Selasa, 05 Februari 2008

"Kawin Kontrak",

Jumat, 11 Januari 2008 BUDAYA

"Kawin Kontrak", Komedi Gagal
Oleh Benny Benke

NIAT baik seringkali tidak berbanding lurus dengan kenyataan di lapangan. Hal inilah yang terjadi dalam film drama komedi Kawin Kontrak. Maksud hati menyuguhkan sebuah tontonan komedi segar, film produksi MVP Pictures yang berangkat dari skenario dan disutradarai Ody C Harahap itu malah terjerumus dalam kategori film yang gagal dalam segala hal.

Dengan kualitas cerita yang buruk, keaktoran yang tidak jauh berbeda dari kualitas akting pemain sinetron, sinematografi seadanya, editing serabutan, dan penyutradaraan ala kadarnya membuat film yang mulai edar 9 Januari ini bahkan dapat digolongkan terlalu menghina logika berpikir paling standar.

Ody sebagai sutradara yang sebenarnya telah berpengalaman membesut film Bangsal 13, Alexandria, dan Selamanya... seolah menjelma menjadi sosok gagap yang baru kali pertama menyutradarai sebuah film layar lebar.

Hasilnya, alih-alih kerja lumayan keras selama proses syuting lebih dari dua pekan di kawasan Puncak, Bogor untuk merepresentasikan iklim kawin kontrak yang marak terjadi di area itu, justru tidak terlihat dalam versi filmnya.

Apa yang membuat film yang sebenarnya mengangkat ide cerdas itu gagal menyuguhkan ide segarnya, meski grup band sekelas Naif telah dibeli beberapa judul lagunya untuk menjadi soundtrack film ini. Jawabnya, karena ketidakmampuan Odi dalam mematangkan skenario, sebelum akhirnya mengejewantahkannya kemampuannya sebagai sutradara untuk menghidupkan pengadeganan di dalamnya.

Tidak Mudah

Membuat orang tertawa, sebagaimana menjadi rahasia umum, tidak semudah membuat orang berpekik ngeri ketakutan dan kaget karena musik menghentak, sebagaimana rumusan film horor.

Membuat orang tertawa atau tersenyum simpul karena menyimak sebuah adegan, dibutuhkan sebuah rumusan cerdas yang bukan sembarangan. Dalam film yang diperkuat akting Lukman Sardi, Mieke Amalia, serta Unang Bagito ini, komedi yang segar apalagi cerdas itu, tidak terlihat.

Bahkan eksploitasi adegan yang menggiring penonton membayangkan sebuah adegan seks, berkecenderungan menjadi sebuah penggambaran yang jorok, murahan dan garing. Rama (Dimas Aditya), Dika (Herichan), dan Jody (Ricky Harun), tiga sekawan yang baru lulus dari bangku SMA, dan diplot sebagai tokoh utama pun tidak mampu mempertontonkan kemampuan keaktorannya dengan sepatutnya.

Konflik anak muda yang ingin merasakan nuansa kawin kontrak, untuk menghindari stigma agama dengan perzinaannya, tidak menyisakan pergolakan apa-apa, kecuali eksploitasi murahan kehidupan seks yang tidak pada tempatnya.

Keberadaan tokoh lainnya, yang dilakoni Wiwid, Masayu Anastasia dan Dinda Kanya Dewi yang dicitrakan sebagai perempuan desa yang tidak mampu berbuat apa-apa kecuali menerima nasib dikawin kontrak oleh orang kota dengan alasan ekonomi, tidak jauh berbeda.

Dengan kualitas film seperti inilah, jangan heran jika film Indonesia semakin dijauhi oleh penontonnya sendiri dan berimbas pada kerja insan film lainnya, yang telah bersungguh-sungguh menyajikan sebuah tontonan bermutu dengan segala daya upayanya. (45)

Tidak ada komentar: