasa Indonesia, ia menulis surat pada Stalin untuk memperhatikan perjuangan Indonesia.

Surat itu berhasil. Indikasinya jelas: Stalin memerintahkan dibangunnya seksi Indonesia dalam kementrian penerangan Rusia. Dan hubungan politik dan kebudayaan kedua negara pun dimulai.

*****
Saya tak tahu bagaimana rasanya jika saya menyaksikan kejadian seperti ini langsung dengan mata saya sendiri. Lima orang lelaki tua berdiri di pojok sebuah taman di Moskwa. Cuaca ketika itu lumayan cerah. Dengan sisa-sisa tenaga renta, kelimanya menenteng klarinet. Tangan kiri memegang sehelai buku kecil. Dan mulailah mereka memainkan lagu.

“Indonesia, tanah air ku
Tanah tumpah darahku….”

Ya, mereka memainkan lagu Indonesia Raya. Saya yang hanya menyaksikannya lewat film mungkin tak tergetar-getar amat. Tapi bisakah anda bayangkan, ketika sedang menaiki taksi di Moskwa, tiba-tiba sopir taksi yang anda tumpangi bersenandung kecil memainkan nada yang begitu anda kenal, misalnya lagu Rayuan Pulau Kelapa. Atau ketika menyusuri rak-rak di sebuah toko buku, tiba-tiba salah satu penjaga toko, di sesela melayani anda, mendadak bersenandung lagu Rayuan Pulau Kelapa.

Adegan itu direkam dengan dingin dalam film ini. Menyaksikan Gerimis Kenangan dari Sahabat yang Terlupakan persis ketika kita hendak menjelang ulang tahun kemerdekaan Indonesia ke-61 mendatangkan sebuntal rasa haru. Sayangnya, itu rasa haru yang mengganggu. Mungkin juga malu.

Alexandra Kasatkina, misalnya. Anak muda Rusia yang sedang menyelesaikan program doktoralnya ini paham bahasa Jawa Kuna. Dia teliti kitab Kunjarakarna untuk memahami soal “agama asli Jawa” yang belum tersentuh Hindu/Buddha. Kasatkina kini fokus dalam subjek “atma” (dia menerjemahkannya sebagai soul/jiwa). “Agama asli Jawa”, kata Kasatkina, “percaya manusia terdiri dari lima lapis atma.”

Di bawah bimbingan Prof. Alexander Oglobin, Kasatkina dan sejumlah karib seusianya kerap mendiskusikan Ngarakrtagama, Kunjarakarna, hingga Pararaton (berapa anak muda kita yang pernah mendiskusikannya?).

Atau simak juga wawancara dengan DR Elena Revunenka, peneliti dan salah seorang pimpinan Museum Kuns Kamera St. Petersburg. Kini, entah ada berapa orang yang punya kompetensi macam dia: menguasai bahasa dan tulisan Batak Kuna sekaligus mahir menerangkan soal dunia (ke)batin(an) orang Batak.

Berkali-kali DR. Elena mengatakan bahwa di Batak nyaris sudah tak ada lagi yang bisa berbahasa dan membaca aksara Batak Kuna. Sepintas ada rasa bangga saat Elena mengucapkan itu. Tapi dari helaan nafasnya, kita juga tahu, Elena seperti menyesali kemungkinan lenyapnya lagi satu bahasa dan aksara dari muka dunia.

Film ini memang tak berpretensi gagah. Film yang disutradarai oleh wartawan budaya majalah Tempo, Seno Joko Suyono, dan benny benke ini meluncur tanpa narasi dan teks. Isinya hanya kelebatan gambar-gambar dan serangkaian wawancara. Tapi dari sana, dari rangkaian wawancara yang sinambung dan tak terputus itu, kita jadi mengerti betapa lumpuhnya strategi kebudayaan kita.

Kita bisa melacaknya dari Museum Kuns Kamera. Museum yang didirikan pada masa Peter I yang berkuasa di pergantian abad 17-18 ini punya kenangan hebat tentang Indonesia. Ketika hubungan Indonesia-Rusia masih kuat-kuatnya, koleksi tentang Indonesia (baik buku atau benda-benda) ditempatkan di sebuah ruang utama. Koleksi tentang Indonesia ketika itu menjadi koleksi Ketimuran yang terbesar.

Sayangnya itu sudah berlalu. Sebagian terbesar koleksi tentang Indonesia kini sudah “digudangkan”. Pelan tapi pasti, koleksi dan tema-tema tentang Jepang atau Korea mulai menggantikan subyek kebudayaan Indonesia. Mereka membangun pusat studi atau pusat kebudayaanya sendiri-sendiri. Studi atas Jepang atau Korea kini lebih diminati.

Kita terharu menyaksikan Indonesia Raya dimainkan serombongan lelaki tua di pojok lapangan St. Petersburg, sama terharunya ketika kita mendengar seorang lelaki tua supir taksi dan perempuan paruh baya penjaga toko bersinar-sinar parasnya ketika mereka menyanyikan lagu Rayuan Pulau Kelapa. Tapi pada saat yang bersamaan kita juga merasa malu begitu menyadari kita tak pandai merawat hubungan kebudayaan yang hangat itu dengan sebaik-baiknya.

Kita mungkin senang dan syaraf kebanggan nasional kita pun akan terangkat menyaksikan sejumlah kecil orang tua di Rusia dan lebih sedikit lagi sejumlah anak muda di Rusia mendiskusikan kitab Batak Kuna, Ngarakrtagama, Pararaton atau Kunjarakarna. Tapi pada saat yang bersamaan kita juga juga disergap rasa sedih yang mencengkau begitu menyadarai makin punah saja orang Indonesia yang bisa membaca kitab-kita tua.

Tanpa strategi kebudayaan yang lebih agresif dan serius, orang-orang seperti Elena atau Kasatkina bisa jadi akan menjadi orang-orang terakhir di luar negeri yang bisa membaca aksara Jawa atau Batak Kuna. Kita sedih jika mereka menjadi semacam the Last Mohicans-nya kebudayaan-kebudayaan kuna nusantara di dunia manca.

Aneh rasanya jika bayangan buruk macam itu justru datang di hari ketika bangsa ini hendak merayakan kemerdekaannya.

Gerimis Kenangan dari Sahabat yang Terlupakan adalah kabar dingin buat Indonesia dari Moskwa.

1 Comments:
At September 14, 2007 8:51 AM, lygia said…

speechless...

Hanung Bramantyo:

Wawancara

12-11-2007
Hanung Bramantyo:
Film Bikin Manusia Jadi Pener

DI sebuah rumah sederhana di kawasan Tanjung Barat, Jakarta Selatan, Hanung Bramantyo, sutradara muda yang film terkininya, Get Married, menyedot penonton lebih dari 1,1 juta penonton, bercerita tentang banyak hal berkait perkembangan perfilman. Di Dapur Film Community itu pula, penerima puluhan penghargaan ini menuturkan hiruk-pikuk dunia film. Berikut petikan perbicangan itu.

Apa yang sebenarnya ingin Anda lakukan setiap membuat film baru?

Semua pilihan itu berdasarkan proses. Pertama, di Brownies saya hanya ingin membuktikan bisa membuat film layar lebar karena sebelumnya cuma dikenal sebagai sutradara sinetron. Kedua, saya ingin disebut sebagai sutradara layar lebar komersial. Bukan yang idealis karena saya dikenal sebagai murid Garin. Ada anggapan pakai Hanung sama saja pakai Garin. Filmnya pasti mbruwet. Saya tak mau dijauhi produser hanya karena pada saat itu saya mendapatkan beberapa penghargaan internaional, termasuk dari Cairo Film Festival.

Iklim di Indonesia itu lucu dan ironis. Sutradara yang mendapatkan piala malah dijauhi oleh produser. Bukan diberi kesempatan membuat film. Ini membuat saya bertekad membuat film komersial, ngepop, dan bukan art.

Pada saat gala premier saya berkenalan dengan banyak produser. Tujuan saya pun tercapai. Dari Brownies saya berusaha mengembangkan idealisme ketika berkenalan dengan Erwin Arnada dari Rexinema. Selanjutnya bersama penulis naskah Salman Aristo saya melahirkan Catatan Akhir Sekolah. Di film itu spiritnya sudah lain dan kebetulan Erwin memberikan peluang membebaskan saya bermain dengan idealisme.

Entah kenapa, mungkin timing kurang pas, film ini tak menyedot banyak penonton. Dari sini saya sadar, film bukan hanya penting pada saat penciptaan. Proses atau momentum kelahiran juga penting. Marketing, promosi dan sebagainya harus detail.

Selanjutnya muncul Jomblo dari Sinemart. Di film ini saya semakin sadar betapa susah mengembangkan idealisme. Akhirnya saya mencoba berkompromi dengan tantangan baru, yaitu bikin pure komedi. Sebenarnya, dari judulnya saja saya wis rak yakin. Judul kok Jomblo. Cemen, wagu dan lain sebagainya. Saat itu saya tidak mempunyai bergainning power apa pun. Jadi saya terima saja. Yang penting positive thinking dulu terhadap tawaran orang. Setelah itu saya baca naskah akhirnya saya menemukan bahasa yang memberikan peluang saya melakukan eksplorasi sosial yang mengarah pada komedi. Hal ini jarang ditemukan. Biasanya komedi dibangun oleh kekonyolan-kekonyolan aktor yang dibarengi dengan ekpresi-ekpresi yang memang dari lahir sudah lucu. Jomblo tidak termasuk karya semacam itu. Dari sini saya menemukan formula komedi yang bagus. Saya lalu dianggap sukses. Saya mulai diakui.

Setelah itu saya mulai eksplorasi semua tema dan membabi buta. Kemudian lahirlah Lentera Merah, Kamulah Satu-Satunya, Get Married, Legenda Sundel

Bolong, dan Ayat-Ayat Cinta.

Film Get Married dianggap mampu membebaskan diri dari belenggu film-film horor. Menurut Anda sendiri film itu Anda gunakan sebagai apa?

Setelah fenomena Kuntilanak yang jadi box office pada Ramadan tahun lalu, tiba-tiba seolah-olah Lebaran tahun ini film horor akan jadi tambang emas bagi para produser.

Alkisah, dihubungilah saya oleh Chand Parwez Servia dari Starvision untuk menggarap Get Married, Sunil Samtani dari Rapi Film (Legenda Sundel Bolong), Manoj Punjabi dari MD Entertainment (Ayat-Ayat Cinta). Dan ketiga-tiganya meminta diedarkan pada saat Lebaran. Ini kan hal yang menakutkan bagi saya. Akhirnya setelah melalui berbagai diskusi, Ayat-Ayat Cinta bisa dibelokkan bukan pada saat Lebaran.

Bayangkan, alangkah lucu jika pada saat Lebaran, tiga film saya berjejer di bioskop. Semula Sundel Bolong ingin saya mundurkan pada saat Lebaran, tetapi produser tidak setuju. Pada saat itu saya bilang, ''Pak Lebaran nanti

saingan Anda berat, yaitu film saya sendiri Get Married. Tapi produser ngotot. Nah, pada saat itulah saya berkata, ''Jika Lebaran yang laku film horor, saya berjanji akan berhenti membuat film Indonesia karena penonton kita sakit. Tapi kalau yang laku Get Married, maka tahun depan saya berhenti bikin film horor. Sikap saya ini saya lakukan untuk mendidik produser sekaligus membuktikan penonton itu tidak bodoh-bodoh amat. Penonton mempunyai hak memilih apa yang disukai. Dan saya adalah orang yang paling tidak percaya dengan anggapan bahwa penonton kita bodoh. Jadi, jelaslah saya menggunakan film juga sebagai media mendidik penonton.

Brownies membuat Anda memperoleh penghargaan sebagai Sutradara Terbaik FFI 2005. Tapi anehnya Anda tidak membuat film serupa itu lagi. Mengapa?

Brownies itu bukan film yang ''aku banget'' dalam artian ''aku'' sebagai orang Jawa yang minder dan nggak akrab dengan gaya hidup yang ada di film Brownies. Saya itu lahir dari golongan yang ada di film Get Married, Kamulah Satu-Satunya, dan Jomblo. Mungkin saya nggak mau belajar, tapi saya udah resistence dulu dengan segala sesuatu yang bersifat hedonistis. Itulah yang kayaknya membuat saya nggak bisa lagi membuat film seperti Brownies.

Apa cita-cita besar Anda terhadap perfilman Indonesia?

Ada tiga. Dua di antaranya membuat film. Pertama membuat film tentang Peristiwa 65, baik dari sisi politik dan human. Yang kedua membuat film Mahabarata. Kenapa Mahabarata karena Mahabarata adalah sebuah kisah tentang manusia yang dibedah menjadi dua, yaitu Pandawa dan Kurawa. Ini adalah kaca bagi kita semua karena kita semua akan menghadapi perang yang besar, yaitu perang menghadapi hawa nafsu antara yang baik dan yang buruk. Yang ketiga, jika itu semua sudah terlaksana, saya mau bikin sekolah.

Kenapa Anda ingin membangun sekolah film?

Karena nggak ada sekolah film di Indonesia kecuali Institut Kesenian Jakarta. Ada di ISI dan UI, tapi broadcast. Makanya diawali dengan workshop dulu saya ingin menanamkan bibit-bibit pengajar, silabus dan sistem sekolah film yang baik. Sebenarnya kurikulumnya sama. Membuat film itu dari ide, skenario, dan diolah menjadi film dengan mempelajari kamera, editing, penyutradaraan, sinematografi dan lain sebagainya. Cuma ada hal yang dilupakan oleh teman-teman, membuat film itu tidak sekadar bikin skenario, memasang kamera, mengedit gambar dan akhirnya jadilah sebuah film. Membuat film adalah membuat manusia. Buat saya, manusia itu harus dipenerke. Film bisa bikin manusia jadi pener.

Banyak kalangan berpendapat belum ada sutradara kuat di Indonesia hingga saat ini setelah ditinggal oleh Teguh Karya, Sjumandjaja, Wim Umboh, dan Arifin C Noer. Benarkah?

Mereka memang pernah kuat. Tapi kni zamannya sudah berbeda. Mereka kuat dari mana? Estetisnya, intensitas atau ceritanya? Sekarang bukan zaman berbicara tentang keadaan sosial. Tragedi sosial sudah banyak disajikan di televisi dan itu lebih nyata jika dibandingkan yang ada di film.

Itulah kenapa ketika televisi dulu dibungkan oleh Orde Baru dan tidak boleh menampilkan tragedi-tragedi sosial, Teguh Karya dan Wim mboh menampilkan hal semacam itu di film. Film-fil mereka, menjadi luar biasa.

La sekarang, saya pada saat membuat film seperti Sayekti dan Hanafi, di acara BUSER lebih ngeri. Ada kakek memerkosa cucunya!

Penonton film kini membutuhkan realitas lain untuk lepasa sejenak dari kepahitan hidup. Dan itu lewat apa? Ya, salah satunya datang ke gedung bioskop. Nah, kalau bioskop masih saja menonton tragedi sosial ya cenderung nggak ditonton.

Untuk itulah kenapa film-film bertema cinta dan horor dikemas secara massal. Jadi, kalau berbicara sutradara kuat, Riri (Riza) itu juga mempunyai misi dan visi yang kuat. Garin (Nugroho) itu eksplorasi artistinya juga kuat. Hanny (R Saputra) itu sentuhan dramatiknya juga kuat. Dan John de Rantau siapa bilang ia tak kuat. Saya kira Rudi Sudjarwo dari misi, visi, dan terapan sistem produksi yang tujuh hari-delapan hari juga kuat.

(Benny Benke/35)

"Kawin Kontrak",

Jumat, 11 Januari 2008 BUDAYA

"Kawin Kontrak", Komedi Gagal
Oleh Benny Benke

NIAT baik seringkali tidak berbanding lurus dengan kenyataan di lapangan. Hal inilah yang terjadi dalam film drama komedi Kawin Kontrak. Maksud hati menyuguhkan sebuah tontonan komedi segar, film produksi MVP Pictures yang berangkat dari skenario dan disutradarai Ody C Harahap itu malah terjerumus dalam kategori film yang gagal dalam segala hal.

Dengan kualitas cerita yang buruk, keaktoran yang tidak jauh berbeda dari kualitas akting pemain sinetron, sinematografi seadanya, editing serabutan, dan penyutradaraan ala kadarnya membuat film yang mulai edar 9 Januari ini bahkan dapat digolongkan terlalu menghina logika berpikir paling standar.

Ody sebagai sutradara yang sebenarnya telah berpengalaman membesut film Bangsal 13, Alexandria, dan Selamanya... seolah menjelma menjadi sosok gagap yang baru kali pertama menyutradarai sebuah film layar lebar.

Hasilnya, alih-alih kerja lumayan keras selama proses syuting lebih dari dua pekan di kawasan Puncak, Bogor untuk merepresentasikan iklim kawin kontrak yang marak terjadi di area itu, justru tidak terlihat dalam versi filmnya.

Apa yang membuat film yang sebenarnya mengangkat ide cerdas itu gagal menyuguhkan ide segarnya, meski grup band sekelas Naif telah dibeli beberapa judul lagunya untuk menjadi soundtrack film ini. Jawabnya, karena ketidakmampuan Odi dalam mematangkan skenario, sebelum akhirnya mengejewantahkannya kemampuannya sebagai sutradara untuk menghidupkan pengadeganan di dalamnya.

Tidak Mudah

Membuat orang tertawa, sebagaimana menjadi rahasia umum, tidak semudah membuat orang berpekik ngeri ketakutan dan kaget karena musik menghentak, sebagaimana rumusan film horor.

Membuat orang tertawa atau tersenyum simpul karena menyimak sebuah adegan, dibutuhkan sebuah rumusan cerdas yang bukan sembarangan. Dalam film yang diperkuat akting Lukman Sardi, Mieke Amalia, serta Unang Bagito ini, komedi yang segar apalagi cerdas itu, tidak terlihat.

Bahkan eksploitasi adegan yang menggiring penonton membayangkan sebuah adegan seks, berkecenderungan menjadi sebuah penggambaran yang jorok, murahan dan garing. Rama (Dimas Aditya), Dika (Herichan), dan Jody (Ricky Harun), tiga sekawan yang baru lulus dari bangku SMA, dan diplot sebagai tokoh utama pun tidak mampu mempertontonkan kemampuan keaktorannya dengan sepatutnya.

Konflik anak muda yang ingin merasakan nuansa kawin kontrak, untuk menghindari stigma agama dengan perzinaannya, tidak menyisakan pergolakan apa-apa, kecuali eksploitasi murahan kehidupan seks yang tidak pada tempatnya.

Keberadaan tokoh lainnya, yang dilakoni Wiwid, Masayu Anastasia dan Dinda Kanya Dewi yang dicitrakan sebagai perempuan desa yang tidak mampu berbuat apa-apa kecuali menerima nasib dikawin kontrak oleh orang kota dengan alasan ekonomi, tidak jauh berbeda.

Dengan kualitas film seperti inilah, jangan heran jika film Indonesia semakin dijauhi oleh penontonnya sendiri dan berimbas pada kerja insan film lainnya, yang telah bersungguh-sungguh menyajikan sebuah tontonan bermutu dengan segala daya upayanya. (45)

Bukan Bintang Biasa

Rabu, 25 Juli 2007 BUDAYA

Penyempitan Makna Dunia Remaja
Oleh Benny Benke

DUNIA remaja dengan segala dinamikanya seakan menjadi aras ide yang tidak akan pernah ada habisnya untuk dikuak menjadi bahan cerita. Dalam film Bukan Bintang Biasa (BBB) yang disutradarai Lasja Faiza (Dunia Mereka dan Lovely Luna), dunia remaja yang sangat Jakarta sentris itu bahkan dihantarkan dengan rumusan klisenya.

Yaitu dunia remaja yang bergandengan erat dengan konflik percintaannya yang mendekatkan kehidupan serba wah dengan segala kemewahannya. Dunia remaja disempitkan pemaknaannya.

Tengoklah ketika hamburan pencitraan yang menyimbolkan kemewahan dijejalkan dalam kehidupan para remaja itu. Lima tokoh utama yang terdiri atas Laudya Chyntia Bella, Raffy Ahmad, Ayushita Nugraha, Dimas Beck, dan Chelsea Olivia yang memerankan lakon dengan namanya sendiri, nyaris tidak bersentuhan dengan realitas keseharian.

Sebagai mahasiswa dan mahasiswi yang kuliah di sebuah kampus seni antah berantah, kemewahan secara tidak langsung harus disyaratkan dalam kehidupan mereka.

Pamer kekayaan yang dipertontonkan Dimas Beck yang pergi ke kampus dengan mobil Morris Retro, Raffi dengan BMW Z3, Barry dengan Mazda RX-8, serta Mami Raffy (Chintami Atmanegara) yang kemana-mana dengan Jaguar teranyarnya, seolah mengejek realitas keseharian.

Lina, Titien Wattimena, dan Melly Goeslaw selaku penulis naskah, tampaknya ingin menghadirkan mimpi ideal mereka tentang laku kehidupan para mahasiswa seni seharusnya. Hasilnya, film yang original soundtrack-nya di aransemen dan dikomposisi Antoe Hoed itu tidak menjejakkan ceritanya ke bumi.

Natural

Mungkin hanya silang sengkarut kisah percintaan mereka yang cukup mengena dan mewakili kisah kebanyakan cerita percintaan remaja yang serba menggemaskan. Selebihnya, film yang akan beredar mulai 26 Juli itu mengalir dengan banal.

Film BBB yang diproduseri Melly Goeslaw sejatinya mengalir degan ringan, datar, lurus dan nyaris tidak ada konflik yang berarti. Para pendukungnya seperti Laudya (Virgin dan Lentera Merah, Raffy (Ada Hantu di Sekolah, Me Vs High Heels), Ayushita (Me Vs High Heels), Dimas (Apa Artinya Cinta, Lentera Merah), dan Chelsea berakting dengan wajar.

Akting yang wajar, natural, tidak dibuat-buat dan penuh spontanitas sebagaimana kehidupan remaja lazimnya lengkap dengan dialog-dialog kekiniannya, sebenarnya sudah cukup mampu menghantarkan suasana penceritaan.

Bahkan ketika problem percintaan yang melibatkan lima sahabat itu diurai dengan menawan, penonton sudah cukup mendapatkan sebuah hiburan tersendiri.

Namun sayang, sebagaimana tagline judulnya yang berbunyi: "Welcome to the Academy of Dreams", BBB seakan menjelma menjadi sebuah akademi mimpi yang ceritanya cenderung mendangkalkan dunia remaja. (45)

Sardono W Kusumo:

Wawancara

13-08-2007
Sardono W Kusumo:
Perlu Pemuliaan Harga Diri Manusia

PADA sebuah siang, di lingkungan Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta, salah seorang empu tari terkemuka dan Rektor Institut Kesenian Jakarta (IKJ) Prof Sardono W Kusumo, berbicara tentang perspektif kebudayaan Indonesia serta berbagai fenomena yang menyertai. Apa komentar dia tentang kemerdekaan dan nasionalisme? Apakah karya-karya utamanya semacam Opera Diponegoro dan Hutan Plastik merupakan sikap dia menghargai kemerdekaan dan nasionalisme? Berikut petikan perbincangan dengan dia belum lama ini.

Bangsa ini kian tidak merdeka. Terikat pada kekuatan asing dan tak memiliki kedaulatan sepenuhnya. Dalam perspektif kebudayaan, apakah masih mungkin kita menjadi bangsa yang merdeka dalam berbagai aspek?

Kalau saya melihat dari segi kebudayaan secara komprehensif, kita justru tidak terlalu terjajah. Saya mengatakan ini karena sudah berjalan dari ujung Papua hingga ujung Aceh. Itu mungkin yang masuk dalam wilayah perkotaan. Intinya, kalau dalam pengertian kebudayaan dalam arti luas kita tidak terjajah. Nyatanya kita masih multikultural. Dan basis semacam itu di Indonesia masih kuat. Ini analog dengan sebuah ekosistem. Di dalam dunia enviroment semakin kompleks, semakin ada diversitas jenis tanaman, ekosistemnya semakin kuat. Kerena selalu ada input, enteraksi, dan kritik. Makanya, ekosistem hutan tropis yang terdiri atas ribuan spesies akan membuatnya semakin kuat. Meskipun dibakar, dia akan menyembuhkan dirinya sendiri. Semakin banyak pemikiran, semakin banyak suku semakin suistainable dalam sistem kebudayaan. Makanya semakin kita mencoba menyatu-nyatukan, menyeragam-kan, ia akan rontok dengan sendirinya sampai kapan pun.

Bagaimana dengan nasionalisme, apakah masih melekat di setiap individu sebagai makhluk berbangsa dan bernegara?

Kebudayaan itu ujungnya peradaban. Nasionalisme hanyalah salah satu bagian saja dari sebuah pencapaian. Seperti dulu berkembangnya Solo karena ada ekonomi global, karena masuknya Belanda dan pedagang-pedagang China, yang membawa sebuah sistem ekonomi global yang sudah lama. Itu membikin Solo transform dari Kerajaan Mataram menjadi sebuah kota. Jadi, nasionalisme akan melekat dengan sendirinya jika peradaban kebudayaan juga terjaga.

Apakah saat menggarap Opera Diponegoro, Anda sedang memberikan nasihat pada bangsa ini agar "berwawasan kebangsaan" sebagaimana Diponegoro?

Sebenarnya pesan yang paling penting adalah antikolonialnya. Kolonialisme itu tidak harus dari orang asing. Antarkita sendiri juga bisa. Pada waktu itu Diponegoro sedang melakukan antikolonialisme itu. Pada zaman itu Indonesia kan belum ada, tapi kolonilisme ada. Kolonialisme yang datangnya bukan hanya dari Belanda, tapi juga yang diciptakan kerajaan sendiri. Nah, karena Diponegoro pendidikannya tidak sepenuhnya oleh keraton tapi juga banyak oleh neneknya, membuat dia dekat dengan rakyat. Salah satu rekaman Babad Diponegoro versi Keraton Solo menyebutkan, Diponegoro adalah orang pertama yang menyadari ada penjajahan, karena intuisinya tajam, ketika ada pematokan tanah. Rakyat pun kemudian mendatangi dia. Kepada rakyat Diponegoro bilang, "Loh yang matoki tanah itu kan preman-preman dan jawara-jawara yang bekerja untuk Belanda. Itu kan tanah kamu, hak kamu, jadi lawan dong. Nanti kalau tentara Belanda datang, saya akan diplomasi."

Di sinilah empowering the society sudah dimunculkan. Jadi, Diponegoro tidak sendiri, dia menyadarkan ini lo ada kolonialisme dan yang bisa melawan ya masyarakat. Jadi, inti perjuangan Diponegoro adalah penyadaran pada hak-hak masyarakat, dan otorisasi harus ada di masyarakat. Itu lebih dasar dari sekadar melawan Belanda, karena dengan demikian rakyat sadar hak dan lebih berani mempertahankan dan merebut kembali hak.

Rentetan karya Anda, termasuk Hutan Plastik, Passage Trough the Gong, Nobody's Body, boleh jadi merupakan pembacaan ulang Anda terhadap kemerdekaan dan nasionalisme. Apakah memang sulit menumbuhkan rasa merdeka dan semangat kebangsaan lewat jalur pendidikan sehingga Anda menggunakan kesenian untuk menumbuhkan hal itu?

Ya, itu karena saya orang yang hidup di dunia kesenian. Tapi kita harus berhati-hati ketika bicara mengenai kebangsaan. Jangan-jangan kita sedang memperjuangkan kebangsaan Jawa. Malah justru sering mendadak kita terjebak, karena tidak sedang memperjuangkan Indonesia, melainkan memperjuangkan kesektarianannya. Inti sebenarnya memperjuangkan kemerdekaan itu basisnya adalah memperjuangkan manusia untuk berpikir merdeka. Dan Diponegoro telah melakukan itu, dengan memerdekakan manusianya. Memerdekakan dalam arti yang lebih luas, yaitu memerdekakan dari penjajahan mitos. Itulah yang membuat Diponegoro sebenarnya menjadi pahlawan budaya dalam tanda petik, bukan hanya pahlawan perang. Dalam sebuah pupuh versi Diponegoro dikisahkan, pada sebuah sore ketika Diponegoro kalah perang, dia sedang duduk di pendapa. Saat menyandarkan diri pada sebuah saka guru, tahu-tahu ada tiga perempuan datang. Para perempuan itu duduk di depan dirinya tanpa menyentuh lantai pendapa, dan mengenalkan diri sebagai Ratu Laut Kidul.

Setelah itu Ratu Kidul berkata, "Pangeran jangan khawatir, nanti saya akan membantu pangeran dengan para prajurit saya. Tapi saya meminta sebuah syarat kepada pangeran. Yaitu mintalah kepada Allah agar saya dijadikan manusia lagi," demikian bunyi dialognya.

Diponegoro menjawab,"Matur nuwun saya mau dibantu. Tetapi saya itu mengikrarkan perang sabil, dan saya tidak boleh meminta bantuan kepada siapa pun kecuali kepada Allah. Dan yang kedua, permintaan Anda itu di luar wewenang saya, karena Allah tidak memberi perantara untuk hal-hal seperti itu.". Setelah itu, dikisahkah Ratu Kidul lenyap. Intinya apa? Intinya sebagai manusia tidak boleh dijajah oleh mitos-mitos yang sebenarnya juga penjajahan, karena dimanipulasi oleh orang sendiri.

Ini sekaligus pelajaran bahwa manusia itu kan dijadikan Allah sebagai makhluk merdeka, maka jangan mencari pertolongan selain kepada Allah. Mitos bisa diakui tapi tempatkanlah ia dalam porsinya.

Sejauh mana efektivitas mendidik bangsa ini lewat kesenian?

Sangat efektif. Selama sesenian jangan hanya diartikan sebagai tari, karena di balik tari itu ada kode-kode budaya, dan perjalanan panjang. Sebagimana kita melihat Diponegoro, di baliknya ada sastra, naskah yang dia tulis sendiri hampir 1.000 halaman. Dan di balik naskah itu ada wawasan keagamaan, wawasan politik.

Cuma persoalannya, bagaimana hal-hal ini masuk di sistem edukasi kita. Pernah Dr Peter Carey, seorang pengajar Ilmu Sosial Politik dari Universitas Trinity, bilang pada saya, "Hampir 20 tahun saya observasi tentang kebudayaan Indonesia, terutama fokus pada kebudayaan Jawa, terutama lagi fokus tentang Diponegoro. Tapi saya heran tidak ada kajian tentang politik Diponegoro, sistem perangnya, tranformasi nilai dan lainnya, mengapa itu tidak menjadi kajian ilmu?"

Apa saran budaya Anda agar bangsa ini bangkit dari keterpurukan?

Kita harus mempunyai kesadaran bahwa apa yang kita lakukan adalah pemuliaan harga diri manusia. Siapa pun dia. Apakah dia pemulung, tukang obat, atau pekerja lain. Kita harus pandai-pandai belajar, agar tidak selalu sembunyi di balik kehebatan masa lampau, yang seolah-olah kita mewarisi juga kehebatannya. Ada memang Borobudur, keraton dan lainnya, tapi dulu orang membangun dengan mencangkul, la sekarang kita tidak mau lagi mencangkul. Kita hanya menikmati statusnya saja, dan dilenakan oleh masa lalu. Kita harus memiliki critical mind.

O ya, lagu kebangsaan "Indonesia Raya" diributkan. Apa komentar Anda?

Itu kerjaan orang-orang yang kurang kerjaan. Serahkan saja masalah itu kepada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) atau lembaga keilmuan lain, sehingga hasilnya bisa dipertanggungjawabkan. Ini terjadi kerena kita tidak mempunyai critical mind. Seolah-olah yang dilontarkan langsung menjadi kenyataan. Ya seperti mitos tadi, selain senang kepada isu, bangsa ini sering hidup di dalam mitos. Itu menguras energi yang yang sebenarnya tidak perlu kita keluarkan.

(Benny Benke/35)

Rosihan Anwar:

Wawancara

12-02-2007
Rosihan Anwar:
Pers Harus Membela Golongan Tertindas

Menurut Anda apa yang tengah terjadi dengan pers kita? Masihkah ia menjadi "ruang rapat umum". Apakah pers masih menjadi wadah kepentingan bersama?

Pers sekarang jauh berbeda dari pers 50 tahun lalu. Dulu ia bernama pers perjuangan. Tidak banyak staf, beroplah kecil, tapi melayani kepentingan rakyat. Ia juga menjadi alat mencapai kemerdekaan dan kedaulatan. Sekarang, dengan muncul liberalisasi ekonomi yang berorientasi pada ekonomi global, memaksa kita menyesuaikan diri untuk bertahan.

Akibatnya pers tidak melayani kepentingan umum. Surat kabar makin hari makin jelek. Ia dikuasai oleh beberapa kelompok yang kaya dan berhasil saja. Tidak ada lagi koran-koran kecil dan independen yang bisa hidup.

Meskipun begitu ada juga koran-koran yang tetap bertahan dan hidup di daerah karena dapat dukungan dari masyarakat sekitar seperti Pikiran Rakyat (Bandung) Suara Merdeka (Semarang), dan Waspada (Medan).

Apakah dengan demikian pers masih bisa menampilkan diri sebagai ruang publik bagi siapa pun?

Seorang pengusaha boleh saja menerbitkan banyak media di daerah dengan koran-koran daerah. Akan tetapi ketika saya tanya, apakah semua itu bisa menjadikan medianya sebagai ruang publik? Belum tentu. Apakah koran itu untuk melayani kepentingan publik?

Pendek kata tidak ada lagi koran yang benar-benar berjuang mengurangi kemiskinan, misalnya. Tak ada koran-koran melakukan riset dan investigasi untuk menemukan rumusan bagaimana supaya kemiskinan berkurang.

Pers kita kian bergerak ke infotainment. Bagaimana cara mengatasi persoalan semacam ini?

Tidak bisa diatasi. Hanya bisa diterima. Itu bagian dari konsekuensi dan ciri pembaca koran sekarang. Orang ingin infotainment, ya dikasih infotainment. Tapi di samping itu sebaiknya juga diberi hal-hal serius.

Selain itu para pengelola jangan hanya mabuk mencari iklan sebanyak-banyaknya dan melupakan isi yang bermanfaat bagi masyarakat. Pers harus mengedepankan hati nurani. Dengan begitu, ia tetap dapat kembali ke rel sejarah. Rel sejarah itu apa? Rel sejarah itu adalah pers yang bisa mengakhiri kezaliman dan penindasan. Pers harus bisa membela golongan yang tertindas oleh pembangunanisme.

Lalu mengapa untuk menjadi institusi yang menjaga nilai-nilai atau mendidik, pers terkesan tertatih-tatih?

Itu karena para pimpinan surat kabar kurang berimprovisasi. Mereka bingung mesti menyajikan apa. Sebaiknya para pekerja pers jangan hanya berpikir "asal koran laku".

Seharusnya mereka mengerti bagaimana membuat koran yang baik. Wartawan-wartawan harus dilatih dilatih menjadi pemberita yang benar. Jangan jadi wartawan yang cari enak saja. Pers kita jadi seperti ini akibat berbagai faktor yang sangat saling berkait. Semua memunyai dampak terhadap situasi pers sekarang. Menurut saya, sebagai orang yang 64 tahun bergelut di profesi ini, situasi pers sekarang tidak menggembirakan. Intinya wartawan kurang berempati kepada masyarakat. Kalaupun ada mereka tidak bisa berbuat apa-apa atau malah kena damprat redaksi.

Selama menjadi jurnalis, apakah Anda memimpikan sebuah pers yang ideal untuk sebuah negeri yang belum "mapan" seperti Indonesia?

Itu jelas. Intinya ada dua hal yang harus dilakukan untuk membuat pers ideal. Pertama, kita bikin koran sesuai dengan keinginan pembaca. Kedua, bukan berikan apa yang pembaca mau, tetapi berikan pembaca apa yang koran inginkan supaya mereka menjadi lebih tahu. Menurut saya yang terbaik ya yang kedua itu. Cuma, sekali lagi saya tidak melihat pemilik koran yang berpikiran seperti itu. Akan tetapi media juga akan menjadi baik jika ada yang selain memberikan apa yang pembaca inginkan, ia juga memberikan yang koran inginkan. Ini akan membuat pembaca menjadi terdidik kepada hal-hal yang serius. Dengan demikian koran mendekati fitrah untuk memenuhi fungsi sosial.

Bagaimana Anda menjalani hidup sebagai jurnalis yang berhadapan dengan berbagai "badai" kepentingan?

Dulu saya berusaha objektif. Kalau sekarang, sudah tidak ada lagi yang namanya badai kepentingan. Sekarang tulisan saya susah diterima oleh koran-koran. Mereka anggap tulisan saya sudah kuno. Jadi saya sekarang sudah tidak bisa memberikan pendapat apa-apa lagi. Saya pasrah dan nrima. Padahal tulisan saya mendidik, karena berisi kandungan sejarah, budaya, dan politik. Sayang , meskipun semua tulisan saya hadirkan dengan cara enak dibaca dan menarik perhatian, tetap saja ada sebagian orang yang berpendapat tulisan saya kuno.

Anda dikenal sebagai penulis "In Memorian" yang tangguh. Selain kekuatan memori, apa yang Anda munculkan kepada publik?

Ketangguhan muncul kerena saya menceritakannya secara pribadi, selain pada dasarnya saya suka sejarah. Yang jelas saya menulis dengan cara lain dan kebetulan banyak pengalaman. Menulis secara lugas dan menarik tentu juga menjadi kunci keberhasilan. Itu semua namanya personalize your story, ceritakan beritamu dengan cara personal atau pribadi. Kalau sudah begitu, ia tak akan jadi tulisan yang kering.

Anda juga kerap menulis "sejarah kecil' dalam berbagai kesempatan. Apakah itu merupakan counter attack terhadap sejarah resmi?

O bukan, bukan. Tak ada itu counter attack terhadap sejarah resmi. Kebetulan saya penggemar sejarah. Jadi, saya banyak menulis sejarah berdasarkan pengalaman yang saya kemukakan secara apa adanya. Sejarah kan butuh pengamatan. Sejarawan si polan bilang ini, sejarawan B bilang ini, sementara saya bilang ini.

Saya pikir itu tetap boleh-boleh aja. Meski konsekuensinya berbeda dari sejarah resmi. Sejarah resmi sendiri kan juga dapat berubah. Sejarah itu kan pengetahuan yang selalu berkembang. O ya, saya ini anggota masyarakat sejarawan Indonesia lo.

Saya beri contoh, misalnya Peristiwa Malari, 19 Januri 1974. Saya menulis dulu apa yang saya temukan. Misalnya ada pertentangan antara Jenderal Soemitro dengan Ali Moertopo. Jenderal Soemitro pernah curhat kepada saya, setelah rapat dengan Pak Harto, dia pernah ngajak berkelahi duel pistol Ali Moertopo, tapi Moertopo nggak mau. Itu nggak ada dalam sejarah resmi. Tapi itu kan namanya juga sejarah. Bagaimana menguji keautentikannya? Sulit. Keduanya kan sudah meninggal. Ya kepada saya saja ngujinya. Apa betul seperti itu? Menurut saya, betul. Karena Soemitro sendiri yang cerita kepada saya. Itu namanya sejarah-sejarah kecil.

Apa obsesi Anda terkini?

Saya ingin selama mungkin menulis untuk surat kabar dan majalah. Karena apa? Terus-terang keuangan saya payah. Saya ini wartawan yang tidak berpensiun. Tak ada deposito yang berarti. Jadi obsesi saya selama tidak pikun atau sehat, ya menulis untuk mendapatkan uang supaya Ibu Rosihan tak kesusahan. Wah, menyedihkan ya kalau saya ceritakan? Tapi memang begitulah keadaannya. Saya ceritakan semua ini bukan untuk maksud apa pun. Saya hanya ingin menulis untuk untuk bertahan hidup. Makanya kalau ada surat kabar yang masih mau memuat tulisan saya, saya akan berterima kasih. Jadi ini murni soal ekonomi. Ya, inilah saya yang mengalami pembridilan surat kabar selama dua kali pada masa Soekarno dan Soeharto.

Terus-terang saat "berjaya" saya tidak punya kesempatan membikin surat kabar atau perusahaan yang dapat memungut income atau keuntungan. Semua hancur karena percetakan disita dan sebagainya. Begitulah kelakuan pemerintah kita, elek.

Oposisi selalu diberangus. Surat kabar yang tidak mengalami pembreidelan ya bertahan hingga sekarang seperti Suara Merdeka. Saya tahu betul Suara Merdeka karena Hetami teman saya. Saya menyebut segala peristiwa yang menyangkut kehidupan saya ini sebagai tragedi pribadi.

(Benny Benke/35)

Jak Jazz 2007

Jak Jazz Tebar Lukisan Keakraban
ShowbizNews Sat, 24 Nov 2007 09:06:00 WIB

JAK Jazz 2007 yang digulirkan mulai semalam di Istora Senayan, Jakarta, berlangsung dengan penuh kehangatan dan keakraban. Dua puluh enam band dari berbagai negara yang tampil di tiga panggung utama dan empat panggung kecil berhasil membuat ribuan penonton terpuaskan.

Mengapa dibilang akrab? Karena, hampir tidak ada jarak antara pemain dan penonton. Mereka bisa menikmati dengan jarak sangat dekat, hanya satu atau dua meter, sehingga bisa lebih mengapresiasi spirit yang digulirkan para pemusik.

Seperti ketika Carmen Bradford & Rani Singam, dan Shionoya Satoru yang mempertontonkan kebolehan mereka di panggung utama Super Premium Stage. Atau ketika Dainius Pulauskas Sextet dan Elfa's Big Band di Big Stage 1 memberikan sebuah penikmatan betapa musik jazz bisa dengan mudah menjadi akrab dan hangat untuk semua penikmat musik.

Atau ketika Budjana dan Tohpati, dua nama musisi yang sudah tidak asing bagi pecinta jazz Tanah Air, kembali memberikan penikmatan lain tentang makna jazz dengan lebih cair.

Festival jazz tahunan yang kali ini mengusung tema "Paint the Town Jazz" benar-benar melukis kota. Kata "town" di sini maksudnya adalah kota-kota di daerah yang dikunjungi berbagai event pra-Jak Jazz seperti diadakannya audisi band lokal di Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya yang pemenangnya ditampilkan di Jak Jazz, sehingga warna jazz diharapkan tidak hanya berkutat di Jakarta saja tapi juga menyebar ke daerah.

Menurut Veronita Kuspratiwi selaku media relations manager, dari target 20.000 penonton setiap harinya, di hari pertama festival (23/11) tercatat lebih dari 15.000 penonton memadati agenda internasional tersebut.

"Dengan target raihan penonton lebih dari 60.000 ribu untuk tiga hari penyelenggaraan, raihan penonton di hari pertama cukup menjanjikan," katanya.

Akhir Pekan
Biasanya, lanjut Veronita, sebagaimana penyelenggaraan tahun lalu yang mengambil tema "Jazz in the Park", pada penyelenggaraan akhir pekan, yaitu Sabtu dan Minggu, jumlah penonton yang datang akan menemui puncaknya.

Dan memang, hampir di semua panggung yang tersebar, ratusan penonton menyemut baik di panggung kecil maupun ribuan penonton lainnya di panggung utama. Antusiasme yang tinggi tersebut, menurut motor Jak Jazz 2007 Ireng Maulana, diharapkan dapat mewujudkan harapan panitia penyelenggara.

"Sesuai dengan tema kami melukis kota dengan jazz, semoga harapan itu menjadi nyata," kata Ireng bungah, seusai mempertontonkan aksinya di panggung utama. Maraknya tanggapan masyarakat atas festival ini, imbuhnya, diharapkan juga dapat memangkas stigma bahwa musik jazz hanya bisa dinikmati segelintir masyarakat.

"Karena sejatinya, musik jazz bisa dinikmati oleh semua lapisan masyarakat, dan bisa dengan sangat menjadi milik masyarakat kebanyakan."

Kehangatan yang ditimbulkan oleh Jak Jazz 2007 itulah yang tampaknya mulai ditunjukkan di hari pertama penyelenggaraan, semalam. Namun, apakah para pengisi acaranya seperti Satoru Shionoya, rising star dari Jepang, merasakan kehangatan serupa?

"Tentu saja kami bangga dan bahagia dapat tampil di acara sebesar Jak Jazz 2007, dan kami akan membawa pengalaman berharga ini ke negeri kami dengan bangga," ujar Shionoya mewakili keempat rekannya. (Benny Benke, Asep BS-45)


Sumber: SuaraMerdeka

Koil, Pionir dan Arsitek Underground

Koil, Pionir dan Arsitek Underground

Aku adalah arsitek/Aku adalah pionir/Bahkan orang buta pun sadar/Aku hanyalah pembual//Tanpa rasa/Tanpa raga/Surga di hati/Terbawa mati//Ikuti rasa/Jejaki halusinasi//Aku adalah arsitek/Merekonstruksi tubuhmu/Bahkan membaptis kesadaran/Menjadikanmu diriku.

TEMBANG hits bertajuk "Mendekati Surga" yang dilantunkan JA Verdianto alias Otong, vokalis Koil Band, di-medley-kan oleh ratusan penggila musik underground. Nomor itu berkumandang di tengah himpitan ribuan penikmat A Mild Live Soundrenaline 2005 di siang terik yang menyengat di Lapangan Brigif XV Kujang II, Cimahi, baru-baru ini.

Dalam rangkaian Soundrenaline 2005, keberadaan Koil yang mengusung semiindustrial rock terbilang istimewa. Betapa tidak, di tengah ingar bingar geliat musik beraliran easy listening yang akrab dan ramah dengan selera pasar, Koil tetap setia dengan aliran musiknya: underground.

Bahkan grup bentukan 1994 yang diawaki Otong (vokal), Doniantoro (gitar), Imo (gitar), dan Leon Ray Legoh (drum) ini tetap bertahan dengan idealismenya ketika band papan atas seperti Sheila on 7, Peterpan, sampai Superman is Dead dengan cepat mengorbitkan namanya.

"Bagi kami, musik bukan hanya masalah laku dan beken," tutur Otong yang aksi panggungnya mengingatkan pada sosok Marilyn Manson. "Lebih dari itu, musik adalah kebebasan dan kepuasan perasaan mengekpresikan kehidupan".

Pilihan Koil, yang menurut majalah Time Asia edisi 23 Juni 2003/Vol 161 No 24 disebut sebagai one of Indonesia's biggest underground bands ini, tampaknya berbanding lurus dengan apresiasi pencinta underground Tanah Air.

Tengoklah penjualan album Megaloblast Black (2003) yang laku 50.000 kopi. Untuk ukuran band underground, angka tersebut tidaklah mengecewakan. Apalagi Koil mengedarkan kasetnya di bawah bendera indie label yang sangat tidak sebanding jangkauan pemasarannya dibanding dengan major lebel seperti Sony-BMG, Universal, EMI, atau Warner.

"Meski sebenarnya untuk ukuran penduduk Indonesia yang mencapai 210 juta, angka itu sangat kecil," ujar Bens Leo, salah seorang pengamat musik Tanah Air.

Menurut dia, raihan angka penjualan kaset Koil seharusnya dapat lebih tinggi jika band yang juga menggunakan perangkat komputer sebagai pengembangan musik techno ini, memperbanyak frekwensi pentasnya. "Secara showmanship tampilan mereka di atas panggung apik. Dan kedua, musik mereka masih bisa dinikmati karena tidak terlalu hardcore. Bahkan, dilihat dari sisi seni, Koil bagus".

Bens juga menilai, sebagai pelopor musik underground indie, batasan musikalitas Koil terkadang kurang jelas. "Musik undergroundmetal, trash hingga hardcore. Hanya beat-nya saja yang membedakan." sebenarnya hanya bagian dari musik rock seperti

"Lirik, musik, dan hidup kami memang dibangun dari satu kerumitan ke kerumitan lainnya. Kami tidak peduli dengan popularitas. Kami hanya peduli dengan kreativitas," jelas Otong, jebolan ITB dan ITENAS ini.

Sebagai pionir underground yang masih mempunyai idealisme untuk bertahan di jalur indie, keberadaan Koil telah mencatatkan namanya dalam khazanah musik Indonesia, meski pasar tidak bersahabat dengannya. (Benny Benke-45)

from: http://www.suaramerdeka.com/harian/0508/10/bud2.htm

Keris Ditetapkan Unesco jadi Warisan Dunia

Keris Ditetapkan Unesco jadi Warisan Dunia
Selasa, 06/12/2005 - 13:22 - dikirim oleh: admin. Berita

Jakarta, CyberNews. Keris ditetapkan oleh United Nations Education Scientific and Cultural Organisation (Unesco) sebagai The Third Masterpieces of the Oral and Ingtangible Heritages of Humanity. Atau warisan budaya lisan dan kasatmata yang berguna bagi kemajuan kemanusiaan.

Demikian dikatakan oleh Dirjen Nilai Budaya Seni dan Film, Dr Srihastanto di Gedung Budaya dan Pariwisata, Medan Merdeka Barat, Jakarta, baru-baru ini. Ditetapkannya keris sebagai warisan dunia asli Indonesia oleh Unesco adalah untuk kali kedua setelah tahun 2003 Wayang juga ditetapkan sebagai warisan dunia.

“Penganugerahan ini sekaligus mematenkan bahwa kris adalah hasil kebudayaan asli Indonesia, dan tidak mungkin diakui oleh negara lain sebagai warisan kebudayaan mereka,” ujarnya.

Penetapan keris sebagai masterpiece warisan dunia asli Indonesia ditetapkan tanggal 24 November lalu setelah melalui seleksi ketat dari panitia Unesco. Dan kemarin (2/12) Dirjen Unesco Koichiro Matsuura telah menyerahkan sertifikat pengakuan tersebut kepada Wakil Presiden Yusuf Kalla di Istana Negara.

Menurut Srihastanto, keris ditetapkan menjadi warisan dunia bersama karya masterpiece dari 43 negara lainnya, yang ditetapkan oleh sebuah tim juri yang diketuai Pangeran Basma Bint Talal dari Kerajaan Yordania.

Total karya masterpice dari seluruh dunia dari tahun 2001 dan 2003 telah mencapai angka 47 karya masterpice. Dan tahun 2005 ini, 43 karya baru diberi sertifikat karya warisan dunia. Selain Indonesia dengan krisnya, diantaranya Malaysia dengan Mak Yong, Vietnam (the space of Gong culture in the central highland of Vietnam), China (The art of Chinese Xinjiang Uyghur Muqam), India ( Ramlila;the traditional performance of the Ramayana), Jepang (Kabuki), dan Italia (The a tenore song of the sardinian pastoral culturel).

Penetapan Wayang dan sekarang Keris sebagai warisan dunia asli Indonesia oleh pemerintah melibatkan para pakar kebudayaan. Diantaranya Prof Kusnadi Harda Sumantri, Prof Edy Sedyawati, Prof Fuad Hasan, Prof Daud Jusuf dan Prof Azyumardi Azzra.

Sedangkan penggagas awal keris untuk digodok kemudian diajukan sebagai warisan dunia asli Indonesia adalah Menteri Pemberdayaan Perempuan Meuthia Hatta, yang pada waktu itu berkedudukan sebagai Assisten Deputi Bidang Budaya Budpar.

“Kriteria penetapan sebuah warisan kebudayaan dari sebuah negara berangkat dari kedalamam pengetahuan tradisional benda atau barang kasatmata tersebut, yang mempunyai makna bagi kehidupan manusia,” ujar Srihastanto.

Dan kris menurut pakar keris Haryono Harjoguritno mempunyai kekayaan tradisi, pesan sosial, seni, falsafah dan nilai magis yang sangat kaya. “Meski ada kecenderungan yang ditonjolkan dalam kris di masyarakat adalah nilai magisnya,” tuturnya.

Dengan ditetapkannya kris sebagai warisan dunia asli Indonesia, maka Unesco akan memberikan bantuan bagi perkembangan dan pemeliharaan kris di Indonesia. “Hampir ada kris diseluruh wilayah Indonesia dengan berbagai kriterianya, kecuali di Ambon dan Papua,” ujar Gaura Mancacarita Dipuro, dalang dan salah seorang ahli kris kelahiran Australia.( benny benke/Cn08 )

Sumber: Suara Merdeka CyberNews, Senin 5 Desember 2005
http://suaramerdeka.com/cybernews/harian/0512/05/nas6.htm

Karl May

suara merdeka
Sun Sep 7, 2003

Kabar Damai dari

''ADA dua Karl yang menyatukan hubungan antara Indonesia dan Jerman. Pertama
Karl Marx dan kedua Karl May,'' ujar budayawan dan sastrawan terkemuka
Gunawan Muhammad dalam bedah buku Dan Damai di Bumi, karya Karl Friedrich
May (1842-1912), di Goethe Institut, Menteng Jakarta, Jum'at (4/4).

Berjudul asli Et in Terra Pax -kemudian disempurnakan menjadi Und Friede auf
Erden- buku itu merupakan traveloque penulisnya ketika melakukan perjalanan
dari Mesir, Sailan (Srilanka), Teluk Benggala, Sumatra, dan Tiongkok.

Dan Damai di Bumi sempat menjadi buku garda depan untuk menyerukan semangat
antpeperangan, dan menjunjung kemanusia. '' Bahkan, koneksitas dan korelasi
karya-karya Karl May masih up to date dengan kondisi kekinian, seperti
perang yang di kobarkan George Bush di Irak,'' tukas budayawan yang biasa
disapa GM itu.

Menurut GM -yang sengaja membedah buku lewat karya Karl May yang lain;
Winnetou I, karya-karya penulis dari Jerman ini, penuh dengan muatan
imajinasi yang tertata.

Memberi Pencerahan

GM menambahkan, Karl May melalui karya-karyanya menyebarkan semangat
perdamaian dengan memberikan pencerahan dan modernitas.

Bedah buku yang di moderatori Pandu Ganesa, sekaligus Ketua Paguyuban Karl
May Indonesia, pada intinya menyerukan semangat perdamaian di dunia lepas
dari segala sekat-sekat aturan kemanusiaan bahkan agama.

''Kalau tidak mau terjebak dalam sekat-sekat agama; bacalah susastra!''
(Benny Benke-79).

Spiderman-3

Sunday, April 29, 2007
SPiderman-3


Penaklukan Diri Sendiri
DIRI SENDIRI. Ya, diri sendirilah musuh terbesar dalam hidup manusia. Bukan monster berkuatan mahadahsyat atau kawan seiring yang menggunting dalam lipatan.

Namun keberanian membuka mata hati dan kesediaan berdamai dengan diri sendiri. Itulah yang menumbuhkan kesadaran bahwa kekuatan sejati adalah permaafan pada diri sendiri dan orang lain.
Pesan pintar itulah yang disodorkan film Spiderman 3. Sam Raimi masih dipercaya membesut kisah manusia laba-laba dari komik legendaris Marvel Comics karya Stan Lee dan Steve Ditko itu.

Sang sutradara yang juga menulis naskah film ini masih pandai menyajikan pesan kebajikan ke para penikmat. Dia mampu menghadirkan cerita secara membumi.
Kisah masih berpusat pada soal keseharian hubungan kasih Peter Parker (Tobey Maguire) dan MJ Watson (Kisrten Dunst). Film yang akan beredar secara seretak di dunia mulai 4 Mei ini disesaki adegan laga dengan teknik animasi sempurna. Efek visual khusus yang dikerjakan Sony Pictures Imageworks Inc bakal memperkaya pencecapan penonton.

Apalagi didukung desain kostum yang dikerjakan peraih tiga kali piala Oscar, James Acheson, lewat film The Last Emperor, Dangerous Liaisons, dan Restoration. Maka, makin lengkaplah prasyarat bagi film ini untuk mengulang kesuksesan dua sekuel sebelumnya.
Konflik melingkar pada hubungan Peter Parker, MJ Watson, dan Harry (James Franco). Konsentrasi Peter terbelah saat sang kekasih membutuhkan perhatian lebih.
Padahal Harry, yang punya dendam terselubung pada Siperman karena sang ayah mati akibat ulah manusia laba-laba itu, membuka hati pada MJ.

Pada saat bersamaan muncul Flint Marko alias Sandman (Thomas Haden Church). Penjahat kelas teri yang sejatinya orang baik, tetapi bernasib buruk, itu terjebak eksperimen keliru. Tanpa menyadari, DNA-nya melebur menjadi pasir. Jika terkena unsur pasir, dia berubah ukuran dan wujud sebagai manusia pasir.
Di antara perselisihan Peter dan MJ plus Harry, yang diam-diam menginginkan Peter mati, Spiderman terjangkit sindrom akut. Dia jadi lebih atraktif, agresif, dan berkekuatan mahadahsyat dalam wujud laba-laba hitam.

Peter ingin melepaskan diri dari kekuatan jahat itu. Dia memutuskan menghancurkan kostumnya. Namun, tanpa sepengetahuan dia, Eddie Brock (Topher Grace), teman sekantor yang mendendam, malah terjangkit sindrom itu. Eddie pun berubah wujud menjadi Venom.
Kini, Spiderman mesti menghadapi persengkongkolan jahat. Dia harus menyelamatkan warga New York dari teror Sandman dan Venom. Dia juga menghadapi tikaman Harry serta berisiko kehilangan MJ.
Konflik mengalir dalam balutan dialog bernas cerdas tentang kekuatan memaafkan diri sendiri dan orang lain. Namun akhirnya persoalan pun terpecahkan. Ternyata kekuatan superpower bukan solusi. Penaklukan diri sendirilah yang jadi kunci. (Benny Benke-53)

"Anak-anak Borobudur"

Suara Merdeka
Rabu, 04 Juli 2007
Preview "Anak-anak Borobudur"
Oleh Benny Benke


KEBENARAN dan kejujuran sangat mungkin menjadi hal yang tidak mudah bagi yang mengatakannya. Jika telah terucapkan, bisa menyakiti siapa saja yang mendengarnya, termasuk yang mengucapkannya. Begitulah film anak-anak berjudul "Anak-anak Borobudur". Memasang tag line: "Salahkah Kita, Kala Berkata Jujur?", film itu mengangkat tema kebenaran dan kejujuran sebagai bahan dasarnya.

Lewat keberanian untuk mengungkapkan kebenaran dan kejujuran itulah, Arswendo Atmowiloto sebagai penulis skenario dan sutradara mengantarkan sebuah dongeng yang berlatar kehidupan anak-anak di sebuah desa di Muntilan, Magelang.

Mengandalkan kekayaan pemandangan alam persawahan dengan latar Candi Borobudur yang menjulang megah, film yang membutuhkan proses pembuatan nyaris dua tahun itu menjadi sebuah oase dalam khazanah perfilman nasional.

Hal ini diakui Wendo yang memang sejak awal membiayai film yang menelan anggaran sebesar Rp 4 miliar dari kantong pribadinya. Di tengah maraknya tren industri film nasional yang nyaris tidak menghasilkan film anak-anak yang cerdas, katanya, dia berkeinginan menghasilkan sebuah karya yang bernas.

Hasilnya, film yang melibatkan Christine Hakim, Djenar Maesa Ayu, Nungki Kusumastuti, Butet Kartaredjasa, Adi Kurdi, dan beberapa bintang cilik itu mengalir dengan penuh greget.

Sebagai seorang penulis cerita yang andal, Arswendo tidak hanya mampu menyajikan jalinan cerita yang penuh muatan edukasi. Meski mengemban permasalahan yang tidak ringan, semua tokohnya akhirnya mampu mengurai beban hidup lewat keberaniannya masing-masing. Tentu saja, dengan bekal kebenaran dan kejujuran tanpa harus meminggirkan logika bercerita apalagi mengejeknya.

Pemahat Patung

Film yang akan mulai edar 5 Juli tersebut memusat pada kehidupan tokoh Amat (Adadiri Tanpalang), seorang bocah SD yang mempunyai keahlian membuat patung. Bersama bapaknya yang bisu (Adi Kurdi), yang juga dikenal sebagai salah satu pematung andal di desanya, Amat menjalani hidup secara bersahaja.

Hingga pada sebuah masa terdapat sayembara membuat patung tingkat Jawa Tengah dan menempatkan Amat sebagai pemenang pertama. Kebanggaan tentu saja melingkupi semua warga Muntilan, Magelang, tak terkecuali Kepala Sekolah (Heru Kesawa Murti), Kepala Desa, Pak Camat, hingga Pak Bupati (Hasmi).

Alih-alih Amat yang disanjung-sanjung itu mau menerima sejumlah hadiah, penghargaan dan piala yang hendak diberikan bupati langsung, malah ditampiknya. "Saya tidak pantas menerima hadiah ini karena bapak saya yang menyempurnakan patung buatan saya," katanya dari atas panggung dan langsung mengembalikan piala kepada bupati.

Semua terhenyak, tak terkecuali kawan sepermainan Amat yang barusan mengelu-ngelukannya. Sejak itulah, kehidupan Amat yang sentosa berbalik 180 derajat karena keberaniannya melestarikan kebenaran dan kejujuran.

Bahkan kawan terdekatnya, seperti Siti (Acintyaswati Widianing) dan Yoan (Lani Regina), tidak dapat menerima kejujuran yang diucapkan Amat. Tidak juga Bu Guru Ayu (Alexandra T Gottardo) dan Mbak Mi (Djenar Maesa Ayu). Untung saja Doni (Butet Kartaredjasa), seorang pengamat seni, akhirnya memberikan ulasan panjang bahwa Amat memang pantas mendapatkan anegerah juara pertama.

Tulisan Doni yang dimuat di harian Suara Merdeka itulah yang akhirnya dibaca Gubernur Jawa Tengah, Suryani (Christine Hakim). Lewat tokoh Gubernur Suryani itulah, keberanian Amat mengemukakan kebenaran dan kejujuran akhirnya didudukkan pada tempatnya. (45)

SUMILAK ING PEDHUT MANDURA: Bush vs Saddam

Suara Merdeka, Selasa, 22 April 2003 Budaya

Bush di Tangan Ki Enthus

BUKAN Ki Enthus Susmono, jika tidak inovatif serta
pandai menimbulkan kesegaran dalam setiap pementasan
wayang kulitnya. Dengan mengusung lakon Sumilak Ing
Pedhut Manduro (Kongso Adu Jago) yang bernarasi
tentang intrik politik perebutan tahta di negeri
Manduro (Madura), dalang yang senantiasa menggunakan
native speaking Tegalan itu, lagi-lagi berhasil
memesona sekitar 3.000 audience yang memadati Museum
Keprajuritan TMII, Jakarta, Sabtu (19/4) malam lalu.

Betapa tidak? Di tengah serunya pertikaian antara para
lakon wayang yang ia dalangkan, tiba-tiba muncul sosok
wayang Presiden Amerika Serikat George W Bush
berbarengan dengan Presiden Irak Saddam Hussein.
Kehadiran dua tokoh wayang yang sedang menjadi
perhatian publik dunia itu saja menimbulkan kegemparan
sekaligus hiburan tersendiri, meski mereka nyaris
tidak melakukan dialog dan hanya melakukan
gerakan-gerakan perseteruan di depan kelir.

Konyolnya, Ki Enthus yang membaiat dirinya sendiri
dengan sebutan majenun itu, memainkan sabetan-sabetan
pada tokoh Bush dan Saddam dengan gerakan-gerakan yang
menerbitkan bahak berkepanjangan. Seperti pada saat
tokoh Saddam melakukan body language dengan melakukan
gerakan (maaf) mengentuti Bush, dan Bush pun hanya
mampu menutup hidungnya sembari berpekik @#4letter-word you ke
arah Saddam! Kegemparan yang sempat berlangsung
beberapa jenak itu, semakin menjadi manakala tokoh
wayang Inul menyusul hadir di hadapan penonton, yang
tentu saja dengan goyang khasnya: ngebor! Ser...ser...
serrr

"Kegemparan" tersebut berlanjut dengan banyak
munculnya ketidaklaziman-ketidaklaziman dalam tata
aturan baku perdalangan versi Ki Enthus, seperti
sanggit cerita, sanggit adegan, sanggit sabet, dan
sanggit catur (dialog), yang selama ini menjadi trade
mark-nya, dan malah menjadi sesuatu hal yang teramat
sangat ditunggu-tunggu oleh para die harder-nya.

Pada setiap adegan goro-goro, dalang nyentrik yang
selalu menyertakan berbagai piranti musik pendukung
gamelannya --seperti bas gitar, bas drum, seperangkat
drum lengkap dengan simbalnya, dan organ-- itu hampir
senantiasa menyuguhkan hiburan dari berbagai corak
musik. Mulai dari dangdut, reggae, rock, hip-hop,
klasik (asmorondono semarangan, sinom), dangdut
cirebonan, kasidah, sampai salsa pop pada lagu
"Asereje"-nya Lass Ketchup. Maka, tidak heran bila
hampir di setiap pergelaran wayang kulitnya ribuan
penonton menyemut menyesaki tempat pertunjukan.
Sepertinya, tak kalah dengan konser rock.

Namun bukan berarti ketika Ki Enthus
menjungkirbalikkan semua dramaturgi pewayangan, esensi
cerita, adegan, sabet, dan caturnya terabaikan. Karena
justru lewat kemampuan dan keterampilan dalam mengolah
empat unsur sanggit yang konvensional itu, ia hampir
pasti berhasil meyelipkan pesan-pesan terselubung
kepada penikmatnya.

Tak pelak, penonton pun tidak merasa lelah dan sudi
menyuntuki pertunjukan wayangnya selama hampir enam
jam dengan tanpa terasa jenuh, karena semua itu
terlewati dengan suka cita. Meskipun dalam beberapa
kasus, Ki Enthus juga menjelma menjadi dai, dengan
serentetan kotbah-kotbah yang sarat dengan petuah.

Intrik Politik

Lakon Sumilak Ing Pedhut Manduro (Kongso Adu Jago)
bertutur tentang seorang Kongso yang menuntut
kedudukannya sebagai putra mahkota Raja Basudewa,
pemegang tampuk kekuasaan tertinggi di kerajaan
Manduro. Kongso adalah salah seorang putra Basudewa
dari prameswari terkasihnya, Dewi Amirah. Ia mempunyai
bargaining position yang kuat kepada ayahandanya
Basudewa, meski sebenarnya ia adalah putra Guruwongso
yang menjelma Prabu Basudewa, yang kemudian menghamili
Dewi Amirah.

Atas provokasi paman Kongso, yaitu Suratimontro,
semakin menjadilah hasrat Kongso untuk bersegera
merebut tahta Basudewa, yang sebenarnya masih
mempunyai tiga orang putra yang lebih berhak sebagai
penerus dan pemegang tampuk kerajan Manduro, yaitu
Raden Kokrosono, Noroyono, dan Roro Ireng.

Dan sebagaimana kesepakatan bersama, untuk mendapatkan
tahta Manduro maka diadakanlah adu jago (adu manusia)
antara pihak Kongso yang diwakili oleh Suratimontro
dan pihak Kasepuhan oleh Raden Brotoseno.

Setelah melalui berbagai babak pertempuran, binasalah
Suratimontro. Mengetahui pamannya berkalang tanah,
maju kemukalah Kongso yang tersongsong Kokrosono
dengan tombak Nenggalanya.

Kemudian, sebagaimana kisah klasik pewayangan tentang
ajaran kebajikan; yang murka akan kuasa pasti binasa,
demikian juga yang terjadi pada Kongso. Ia terhempas
oleh tombak nenggala milik Kokrosono, sehingga
berkalang tanah dengan ambisi keserakahannya.

Dengan mengusung lakon itu, tampaknya Ki Enthus secara
implisit ingin mengingatkan kepada para perebut tahta
kekuasaan di mana pun untuk berhati-hati dengan ambisi
keserakahannya, sebelum ambisi itu membinasakan
dirinya sendiri. (Benny Benke-41)

test

test

SM, Aceh

Suara Merdeka, Senin, 17 Januari 2005

BUDAYA
Tragedi Aceh, Tragedi Musik

TRAGEDI yang terjadi di Nanggroe Aceh Darussalam adalah bukan semata- mata tragedi kemanusiaan, namun juga tragedi dunia musik Tanah Air. Sujiwo Tejo mengutarakan hal itu ketika tampil dalam ''Dwi Pekan Kepekaan Seniman: Bangkit Aceh'' di Galeri Nasional Indonesia (GNI) Jakarta, Sabtu (15/1) malam. Tejo yang tampil bersama Etsotika Karmawibhangga itu juga menyerukan segala lapisan bangsa untuk menyelamatkan dunia permusikan di bumi Serambi Mekah tersebut. ''Karena musik tradisional di negeri kita berbeda dengan musik dari tradisi Barat,'' katanya. Musik Barat, menurut dia, hanya identik dengan satu perasaan. '' Ketika ia (musik Barat) bertutur tentang kesedihan, maka ia hanya menarasikan kesedihan belaka. Demikian pula ketika ia bertutur tentang keceriaan, maka ia hanya bertutur tentang keceriaan belaka''. Hal inilah yang membedakan dengan dunia permusikan tradisional di Indonesia. Karena musik tradisional di Tanah Air, menurut penyanyi yang juga dalang ini, memadukan berbagai unsur kemanusiaan dalam karyanya. ''Lebih tepatnya, musik tradisional Indonesia adalah campur aduk antara suasana kesedihan dan keceriaan,'' kata dia sebelum pada akhirnya mengalunkan tembang ''Anyam-Anyaman'' dan ''Titi Kala Mangsa'' yang ia comot dari album perdananya Suatu Ketika... Penampilan Tejo yang mendapat sambutan hangat dari ratusan penonton yang menyesak di selasar GNI menjadi lebih istimewa dengan dukungan Jocky Suryoprayogo yang lebih dikenal sebagai mantan personel God Bless dan Nanang HP, salah seorang dalang muda berbakat. Musikalisasi Sajak Sebelum menyudahi tampilannya, seniman yang bersiap meluncurkan album ketiganya Dewi Ruci ini, memusikalisasikan sajak ''Aku'' dan ''Derai-Derai Cemara'' karya Chairil Anwar, sembari berseru: ''Ketika setiap orang mulai menjauhi tanda dan mulai tidak peka, serta menjauhi kesenian, maka bersiap-siaplah kembali menyambut bencana''. Dalam acara itu, Jocky Suryoprayogo yang menyempatkan memberikan ''Refleksi Kebudayaan'' seputar Bencana Nasional yang terjadi di Aceh, Nias, dan sebagian wilayah Sumatera Utara menyoroti fokus permasalahan yang musti dilakukan. Pemerintah, menurutnya, masih kebingungan menata sebuah sistem manajemen bencana. ''Untuk itulah sebagai seniman, kita harus mengambil inisiatif untuk segera bergerak,'' kata Jocky yang bersama sejumlah tokoh Nasional seperti Jakob Oetama, Komarudin Hidayat, Indra J Piliang dan beberapa tokoh lainnya menandatangani Petisi tentang Korban Tsunami. Dan yang lebih penting, menurut Jocky, dari semua aksi yang harus dilakukan untuk segera menyembuhkan korban gempa dan badai tsunami adalah aspek pendidikan. Setelah menutup renunganya dengan tembang ''Burung Garudaku'', penampilan Jocky disambung tampilan Sanggar Matahari yang memusikalisasikan sajak ''Walau'' karya Sutardji Colzoum Bachri. Dan ''Tuhan, Kita Begitu Dekat'' karya Abdul Hadi WM; ''Tuhan kita begitu dekat/ Sebagi api dalam panas/ Tuhan kita begitu dekat/ Sebagai kapas dalam kainmu. (Benny Benke-81)

Suara Pembaruan Daily

SUARA PEMBARUAN DAILY
Puluhan Piala Citra Berakhir di Kardus Air Mineral


Beberapa Piala Citra yang dikembalikan, hanya disimpan di kardus air dalam kemasan, di antaranya Piala Citra Aktris Terbaik FFI 2005 yang dimenangkan Dian Sastrowardoyo. uluhan Piala Citra tergeletak di lantai dingin salah satu ruang Sinematek Indonesia, di Gedung Pusat Perfilman Usmar Ismail, Kuningan, Jakarta, pada Senin (15/1) sore. Beralas kardus bekas kemasan air mineral gelas, piala-piala tersebut tergeletak pasrah menunggu penanganan selanjutnya. Di antara tumpukan piala itu tampak salah satu Piala Citra Aktris Terbaik, Festival Film Indonesia (FFI) Tahun 2004, yang diperoleh Dian Sastrowardoyo atas kepiawaiannya berakting dalam film Ada Apa dengan Cinta, menumpuk di deretan piala-piala tak bertuan tersebut. Di sampingnya, nyaris dengan posisi yang sama tampak Piala Citra Skenario Cerita Asli Terbaik FFI 2005 yang diperoleh Musfar Yasin dalam film Ketika. Dan tak jauh dari tumpukan Piala Citra tersebut menyembul Piala Nyao Han Siang, FFI 2004 milik Mira Lesmana. Menurut salah seorang staf Sinematek, Nia, piala-piala tersebut telah berada di Sinematek pada hari yang sama ketika piala-piala tersebut dikembalikan oleh Masyarakat Film Indonesia (MFI) kepada Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Ir Jero Wacik, SE di Gedung Sapta Pesona, Jakarta. "Piala itu berada di sini sejak Selasa (9/1) lalu, setelah MFI mengembalikan kepada pak menteri. Kebetulan dalam acara serah terima itu Ketua Sinematek, Drs Adi Pranajaya juga hadir. Jadi usai acara tersebut bapak sekalian membawa piala itu ke Sinematek," katanya kepada Pembaruan. Nia mengatakan, rencananya puluhan piala itu akan disimpan dalam sebuah lemari kaca yang akan dipajang di salah satu ruangan Sinematek Indonesia. Tujuannya agar masyarakat bisa melihat dan mengenang apa yang pernah terjadi dalam sejarah film Indonesia. "Biar masyarakat bisa melihat Piala Citra yang telah dikembalikan oleh pemiliknya itu, dan mengenang peristiwa yang pernah terjadi dalam sejarah film Indonesia ini," imbuhnya. Saat ini, jelas Nia, rencana untuk menyimpan piala-piala itu dalam lemari kaca masih harus menunggu beberapa waktu. Pasalnya pembuatan piala kaca tersebut masih dalam proses perencanaan desain dan biaya. "Yang jelas kalau disimpan di Sinematek maka piala-piala itu akan dirawat setiap hari dan tidak asal disimpan," ujarnya. Wartawan Kecewa
Sementara itu, kekisruhan yang terjadi antara MFI dengan panitia dan dewan juri FFI juga berbuntut pada kekecewaan para wartawan yang meliput bidang Film. Pasalnya, salah satu anggota MFI, Abduh Aziz dalam sebuah dialog yang diselenggarakan salah satu stasiun televisi swasta mengeluarkan pernyataan yang dinilai telah menyinggung profesi wartawan yang meliput bidang ini. "Dalam dialog Bincang Bintang di RCTI, salah satu Dewan Juri FFI 2006, Remi Silado menyatakan kekecewaannya karena merasa MFI telah menilai Dewan Juri FFI 2006 itu goblok dalam memberikan penilaian. Pernyatan Remi itu dibantah oleh Abduh, tapi dalam pembelaannya ternyata Abduh malah menyalahkan wartawan dengan mengatakan bahwa, penilaian tersebut muncul karena wartawan yang mengutip berita mengenai kekisruhan FFI itu tidak paham etika jurnalistik," kata Kordinator Wartawan Film Indonesia, Benny Benke. Untuk itu, kata Benny, Wartawan Film Indonesia dan didukung oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jaya Seksi Film dan Budaya menuntut MFI, khususnya Abduh untuk segera mencabut pernyataannya tersebut. Dan meminta maaf secara terbuka kepada masyarakat melalui media massa. Ketika dihubungi Pembaruan, Juru Bicara MFI, Riri Riza mengaku tidak mengetahui permasalahan tersebut. "Saya belum tahu kalau ada masalah ini. Nanti saja kita lihat bagaimana jadinya," tandas Riri. [Yumeldasari Chaniago.

Suara Pembaruan Daily

SUARA PEMBARUAN DAILY
Gerimis Kenangan dari Sahabat Terlupakan

"Datang ya, ke galeri Taufik Rahzen. Kita mau putar film memikat soal hubungan Rusia-Indonesia," kata Romo Mudji Soetrisno di Galeri Nasional Jakarta beberapa waktu lalu. Undangan serupa muncul dari Benni Benke, jurnalis Suara Merdeka yang tekun menulis isu-isu budaya. Dengan info yang lebih lengkap. Soal pandangan orang Rusia tentang Indonesia di zaman Bung Karno, agama Batak Kuno, dan tentu saja soal sastrawan besar Indonesia, Utuy Tatang Sontani. Singkat kata, Benny mau mengatakan, Indonesia di masa lalu adalah sesuatu yang sangat akrab dengan rakyat Rusia yang dulu termasuk dalam negara Uni Soviet. Dan, film yang disebut-sebut Mudji dan Benny ternyata memikat. Di sebuah galeri sempit di Jalan Veteran I Jakarta Pusat belum lama ini, film itu diputar untuk kalangan terbatas. Lokasi pengambilan film hanya di dua kota, Moskwa dan St Petersburg. Penonton film dokumenter itu bisa jadi tergetar mendengar sopir taksi di Moskwa dan seorang penjaga toko buku yang menyanyikan lagu Rayuan Pulau Kelapa dalam bahasa Rusia. Belum lagi pengakuan sejumlah tokoh tua Rusia yang berbicara soal Bung Karno. Ah, Bung Karno. Bung Karno yang membuat lebih dari 100 ribu penduduk Uni Soviet pada tahun 1950-an dengan seksama mendengarkan pidato si Bung yang bergelora. Di dalam film itu tidak disebutkan dengan bahasa apa Bung Karno berpidato. Tapi, mari dengar keterangan seorang tua yang mengatakan, "Bibi saya yang sudah tua sama sekali tidak mengerti bahasa Indonesia. Tapi dia mengaku sangat mengagumi pidato Bung Karno yang bergelora." Begitulah, film yang diputar Romo Mudji dan kawan-kawan memang berkisah tentang relasi dua negara. Bukan antara Rusia dan Indonesia. Antara Uni Soviet dan Indonesia sebelum Gorbachev mencanangkan glasnost dan perestroika, dan sebelum Soeharto membatasi hubungan antara Indonesia dan Uni Soviet.
Tidak Hilang

Judul filmnya memikat, Gerimis Kenangan dari Sahabat Terlupakan. Film itu merupakan oleh-oleh perjalanan Romo Mudji, dua jurnalis, Seno Joko Suyono dan Benny Benke. Mudji dan Taufik bertindak sebagai produser, Seno sebagai sutradara, serta Benny sebagai koordinator liputan. Dua kata yang dijadikan judul film itu, Sahabat Terlupakan, memang menggambarkan isi film itu. Semua narasumber film itu berbicara layaknya seorang sahabat bagi Indonesia. Rasa cinta mereka kepada Indonesia terasa kuat, terhadap budaya daerah di Indonesia, Batak dan Jawa Kuno, dan kekaguman terhadap Bung Karno serta perjuangan rakyat Indonesia mengusir kekuatan kolonialisme. Juga ada kisah beberapa tokoh Komunis Indonesia seperti Aidit, Semaun, dan Darsono. Tokoh besar Indonesia yang hingga kini belum banyak disebut dalam buku-buku sejarah di sekolah dan universitas, Tan Malaka, juga terungkap lewat film ini. Dari film itu terungkap betapa Indonesia tidak pernah hilang dari ingatan rakyat Rusia terutama mereka yang pernah bersentuhan langsung dengan tokoh-tokoh kita. Gerimis Kenangan berisi wawancara santai dengan Guru Besar Politik Indonesia, Universitas Moskwa, Tsyganov. Pria itu benar-benar Soekarnois. Bukan karena selalu menyematkan pin wajah Soekarno dalam jasnya, bukan pula karena disertasinya berkaitan dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan Soekarno. Ia mencintai Soekarno. Bahasa Indonesia Ada pula Yuri Sholmov yang menyebut Semaun sebagai guru bahasa Indonesianya. Lagu-lagu balada dengan iringan gitar mengantar penonton menyimak cinta Natalia Alieva kepada bahasa Indonesia. Ahli perbandingan bahasa yang juga mempelajari bahasa Vietnam, Melayu dan Tagalog itu dengan mantap mengatakan, bahasa Indonesia adalah bahasa paling ideal dan kaya yang pernah ia ketahui. Soal bahasa Indonesia juga menjadi topik wawancara tim pembuat film dengan sejarawan sastra Indonesia, Vilen Sikorsky. Ia banyak meneliti karya sastra dari zaman Melayu Rendah. Hasil penelitian Sikorsky membuatnya berselisih pendapat dengan HB Jassin dan pakar sastra Indonesia dari Belanda, A Teeuw yang selalu mengungkapkan peran penting Balai Pustaka dalam perkembangan sastra Indonesia. Menurut Sikorsky, sastra Indonesia berkembang juga di majalah dan surat kabar di Indonesia sebelum era Balai Pustaka. Ia yang pernah menyimpan novel-novel karya Utuy Tatang Sontani mengaku telah menyerahkan novel sahabatnya itu ke sastrawan Ajip Rosidi. Ia mengaku heran mengapa Ajip hingga kini belum menerbitkan novel karya Utuy di Indonesia. Keterangan Sikorsky dibantah Ajip yang dihubungi di Desa Pabelan, Magelang. "Pustaka Jaya sudah menerbitkan naskah itu dan malah menerbitkan biografi. Sikorsky mungkin belum tahu," kata Ajip yang juga mengaku mengagumi karya Utuy berjudul Tambera. Begitulah, film dokumenter Romo Mudji dan kawan-kawannya itu seolah ingin mengingatkan betapa Indonesia sangat dikenal warga Rusia berusia lanjut. Tapi Indonesia kurang dikenal generasi muda Rusia.
Malu

Tapi bisa jadi ada rasa malu menyimak keterangan pakar sastra Jawa Kuno di Universitas St Petesburg, Aleksander Ogobin dan muridnya, Aleksandra Kasatkina. Oglobin bukan hanya mengajarkan cara membaca dan menulis sastra Jawa Kuno. Ia juga rajin mengajak muridnya mendiskusikan naskah Pararaton, Sutasoma dan Negara Kretagama. Ketertarikan Kasatkina kepada Kakawin Kunjarakarna mendorongnya pada kesimpulan, orang Jawa masa lalu sudah punya agama yang menarik jauh sebelum agama Hindu masuk ke Jawa. "Saya akan datang langsung ke Jawa. Saya mau belajar kejawen atau mungkin agama Jawa," katanya. Masih ada yang menarik dari film dokumenter dengan durasi hampir dua jam itu. Di antaranya pernyataan peneliti dan salah satu pimpinan Museum Kunst Kemera, St Petersberg. Perempuan yang bisa membaca naskah Batak Kuno itu mengungkapkan kekagumannya pada budaya Batak Kuno. "Tapi saya sedih mendengar kabar betapa tidak banyak kajian mengenai Batak Kuno di Indonesia dan tidak banyak orang Batak yang bisa membaca naskah Batak Kuno," keluhnya. [Pembaruan/Aa Sudirman]

Rileks.Com

Cerita Unik di Balik Festival Film Jakarta 2007
wartawan ngantuk"

KETIKA ditawari untuk menjadi Juri Verifikasi Festival Film Jakarta [FFJ] 2007, RILEKS.COM terkejut juga. Pasalnya, meski sudah dua kali mejadi juri [termauk FFJ 2006] silam, tapi rasanya kok ilmu tentang perfilmanitu sendiri masih harus diasa. Beruntung kemudian ada workshop yang sedikit banyak membuka kembaliwawasan tentang film itu sendiri. Kesibukan untuk liputan, deadline, kudu menulis berita, menjadikendala tersendiri untuk wartawan. Maklum saja, masing-masing juri dari media yang berbeda-beda dengan kebijakan dan hari terbit yang berbeda-beda pula. Ada dari Mingguan, harian, dan media on-line. Alhasil, ketika diminta menilai sekitar 41 film dari rentang waktu Oktober 2006 - September 2007, nyaris ;geleng-geleng; kepala semua. ;Kok banyak ya; ujar seorang wartawan harian dengan terkekeh. Tugas belum selesai. Ketika saat tabulasi angka tiba, muncul persoalan baru. Maklum saja, ada 25 wartawan dengan pilihan masing-masing dan angka yang bervariasi. Yang ribet adalah mereka yang bertugas menghitung angka-angka tabulasi itu. ;Stress juga mas, apalagi kalau angkanya salah...wah bisa-bisa diulang dari awalkata seorang yang ditugasi memasukkan angka ke komputer.anak-anak borobudur" anak-anak borobudurBeberapa wartawan terpaksa ikut begadang di ruang meeting Jak-TV. Disitulah, angka-angka itu dihitung. Dan ketika jam sudah menunjukkan pukul 03.00 WIB dini hari, angka selesai dihitung dan Benny Benke dengan ngantuk-ngantuk menandatangani berita acara. Kini, pilihan wartawan itu akan dipertanggungjawabkan ke publik. Beberapa film memang terasa "mengejutkan" karena berbeda dengan anggapan banyak orang. Kenapa? Ada banyak alasan tentu saja. Tapi paling tidak, inilah apresiasi wartawan kepada dunia perfilman Indonesia. Semoga makin maju dan sukses untuk FFJ 2007. (joko)

Suara Merdeka

Suara Merdeka
Minggu, 12 Februari 2006
BINCANG BINCANG:
Pramudya Ananta Toer

Tak Melawan Kepikunan


LELAKI tua itu tidur di sofa ketika kami datang berkunjung ke rumah megahnya di Jalan Warung Ulan, Bojonggede, Jawa Barat. Jika saja dia tidak pernah dipenjara oleh rezim Orde Baru, tak pernah menulis sastra-sastra agung semacam Perburuan, Bukan Pasar Malam, atau Jalan Raya Pos, Jalan Daendels, mungkin dia hanya akan menjadi kakek biasa. Kakek yang tinggal menikmati hidup pada masa-masa rapuh. Namun, lelaki itu bernama Pram. Senyum dalam tidurnya pun oleh Benny Benke, seorang teman, bisa dijadikan sebagai karya foto yang menarik. ''Tidur yang unik. Harus dipotret,'' kata dia. Menunggu Pram bangun, kami kemudian bercakap-cakap dengan Sisi, gadis manis, yang membantu novelis yang pernah memperoleh Hadiah Ramon Magsaysay dari Filipina ini bergelut dengan buku-buku dan perpustakaan. Tak lama kemudian Pram bangun.
''Sudah lama menanti? Mau wawancara apa? Saya sudah pikun.'' ''Pikun?'' saya bertanya kepada Sisi. ''Ya, Opa mulai pikun. Kadang-kadang menyuruh saya melakukan hal-hal yang sudah saya lakukan pada hari-hari sebelumnya.'' Kami tak menyerah. Namun, Pram tampak tak ingin jadi hero dan berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan saya dan Benny. ''Banyak kata-kata yang tak bisa dilontarkan kepada publik,'' kata Pram. ''Pers sudah berubah. Pers tidak lagi menjadi kaki-tangan pemerintah. Mengapa kata-kata Anda tak boleh dikutip terus?'' ''O, pers sekarang sudah jadi kaki dan tangannya sendiri ya?'' ''Ya, jadi, tak perlu takut...,'' kata saya. ''Tetapi...untuk saya yang pernah mengalami banyak peristiwa yang menyiksa, saya berpesan...beberapa kata-kata saya jangan diumumkan. Lagi pula saya sudah pikun,'' Pram mengelak untuk diwawancarai lebih dalam lagi. Ia seakan-akan tak mau melawan kepikunan. ''Saya itu sudah pikun. Sulit mengingat. Mengingat nama anak-anak saya saja sudah sulit. Ya, usia yang menyebabkan semua ini. Sudah banyak mengalami penindasan. Sudah pikun pula. Aneh-aneh saja pertanyaan Anda,'' katanya.
Pram juga mengaku tidak ingat tokoh-tokoh yang pernah ditulis. ''Mari kita mengingat tokoh-tokoh Anda. Masih ingat Minke? Masih ingat Nyai Ontosoroh? Anda katakan Minke itu terinspirasi oleh sepak terjang Tirto Adisoerjo. Lalu, siapa sesungguhnya Nyai Ontosoroh?'' tanya saya. ''Itu tokoh pembangun saja. Kan harus ada tokoh yang membangun.'' ''Kartini?'' ''Bukan. Itu hanya fantasi. Itu hanya tokoh untuk membangkitkan kaum wanita.'' Begitulah Pram -yang waktu itu tak ditemani sang istri atau anaknya (Astuti Ananta Toer- berusaha meleburkan diri ke ''alam lupa''. Namun, ketika Benny Benke bertanya tentang kemungkinan mewajibkan murud membaca karya-karyanya, dia lantang menjawab, ''Silakan saja. Saya toh bukan agen dari buku-buku saya.'' ''Buku Anda, Bumi Manusia dan Mangir akan difilmkan. Apa harapan Anda?'' tanya saya. ''Saya tidak punya harapan apa-apa.'' ''Anda juga menolak sutradata Oliver Stone untuk membuat film Bumi Manusia. Mengapa?'' cecar Benny. ''Saya tidak menolak. Ada masalah film right. Mereka hanya menawar 60.000 dolar. Saya tidak cocok pada penawaran itu. Saya sudah patok harga setengah juta dolar. Mereka belum berani. Ini bukan karena saya ingin kaya. Saya sudah kaya...ha ha ha.'' ''Saat Anda menjual karya begitu harga mahal, ada yang bilang Anda kapitalis. Apa komentar Anda?'' tanya Benny setengah tak percaya. ''Apa yang tidak dirampas dari saya? Kalau saya membuat harga sendiri, mengapa orang lantas berkata semacam itu? Apa yang saya alami pun mereka tak peduli,'' kata Pram seakan-akan menyimpah amarah yang tak kunjung hilang. Ya, tak kunjung hilang dan dia tetap tak berusaha melawan kepikunan. O, indah nian hidup tanpa keinginan jadi pahlawan. (TT)

Indosinema.Com

05 December, 2007

Rebut Piala Abinaya

Nominasi JAK-TV FFJ 2007 Rebut Piala AbinayaDikirim tanggal: 03 Desember 2007 11:12:tabloidinfotainment terkemuka, untuk membekali para wartawan penilaiandibidang teknik seni peran, alur cerita, pentaan suara, pentaan gambardan lain sebagainya dengan para mentor yang berpengalaman dibidangperfilman seperti Riri Riza dan Mira Lesmana."Ini sangat menarik bagai saya, sebuah festival film yang penilainnyadilakukan oleh 100% wartawan darai berbagai media dan prosesnya punsangat independent", ujar Riri Riza pada konferensi pers pengumuman nominasi FFJ 2007 di Cafe BlackCat, Plaza Arcadia, Jumat (29/11) sore.
Dalam pengantar berita acara, Benny Benke, ketua tim verifikasi filmmenyatakan, bahwa proses verifikasi 24Indosinema, JAK-TV kembali menggelar sebuah festival film tingkatlokal (Jakarta), JAK-TV FFJ 2007 yang bertemakan Layar Putih FilmIndonesia. Uniknya kali ini proses penjurian tidak dilakukan olehkalangan sineas film Indonesia melainkan 100% penilaian dilakukan olehkalangan wartawan media terkemuka di Ibukota Jakarta. Setelah prosesworkshop yang dilakukan oleh JAK-TV bekerja sama dengan sebuah berjalan dengan baik, adil,transparan dan independen. Hasil ini selanjutnya menjadi nominasiuntuk ditetapkan oleh juri inti sebagai "Yang Terpilih" dan berhakatas piala Abinaya pada 8 Desember 2007 mendatang.Menurut Putri Andhina, salah satu panitia festival, yang masuknomisasi untuk ajang ini adalah film yang diproduksi sejak Oktober2006 hingga September 2007.Berikut daftar nominasi peserta JAK-TV Festival Film Jakarta 2007 (FFJ2007)Kategori Film Terpilih1. Naga Bonar Jadi 22. Denias3. The Photograph4. 3 Hari Untuk Selamanya5. Anak-Anak BorobudurPemeran Utama Wanita Terpilih1. Shanty - The Photograph2. Dina Olivia - Mengejar Mas-Mas3. Nirina Zubir - Kamulah Satu-Satunya4. Adinia Wirasti - 3 hari untuk Selamanya5. Julie Estelle - SelamanyaPemeran Utama Pria Terpilih1. Albert Pakdawer - Denias2. Deddy Mizwar - Naga Bonar Jadi 23. Lim Kay Tong - The Photograph4. Adadiri Tanpalang - Anak-Anak BorobudurPemeran Pembantu Wanita Terpilih1. Shanty - Maaf Saya Menghamili Istri Anda2. Audrey Papilaya - Denias3. Indy Barens - The Photograph4. Nadia Safira - Cintapuchino5. Masayu Anastacia - SelamanyaPemeran Pembantu Pria Terpilih1. Eddy Karsito - Maaf Saya Menghamili Anda2. Lukman Sardi - Naga Bonar Jadi 23. Ari Sihasale - Denias4. Lukman Sardi - The Photograph5. Mario Merdhita - Coklat StroberiSutradara Terpilih1. Deddy Mizwar - Naga Bonar Jadi 22. John De Rantau - Denias3. Nan T Achnas - The Photograph4. Riri Riza - 3 Hari untuk Selamanya5. Arswendo Atmowiloto - Anak-Anak BorobudurPenulis Skenario Terpilih1. Musfar yasin - Naga Bonar Jadi 22. Jeremias Nyangoen, Msree Ruliat, Monty Tiwa - Denias3. Nan T Achnas - The Photograph4. Arswendo Atmowiloto - Anak-Anak Borobudur5. Sinar Ayu Massie - 3 Hari untuk SelamanyaPenyunting Gambar Terpilih1. Andhy Pulung - Denias2. Tito Kurnianto - Naga Bonar Jadi 23. Sastha Sunu - The Photograph4. Sastha Sunu - 3 Hari untuk Selamanya5. Sastha Sunu - Anak-anak BorobudurPenata Suara Terpilih1. Dwi Budi P & Adityawan Susanto - Denias2. Adityawan Susanto & MOlana Machmud - Naga Bonar Jadi 23. Satrio Budiono & Xavier Marsais - The Photograph4. Satrio Budiono & Handy Ilfat - 3 Hari untuk Sleamanya5. Satrio Budiono - KuntilanakPenata Musik Terpilih1. Thoersi Argeswara - Naga Bonar Jadi 22. Aksan Sjuman - The Photograph3. Bongki BIP - D'Bijis4. Addie MS - Cinta Pertama5. Float - 3 Hari Untuk SelamanyaPenata Gambar Terpilih1. Yadi Datau - Denias2. Yadi Sugandi - The Photograph3. Ipung Rachmat Syaiful - Kala4. Regina Anindhita - Sang Dewi5. Dimas Aji - Cinta Pertama6. Adrian Nugraha - KuntilanakPenata Artistik Terpilih1. Budi Riyanto Karung - Denias2. Men Fo - The Photograph3. Arswendo Atmowiloto - Anak-Anak Borobudur4. Anie Suratno - Kuntilanak5. Iri Supit - Long Road To HeavenPenata Cahaya Terpilih1. Yadi Sugandi - The Photograph2. Yudi Datau - Naga Bonar Jadi 23. Yudi Datau - Denias4. Yadi Sugandi - 3 Hari Untuk Selamanya5. Aria Teja - Badai Pasti Berlalu
Pendatang Baru Pria Terpilih
1. Volland Humonggio - Sang Dewi2. Minus C Karoba - Denias3. Rizky Mocil - Maaf,Saya Menghamili Isteri Anda4. Mario M - Coklat Stroberi5. Junior - Kamulah Satu-Satunya
Pendatang Baru Wanita Terpilih1. Poppy Sofia - Mengejar Mas-Mas2. Audrey Papilaya - Denias3. Chika Bagaskara - Cintapuccino4. Sabai Morschek - Sang Dewi5. Fahrani - Kala

05 December, 2007

Rebut Piala Abinaya
Nominasi JAK-TV FFJ 2007 Rebut Piala AbinayaDikirim tanggal: 03 Desember 2007 11:12:24Indosinema, JAK-TV kembali menggelar sebuah festival film tingkatlokal (Jakarta), JAK-TV FFJ 2007 yang bertemakan Layar Putih FilmIndonesia. Uniknya kali ini proses penjurian tidak dilakukan olehkalangan sineas film Indonesia melainkan 100% penilaian dilakukan olehkalangan wartawan media terkemuka di Ibukota Jakarta. Setelah prosesworkshop yang dilakukan oleh JAK-TV bekerja sama dengan sebuah tabloidinfotainment terkemuka, untuk membekali para wartawan penilaiandibidang teknik seni peran, alur cerita, pentaan suara, pentaan gambardan lain sebagainya dengan para mentor yang berpengalaman dibidangperfilman seperti Riri Riza dan Mira Lesmana."Ini sangat menarik bagai saya, sebuah festival film yang penilainnyadilakukan oleh 100% wartawan darai berbagai media dan prosesnya punsangat independent", ujar Riri Riza pada konferensi pers pengumuman nominasi FFJ 2007 di Cafe BlackCat, Plaza Arcadia, Jumat (29/11) sore. Dalam pengantar berita acara, Benny Benke, ketua tim verifikasi filmmenyatakan, bahwa proses verifikasi berjalan dengan baik, adil,transparan dan independen. Hasil ini selanjutnya menjadi nominasiuntuk ditetapkan oleh juri inti sebagai "Yang Terpilih" dan berhakatas piala Abinaya pada 8 Desember 2007 mendatang.Menurut Putri Andhina, salah satu panitia festival, yang masuknomisasi untuk ajang ini adalah film yang diproduksi sejak Oktober2006 hingga September 2007.
Berikut daftar nominasi peserta JAK-TV Festival Film Jakarta 2007 (FFJ2007)Kategori Film Terpilih1. Naga Bonar Jadi 22. Denias3. The Photograph4. 3 Hari Untuk Selamanya5. Anak-Anak BorobudurPemeran Utama Wanita Terpilih1. Shanty - The Photograph2. Dina Olivia - Mengejar Mas-Mas3. Nirina Zubir - Kamulah Satu-Satunya4. Adinia Wirasti - 3 hari untuk Selamanya5. Julie Estelle - SelamanyaPemeran Utama Pria Terpilih1. Albert Pakdawer - Denias2. Deddy Mizwar - Naga Bonar Jadi 23. Lim Kay Tong - The Photograph4. Adadiri Tanpalang - Anak-Anak BorobudurPemeran Pembantu Wanita Terpilih1. Shanty - Maaf Saya Menghamili Istri Anda2. Audrey Papilaya - Denias3. Indy Barens - The Photograph4. Nadia Safira - Cintapuchino5. Masayu Anastacia - SelamanyaPemeran Pembantu Pria Terpilih1. Eddy Karsito - Maaf Saya Menghamili Anda2. Lukman Sardi - Naga Bonar Jadi 23. Ari Sihasale - Denias4. Lukman Sardi - The Photograph5. Mario Merdhita - Coklat StroberiSutradara Terpilih1. Deddy Mizwar - Naga Bonar Jadi 22. John De Rantau - Denias3. Nan T Achnas - The Photograph4. Riri Riza - 3 Hari untuk Selamanya5. Arswendo Atmowiloto - Anak-Anak BorobudurPenulis Skenario Terpilih1. Musfar yasin - Naga Bonar Jadi 22. Jeremias Nyangoen, Msree Ruliat, Monty Tiwa - Denias3. Nan T Achnas - The Photograph4. Arswendo Atmowiloto - Anak-Anak Borobudur5. Sinar Ayu Massie - 3 Hari untuk SelamanyaPenyunting Gambar Terpilih1. Andhy Pulung - Denias2. Tito Kurnianto - Naga Bonar Jadi 23. Sastha Sunu - The Photograph4. Sastha Sunu - 3 Hari untuk Selamanya5. Sastha Sunu - Anak-anak BorobudurPenata Suara Terpilih1. Dwi Budi P & Adityawan Susanto - Denias2. Adityawan Susanto & MOlana Machmud - Naga Bonar Jadi 23. Satrio Budiono & Xavier Marsais - The Photograph4. Satrio Budiono & Handy Ilfat - 3 Hari untuk Sleamanya5. Satrio Budiono - KuntilanakPenata Musik Terpilih1. Thoersi Argeswara - Naga Bonar Jadi 22. Aksan Sjuman - The Photograph3. Bongki BIP - D'Bijis4. Addie MS - Cinta Pertama5. Float - 3 Hari Untuk SelamanyaPenata Gambar Terpilih1. Yadi Datau - Denias2. Yadi Sugandi - The Photograph3. Ipung Rachmat Syaiful - Kala4. Regina Anindhita - Sang Dewi5. Dimas Aji - Cinta Pertama6. Adrian Nugraha - KuntilanakPenata Artistik Terpilih1. Budi Riyanto Karung - Denias2. Men Fo - The Photograph3. Arswendo Atmowiloto - Anak-Anak Borobudur4. Anie Suratno - Kuntilanak5. Iri Supit - Long Road To HeavenPenata Cahaya Terpilih1. Yadi Sugandi - The Photograph2. Yudi Datau - Naga Bonar Jadi 23. Yudi Datau - Denias4. Yadi Sugandi - 3 Hari Untuk Selamanya5. Aria Teja - Badai Pasti Berlalu Pendatang Baru Pria Terpilih 1. Volland Humonggio - Sang Dewi2. Minus C Karoba - Denias3. Rizky Mocil - Maaf,Saya Menghamili Isteri Anda4. Mario M - Coklat Stroberi5. Junior - Kamulah Satu-Satunya
Pendatang Baru Wanita Terpilih1. Poppy Sofia - Mengejar Mas-Mas2. Audrey Papilaya - Denias3. Chika Bagaskara - Cintapuccino4. Sabai Morschek - Sang Dewi5. Fahrani - Kala

http://www.indosinema.com/news/1696/news/1696