Selasa, 05 Februari 2008

SUMILAK ING PEDHUT MANDURA: Bush vs Saddam

Suara Merdeka, Selasa, 22 April 2003 Budaya

Bush di Tangan Ki Enthus

BUKAN Ki Enthus Susmono, jika tidak inovatif serta
pandai menimbulkan kesegaran dalam setiap pementasan
wayang kulitnya. Dengan mengusung lakon Sumilak Ing
Pedhut Manduro (Kongso Adu Jago) yang bernarasi
tentang intrik politik perebutan tahta di negeri
Manduro (Madura), dalang yang senantiasa menggunakan
native speaking Tegalan itu, lagi-lagi berhasil
memesona sekitar 3.000 audience yang memadati Museum
Keprajuritan TMII, Jakarta, Sabtu (19/4) malam lalu.

Betapa tidak? Di tengah serunya pertikaian antara para
lakon wayang yang ia dalangkan, tiba-tiba muncul sosok
wayang Presiden Amerika Serikat George W Bush
berbarengan dengan Presiden Irak Saddam Hussein.
Kehadiran dua tokoh wayang yang sedang menjadi
perhatian publik dunia itu saja menimbulkan kegemparan
sekaligus hiburan tersendiri, meski mereka nyaris
tidak melakukan dialog dan hanya melakukan
gerakan-gerakan perseteruan di depan kelir.

Konyolnya, Ki Enthus yang membaiat dirinya sendiri
dengan sebutan majenun itu, memainkan sabetan-sabetan
pada tokoh Bush dan Saddam dengan gerakan-gerakan yang
menerbitkan bahak berkepanjangan. Seperti pada saat
tokoh Saddam melakukan body language dengan melakukan
gerakan (maaf) mengentuti Bush, dan Bush pun hanya
mampu menutup hidungnya sembari berpekik @#4letter-word you ke
arah Saddam! Kegemparan yang sempat berlangsung
beberapa jenak itu, semakin menjadi manakala tokoh
wayang Inul menyusul hadir di hadapan penonton, yang
tentu saja dengan goyang khasnya: ngebor! Ser...ser...
serrr

"Kegemparan" tersebut berlanjut dengan banyak
munculnya ketidaklaziman-ketidaklaziman dalam tata
aturan baku perdalangan versi Ki Enthus, seperti
sanggit cerita, sanggit adegan, sanggit sabet, dan
sanggit catur (dialog), yang selama ini menjadi trade
mark-nya, dan malah menjadi sesuatu hal yang teramat
sangat ditunggu-tunggu oleh para die harder-nya.

Pada setiap adegan goro-goro, dalang nyentrik yang
selalu menyertakan berbagai piranti musik pendukung
gamelannya --seperti bas gitar, bas drum, seperangkat
drum lengkap dengan simbalnya, dan organ-- itu hampir
senantiasa menyuguhkan hiburan dari berbagai corak
musik. Mulai dari dangdut, reggae, rock, hip-hop,
klasik (asmorondono semarangan, sinom), dangdut
cirebonan, kasidah, sampai salsa pop pada lagu
"Asereje"-nya Lass Ketchup. Maka, tidak heran bila
hampir di setiap pergelaran wayang kulitnya ribuan
penonton menyemut menyesaki tempat pertunjukan.
Sepertinya, tak kalah dengan konser rock.

Namun bukan berarti ketika Ki Enthus
menjungkirbalikkan semua dramaturgi pewayangan, esensi
cerita, adegan, sabet, dan caturnya terabaikan. Karena
justru lewat kemampuan dan keterampilan dalam mengolah
empat unsur sanggit yang konvensional itu, ia hampir
pasti berhasil meyelipkan pesan-pesan terselubung
kepada penikmatnya.

Tak pelak, penonton pun tidak merasa lelah dan sudi
menyuntuki pertunjukan wayangnya selama hampir enam
jam dengan tanpa terasa jenuh, karena semua itu
terlewati dengan suka cita. Meskipun dalam beberapa
kasus, Ki Enthus juga menjelma menjadi dai, dengan
serentetan kotbah-kotbah yang sarat dengan petuah.

Intrik Politik

Lakon Sumilak Ing Pedhut Manduro (Kongso Adu Jago)
bertutur tentang seorang Kongso yang menuntut
kedudukannya sebagai putra mahkota Raja Basudewa,
pemegang tampuk kekuasaan tertinggi di kerajaan
Manduro. Kongso adalah salah seorang putra Basudewa
dari prameswari terkasihnya, Dewi Amirah. Ia mempunyai
bargaining position yang kuat kepada ayahandanya
Basudewa, meski sebenarnya ia adalah putra Guruwongso
yang menjelma Prabu Basudewa, yang kemudian menghamili
Dewi Amirah.

Atas provokasi paman Kongso, yaitu Suratimontro,
semakin menjadilah hasrat Kongso untuk bersegera
merebut tahta Basudewa, yang sebenarnya masih
mempunyai tiga orang putra yang lebih berhak sebagai
penerus dan pemegang tampuk kerajan Manduro, yaitu
Raden Kokrosono, Noroyono, dan Roro Ireng.

Dan sebagaimana kesepakatan bersama, untuk mendapatkan
tahta Manduro maka diadakanlah adu jago (adu manusia)
antara pihak Kongso yang diwakili oleh Suratimontro
dan pihak Kasepuhan oleh Raden Brotoseno.

Setelah melalui berbagai babak pertempuran, binasalah
Suratimontro. Mengetahui pamannya berkalang tanah,
maju kemukalah Kongso yang tersongsong Kokrosono
dengan tombak Nenggalanya.

Kemudian, sebagaimana kisah klasik pewayangan tentang
ajaran kebajikan; yang murka akan kuasa pasti binasa,
demikian juga yang terjadi pada Kongso. Ia terhempas
oleh tombak nenggala milik Kokrosono, sehingga
berkalang tanah dengan ambisi keserakahannya.

Dengan mengusung lakon itu, tampaknya Ki Enthus secara
implisit ingin mengingatkan kepada para perebut tahta
kekuasaan di mana pun untuk berhati-hati dengan ambisi
keserakahannya, sebelum ambisi itu membinasakan
dirinya sendiri. (Benny Benke-41)

Tidak ada komentar: