Selasa, 05 Februari 2008

Sardono W Kusumo:

Wawancara

13-08-2007
Sardono W Kusumo:
Perlu Pemuliaan Harga Diri Manusia

PADA sebuah siang, di lingkungan Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta, salah seorang empu tari terkemuka dan Rektor Institut Kesenian Jakarta (IKJ) Prof Sardono W Kusumo, berbicara tentang perspektif kebudayaan Indonesia serta berbagai fenomena yang menyertai. Apa komentar dia tentang kemerdekaan dan nasionalisme? Apakah karya-karya utamanya semacam Opera Diponegoro dan Hutan Plastik merupakan sikap dia menghargai kemerdekaan dan nasionalisme? Berikut petikan perbincangan dengan dia belum lama ini.

Bangsa ini kian tidak merdeka. Terikat pada kekuatan asing dan tak memiliki kedaulatan sepenuhnya. Dalam perspektif kebudayaan, apakah masih mungkin kita menjadi bangsa yang merdeka dalam berbagai aspek?

Kalau saya melihat dari segi kebudayaan secara komprehensif, kita justru tidak terlalu terjajah. Saya mengatakan ini karena sudah berjalan dari ujung Papua hingga ujung Aceh. Itu mungkin yang masuk dalam wilayah perkotaan. Intinya, kalau dalam pengertian kebudayaan dalam arti luas kita tidak terjajah. Nyatanya kita masih multikultural. Dan basis semacam itu di Indonesia masih kuat. Ini analog dengan sebuah ekosistem. Di dalam dunia enviroment semakin kompleks, semakin ada diversitas jenis tanaman, ekosistemnya semakin kuat. Kerena selalu ada input, enteraksi, dan kritik. Makanya, ekosistem hutan tropis yang terdiri atas ribuan spesies akan membuatnya semakin kuat. Meskipun dibakar, dia akan menyembuhkan dirinya sendiri. Semakin banyak pemikiran, semakin banyak suku semakin suistainable dalam sistem kebudayaan. Makanya semakin kita mencoba menyatu-nyatukan, menyeragam-kan, ia akan rontok dengan sendirinya sampai kapan pun.

Bagaimana dengan nasionalisme, apakah masih melekat di setiap individu sebagai makhluk berbangsa dan bernegara?

Kebudayaan itu ujungnya peradaban. Nasionalisme hanyalah salah satu bagian saja dari sebuah pencapaian. Seperti dulu berkembangnya Solo karena ada ekonomi global, karena masuknya Belanda dan pedagang-pedagang China, yang membawa sebuah sistem ekonomi global yang sudah lama. Itu membikin Solo transform dari Kerajaan Mataram menjadi sebuah kota. Jadi, nasionalisme akan melekat dengan sendirinya jika peradaban kebudayaan juga terjaga.

Apakah saat menggarap Opera Diponegoro, Anda sedang memberikan nasihat pada bangsa ini agar "berwawasan kebangsaan" sebagaimana Diponegoro?

Sebenarnya pesan yang paling penting adalah antikolonialnya. Kolonialisme itu tidak harus dari orang asing. Antarkita sendiri juga bisa. Pada waktu itu Diponegoro sedang melakukan antikolonialisme itu. Pada zaman itu Indonesia kan belum ada, tapi kolonilisme ada. Kolonialisme yang datangnya bukan hanya dari Belanda, tapi juga yang diciptakan kerajaan sendiri. Nah, karena Diponegoro pendidikannya tidak sepenuhnya oleh keraton tapi juga banyak oleh neneknya, membuat dia dekat dengan rakyat. Salah satu rekaman Babad Diponegoro versi Keraton Solo menyebutkan, Diponegoro adalah orang pertama yang menyadari ada penjajahan, karena intuisinya tajam, ketika ada pematokan tanah. Rakyat pun kemudian mendatangi dia. Kepada rakyat Diponegoro bilang, "Loh yang matoki tanah itu kan preman-preman dan jawara-jawara yang bekerja untuk Belanda. Itu kan tanah kamu, hak kamu, jadi lawan dong. Nanti kalau tentara Belanda datang, saya akan diplomasi."

Di sinilah empowering the society sudah dimunculkan. Jadi, Diponegoro tidak sendiri, dia menyadarkan ini lo ada kolonialisme dan yang bisa melawan ya masyarakat. Jadi, inti perjuangan Diponegoro adalah penyadaran pada hak-hak masyarakat, dan otorisasi harus ada di masyarakat. Itu lebih dasar dari sekadar melawan Belanda, karena dengan demikian rakyat sadar hak dan lebih berani mempertahankan dan merebut kembali hak.

Rentetan karya Anda, termasuk Hutan Plastik, Passage Trough the Gong, Nobody's Body, boleh jadi merupakan pembacaan ulang Anda terhadap kemerdekaan dan nasionalisme. Apakah memang sulit menumbuhkan rasa merdeka dan semangat kebangsaan lewat jalur pendidikan sehingga Anda menggunakan kesenian untuk menumbuhkan hal itu?

Ya, itu karena saya orang yang hidup di dunia kesenian. Tapi kita harus berhati-hati ketika bicara mengenai kebangsaan. Jangan-jangan kita sedang memperjuangkan kebangsaan Jawa. Malah justru sering mendadak kita terjebak, karena tidak sedang memperjuangkan Indonesia, melainkan memperjuangkan kesektarianannya. Inti sebenarnya memperjuangkan kemerdekaan itu basisnya adalah memperjuangkan manusia untuk berpikir merdeka. Dan Diponegoro telah melakukan itu, dengan memerdekakan manusianya. Memerdekakan dalam arti yang lebih luas, yaitu memerdekakan dari penjajahan mitos. Itulah yang membuat Diponegoro sebenarnya menjadi pahlawan budaya dalam tanda petik, bukan hanya pahlawan perang. Dalam sebuah pupuh versi Diponegoro dikisahkan, pada sebuah sore ketika Diponegoro kalah perang, dia sedang duduk di pendapa. Saat menyandarkan diri pada sebuah saka guru, tahu-tahu ada tiga perempuan datang. Para perempuan itu duduk di depan dirinya tanpa menyentuh lantai pendapa, dan mengenalkan diri sebagai Ratu Laut Kidul.

Setelah itu Ratu Kidul berkata, "Pangeran jangan khawatir, nanti saya akan membantu pangeran dengan para prajurit saya. Tapi saya meminta sebuah syarat kepada pangeran. Yaitu mintalah kepada Allah agar saya dijadikan manusia lagi," demikian bunyi dialognya.

Diponegoro menjawab,"Matur nuwun saya mau dibantu. Tetapi saya itu mengikrarkan perang sabil, dan saya tidak boleh meminta bantuan kepada siapa pun kecuali kepada Allah. Dan yang kedua, permintaan Anda itu di luar wewenang saya, karena Allah tidak memberi perantara untuk hal-hal seperti itu.". Setelah itu, dikisahkah Ratu Kidul lenyap. Intinya apa? Intinya sebagai manusia tidak boleh dijajah oleh mitos-mitos yang sebenarnya juga penjajahan, karena dimanipulasi oleh orang sendiri.

Ini sekaligus pelajaran bahwa manusia itu kan dijadikan Allah sebagai makhluk merdeka, maka jangan mencari pertolongan selain kepada Allah. Mitos bisa diakui tapi tempatkanlah ia dalam porsinya.

Sejauh mana efektivitas mendidik bangsa ini lewat kesenian?

Sangat efektif. Selama sesenian jangan hanya diartikan sebagai tari, karena di balik tari itu ada kode-kode budaya, dan perjalanan panjang. Sebagimana kita melihat Diponegoro, di baliknya ada sastra, naskah yang dia tulis sendiri hampir 1.000 halaman. Dan di balik naskah itu ada wawasan keagamaan, wawasan politik.

Cuma persoalannya, bagaimana hal-hal ini masuk di sistem edukasi kita. Pernah Dr Peter Carey, seorang pengajar Ilmu Sosial Politik dari Universitas Trinity, bilang pada saya, "Hampir 20 tahun saya observasi tentang kebudayaan Indonesia, terutama fokus pada kebudayaan Jawa, terutama lagi fokus tentang Diponegoro. Tapi saya heran tidak ada kajian tentang politik Diponegoro, sistem perangnya, tranformasi nilai dan lainnya, mengapa itu tidak menjadi kajian ilmu?"

Apa saran budaya Anda agar bangsa ini bangkit dari keterpurukan?

Kita harus mempunyai kesadaran bahwa apa yang kita lakukan adalah pemuliaan harga diri manusia. Siapa pun dia. Apakah dia pemulung, tukang obat, atau pekerja lain. Kita harus pandai-pandai belajar, agar tidak selalu sembunyi di balik kehebatan masa lampau, yang seolah-olah kita mewarisi juga kehebatannya. Ada memang Borobudur, keraton dan lainnya, tapi dulu orang membangun dengan mencangkul, la sekarang kita tidak mau lagi mencangkul. Kita hanya menikmati statusnya saja, dan dilenakan oleh masa lalu. Kita harus memiliki critical mind.

O ya, lagu kebangsaan "Indonesia Raya" diributkan. Apa komentar Anda?

Itu kerjaan orang-orang yang kurang kerjaan. Serahkan saja masalah itu kepada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) atau lembaga keilmuan lain, sehingga hasilnya bisa dipertanggungjawabkan. Ini terjadi kerena kita tidak mempunyai critical mind. Seolah-olah yang dilontarkan langsung menjadi kenyataan. Ya seperti mitos tadi, selain senang kepada isu, bangsa ini sering hidup di dalam mitos. Itu menguras energi yang yang sebenarnya tidak perlu kita keluarkan.

(Benny Benke/35)

Tidak ada komentar: