Selasa, 05 Februari 2008

Suara Merdeka

Suara Merdeka
Minggu, 12 Februari 2006
BINCANG BINCANG:
Pramudya Ananta Toer

Tak Melawan Kepikunan


LELAKI tua itu tidur di sofa ketika kami datang berkunjung ke rumah megahnya di Jalan Warung Ulan, Bojonggede, Jawa Barat. Jika saja dia tidak pernah dipenjara oleh rezim Orde Baru, tak pernah menulis sastra-sastra agung semacam Perburuan, Bukan Pasar Malam, atau Jalan Raya Pos, Jalan Daendels, mungkin dia hanya akan menjadi kakek biasa. Kakek yang tinggal menikmati hidup pada masa-masa rapuh. Namun, lelaki itu bernama Pram. Senyum dalam tidurnya pun oleh Benny Benke, seorang teman, bisa dijadikan sebagai karya foto yang menarik. ''Tidur yang unik. Harus dipotret,'' kata dia. Menunggu Pram bangun, kami kemudian bercakap-cakap dengan Sisi, gadis manis, yang membantu novelis yang pernah memperoleh Hadiah Ramon Magsaysay dari Filipina ini bergelut dengan buku-buku dan perpustakaan. Tak lama kemudian Pram bangun.
''Sudah lama menanti? Mau wawancara apa? Saya sudah pikun.'' ''Pikun?'' saya bertanya kepada Sisi. ''Ya, Opa mulai pikun. Kadang-kadang menyuruh saya melakukan hal-hal yang sudah saya lakukan pada hari-hari sebelumnya.'' Kami tak menyerah. Namun, Pram tampak tak ingin jadi hero dan berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan saya dan Benny. ''Banyak kata-kata yang tak bisa dilontarkan kepada publik,'' kata Pram. ''Pers sudah berubah. Pers tidak lagi menjadi kaki-tangan pemerintah. Mengapa kata-kata Anda tak boleh dikutip terus?'' ''O, pers sekarang sudah jadi kaki dan tangannya sendiri ya?'' ''Ya, jadi, tak perlu takut...,'' kata saya. ''Tetapi...untuk saya yang pernah mengalami banyak peristiwa yang menyiksa, saya berpesan...beberapa kata-kata saya jangan diumumkan. Lagi pula saya sudah pikun,'' Pram mengelak untuk diwawancarai lebih dalam lagi. Ia seakan-akan tak mau melawan kepikunan. ''Saya itu sudah pikun. Sulit mengingat. Mengingat nama anak-anak saya saja sudah sulit. Ya, usia yang menyebabkan semua ini. Sudah banyak mengalami penindasan. Sudah pikun pula. Aneh-aneh saja pertanyaan Anda,'' katanya.
Pram juga mengaku tidak ingat tokoh-tokoh yang pernah ditulis. ''Mari kita mengingat tokoh-tokoh Anda. Masih ingat Minke? Masih ingat Nyai Ontosoroh? Anda katakan Minke itu terinspirasi oleh sepak terjang Tirto Adisoerjo. Lalu, siapa sesungguhnya Nyai Ontosoroh?'' tanya saya. ''Itu tokoh pembangun saja. Kan harus ada tokoh yang membangun.'' ''Kartini?'' ''Bukan. Itu hanya fantasi. Itu hanya tokoh untuk membangkitkan kaum wanita.'' Begitulah Pram -yang waktu itu tak ditemani sang istri atau anaknya (Astuti Ananta Toer- berusaha meleburkan diri ke ''alam lupa''. Namun, ketika Benny Benke bertanya tentang kemungkinan mewajibkan murud membaca karya-karyanya, dia lantang menjawab, ''Silakan saja. Saya toh bukan agen dari buku-buku saya.'' ''Buku Anda, Bumi Manusia dan Mangir akan difilmkan. Apa harapan Anda?'' tanya saya. ''Saya tidak punya harapan apa-apa.'' ''Anda juga menolak sutradata Oliver Stone untuk membuat film Bumi Manusia. Mengapa?'' cecar Benny. ''Saya tidak menolak. Ada masalah film right. Mereka hanya menawar 60.000 dolar. Saya tidak cocok pada penawaran itu. Saya sudah patok harga setengah juta dolar. Mereka belum berani. Ini bukan karena saya ingin kaya. Saya sudah kaya...ha ha ha.'' ''Saat Anda menjual karya begitu harga mahal, ada yang bilang Anda kapitalis. Apa komentar Anda?'' tanya Benny setengah tak percaya. ''Apa yang tidak dirampas dari saya? Kalau saya membuat harga sendiri, mengapa orang lantas berkata semacam itu? Apa yang saya alami pun mereka tak peduli,'' kata Pram seakan-akan menyimpah amarah yang tak kunjung hilang. Ya, tak kunjung hilang dan dia tetap tak berusaha melawan kepikunan. O, indah nian hidup tanpa keinginan jadi pahlawan. (TT)

Tidak ada komentar: