Selasa, 05 Februari 2008

"GERIMIS KENANGAN DARI SAHABAT TERLUPAKAN" (GKST)

February 16, 2007
FILM DOKUMENTER INDONESIA
DIBALIK PRODUKSI FILM DOKUMENTER "GERIMIS KENANGAN DARI SAHABAT TERLUPAKAN" (GKST)

Film dokumenter GKST kami produksi selama satu bulan di Rusia pada akhir febuari hingga akhir maret tahun 2006.

Proses pengerjaan film memakai konsep low-budget film dengan pembiayaan pembuatan yang dilakukan secara swadaya. Kontribusi finansial terbesar diperoleh dari Prof. Mudji Sutrisno dan Taufik Rahzen. Itu sebabnya dalam film ini mereka berhak dicatat sebagai Produser Eksekutif. Selama sepuluh hari mereka berdua turut menyaksikan proses pengambilan gambar dan wawancara di dua kota Rusia: Moscow dan St. Petersburg.

Produser film adalah Henny Saptatia Sujai. Pre-produksi, termasuk didalamnya perencanaan: pemilihan dan eksplorasi tokoh, penentuan setting tempat dan waktu dilakukan oleh produser. Mengingat sempitnya waktu dan penghematan beaya, maka post-produksi terpaksa dilakukan di Jakarta. Editing dilakukan oleh dua freelance editors , didampingi sutradara dan asistennya.
Sutradara dan asisten sutradara adalah dua wartawan dari Jakarta, masing-masing Seno Joko Suyono (Tempo) dan Benny Benke (Suara Merdeka). Keawaman mereka dalam proses produksi visual, seperti: sinkronisasi dan kontinuitas gambar, untunglah tak terlalu tampak. Berkat pengalaman mereka sebagai wartawan cetak, perhatian penonton teralihkan pada pilihan isi kutipan wawancara setiap nara sumber yang pada setiap sekuennya secara tepat diberi aksentuasi ilustrasi.
Karenanya, bahkan dari kaca mata produser, dengan rendah hati disampaikan, bahwa secara keseluruhan kekuatan film dokumenter GKST memang bukan terletak pada sisi sinematografinya.
Meskipun demikian, kamera operator Agung Giardha, mahasiswa S1 jurusan jurnalistik Universitas Persahabatan Bangsa-Bangsa Moskow, selama satu bulan telah menunjukan dedikasinya menjadi kunci proses pengumpulan material dengan merekam sebanyak 25 kaset mini DV, yang tiap kasetnya berdurasi 90 menit.
Film dokumenter GKST terwujud berkat dukungan banyak pihak. Ucapan terimakasih tertuju bagi semua yang berperan dalam proses pembuatannya.
Posted by Henny Esde N Sujai on February 16, 2007 at 04:16 AM | Permalink | Comments (0)


FILM DOKUMENTER INDONESIA
Indonesianist Rusia Bertutur Dalam Film Pemenang Piala Citra 2006 “Gerimis Kenangan dari Sahabat Terlupakan”

Dewan juri Festival Film Indonesia (FFI) pada pengumuman pemenang piala Citra tanggal 21 Desember 2006 telah menganugrahkan ikon perfilman Indonesia itu untuk “Gerimis Kenangan dari Sahabat Terlupakan”(GKST) sebagai film terbaik kategori dokumenter.

Film dokumenter GKST telah mengabadikan penuturan 15 Indonesianist Rusia yang bermukim di Moskow dan St. Petersburg. Mereka ini hanyalah sebagian saja dari seluruh peneliti Rusia yang hingga saat ini masih menekuni kajian Indonesia.

Dengan gaya tuturan tanpa narasi, film ini sengaja diproduksi sebagai hadiah terindah yang patut dipersembahkan kepada para Indonesianist Rusia atas dedikasi dan kesetiaan mereka tetap menggeluti khasanah pengetahuan tentang Indonesia.

Film yang diproduksi selama satu bulan, sejak awal Februari hingga awal Maret 2006, di Rusia itu berdurasi sekitar 70 menit. GKST menampilkan orang-orang Rusia yang memiliki minat dan kenangan tentang Indonesia. Semua dengan latar belakang beragam, diantaranya: diplomat, wartawan, leksikograf, perwira militer, penerjemah presiden, linguist, etnograf, sejarawan, dosen, mahasiswa, bahkan supir taksi dan penjaga kedai buku.

Sebagai prolog, film dokumenter yang proses pengumpulan materialnya hanya melibatkan empat personil ini, menyajikan visualisasi nostalgia pertemanan Ludmila Nikolaevna Demidyuk dengan Utuy Tatang Sontani, sastrawan Indonesia yang dicekal kembali ke tanah air, dan akhirnya wafat di Rusia pada 17 September 1979. Mereka pernah sama-sama mengajar di jurusan Indonesia Institut Studi Asia Afrika, sebuah institusi dibawah Universitas Negeri Moskow Lomonosov.

Adegan-adegan di pemakaman ketika Ludmila Demidyuk tidak menemukan pusara sahabatnya (Utuy), sengaja ditonjolkan sebagai prolog, memberi aksentuasi natural dan dramatik di awal film. Spontanitas inilah yang menjadikan frase ‘Sahabat Terlupakan’ menjadi lebih bermakna.

Tuturan GKST dibagi dalam dua subtema. Pertama, “Ingatan Dingin Moskwa” berisi nostalgia para ilmuwan Moskow yang bertutur tentang tokoh-tokoh seperti Semaun, Alimin, Soekarno, bantuan militer kepada Indonesia dan keterlibatan Soviet di belakang operasi Trikora. Kedua, “Roh-roh Batak, Kunjarakarna dalam Beku St. Peterburg”, mengisahkan tentang kajian-kajian yang orang Indonesia sendiri bahkan tak lagi mempedulikannya: Bahasa Jawa kuno, agama Batak kuno atau tradisi persufian Melayu.

Banyak kisahan dalam film ini yang belum diketahui oleh masyarakat Indonesia kebanyakan, misalnya: kesaksian Yuri Sholmov, konsul jendral pertama Rusia yang ditempatkan di Surabaya. Mantan diplomat ini mengisahkan keterlibatan Uni Soviet dalam Operasi Trikora untuk pembebasan Irian Barat tahun 1962. Menurutnya Uni Soviet membuka tangan mengulurkan bantuan pada Indonesia, setelah Jendral A. H. Nasution yang gagal mencari bantuan ke negara-negara Barat, akhirnya datang ke Moskow, meminta dukungan Uni Soviet.

Bagi masyarakat Indonesia adalah hal yang sama sekali baru, ketika nama Alimin, Semaun, Muso dan Darsono yang selama ini hanya dikenal dalam konteks politik dan pertikaian ideologi jaman orde-lama, ternyata merupakan orang-orang yang punya andil penting dalam mengenalkan Indonesia pada masyarakat Uni Soviet.

Kenyataan ini kita peroleh dari kesaksian yang disampaikan Lev Dyomin, profesor ilmu jurnalistik mantan wartawan harian Pravda yang pernah bertugas di Indonesia dan Yuri Sholmov. Mereka berdua mengaku sebagai murid Semaun, secara aktif mengajar mereka percakapan dan praktek berbahasa Indonesia. Mereka menunjukan pada kita bahwa tokoh-tokoh yang selama ini berada di pojok lain dalam buku-buku sejarah Indonesia, seperti Muso dan Alimin, misalnya, di tahun-tahun awal Indonesia merdeka telah menyusun buku pelajaran bahasa Indonesia pertama, dengan tulisan tangan mereka sendiri.

Nostalgia masa lampau mengembalikan ingatan kita akan hubungan erat Indonesia-Rusia, terutama ketika profesor Alexei Drugov, mantan perwira yang pernah ditugaskan di Surabaya, memaparkan instruksi dari Moskow kepada prajurit dan perwira Rusia yang ditugaskan di Indonesia waktu itu. “Jika terjadi peperangan di Indonesia, para prajurit dan perwira Rusia harus ikut berperang seperti halnya mempertahankan perbatasan sendiri. Artinya berperang membela Indonesia”.

GKST mempersembahkan tuturan para Indonesianist Rusia dari berbagai aspek kajian dan beragam perspektif. Film ini menampilkan profesor Tsyganov sang Sukarnois, yang pernah begitu khawatir akan terjadi penangkapan pada Bung Hatta. Sigaev mantan penerjemah Soekarno membagi nostalgia tentang kunjungan presiden pertama Indonesia itu ke Rusia. Larissa Efimova menemukan bukti otentik baru tentang kritik tajam Stalin kepada Aidit dan Muso atas rencana revolusi yang direncanakan Partai Komunis Indonesia tahun 1948. Bukankah ini titik terang atas pertanyaan: siapa dibalik gerakan Muso tahun 1948 di Madiun?

Sementara Ludmila Pakhomova memaparkan analisanya tentang ekonomi Indonesia, profesor Natalia Alieva membuktikan dengan hitungan untuk sampai pada kesimpulan bahwa Bahasa Indonesia memiliki struktur hampir ideal. Losyagin sang leksikograf, hingga kini pun tetap menyiapkan kamus-kamus Indonesia-Rusia atau Rusia-Indonesia. Sedangkan Profesor Villen Sikorskiy, dengan analisanya, menawarkan agar sejarah kesusastraan Indonesia direvisi.

Dari St. Petersburg, Elena Revunenkova sang etnograf memukau kita dengan kajian Batak Kuno yang dikuasainya. Ia pulalah yang menunjukan pada kita kekayaan koleksi benda-benda pamer Indonesia di museum etnografi Rusia. Profesor Ogloblin dan kader muda Aleksandra Kasatkina memaparkan minat mereka terhadap kajian Jawa Kuno: kajian Kunjarakarna dan kitab-kitab kuno Jawa. Sejarawan muda Irina Katkova menggiring kita pada kekayaan naskah Nusantara yang tersimpan di institut kajian oriental, tempatnya bekerja.

Sebagai pengganti epilog, digambarkan situasi Rusia yang berubah menuju kapitalisme dan kesan para Indonesianist. Visualisasi lain di akhir film dengan ilustrasi puisi Rendra dalam perjalanannya dari Vladivostok menuju Moskow melalui Siberia, lantunan lagu “Rayuan Pulau Kelapa” yang dinyanyikan generasi tua dalam bahasa Rusia, melodi “Indonesia Raya” yang dimainkan kelompok obade di gerbang obyek wisata Rusia, semata-mata adalah pesan untuk menyuarakan harapan kembalinya hubungan akrab Indonesia-Rusia.

Film dokumenter “Gerimis Kenangan dari Sahabat Terlupakan” terwujud berkat kerjasama, dukungan dan kebaikan hati banyak pihak. Ucapan terimakasih tertuju kepada semua yang memberi andil dalam proses pembuatannya dan terutama kepada mereka yang tetap setia mencurahkan ruang batinnya untuk menggali kebudayaan Indonesia dari jauh, yang namanya pun terdengar asing bagi masyarakat awam Indonesia: Ibu Lyudmila Demidyuk, Ibu Elena Revunenkova, Ibu Natalia Alivea, Ibu Larissa Efimova, Ibu Lyudmila Pakhomova, Sdri. Irina Katkova, Sdri. Aleksandra Kasatkina, Bapak Yury Sholmov, Bapak Lev Dyomin, Bapak Aleksander Ogloblin, Bapak Vladimir Losyagin, Bapak Vladilen Sigaev, Bapak Vladilen Tsyganov, Bapak Aleksei Drugov, Bapak Vilen Sikorskiy, Nusantara Society (Moscow), Kabinet Nusantara (St. Petersburg), Museum Etnografi Negeri Rusia Kunstkamera / Museum Peter I, Museum Hermitage dan kurator seni Asia Tenggara: Ibu Olga Despande.

*Penulis (Henny Saptatia Sujai) adalah produser film “Gerimis Kenangan dari Sahabat Terlupakan”, PhD reseacher pada fakultas jurnalistik, Universitas Negeri St. Petersburg.

Posted by Henny Esde N Sujai on February 16, 2007 at 03:25 AM | Permalink | Comments (0)

January 22, 2007
ROMO MUDJI SUTRISNO: KENANGAN BERSAMA DALAM PRODUKSI "GERIMIS KENANGAN DARI SAHABAT TERLUPAKAN"
Romo Mudji Sutrisno. Gelar akademisnya: Professor. Sebagaimana seharusnya seorang professor, Romo menulis banyak buku. Beberapa judul dihadiahkannya langsung pada saya. Tentu disertai pesan dan tanda-tangan beliau. Di akhir tulisan ini saya sengaja menyertakan sedikit dari judul-judul buku Romo yang telah terbit. Mudah-mudahan berguna.

"Romo" adalah gelar religius. Gelar religius ini lebih populer dan akrab di telinga kita. Itu sebabnya hampir semua orang merasa sungkan menyapa beliau hanya dengan sebutan: "Pak Mudji", atau bahkan "Prof Mudji" sekalipun. Mungkin bagi Romo sendiri, soal sapaan bukan masalah besar. Hanya saja, kita akan merasa bahwa menggunakan sapaan "Romo", kok memang terdengar lebih santun.

Biografi Romo Mudji Sutrisno bisa ditemukan dimana-mana, juga di website internet. Biasanya tertulis bahwa nama lengkap Romo adalah: FX Mudji Sutrisno, SJ. Romo lahir di Surakarta, 12 Agustus 1954 dan beragama Katolik. Pekerjaan resminya adalah dosen STF Driyakara dan dosen Pasca Sarjana UI. Tentang pendidikan formal, hampir selalu ditulis bahwa Romo adalah lulusan Seminari Mertoyudan - Magelang, lulusan STF Driyakara - Jakarta (1977), lulusan Gregoriana University - Roma dan lulusan Ichigaya Sophia University - Tokyo.

Romo orang yang sabar dan senang memberi teladan. Senang kebersihan. Bangun tidur selalu paling pagi. Mandi juga paling awal. Romo tak enggan memasak untuk sarapan kami bersama. Sering Romo mencuci piring dan gelas kotor, bahkan bukan hanya yang telah dipakainya saja.

Begitulah kesan yang saya tangkap setelah mengamati keseharian Romo Mudji selama kami (ber-enam) berkumpul dan tinggal bersama di apartemen sewaan, baik di Moscow maupun di St. petersburg. Ketika itu kami sedang mempersiapkan produksi film dokumenter "Gerimis Kenangan dari Sahabat Terlupakan" tahun 2006.

Setiap hari bersama, sejak pagi hingga pagi lagi, membuat saya berkesempatan mengamati hal-hal kecil tentang keseharian Romo. Pengalaman kecil ini ingin saya bagikan disini, sebab saya percaya, justru dari hal-hal kecil dan sepele, seorang bijak bisa mencernanya dengan dalam, lalu mengembangkannya menjadi sebuah ide besar.


...... (Bersambung)


(Mohon sedikit bersabar untuk menunggu cerita lebih lengkap... Untuk sementara nikmati saja dulu album foto berjudul: ROMO MUDJI DALAM BERMACAM POSE)


Sebagian dari karya-karya Romo Mudji Sutrisno: Nuansa-Nusansa Peradaban (January 1993), Langkah-Langkah Peradaban (January 1994), Getar-Gatar Peradaban (January 1994),Pendidikan Pemerdekaan (January 1995), Filsafat, Sastra dan Budaya (January 1995), Sari-Sari Pencerahan (January 1997), Driyarkara: Dialog-dialog panjang bersama penulis (January 2000), Hermeneutika Pascakolonial: Soal Identitas (January 2004), Ide-ide Pencerahan (January 2004), Driyarkara: Filsuf yang mengubah Indonesia (January 2006), dll.

Posted by Henny Esde N Sujai on January 22, 2007 at 02:45 AM | Permalink | Comments (1)

Tidak ada komentar: