Selasa, 05 Februari 2008

Suara Pembaruan Daily

SUARA PEMBARUAN DAILY
Gerimis Kenangan dari Sahabat Terlupakan

"Datang ya, ke galeri Taufik Rahzen. Kita mau putar film memikat soal hubungan Rusia-Indonesia," kata Romo Mudji Soetrisno di Galeri Nasional Jakarta beberapa waktu lalu. Undangan serupa muncul dari Benni Benke, jurnalis Suara Merdeka yang tekun menulis isu-isu budaya. Dengan info yang lebih lengkap. Soal pandangan orang Rusia tentang Indonesia di zaman Bung Karno, agama Batak Kuno, dan tentu saja soal sastrawan besar Indonesia, Utuy Tatang Sontani. Singkat kata, Benny mau mengatakan, Indonesia di masa lalu adalah sesuatu yang sangat akrab dengan rakyat Rusia yang dulu termasuk dalam negara Uni Soviet. Dan, film yang disebut-sebut Mudji dan Benny ternyata memikat. Di sebuah galeri sempit di Jalan Veteran I Jakarta Pusat belum lama ini, film itu diputar untuk kalangan terbatas. Lokasi pengambilan film hanya di dua kota, Moskwa dan St Petersburg. Penonton film dokumenter itu bisa jadi tergetar mendengar sopir taksi di Moskwa dan seorang penjaga toko buku yang menyanyikan lagu Rayuan Pulau Kelapa dalam bahasa Rusia. Belum lagi pengakuan sejumlah tokoh tua Rusia yang berbicara soal Bung Karno. Ah, Bung Karno. Bung Karno yang membuat lebih dari 100 ribu penduduk Uni Soviet pada tahun 1950-an dengan seksama mendengarkan pidato si Bung yang bergelora. Di dalam film itu tidak disebutkan dengan bahasa apa Bung Karno berpidato. Tapi, mari dengar keterangan seorang tua yang mengatakan, "Bibi saya yang sudah tua sama sekali tidak mengerti bahasa Indonesia. Tapi dia mengaku sangat mengagumi pidato Bung Karno yang bergelora." Begitulah, film yang diputar Romo Mudji dan kawan-kawan memang berkisah tentang relasi dua negara. Bukan antara Rusia dan Indonesia. Antara Uni Soviet dan Indonesia sebelum Gorbachev mencanangkan glasnost dan perestroika, dan sebelum Soeharto membatasi hubungan antara Indonesia dan Uni Soviet.
Tidak Hilang

Judul filmnya memikat, Gerimis Kenangan dari Sahabat Terlupakan. Film itu merupakan oleh-oleh perjalanan Romo Mudji, dua jurnalis, Seno Joko Suyono dan Benny Benke. Mudji dan Taufik bertindak sebagai produser, Seno sebagai sutradara, serta Benny sebagai koordinator liputan. Dua kata yang dijadikan judul film itu, Sahabat Terlupakan, memang menggambarkan isi film itu. Semua narasumber film itu berbicara layaknya seorang sahabat bagi Indonesia. Rasa cinta mereka kepada Indonesia terasa kuat, terhadap budaya daerah di Indonesia, Batak dan Jawa Kuno, dan kekaguman terhadap Bung Karno serta perjuangan rakyat Indonesia mengusir kekuatan kolonialisme. Juga ada kisah beberapa tokoh Komunis Indonesia seperti Aidit, Semaun, dan Darsono. Tokoh besar Indonesia yang hingga kini belum banyak disebut dalam buku-buku sejarah di sekolah dan universitas, Tan Malaka, juga terungkap lewat film ini. Dari film itu terungkap betapa Indonesia tidak pernah hilang dari ingatan rakyat Rusia terutama mereka yang pernah bersentuhan langsung dengan tokoh-tokoh kita. Gerimis Kenangan berisi wawancara santai dengan Guru Besar Politik Indonesia, Universitas Moskwa, Tsyganov. Pria itu benar-benar Soekarnois. Bukan karena selalu menyematkan pin wajah Soekarno dalam jasnya, bukan pula karena disertasinya berkaitan dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan Soekarno. Ia mencintai Soekarno. Bahasa Indonesia Ada pula Yuri Sholmov yang menyebut Semaun sebagai guru bahasa Indonesianya. Lagu-lagu balada dengan iringan gitar mengantar penonton menyimak cinta Natalia Alieva kepada bahasa Indonesia. Ahli perbandingan bahasa yang juga mempelajari bahasa Vietnam, Melayu dan Tagalog itu dengan mantap mengatakan, bahasa Indonesia adalah bahasa paling ideal dan kaya yang pernah ia ketahui. Soal bahasa Indonesia juga menjadi topik wawancara tim pembuat film dengan sejarawan sastra Indonesia, Vilen Sikorsky. Ia banyak meneliti karya sastra dari zaman Melayu Rendah. Hasil penelitian Sikorsky membuatnya berselisih pendapat dengan HB Jassin dan pakar sastra Indonesia dari Belanda, A Teeuw yang selalu mengungkapkan peran penting Balai Pustaka dalam perkembangan sastra Indonesia. Menurut Sikorsky, sastra Indonesia berkembang juga di majalah dan surat kabar di Indonesia sebelum era Balai Pustaka. Ia yang pernah menyimpan novel-novel karya Utuy Tatang Sontani mengaku telah menyerahkan novel sahabatnya itu ke sastrawan Ajip Rosidi. Ia mengaku heran mengapa Ajip hingga kini belum menerbitkan novel karya Utuy di Indonesia. Keterangan Sikorsky dibantah Ajip yang dihubungi di Desa Pabelan, Magelang. "Pustaka Jaya sudah menerbitkan naskah itu dan malah menerbitkan biografi. Sikorsky mungkin belum tahu," kata Ajip yang juga mengaku mengagumi karya Utuy berjudul Tambera. Begitulah, film dokumenter Romo Mudji dan kawan-kawannya itu seolah ingin mengingatkan betapa Indonesia sangat dikenal warga Rusia berusia lanjut. Tapi Indonesia kurang dikenal generasi muda Rusia.
Malu

Tapi bisa jadi ada rasa malu menyimak keterangan pakar sastra Jawa Kuno di Universitas St Petesburg, Aleksander Ogobin dan muridnya, Aleksandra Kasatkina. Oglobin bukan hanya mengajarkan cara membaca dan menulis sastra Jawa Kuno. Ia juga rajin mengajak muridnya mendiskusikan naskah Pararaton, Sutasoma dan Negara Kretagama. Ketertarikan Kasatkina kepada Kakawin Kunjarakarna mendorongnya pada kesimpulan, orang Jawa masa lalu sudah punya agama yang menarik jauh sebelum agama Hindu masuk ke Jawa. "Saya akan datang langsung ke Jawa. Saya mau belajar kejawen atau mungkin agama Jawa," katanya. Masih ada yang menarik dari film dokumenter dengan durasi hampir dua jam itu. Di antaranya pernyataan peneliti dan salah satu pimpinan Museum Kunst Kemera, St Petersberg. Perempuan yang bisa membaca naskah Batak Kuno itu mengungkapkan kekagumannya pada budaya Batak Kuno. "Tapi saya sedih mendengar kabar betapa tidak banyak kajian mengenai Batak Kuno di Indonesia dan tidak banyak orang Batak yang bisa membaca naskah Batak Kuno," keluhnya. [Pembaruan/Aa Sudirman]

Tidak ada komentar: