Selasa, 05 Februari 2008

"Anak-anak Borobudur"

Suara Merdeka
Rabu, 04 Juli 2007
Preview "Anak-anak Borobudur"
Oleh Benny Benke


KEBENARAN dan kejujuran sangat mungkin menjadi hal yang tidak mudah bagi yang mengatakannya. Jika telah terucapkan, bisa menyakiti siapa saja yang mendengarnya, termasuk yang mengucapkannya. Begitulah film anak-anak berjudul "Anak-anak Borobudur". Memasang tag line: "Salahkah Kita, Kala Berkata Jujur?", film itu mengangkat tema kebenaran dan kejujuran sebagai bahan dasarnya.

Lewat keberanian untuk mengungkapkan kebenaran dan kejujuran itulah, Arswendo Atmowiloto sebagai penulis skenario dan sutradara mengantarkan sebuah dongeng yang berlatar kehidupan anak-anak di sebuah desa di Muntilan, Magelang.

Mengandalkan kekayaan pemandangan alam persawahan dengan latar Candi Borobudur yang menjulang megah, film yang membutuhkan proses pembuatan nyaris dua tahun itu menjadi sebuah oase dalam khazanah perfilman nasional.

Hal ini diakui Wendo yang memang sejak awal membiayai film yang menelan anggaran sebesar Rp 4 miliar dari kantong pribadinya. Di tengah maraknya tren industri film nasional yang nyaris tidak menghasilkan film anak-anak yang cerdas, katanya, dia berkeinginan menghasilkan sebuah karya yang bernas.

Hasilnya, film yang melibatkan Christine Hakim, Djenar Maesa Ayu, Nungki Kusumastuti, Butet Kartaredjasa, Adi Kurdi, dan beberapa bintang cilik itu mengalir dengan penuh greget.

Sebagai seorang penulis cerita yang andal, Arswendo tidak hanya mampu menyajikan jalinan cerita yang penuh muatan edukasi. Meski mengemban permasalahan yang tidak ringan, semua tokohnya akhirnya mampu mengurai beban hidup lewat keberaniannya masing-masing. Tentu saja, dengan bekal kebenaran dan kejujuran tanpa harus meminggirkan logika bercerita apalagi mengejeknya.

Pemahat Patung

Film yang akan mulai edar 5 Juli tersebut memusat pada kehidupan tokoh Amat (Adadiri Tanpalang), seorang bocah SD yang mempunyai keahlian membuat patung. Bersama bapaknya yang bisu (Adi Kurdi), yang juga dikenal sebagai salah satu pematung andal di desanya, Amat menjalani hidup secara bersahaja.

Hingga pada sebuah masa terdapat sayembara membuat patung tingkat Jawa Tengah dan menempatkan Amat sebagai pemenang pertama. Kebanggaan tentu saja melingkupi semua warga Muntilan, Magelang, tak terkecuali Kepala Sekolah (Heru Kesawa Murti), Kepala Desa, Pak Camat, hingga Pak Bupati (Hasmi).

Alih-alih Amat yang disanjung-sanjung itu mau menerima sejumlah hadiah, penghargaan dan piala yang hendak diberikan bupati langsung, malah ditampiknya. "Saya tidak pantas menerima hadiah ini karena bapak saya yang menyempurnakan patung buatan saya," katanya dari atas panggung dan langsung mengembalikan piala kepada bupati.

Semua terhenyak, tak terkecuali kawan sepermainan Amat yang barusan mengelu-ngelukannya. Sejak itulah, kehidupan Amat yang sentosa berbalik 180 derajat karena keberaniannya melestarikan kebenaran dan kejujuran.

Bahkan kawan terdekatnya, seperti Siti (Acintyaswati Widianing) dan Yoan (Lani Regina), tidak dapat menerima kejujuran yang diucapkan Amat. Tidak juga Bu Guru Ayu (Alexandra T Gottardo) dan Mbak Mi (Djenar Maesa Ayu). Untung saja Doni (Butet Kartaredjasa), seorang pengamat seni, akhirnya memberikan ulasan panjang bahwa Amat memang pantas mendapatkan anegerah juara pertama.

Tulisan Doni yang dimuat di harian Suara Merdeka itulah yang akhirnya dibaca Gubernur Jawa Tengah, Suryani (Christine Hakim). Lewat tokoh Gubernur Suryani itulah, keberanian Amat mengemukakan kebenaran dan kejujuran akhirnya didudukkan pada tempatnya. (45)

Tidak ada komentar: