Selasa, 05 Februari 2008

Rosihan Anwar:

Wawancara

12-02-2007
Rosihan Anwar:
Pers Harus Membela Golongan Tertindas

Menurut Anda apa yang tengah terjadi dengan pers kita? Masihkah ia menjadi "ruang rapat umum". Apakah pers masih menjadi wadah kepentingan bersama?

Pers sekarang jauh berbeda dari pers 50 tahun lalu. Dulu ia bernama pers perjuangan. Tidak banyak staf, beroplah kecil, tapi melayani kepentingan rakyat. Ia juga menjadi alat mencapai kemerdekaan dan kedaulatan. Sekarang, dengan muncul liberalisasi ekonomi yang berorientasi pada ekonomi global, memaksa kita menyesuaikan diri untuk bertahan.

Akibatnya pers tidak melayani kepentingan umum. Surat kabar makin hari makin jelek. Ia dikuasai oleh beberapa kelompok yang kaya dan berhasil saja. Tidak ada lagi koran-koran kecil dan independen yang bisa hidup.

Meskipun begitu ada juga koran-koran yang tetap bertahan dan hidup di daerah karena dapat dukungan dari masyarakat sekitar seperti Pikiran Rakyat (Bandung) Suara Merdeka (Semarang), dan Waspada (Medan).

Apakah dengan demikian pers masih bisa menampilkan diri sebagai ruang publik bagi siapa pun?

Seorang pengusaha boleh saja menerbitkan banyak media di daerah dengan koran-koran daerah. Akan tetapi ketika saya tanya, apakah semua itu bisa menjadikan medianya sebagai ruang publik? Belum tentu. Apakah koran itu untuk melayani kepentingan publik?

Pendek kata tidak ada lagi koran yang benar-benar berjuang mengurangi kemiskinan, misalnya. Tak ada koran-koran melakukan riset dan investigasi untuk menemukan rumusan bagaimana supaya kemiskinan berkurang.

Pers kita kian bergerak ke infotainment. Bagaimana cara mengatasi persoalan semacam ini?

Tidak bisa diatasi. Hanya bisa diterima. Itu bagian dari konsekuensi dan ciri pembaca koran sekarang. Orang ingin infotainment, ya dikasih infotainment. Tapi di samping itu sebaiknya juga diberi hal-hal serius.

Selain itu para pengelola jangan hanya mabuk mencari iklan sebanyak-banyaknya dan melupakan isi yang bermanfaat bagi masyarakat. Pers harus mengedepankan hati nurani. Dengan begitu, ia tetap dapat kembali ke rel sejarah. Rel sejarah itu apa? Rel sejarah itu adalah pers yang bisa mengakhiri kezaliman dan penindasan. Pers harus bisa membela golongan yang tertindas oleh pembangunanisme.

Lalu mengapa untuk menjadi institusi yang menjaga nilai-nilai atau mendidik, pers terkesan tertatih-tatih?

Itu karena para pimpinan surat kabar kurang berimprovisasi. Mereka bingung mesti menyajikan apa. Sebaiknya para pekerja pers jangan hanya berpikir "asal koran laku".

Seharusnya mereka mengerti bagaimana membuat koran yang baik. Wartawan-wartawan harus dilatih dilatih menjadi pemberita yang benar. Jangan jadi wartawan yang cari enak saja. Pers kita jadi seperti ini akibat berbagai faktor yang sangat saling berkait. Semua memunyai dampak terhadap situasi pers sekarang. Menurut saya, sebagai orang yang 64 tahun bergelut di profesi ini, situasi pers sekarang tidak menggembirakan. Intinya wartawan kurang berempati kepada masyarakat. Kalaupun ada mereka tidak bisa berbuat apa-apa atau malah kena damprat redaksi.

Selama menjadi jurnalis, apakah Anda memimpikan sebuah pers yang ideal untuk sebuah negeri yang belum "mapan" seperti Indonesia?

Itu jelas. Intinya ada dua hal yang harus dilakukan untuk membuat pers ideal. Pertama, kita bikin koran sesuai dengan keinginan pembaca. Kedua, bukan berikan apa yang pembaca mau, tetapi berikan pembaca apa yang koran inginkan supaya mereka menjadi lebih tahu. Menurut saya yang terbaik ya yang kedua itu. Cuma, sekali lagi saya tidak melihat pemilik koran yang berpikiran seperti itu. Akan tetapi media juga akan menjadi baik jika ada yang selain memberikan apa yang pembaca inginkan, ia juga memberikan yang koran inginkan. Ini akan membuat pembaca menjadi terdidik kepada hal-hal yang serius. Dengan demikian koran mendekati fitrah untuk memenuhi fungsi sosial.

Bagaimana Anda menjalani hidup sebagai jurnalis yang berhadapan dengan berbagai "badai" kepentingan?

Dulu saya berusaha objektif. Kalau sekarang, sudah tidak ada lagi yang namanya badai kepentingan. Sekarang tulisan saya susah diterima oleh koran-koran. Mereka anggap tulisan saya sudah kuno. Jadi saya sekarang sudah tidak bisa memberikan pendapat apa-apa lagi. Saya pasrah dan nrima. Padahal tulisan saya mendidik, karena berisi kandungan sejarah, budaya, dan politik. Sayang , meskipun semua tulisan saya hadirkan dengan cara enak dibaca dan menarik perhatian, tetap saja ada sebagian orang yang berpendapat tulisan saya kuno.

Anda dikenal sebagai penulis "In Memorian" yang tangguh. Selain kekuatan memori, apa yang Anda munculkan kepada publik?

Ketangguhan muncul kerena saya menceritakannya secara pribadi, selain pada dasarnya saya suka sejarah. Yang jelas saya menulis dengan cara lain dan kebetulan banyak pengalaman. Menulis secara lugas dan menarik tentu juga menjadi kunci keberhasilan. Itu semua namanya personalize your story, ceritakan beritamu dengan cara personal atau pribadi. Kalau sudah begitu, ia tak akan jadi tulisan yang kering.

Anda juga kerap menulis "sejarah kecil' dalam berbagai kesempatan. Apakah itu merupakan counter attack terhadap sejarah resmi?

O bukan, bukan. Tak ada itu counter attack terhadap sejarah resmi. Kebetulan saya penggemar sejarah. Jadi, saya banyak menulis sejarah berdasarkan pengalaman yang saya kemukakan secara apa adanya. Sejarah kan butuh pengamatan. Sejarawan si polan bilang ini, sejarawan B bilang ini, sementara saya bilang ini.

Saya pikir itu tetap boleh-boleh aja. Meski konsekuensinya berbeda dari sejarah resmi. Sejarah resmi sendiri kan juga dapat berubah. Sejarah itu kan pengetahuan yang selalu berkembang. O ya, saya ini anggota masyarakat sejarawan Indonesia lo.

Saya beri contoh, misalnya Peristiwa Malari, 19 Januri 1974. Saya menulis dulu apa yang saya temukan. Misalnya ada pertentangan antara Jenderal Soemitro dengan Ali Moertopo. Jenderal Soemitro pernah curhat kepada saya, setelah rapat dengan Pak Harto, dia pernah ngajak berkelahi duel pistol Ali Moertopo, tapi Moertopo nggak mau. Itu nggak ada dalam sejarah resmi. Tapi itu kan namanya juga sejarah. Bagaimana menguji keautentikannya? Sulit. Keduanya kan sudah meninggal. Ya kepada saya saja ngujinya. Apa betul seperti itu? Menurut saya, betul. Karena Soemitro sendiri yang cerita kepada saya. Itu namanya sejarah-sejarah kecil.

Apa obsesi Anda terkini?

Saya ingin selama mungkin menulis untuk surat kabar dan majalah. Karena apa? Terus-terang keuangan saya payah. Saya ini wartawan yang tidak berpensiun. Tak ada deposito yang berarti. Jadi obsesi saya selama tidak pikun atau sehat, ya menulis untuk mendapatkan uang supaya Ibu Rosihan tak kesusahan. Wah, menyedihkan ya kalau saya ceritakan? Tapi memang begitulah keadaannya. Saya ceritakan semua ini bukan untuk maksud apa pun. Saya hanya ingin menulis untuk untuk bertahan hidup. Makanya kalau ada surat kabar yang masih mau memuat tulisan saya, saya akan berterima kasih. Jadi ini murni soal ekonomi. Ya, inilah saya yang mengalami pembridilan surat kabar selama dua kali pada masa Soekarno dan Soeharto.

Terus-terang saat "berjaya" saya tidak punya kesempatan membikin surat kabar atau perusahaan yang dapat memungut income atau keuntungan. Semua hancur karena percetakan disita dan sebagainya. Begitulah kelakuan pemerintah kita, elek.

Oposisi selalu diberangus. Surat kabar yang tidak mengalami pembreidelan ya bertahan hingga sekarang seperti Suara Merdeka. Saya tahu betul Suara Merdeka karena Hetami teman saya. Saya menyebut segala peristiwa yang menyangkut kehidupan saya ini sebagai tragedi pribadi.

(Benny Benke/35)

Tidak ada komentar: