Selasa, 05 Februari 2008

Hanung Bramantyo:

Wawancara

12-11-2007
Hanung Bramantyo:
Film Bikin Manusia Jadi Pener

DI sebuah rumah sederhana di kawasan Tanjung Barat, Jakarta Selatan, Hanung Bramantyo, sutradara muda yang film terkininya, Get Married, menyedot penonton lebih dari 1,1 juta penonton, bercerita tentang banyak hal berkait perkembangan perfilman. Di Dapur Film Community itu pula, penerima puluhan penghargaan ini menuturkan hiruk-pikuk dunia film. Berikut petikan perbicangan itu.

Apa yang sebenarnya ingin Anda lakukan setiap membuat film baru?

Semua pilihan itu berdasarkan proses. Pertama, di Brownies saya hanya ingin membuktikan bisa membuat film layar lebar karena sebelumnya cuma dikenal sebagai sutradara sinetron. Kedua, saya ingin disebut sebagai sutradara layar lebar komersial. Bukan yang idealis karena saya dikenal sebagai murid Garin. Ada anggapan pakai Hanung sama saja pakai Garin. Filmnya pasti mbruwet. Saya tak mau dijauhi produser hanya karena pada saat itu saya mendapatkan beberapa penghargaan internaional, termasuk dari Cairo Film Festival.

Iklim di Indonesia itu lucu dan ironis. Sutradara yang mendapatkan piala malah dijauhi oleh produser. Bukan diberi kesempatan membuat film. Ini membuat saya bertekad membuat film komersial, ngepop, dan bukan art.

Pada saat gala premier saya berkenalan dengan banyak produser. Tujuan saya pun tercapai. Dari Brownies saya berusaha mengembangkan idealisme ketika berkenalan dengan Erwin Arnada dari Rexinema. Selanjutnya bersama penulis naskah Salman Aristo saya melahirkan Catatan Akhir Sekolah. Di film itu spiritnya sudah lain dan kebetulan Erwin memberikan peluang membebaskan saya bermain dengan idealisme.

Entah kenapa, mungkin timing kurang pas, film ini tak menyedot banyak penonton. Dari sini saya sadar, film bukan hanya penting pada saat penciptaan. Proses atau momentum kelahiran juga penting. Marketing, promosi dan sebagainya harus detail.

Selanjutnya muncul Jomblo dari Sinemart. Di film ini saya semakin sadar betapa susah mengembangkan idealisme. Akhirnya saya mencoba berkompromi dengan tantangan baru, yaitu bikin pure komedi. Sebenarnya, dari judulnya saja saya wis rak yakin. Judul kok Jomblo. Cemen, wagu dan lain sebagainya. Saat itu saya tidak mempunyai bergainning power apa pun. Jadi saya terima saja. Yang penting positive thinking dulu terhadap tawaran orang. Setelah itu saya baca naskah akhirnya saya menemukan bahasa yang memberikan peluang saya melakukan eksplorasi sosial yang mengarah pada komedi. Hal ini jarang ditemukan. Biasanya komedi dibangun oleh kekonyolan-kekonyolan aktor yang dibarengi dengan ekpresi-ekpresi yang memang dari lahir sudah lucu. Jomblo tidak termasuk karya semacam itu. Dari sini saya menemukan formula komedi yang bagus. Saya lalu dianggap sukses. Saya mulai diakui.

Setelah itu saya mulai eksplorasi semua tema dan membabi buta. Kemudian lahirlah Lentera Merah, Kamulah Satu-Satunya, Get Married, Legenda Sundel

Bolong, dan Ayat-Ayat Cinta.

Film Get Married dianggap mampu membebaskan diri dari belenggu film-film horor. Menurut Anda sendiri film itu Anda gunakan sebagai apa?

Setelah fenomena Kuntilanak yang jadi box office pada Ramadan tahun lalu, tiba-tiba seolah-olah Lebaran tahun ini film horor akan jadi tambang emas bagi para produser.

Alkisah, dihubungilah saya oleh Chand Parwez Servia dari Starvision untuk menggarap Get Married, Sunil Samtani dari Rapi Film (Legenda Sundel Bolong), Manoj Punjabi dari MD Entertainment (Ayat-Ayat Cinta). Dan ketiga-tiganya meminta diedarkan pada saat Lebaran. Ini kan hal yang menakutkan bagi saya. Akhirnya setelah melalui berbagai diskusi, Ayat-Ayat Cinta bisa dibelokkan bukan pada saat Lebaran.

Bayangkan, alangkah lucu jika pada saat Lebaran, tiga film saya berjejer di bioskop. Semula Sundel Bolong ingin saya mundurkan pada saat Lebaran, tetapi produser tidak setuju. Pada saat itu saya bilang, ''Pak Lebaran nanti

saingan Anda berat, yaitu film saya sendiri Get Married. Tapi produser ngotot. Nah, pada saat itulah saya berkata, ''Jika Lebaran yang laku film horor, saya berjanji akan berhenti membuat film Indonesia karena penonton kita sakit. Tapi kalau yang laku Get Married, maka tahun depan saya berhenti bikin film horor. Sikap saya ini saya lakukan untuk mendidik produser sekaligus membuktikan penonton itu tidak bodoh-bodoh amat. Penonton mempunyai hak memilih apa yang disukai. Dan saya adalah orang yang paling tidak percaya dengan anggapan bahwa penonton kita bodoh. Jadi, jelaslah saya menggunakan film juga sebagai media mendidik penonton.

Brownies membuat Anda memperoleh penghargaan sebagai Sutradara Terbaik FFI 2005. Tapi anehnya Anda tidak membuat film serupa itu lagi. Mengapa?

Brownies itu bukan film yang ''aku banget'' dalam artian ''aku'' sebagai orang Jawa yang minder dan nggak akrab dengan gaya hidup yang ada di film Brownies. Saya itu lahir dari golongan yang ada di film Get Married, Kamulah Satu-Satunya, dan Jomblo. Mungkin saya nggak mau belajar, tapi saya udah resistence dulu dengan segala sesuatu yang bersifat hedonistis. Itulah yang kayaknya membuat saya nggak bisa lagi membuat film seperti Brownies.

Apa cita-cita besar Anda terhadap perfilman Indonesia?

Ada tiga. Dua di antaranya membuat film. Pertama membuat film tentang Peristiwa 65, baik dari sisi politik dan human. Yang kedua membuat film Mahabarata. Kenapa Mahabarata karena Mahabarata adalah sebuah kisah tentang manusia yang dibedah menjadi dua, yaitu Pandawa dan Kurawa. Ini adalah kaca bagi kita semua karena kita semua akan menghadapi perang yang besar, yaitu perang menghadapi hawa nafsu antara yang baik dan yang buruk. Yang ketiga, jika itu semua sudah terlaksana, saya mau bikin sekolah.

Kenapa Anda ingin membangun sekolah film?

Karena nggak ada sekolah film di Indonesia kecuali Institut Kesenian Jakarta. Ada di ISI dan UI, tapi broadcast. Makanya diawali dengan workshop dulu saya ingin menanamkan bibit-bibit pengajar, silabus dan sistem sekolah film yang baik. Sebenarnya kurikulumnya sama. Membuat film itu dari ide, skenario, dan diolah menjadi film dengan mempelajari kamera, editing, penyutradaraan, sinematografi dan lain sebagainya. Cuma ada hal yang dilupakan oleh teman-teman, membuat film itu tidak sekadar bikin skenario, memasang kamera, mengedit gambar dan akhirnya jadilah sebuah film. Membuat film adalah membuat manusia. Buat saya, manusia itu harus dipenerke. Film bisa bikin manusia jadi pener.

Banyak kalangan berpendapat belum ada sutradara kuat di Indonesia hingga saat ini setelah ditinggal oleh Teguh Karya, Sjumandjaja, Wim Umboh, dan Arifin C Noer. Benarkah?

Mereka memang pernah kuat. Tapi kni zamannya sudah berbeda. Mereka kuat dari mana? Estetisnya, intensitas atau ceritanya? Sekarang bukan zaman berbicara tentang keadaan sosial. Tragedi sosial sudah banyak disajikan di televisi dan itu lebih nyata jika dibandingkan yang ada di film.

Itulah kenapa ketika televisi dulu dibungkan oleh Orde Baru dan tidak boleh menampilkan tragedi-tragedi sosial, Teguh Karya dan Wim mboh menampilkan hal semacam itu di film. Film-fil mereka, menjadi luar biasa.

La sekarang, saya pada saat membuat film seperti Sayekti dan Hanafi, di acara BUSER lebih ngeri. Ada kakek memerkosa cucunya!

Penonton film kini membutuhkan realitas lain untuk lepasa sejenak dari kepahitan hidup. Dan itu lewat apa? Ya, salah satunya datang ke gedung bioskop. Nah, kalau bioskop masih saja menonton tragedi sosial ya cenderung nggak ditonton.

Untuk itulah kenapa film-film bertema cinta dan horor dikemas secara massal. Jadi, kalau berbicara sutradara kuat, Riri (Riza) itu juga mempunyai misi dan visi yang kuat. Garin (Nugroho) itu eksplorasi artistinya juga kuat. Hanny (R Saputra) itu sentuhan dramatiknya juga kuat. Dan John de Rantau siapa bilang ia tak kuat. Saya kira Rudi Sudjarwo dari misi, visi, dan terapan sistem produksi yang tujuh hari-delapan hari juga kuat.

(Benny Benke/35)

Tidak ada komentar: