Selasa, 05 Februari 2008

Bisnis Indonesia

it’s about all word’s

GOD spell the words to make a world. Journalist use words to change the world everyday

Intelectual Benny

Posted by algooth putranto on May 3rd, 2007

Pencarian tak lelah Benny Benke
Gelaran Festival Film Indonesia (FFI) 2006 sudah lama lewat. Tapi masih banyak hal yang bisa dibicarakan. Salah satunya adalah pemenang untuk kategori dokumenter dalam perhelatan itu. Piala tersebut tanpa ragu-ragu dianugerahkan untuk film Gerimis Kenangan dari Sahabat Terlupakan.
Film dengan durasi 75 menit ini menarik karena membuka cakrawala bangsa ini perihal masih adanya orang-orang Rusia yang begitu setia memerhatikan dan mempelajari Indonesia meski terhalang tembok pembekuan hubungan diplomatik.

Makin unik karena film produksi Indonesia Council For Cultural Relation itu ternyata digarap oleh para wartawan, salah satunya Benny Benke. Dia adalah penggiat sastra, teater, dan mantan demonstran gerakan 1990-an yang kemudian menjadi jurnalis di Suara Merdeka.

Latar belakang pria kelahiran Tulungagung, Jatim, yang memiliki nama lengkap Raden Muhamad Bina Santosa ini sungguh berwarna, seunik nama belakangnya Benke yang diambil dari kata benke wae (biarkan saja). Sebuah reaksi keputusasaan para guru SMA menghadapi kebengalan muridnya itu.

Benny memang bengal. Untuk mendapat ijazah SMA, butuh tempo empat tahun di tiga sekolah berbeda yaitu SMA 10 Semarang, SMA Pecangaan Jepara dan SMA 6 Semarang.

Bakat ‘kreatif’nya makin terasah setelah masuk ke Fakultas Sastra Undip. “Memang, sewaktu kuliah, ketika kawan-kawan lain asyik ekstra kurikuler naik gunung lah, musik, pers kampus, aku malah ikut teater [FS Undip, Emka] dan kursus politik.”

Beberapa pendidik politik Benny adalah pendiri Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang oleh rezim saat itu disebut sebagai gerakan komunis baru yaitu Andi Arief, Budiman Sudjatmiko dan beberapa nama lain yang hilang untuk selamanya usai peristiwa keributan Mei 1998.

Sebagai aktivis Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) dan penggiat teater E, Benny cukup dekat dengan penyair Widji Thukul yang juga lenyap tak tentu rimbanya.

“Aku memang nyaris ilang, sebagaimana konsekuensi aktivis yaitu 4B: Buru, Buang, Bui dan Bunuh. Ya, karena dan nasib aja aku masih bisa cengengesan [tertawa-tawa] hingga sekarang,” kenang pria yang bersiap meluncrukan novel Mari Menari itu.

Salah satu kenangan aksi demonya yang tak akan dilupakan adalah tertangkap aparat karena akan meloncat ke dalam halaman Kedutaan Prancis tahun 1995. Saat itu, aktivis prodemokrasi sedang kencang meneriakkan tuntutan refendum untuk Timor Leste.

Selain bergelar Daftar Pencarian Orang dari aparat keamanan, Rektor Undip saat itu, Muladi, pun sudah siap untuk memecat Benny dari status mahasiswa.
“Kakakku juga nyaris tak bisa diterima kerja di kejaksaan, sementara bapakku [Alie Machfudz Mashurie] nyaris dipecat dari Itwilprop (Inspektorat Wilayah Provinsi),” kata dia lalu menyedot ice coffe-milk nya.
Memberi kuliah sastra

Setahun sejak Soeharto tumbang, Benny pun bergelar sarjana. Dia sempat menikah dan mencari nafkah menjadi Paralegal di Bali Advisory Services, Sanur, Bali, untuk jangka waktu yang pendek.

Namun dunia hukum bukan panggilan jiwanya. Benny pun kembali ke dunia tulis menulis. Sejak tahun 2001 hingga kini dia berstatus wartawan seni dan budaya di harian Suara Merdeka di biro Jakarta.

Profesi wartawan membuat langkah Benny sebagai seniman semakin lebar. Setahun kemudian dia menjuarai festival teater tingkat Jateng untuk setting dan artis terbaik lewat naskah teater ‘Arok’.
“Aku sengaja berkereta dari Jakarta ke Solo untuk menyutradarainya. Setelah selama beberapa lama menyutradarai dari jauh Jakarta-Semarang,” papar penulis puisi itu.

Tahun 2003 bersama sesama wartawan seni dan budaya yang tergabung dalam Konsorsium Wartawan Kebudayaan (KWK) dia turut meramaikan JakArt@2003. Dia juga sempat mereportoarkan puisi di Griya Seni Popo Iskandar, Bandung, dan Pasar Seni Ancol.

Lompatan hidup Benny terjadi saat dia meliput Kongres Bahasa Indonesia yang mempertemukannya dengan Ludmila Demidyuk. Maret 2004 menjadi saat mendebarkan ketika Institut Asia-Africa, Moscow State University, dan St. Petersburg University mengundang Benny untuk memberikan kuliah umum Sastra Modern Indonesia di Fakultas Ketimuran dan Asia Tenggara.

Benny juga diberikan kesempatan untuk membacakan sajak-sajak karya 10 penyair terkemuka Tanah Air di negeri eks pecahan Uni Soviet itu. Kesempatan itu juga mempertemukannya dengan Henny Saptatia Sujai, Mahasiswa PhD Rusia, jurusan sosiologi dan analisis media yang memberikan informasi tentang banyaknya Indonesianis dan beberapa nama sastrawan Indonesia di Negeri Beruang Merah itu.

Dua tahun berselang, Benny bersama Seno Joko Suyono, Romo Mudji Sutrisno dan Taufik Rahzen kembali melawat Moskwa, St Petersburg, dan lima kota kuno lainnya di negeri Rusia selama 28 hari.
“Dari wawancara yang membahas berbagai hal itu terkumpul 29 kaset yang masing-masing berdurasi 90 menit. Dari situ kita peras menjadi 70 menit. Bayangkan capeknya,” kata valuator kegiatan seni di Japan Foundation itu.

Lalu setelah menang FFI? “Aku ingin bikin kisah serupa berlatar di Hong Kong. Orang-orang Indonesia yang dibawa Belanda ke Hong Kong lalu menurunkan tokoh-tokoh penting di Hong Kong dan Taiwan,” jawabnya cepat.

*Dimuat Bisnis indonesia edisi 19 Februari 2007

This entry was posted on Thursday, May 3rd, 2007 at 9:02 am and is filed under profil. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.
Leave a Reply

Tidak ada komentar: