Senin, 11 Februari 2008

Boomerang

Selasa, 28 Desember 2004. BUDAYA

Boomerang Kembali ke Akar

JIKA Slank lewat album terbarunya, PLUR, mengklaim diri melakukan modernisasi terhadap konsep Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika, Boomerang pun tampaknya secara kebetulan melakukan proses yang sama, yakni memodernkan konsep Sumpah Pemuda. Tengoklah ketika band asal Surabaya yang terbentuk sejak 1994 ini merilis album terbarunya bertajuk Urbanoustic di News Cafe, Kuningan, Jakarta, belum lama ini. Memamerkan salah sebuah tembang anyar ''Generasi Baru'' yang berirama acoustic ballad, Roy Jeconiah (vokal), John Paul Ivan (gitar), Hubert Henry (bas), dan Farid Martin (drum) menohok dengan syair yang akrab di telinga para mahasiswa 1998-an atau era reformasi.

Simak syair berikut: Kami generasi baru Indonesia/Bertanah Air satu/Tanah Air tanpa Penindasan/Berbangsa Satu/Bangsa yang Gandrung Keadilan/Berbahasa Satu/Bahasa Kebenaran. ''Memang ketika pada 1998 sedang marak-maraknya demonstrasi, kami kerap mendengar sumpah mahasiswa. Setelah kamu pikir-pikir, kenapa nggak kami jadikan sebuah lagu,'' ujar Roy.

Semangat Baru

"Generasi Baru" adalah salah satu dari 14 tembang lainnya dari album yang mengusung sebuah semangat baru dalam bermusik ala Boomerang tersebut. ''Kami ingin kembali ke akar musik kami sesunguhnya. Yaitu dengan memainkan musik dengan nuansa acoustical folk, blues dan rock 'n roll,'' timpal John Paul Ivan mengomentari musikalitas grup musik yang telah merilis sembilan album, termasuk dua buah album the best ini. Dan hasilnya, tidak sebagaimana warna musik grup band yang kali pertama bernama Lost Angels yang cenderung mengutamakan suara distorsi gitar ini. Pada album anyarnya kali ini, suara berisik gitar sangat dikurangi.

''Efek distorsi pada permainan gitar yang biasanya meraung-raung, kali ini dikurangi. Dan dengan demikian menjadi lebih lembut dan melodis. Meski cenderung lebih bernuansa balada dan country, warna hard rock-nya tidak hilang sama sekali,'' imbuh John. Dengan kembali ke akar musik, Boomerang tampaknya tidak begitu kesulitan meninggikan angka penjualan album yang bernaung di bawah bendera Sony Music Indonesia ini. ''Perkembangan terakhir penjualannya menembus angka 60.000 keping,'' terang Yan dari Sony. Meski tidak menarget angka penjualan yang akan diraih, tampaknya Boomerang cukup puas dengan warna musik akarnya kali ini. (Benny Benke-81)

Hanson

Senin, 29 Nopember 2004. BUDAYA

Menikmati Rock n' Roll Gaya Trio Hanson

MASIH ingat single hits "MmmBopp..." yang sempat mendunia dan dipopulerkan oleh kelompok musik Hanson beberapa tahun lalu? Ya, setelah sempat menghentak industri musik dunia lewat album Midle of Nowhere, kemudian disusul album This Time Around, Hanson kembali berikhtiar memopulerkan album terbarunya Underneath. Tidak tanggung-tanggung, dalam upaya menduniakan album yang masih digarap tiga bersaudara Zac (drum), Isaac (gitar) dan Taylor (piano), mereka langsung menggeber tur keliling dunia. Salah satu tempat yang disinggahi adalah Score! Cilandak Town Square, Jakarta. Di tempat hiburan itu, Minggu (28/11) malam Hanson memamerkan kepiawaian mereka dalam bermusik.

Masih punya tajikah mereka di Jakarta? Ternyata masih. Hal ini paling tidak ditunjukkan dengan disesakinya arena pertunjukan oleh ratusan muda-mudi yang harus merogoh kocek untuk membayar tiket seharga Rp 175.000. "Ini memang konser yang kami usahakan dapat menjembatani rasa kangen para pencinta kami terhadap musik Hanson," kata Zac yang beberapa tahun lalu tampak imut-imut di belakang drumnya, namun kini terlihat lebih dewasa.
Dengan bermodal semangat, bakat, totalitas dan giat berlatih, trio Hanson pelan namun pasti mampu menandai jagad musik dunia dengan musik rock n' roll ala mereka. "Sebenarnya tidak ada batasan dalam bermusik. Kami memainkan segala jenis musik. Dan, tentu saja kami juga terpengaruh oleh banyak jenis musik. Namun, di atas itu semua, kami memainkan musik rock n' roll versi kami sendiri," terang Taylor dalam temu wartawan menjelang konser.

Di panggung yang sangat sederhana, trio Hanson yang menampik disamakan dengan The Jackson Five ini menunjukkan kemampuan teknis bermain musik yang tidak mengecewakan. Mereka tampil dengan alat musik akustik. Zac menabuh drum, Taylor memainkan pianonya serta Isaac dengan teknik vokal falsetto dan permainan gitarnya yang tak terlalu istimewa, mereka tetap mampu menghasut penonton untuk ikut bersenandung. Dengan sinergisitas yang kompak di antara ketiganya, Hanson pun sukses menghantar durasi pertunjukan lebih dari 60 menit. Simak saja Ketika tembang andalan "Underneath" dinyanyikan bareng penonton;

//Waking up this morning/ thinking this can be real/ but they say there is nothing love can heal/ why don't you come on down/ so you can feel what i feel...//.

Maka, tak syak lagi, sesumbar mereka untuk kembali mempopulerkan namanya di antara jajaran grup band mapan lain rasanya tidak terlampai sulit untuk diwujudkan.

Mental Baja

Beberapa nama tenar dalam blantika musik dunia seperti Avril Lavigne berkomentar positif perihal grup band yang beranggotan tiga pemuda usia di bawah 20 tahunan ini. "Hanson adalah band yang paling mempengaruhi musikalitas saya dalam mengkomposse lagu," kata Avril. Sedangkan Michelle Branc, di sela-sela wawancaranya dengan MTV berujar, "Saya adalah penggemar berat Hanson". Hanson yang juga berencana manggung di beberapa negara Asia seperti Jepang, Filipina dan Singapura ini ternyata mempunyai mental baja. Ketika Jakarta dan Indonesia yang oleh Amerika dicitrakan sebagai sarang teroris mereka malah datang ke sini. Mereka tidak bersikap penakut sebagaimana sejumlah artis Amerika yang membatalkan konsernya di Jakarta.

"Ah, kami datang atas nama musik. Dan tidak mempedulikan segala sesuatu di luar itu (musik), apalagi politik," tegas Taylor. Benar saja, atas nama musik pula Hanson melipur kerinduan para remaja pencintanya dengan tembang-tembang terkininya seperti "Penny and Me", "Lost Without Each Other", "Hey", "Funky" dan "Underneath", serta beberapa tembang andalan lainnya. (Benny Benke-63)

Achdiat K. Mihardja

Kamis, 23 Desember 2004. BUDAYA

Jejak Pemikiran Dua Sastrawan Besar

DI tengah ingar bingar kemunculan penulis muda Indonesia dengan karya yang segar dan inovatif, Achdiat Karta Mihardja tiba-tiba kembali menyeruak. Ya, siapa yang tidak mengenal nama Achdiat, salah satu sastrawan besar yang pernah dimiliki negeri ini. Balai Pustaka menerbitkan kembali roman karya Achdiat dan kumpulan puisi karya almarhum Marius Ramis Dajoh, yang lebih tenar dengan nama MR. Dajoh. Peluncuran dua karya sastra itu dilakukan di Galeri Cipta II, TIM, Jakarta, Selasa (21/12).

Achdiat yang kini berusia 94 tahun dan sejak 1960 bermukim dan menjadi warga negara Australia meluncurkan kembali roman lamannya yang berjudul Debu Cinta Bertebaran. Roman yang kali pertama diterbitkan tahun 1973 di Malaysia dan dialihbahasakan oleh Pam Allen dengan judul, The Scattered Dust of Love (diterbitkan di Australia tahun 2002) ini secara resmi bersama kumpulan puisi MR. Dajoh berjudul Bunga Bakti diterbitkan ulang oleh penerbit Balai Pustaka.
Peluncuran buku dihadiri oleh Achdiat yang tampak renta. Acara diisi bedah buku MR Dajoh oleh Remy Sylado dan bedah buku Achdiat oleh Ajip Rosidi, dengan pemandu penyair Taufik Ismail.

Menurut Remy Sylado, untuk menyelami dan memahami makna instrinsik dan eksentrik dari buku kumpulan puisi MR Dajoh dibutuhkan pendalaman bahasa yang digunakan penyairnya pada masanya, yaitu bahasa Melayu Minahasa. ''Selain itu, saya harus mundur 90 tahun ke belakang untuk menyelami setiap syair yang almarhum tuliskan yang dianggap modern pada waktu itu,'' katanya. Menurut Remy, kendala zaman dan miskinnya kosa kata (diksional) yang digunakan oleh penyair yang wafat pada 15 Mei 1975 ini mengakibatkannya enggan berkomentar terlalu banyak terhadap Bunga Bakti.

Sementara itu, Ajip Rosidi memandang Debu Cinta Bertebaran tak ubahnya sebuah roman gagasan yang jika dibaca rasanya seperti ketika kita membaca sebuah tajuk rencana di koran-koran. ''Berbeda dengan roman Atheis yang sangat luar biasa itu,'' kata Professor Gaidai University of Foreign Studies Jepang. Menurutnya, Achdiat memaksakan pemikirannya untuk diemban oleh tokoh-tokohnya sehingga roman ini lebih layak disebut roman ''kaleidoskop''.

Memang, Debu Cinta Bertebaran ditulis oleh pengarangnya ketika sudah menetap di Australia. Roman itu berkisah tentang tokoh perantauan Indonesia yang tinggal dan menetap di Australia. Namun, setelah menjadi orang setempat, ternyata tetap dipengaruhi oleh kondisi Indonesia pada era Demokrasi Terpimpin tahun 1960-an. Karena itu, tidak berlebihan jika secara faktual pada saat itu mempengaruhi proses penciptaannya. Achdiat secara resmi menjadi anggota PSI, partai yang pada tahun 1960 dilarang oleh Presiden Soekarno. (Benny Benke-63)

Laskar Cinta, Dewa

Selasa, 23 Nopember 2004. BUDAYA

"Laskar Cinta" Laskar Komputer

MENUTUP tahun 2004, grup band Dewa membuat sebuah tanda lewat album teranyar berbandrol Laskar Cinta. Berbeda 180 derajat dari album terakhir Cintailah Cinta (2002), album baru yang mengoleksi 12 tembang ini mengusung semangat baru dalam bermusik. "Dengan me-mix retro musik dan rock masa kini sebagaimana yang dilakukan Linkin Park, kami memformulasikan Laskar Cinta," terang Dhani Ahmad, motor Dewa, di Avenue, Hotel Sari Pan Pacific Jakarta, kemarin.

Didampingi punggawa Dewa lainnya seperti Once (vokal), Andra (gitar), Tyo Nugros (drum), dan Yuke (bas), Dhani menandaskan bahwa pencapaian bermusik Dewa lewat album ini adalah yang terbaik dibandingkan album-album mereka sebelumnya. "Permainan bermusik rock kami dalam album ini adalah yang paling tinggi," imbuhnya. Seberkualitas apakah musik Dewa sehingga mereka mempunyai keberanian mengklaim permainan bermusik rock mereka mumpuni dalam album yang disokong bendera Aquarius ini? "Computerized," kata Dhani.

Ya, dengan mengandalkan kecanggihan perangkat komputer yang banyak memberi kemudahan terhadap proses penciptaan sebuah tembang, Dewa memang berikhtiar menyajikan sesuatu yang anyar bagi para pendengarnya, "Namun, meskipun demikian lirik kami tidak ngepop-ngepop amat," imbuh suami Maia Ratu ini. "Bahkan kami memasukkan lirik-lirik idealis yang teramat sangat tidak komersial," imbuh Once yang turut menciptakan sebuah tembang.

Tak Main-main

Sebagai sebuah grup band yang terlahir dari sebuah musik terlebih dahulu baru kemudian liriknya mengikuti, "perjudian" Dewa dalam Laskar Cinta memang tidak main-main. Mereka yang biasanya memainkan beat-beat manis dan sedikit progresif serta sudah terlanjur akrab di telinga pendengarnya, melakukan perubahan warna musik memang bukan tanpa risiko.

"Kami telah bermusik selama 12 tahun meski terkadang (semangat bermusik) agak kendor, namun justru lewat album baru yang mengemban semangat baru dalam bermusik inilah kami menemukan spirit anyar bermain musik rock," terang Dhani. Meski tidak semua musik yang membalut lirik-lirik protes sosial dan dipadukan dengan nuansa cinta ala Dewa, diselimuti musik rock ala komputer. Mereka tetap berharap album yang peredarannya didukung secara penuh oleh "LA Lights 100% Musik" ini tetap mendapat tanggapan positif oleh kalayak ramai.

"Tema-tema dalam album ini memang 'dalam', namun demikian cukup 'menjual'," imbuhnya berpromosi. Sanggupkah musik rock rasa komputer ala Dewa yang berikhtiar menebarkan virus-virus cinta kepada anak-anak muda ini dapat diterima segala lapisan intelektual sebagaimana harapan Dewa? Beat-beat dalam tembang "Pangeran Cinta", "Cinta Gila", "Atas Nama Cinta" dan beberapa judul puitis lainnya akan menjawabnya. (Benny Benke-81)

NEPS

Selasa, 21 Desember 2004. BUDAYA

Grup Musik Itu Bernama Napas Evaluasi Potret Sosial


KELOMPOK musik (yang mengatasnamakan) rakyat memang telah banyak bermunculan di Tanah Air. Mereka umumnya menyandang nama unik, misalnya Sirkus Barrock pimpinan Sawung Jabo, serta Kampungan pimpinan Bram Mahekakum dan Leo Kristi. Sebuah grup baru yang juga mengaku sebagai kelompok musik rakyat belum lama ini dilahirkan. Grup yang mengusung aliran musik country ballad itu memakai nama Kelompok Musik Rakyat NEPS. Nama itu bukan berasal dari kata asing, tetapi kepanjangan dari Napas Evaluasi Potret Sosial.


Kelompok terbilang berani dan unik. Berani, karena di tengah ingar bingar aliran musik R & B, pop kreatif dan sweet rock yang easy listening (belakangan melibatkan musik techno) dengan mensinergikan lirik yang dekat dengan pendengarnya. Grup ini malah menyempal lewat aliran musik country ballad dengan rasa Iwan Fals, pada masa awal karier bermusiknya. Unik, karena semua personelnya satu keluarga, yakni Dama Gaok dan putra-putrinya.

Siapa Dama Gaok? Dia adalah pemain banjo yang sering menyertai Iwan Fals pada awal karier bermusiknya. Dama Gaok inilah yang sekarang beserta keempat putra-putrinya bersekutu menyuarakan protes-protes sosial lewat lirik dan irama yang di telinga memang terasa tidak jauh berbeda dengan musik dan lirik gaya Iwan Fals. ''Tangga nada memang hanya ada tujuh. Dan, di musik country, sebagaimana di musik keroncong dan blues, hampir semua nadanya nyaris (terdengar) sama. Jadi, ini risiko bermusik,'' elak Iwan Fals ketika mendampingi louncing album perdana NEPS berjudul Pemimpin di kediamannya, Leuwinanggung, Bogor Minggu (19/12).

NEPS berdiri dengan formasi Dama Gaok (drum), Dossy (vokal, bas), Greep Akbar (gitar), Mila (kibor, harmonika), dan Rifa (violin). Iwan Fals mengangkat topi terhadap kemampuan bermusik para punggawa NEPS yang terhitung masih belia itu. ''Pada usia seperti mereka, apresiasi musik dan cara bermain musik saya tidak sekaya mereka,'' puji Iwan.Dengan modal keberanian dan keunikannya, apakah NEPS mampu mensejajarklan diri atau (mungkin) malah menancapkan namanya di tengah grup band yang telah mapan dan punya nama?

''Kami hanya menawarkan rasa bermusik kami. Selebihnya biar pasar yang menentukan,'' jawab Dama Gaok yang juga bertindak selaku music director sekaligus penggebuk drum. Namun, meminjam bahasa Iwan Fals, segala sesuatu yang disampaikan dari hati (niscaya) akan sampai ke hati. Demikian pula lewat lirik-lirik protes sosial yang terlahir dari hati, NEPS berkeyakinan musiknya akan sampai ke hati pendengarnya pula. (Benny Benke-63)

A Mild Live Soundrenaline 2004

Senin, 20 Desember 2004. BUDAYA

A Mild Live Soundrenaline 2004
Semangat Perdamaian dalam Bermusik

SLANK dan God Bless memuncaki sekaligus menutup secara resmi pesta musik akbar tahunan Soundrenaline 2004. Dua grup band berbeda zaman yang sama-sama memiliki pencinta antusias ini menyihir sekitar 15.000 penonton yang menyesaki Arena PRJ, Kemayoran, Jakarta, semalam. Puncak pesta musik yang telah berlangsung sejak Sabtu (18/12) lalu ini, sekaligus menandai berakhirnya gelaran maraton yang bermula dari kota Padang, Malang, dan Makassar.
Pentas menghadirkan 72 grup band yang terdiri dari 35 grup band nasional, dua band luar negeri, sepuluh band A Mild Live Jakarta Music Festival (JMF), dan 25 band hasil audisi Hai-Way to Soundrenaline. Dengan kekuatan tata cahaya dan tata suara khusus berkekuatan masing-masing 80 ribu watt, maka lengkaplah jika Soundrenaline 2004 disebut sebagai gelaran musik terakbar di Tanah Air sepanjang tahun ini.

Sebagai sebuah hajat musik yang telah bergulir sejak tiga tahun lalu, Soundranaline memang berikhtiar membangun hubungan yang semakin dekat antara musisi dengan penikmat musik Indonesia. Selain tentu saja memberikan semangat baru bagi para musisi Indonesia untuk menjadikan musiknya sebagai tuan rumah di negeri sendiri, bahkan tetap berprestasi di dalam maupun di luar negeri. Sehingga tak ragu lagi jika ajang ini mendapat tanggapan positif dari semua grup band. Lihatlah betapa Sabtu lalu, lebih dari 19 band dan musisi dari berbagai aliran musik seperti Ungu, Jikustik, Naif, Element, Base Jam, Dewi Sandra, The Weekend, Iwan Fals, Peterpan, Baim, Agnes Monica, Cokelat dan Glenn Fredly tampil dengan penampilan terbaiknya.
Sebagaimana yang juga ditunjukkan band-band yang unjuk gigi seharian kemarin seperti Serieus, Endank Soekamti, Superman is Dead, Edane, Netral, The Fly, XOTX, ROXX, The Casanovas, BIP, Pas Band, /Rif, God Bless dan Slank.

Kolaborasi

Dengan mengusung tema besar ''Make Music Not War'', hampir sebagian besar musisi yang tampil semalam melakukan kolaborasi di atas panggung. PAS, grup band asal Kota Kembang ini bahkan melakukan lintas kolaborasi dengan penyanyi tenor Christopher Abimanyu. Hal yang sama juga ditunjukan dengan kolaborasi antara /Rif dengan Ivan Boomerang. Sehingga warna musik yang ditawarkan dalam pesta musik kali ini benar-benar berwarna. Keberwarnaan ini pun ditunjukkan pada hari pertama, ketika The Weekens, band asal Kanada sempat berkolaborasi dengan gitaris Slank, Abdee Negara, lewat tembang 80's Rock Star.

Sehingga membuat Duta Besar Kanada untuk Indonesia, Randolp Mank, dalam temu media mengungkapkan penghargaannya atas digelarnya Soundrenaline 2004 yang mengangkat tema perdamaian, serta menyatakan rasa bangganya atas tampilnya band asal Kanada di ajang musik tahunan ini. ''Musik adalah medium alternative untuk mendorong perdamaian bagi semua orang di muka bumi ini,'' katanya. Ya, musik, sebagai medium penyeru alternative perdamaian tampaknya benar-benar dibuktikan lewat kampanye untuk terus bermusik dengan menjauhi peperangan di Soundrenaline 2004. (Benny Benke-81)

Ocean's Twelve

Sabtu, 18 Desember 2004. BUDAYA

Film Ocean's Twelve
Para Maling Berparas Elok

MASIH ingat film Ocean's Eleven yang beredar tiga tahun lalu? Ya, film ber-genre romantic thriller yang memajang bintang-bintang papan atas Hollywood itu, tampaknya hendak kembali mengulang kesuksesannya. Dengan sekuel teranyar berjudul Ocean's Twelve, film ini pun kembali mengumpulkan para aktor dan artis nomor wahid. Tengoklah nama George Clooney, Brad Pitt, Matt Damon, Andy Garcia, dan Julia Robert. Mereka kembali berkumpul dalam film arahan sutradara Steven Soderbergh ini. Plus beberapa nama baru seperti Chaterine Zeta Jones, Vincent Cassel (aktor papan atas Prancis dan suami artis Monica Belucci), dan Bruce Willis yang hadir sebagai kameo. Maka, semakin pepaklah film yang bernarasi tentang intrik dunia maling kelas kakap ini.

Dengan mengandalkan kemampuan akting para pelakonnya yang mumpuni dan didukung oleh pesona ragawi yang eye catching (menarik), serta dipadukan dengan aliran cerita yang ringan, menjadikan film ini tak ubahnya teh hangat dalam sarapan pagi. Memang, tidak ada adegan darah yang muncrat, baku tembak, baku pukul, baku tendang apalagi kebut-kebutan di jalan raya yang sesak di jam-jam sibuk. Tak ada pula korban mati. Yang ada sebuah intrik kelas tinggi antarmaling. Namun demikian, greget yang dihasilkan ternyata cukup mampu membuat penikmatnya terpikat untuk menekuni dialog-dialog ringan yang memancing tawa. Sungguh, di tangan Steven Soderbergh yang telah sukses menelurkan Solaris, Full Frontal, Ocean's Eleven, Traffic, Erin Brockovich, The Limey, Out of Sight, Gray's Anatomy, Schizopolis, The Underneath, King of the Hill, Kafka dan Sex, Lies, and Videotape, sinema ini berjalan dengan bernas tanpa harus terjebak dengan keklisean.

Sehingga tidak heran jika film Erin Brockovich dan Traffic pernah dinominasikan untuk kategori Best Picture dan Best Director di Academy Awards (Soderbergh meraih Best Director di Academy Award untuk Traffic). Selain itu, setting yang melatarbelakangi sebuah adegan, dalam film ini sungguh menjadi sebuah keutamaan. Kalau di Ocean's Eleven loka-loka seperti Atlantic City, New Jersey, Florida dan Hotel Bellagio di Las Vegas Amerika Serikat serta di St Petersburg Rusia menjadi pilihan utama.

Tempat Eksotis

Di Ocean's Twelve, selama sepuluh pekan para kru dan pemain diajak berkeliling untuk mengambil adegan di tempat-tempat eksotis seperti Chicago, Amsterdam, Paris, Monte Carlo, Danau Como, atau Roma. Secara mendasar Ocean's Twelve berkisah tentang Terry Benedict (Andy Garcia), seorang bos dari dunia entah berantah yang menuntut balik uang sejumlah 160 juta dollar AS kepada Danny Ocean (George Clooney) dan kawan-kawannya. Merasa uang yang telah mereka curi dari Terry telah habis dibagi rata kepada kesepuluh rekannya, sementara Terry menenggat waktu pengembalian. Maka, kembali berkumpullah mereka untuk kembali beraksi melaksanakan sebuah pencurian.

Dan kali ini mereka musti beraksi di Amsterdam, serta bersaing dengan maling lain yang tak kalah lihainya (Vincent Cassel). Bukan itu saja, seorang detektif ayu (Chaterine Zeta Jones) berniat menggagalkan aksi mereka. Maka, dimulailah intrik kelas tingi antarmaling berparas elok untuk mencuri sebuah telur berhias berlian bernilai lebih dari 160 juta dollar AS. (Benny Benke-81)

Alexander

Kamis, 16 Desember 2004. BUDAYA

Film Alexander
Ketika sang Penakluk Menangis

''Nasib Baik Hanya Menyertai (Orang-orang) Pemberani''.

KEBERANIAN yang hakiki adalah kemampuan seseorang untuk menaklukan segala rasa takut. Maka, kematian pun tidak akan pernah mampu menggentarkan hatinya. Sebaliknya, kematian dalam kejayaan (untuk menegakkan panji-panji negara) justru yang dinanti-nantikannya. ''Nasib baik hanya menyertai (orang-orang) pemberani''. Demikianlah Alexander yang Agung dari Macedonia, salah seorang legenda terbesar dalam peradaban manusia ''menghasut'' pasukannya ketika hendak berperang melawan prajurit Raja Darius III dari Persia. Dalam perang yang dicatat sebagai perang Gaugamela tahun 331 SM itu, pasukan Alexander yang hanya berjumlah 40.000 infantri dan 7.000 kavaleri mampu memporak-porandakan 250.000 pasukan terlatih Persia.

Setelah mampu menduduki Babilonia dan mendapat julukan dari rakyat di sana dengan nama Iskandar Yang Agung. Putra Raja Philip dari sebuah negara di Eropa ini mulai menaklukkan hampir 90 persen wilayah dunia (yang dikenal saat itu) pada usia 25 tahun. Dalam waktu delapan tahun, negara-negara yang sekarang dikenal sebagai Albania, Turki, Bulgaria, Mesir, Libya, Israel, Yordania, Siria, Libanon, Siprus, Irak, Iran, Afganistan, Uzbekistan, Pakistan dan India ditaklukkannya.

Bahkan, dalam sebuah mitos, Sang Megas Alexandros ini pun menitikkan air mata, menangis, ketika sudah tidak ada wilayah lagi yang tersisa untuk ditaklukkannya. Dalam usia menjelang 33, ketika Timur dan Barat berhasil disatukannya dalam bentang wilayah dua juta mil persegi, sang pemuja Achilles dan Herakles ini memilih berdamai dengan nasi. Dia meninggal pada tahun 323 SM. Keharuman namanya masih dikenang hingga sekarang dengan campuran berbagai mitos yang mengelilingi kebesarannya. Namun, sebagaimana kisah kepergian ''orang besar'' lainnya, ia meninggalkan perpecahan yang tidak berkesudahan.

Sangat Realistik

Kisah Alexander yang Agung itu difilmkan dengan sangat luar biasa oleh Oliver Stone, sutradara dan penulis skenario peraih Piala Oscar. Dari tangannya telah lahir film-film legendaris seperti Midnight Express, Born on the Fourth of July, Platoon, JFK, Natural Born Killer, Nixon, Heaven on Earth, Salvador, The Doors, Wall Street, U-Turn dan masih banyak lagi.Stone memang berniat menghadirkan kisah kepahlawanan prajurit pemberani dengan pendekatan serealistik mungkin. Karena itu dia melibatkan Robin Lane Fox, sejarawan dari New College, Oxford, AS penulis buku ''Biography of Alexander'' (1972) yang telah terjual lebih dari sejuta kopi.

Film yang diberi judul Alexander ini tak hanya memotret sisi kepahlawanan tokoh legendaris itu. Stone juga membidik sisi manusiawi sang legenda dengan baik. Meski tidak secara verbal, cukup menyiratkan kepepakannya sebagai seorang manusia. Ini juga tak lepas dari dukungan para aktor papan atas Hollywood yang mendukung film tersebut, antara lain Colin Farrel, Angelina Jolie, Val Kilmer, dan Anthony Hopkins. Ya, sejarah memang mencatat jika Alexander The Greath adalah seorang homoseksual atau biseksual. Namun, menurut Lane, kebesaran hati Alexander justru telah membuatnya mampu mengatasi hasrat sexsualnya.

Stone dengan cermat mengupas segala kompleksitas persoalan hidup Alexander (diperankan Colin Farrel) dengan orang-orang terdekatnya. Mereka adalah sang bunda tercinta yang sekaligus dikutukinya, Olympias (Angelina Jolie), ayahnya, Raja Philip (Val Kilmer), Hepaisthion (Jared Leto), sahabat dan komandan perangnya, Roxane (Rosario Dawson), sang istri yang cantik dan ambisius, serta Ptolemy (Anthony Hopkins), jenderal kepercayaannya. Dan semua itu membuat penonton terpaku di tempat duduk sepanjang 150 menit masa putar. Dengan teknik sinematografi kelas tinggi sejumlah adegan menakjubkan hadir dalam film tersebut.

Misalnya adegan peperangan yang syutingnya melibatkan ratusan tentara Maroko dan Thailand yang juga menyediakan puluhan gajah untuk pembuatan adegan perang. (Benny Benke-63)

Virgin

Jumat, 12 Nopember 2004. BUDAYA

Potret Remaja Salah Asuhan

TIDAK ada yang lebih memprihatinkan dan menggetarkan perasaan ketika realita kehidupan mampu dinarasikan dengan sederhana, apa adanya dan mendekati kenyataan. Inilah yang terekam dalam film Virgin, Ketika Keperawanan Dipertanyakan. Film itu mampu menghadirkan sebuah potret buram kehidupan remaja metropolitan seperti Jakarta, dengan sangat apik dan realistik. Gagasan mengangkat tema keperawanan memang bukan sesuatu yang baru. Namun, ketika membenturkannya dengan gaya hidup remaja usia belasan, yang belum 17 tahun, tema itu menjadi sangat menyentuh perasaan. Apalagi sang tokoh dikisahkan dengan gampang mengumbar keperawanannya dengan siapa pun yang dikehendaki dengan dalih apa pun.

Hanny R.Saputra sebagai sutradara mampu memindahkan skenario bernas karya Armanto menjadi sebuah bahasa gambar dan tutur yang mencengangkan. Maka, sinergi antara skenario yang kuat dan penyutradaraan yang andal mampu melahirkan dramatisasi kuat didukung akting para pemeran yang menawan. Belum lagi dengan pelibatan efek bintang tamu tenar dalam peran kecil dan singkat, namun cukup memberi arti dan mengangkat citra sebuah film. Tengoklah, betapa Ayu Azhari, sebagai guru sastra/ drama, Unique Priscilia sebagai guru biologi, Ari Sihasale sebagai sutradara, Tio Pasukadewo sebagai gambler, Hanidar Amroe sebagai ibu Biyan sampai Jhody sebagai presenter, mampu memperkaya sinema produksi Star Vision ini.


Ditambah lagi dengan kekuatan ilustrasi musik yang mampu menjadi satu kesatuan yang padu hasil besutan Indra Qadarsih dan Erwin Prasetya. Tidaklah mengherankan jika film sepanjang 111 menit ini memang patut dicatat sebagai salah satu film layar lebar terbaik sepanjang 2004 ini.

Persahabatan

Film ini berkisah tentang persobatan antara tiga gadis remaja, Biyan (Laudya Cybthia Bella), Ketie (Angie) dan Stela (Ardina Rasti). Sebagai remaja putri yang masih duduk di bangku SMA, semangat mereka untuk mengenal dunia memang sangat berkobar. Maka, menjadi sangat riskan membiarkan mereka tanpa bimbingan orang tua atau siapa pun yang mampu mengawal dan memberi asuhan.

Mereka bertiga adalah potret remaja berseragam putih abu-abu yang salah asuhan. Maka, menjadi sebuah keniscayaan jika akhirnya mereka terjerumus ke dalam pemaknaan arti penting keperawanan yang tidak semestinya. ''Hari gini masih perawan?'' Kalimat itulah yang mengolok-ngolok keperawanan jika masih saja dipertahankan oleh remaja putri seperti mereka di kota metropolitan.

Sungguh, keperawanan yang diolok-olok dan tidak lagi menjadi simbol eksistensi harga diri menimbulkan polemik di film ini. Sungguh pun dalam komunitas dunia gaul, di mana kebebasan, pesta pora, dan keberanian yang keliru dalam mengekpresikan masa muda, keperawanan sudah tidak lagi menjadi tolok ukur perkawanan. Namun, Biyan yang terjepit di antara gaya hidup dua kawannya, yang dengan mudahnya berhubungan badan dengan siapa pun. Atau bahkan menjual diri demi segepok rupiah. Toh, akhirnya masih mampu menjadi hero dalam bentuk yang lain, yakni dalam memaknai keperawanan.

Ya, Hanny R Saputra memang mempunyai catatan yang membanggakan sebagai sutradara. Delapan Piala Vidia telah digenggamnya. Salah satu filmnya, Sepanjang Jalan Kenangan terpilih sebagai film terbaik FSI. Dia juga meraih Golden Award di Cairo International Film Festival for Children lewat film Nyanyian Burung, serta Best Cinematography dan Best Editor Asian Televisi Technical & Creative Award(lewat Lo Fen Koei. Dan, lewat film Virgin dia kembali membuktikan kepiawaiannya. (Benny Benke-63)

FFI

Minggu, 12 Desember 2004. NASIONAL

Tora dan Dian Sastrowardoyo Pemeran Utama Terbaik
"Ini Festival Film atau Televisi?"

KENDURI besar orang-orang film semalam berlangsung cukup semarak. Meskipun tak penuh benar, Hall Rama Shinta Taman Impian Jaya Ancol yang menjadi tempat berlangsungnya Malam Penganugerahan FFI 2004 memberi tengara bahwa kita merindukan suasana seperti yang kali terakhir berlangsung tahun 1992. Selain itu, perhelatan itu memberi penegasan bahwa kita sangat berharap kebangkitan perfilman nasional.

Sisi menarik pada perhelatan itu adalah berkumpulnya orang-orang film dari beberapa generasi. Paling tidak itu terlihat pada mereka yang datang. Ada aktris tua seperti Mieke Wijaya, atau Ida Kusuma. Lalu Deddy Mizwar, Didi Petet, Ray Sahetapy hingga yang muda-muda seperti Nicholas Saputra atau Dian Sastro, hingga aktor yang masih cukup belia seperti Rifat Sungkar. Di antara mereka bahkan terlihat sangat akrab. Lihat misalnya aktor kawakan Didi Petet yang selalu terlihat bercakap-cakap di sela-sela acara dengan Nicholas Saputra.

Sekadar informasi, Presiden SBY yang dijadwalkan hadir ke acara itu, berhalangan karena kabarnya masih di Pulau Alor. Dari pihak pemerintah, paling tidak datang Mentri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik. Perhelatan dibuka pada pukul 21.00 dan ditayangkan secara langsung oleh Indosiar. Tia AFI membuka acara dengan lantunan lagu "Citra". Selanjutnya secara bersusulan pembacaan nominasi sekaligus pemenang, baik untuk kategori Film Bioskop maupun Film Televisi.

Antusiasme menyambut FFI 2004 juga dibuktikan dengan kedatangan para pecinta film ke arena acara. Sebelum acara dimulai, mereka bergerombol pada setiap lorong menuju Hall Rama Shinta. Setiap ada artis, baik yang masuk sebagai nominee atau tidak, histeria kecil selalu tercipta. Mereka hampir selalu meneriakkan nama artis yang sedang berjalan dan mengambil gambar mereka dengan ponsel berkamera.

Singkatnya, banyak yang berharap pada ajang puncak prestasi orang-orang film itu. Dengar saja komentar budayawan dan wartawan senior Rosihan Anwar yang hadir ke acara. "Saya rindu ada festival ini. Semoga ini era baru perfilman kita."

Kekecewaan

Sangat wajar ada harapan yang besar pada kebangkitan perfilman Indonesia. Dan itu yang coba dibuktikan oleh FFI 2004. Sayangnya, perhelatan seakbar semalam melahirkan pula kekecewaan di kalangan sineas. Apa pasal? Waktu dua jam tayangan langsung Indosiar -minus jeda iklan- membuat panitia tak bisa menayangkan semua pembacaan. Bahkan penerima penghargaan pun hanya bisa memberi sambutan sekitar 30 detik.

Kenyataan itu meminta korban beberapa penghargaan yang oleh kalangan sineas dianggap sebagai aspek penting dalam dunia perfilman, antara lain Sinematografi Terbaik, Skenario Terbaik, dan Editing Terbaik. Penerimaan penghargaan untuk ketiga kategori itu hanya bisa disaksikan orang yang hadir di lokasi acara dan tak bisa dinikmati penonton televisi. Ironisnya, beberapa penghargaan untuk film televisi ditayangkan secara langsung. Dengan tajuk FFI, seolah-olah ada pertanyaan besar dari para sienas: Ini festival film atau televisi?

Kecewaan para sineas itu tak main-main bahkan diserukan secara langsung di panggung. Sineas pertama yang melontarkan itu adalah Riri Reza. Bersama Prima Rusdi yang tak hadir, Riri menerima penghargaan sebagai Penulis Skenario Terbaik untuk film Eliana, Eliana. "Ini bukti bahwa film telah direbut oleh kebohongan televisi." Singkat, tapi pedas.

Lontaran kekecewaan juga ditekankan di mimbar penghargaan oleh Nia Dinata ketika ia ke mimbar untuk menerima Piala Citra Pemeran Pendukung Wanita untuk Rachel Maryam yang tak hadir. Dia bilang, kategori-kategori yang di-off-air-kan itu sangat penting bagi film. Ketika ditemui di balik panggung, ia menandaskan, "Saya sedih sekali. Kecewa. Penonton kan perlu tahu siapa penulis skenario sebuah film misalnya."

Kekecewaan itu sempat berusaha "diredam" oleh pembawa acara Dede Yusuf dan Dian Nitami. Apakah itu kesalahan Indosiar selaku penayang siaran? Manajer Program Indosiar Triandi Budiman menyatakan kesalahan fatal itu terletak pada panitia pelaksana. "Siapa-siapa yang harus ditayangkan bukan tanggung jawab Indosiar. Itu urusan panitia. Dengan kerja 1,5 bulan tapi bisa terselenggara, saya pikir itu bagus."

Sampai selesainya acara, sayang sekali tak ada konfirmasi dari pantia.mengenai hal tersebut. Di luar itu, kesemarakan tetap tercipta terutama ketika Tora Sudiro dan Dian Sastrowardoyo didaulat menerima penghargaan sebagai Pemeran Utama Pria dan Pemeran Utama Wanita. Apalagi keduanya cukup bersemangat ketika menerima piala.

Perlu ada catatan khusus terutama untuk Dian Sastro. Agaknya ia sadar dalam persoalan generasi perfilman. Nama Christine Hakim yang menjadi pesaingnya sempat disebut. "Ini piala untuk Mama, untuk semua nominee speerti Tante Christine dan Tante Jajang, juga teman saya Rachel Maryam."(Saroni Asikin,Benny Benke-78)

Kategori Film Bioskop
1. Kategori Film Terbaik; Arisan (PT Kalyana Shira Film).
2. Skenario Terbaik; Prima Rusdi dan Riri Riza (Eliana Eliana).
3. Sinematografi Terbaik; Ipung (Mengejar Matahari).
4. Penata Artistik Terbaik; Berthy Lindia Ibrahim (Marsinh).
5. Penyunting Terbaik : Dewi S Alibasyah (Arisan!).
6. Tata Suara Terbaik : Suhadi, Adityawarman S dan Satrio Budiono (Eliana Eliana).
7. Tata Musik Terbaik; Melly Goeslaw dan Anto Hoed (Ada Apa Dengan Cinta?).
8. Pemeran Utama Pria Terbaik; Tora Sudiro (Arisan!).
9. Pemeran Pendukung Pria Terbaik; Surya Saputra (Arisan!).
10. Pemeran Utama Wanita Terbaik; Dian Sastro Wardoyo (Ada Apa Dengan Cinta?).
11. Pemeran Pendukung Wanita Terbaik; Rachel Maryam (Arisan!).
12. Sutradara Terbaik; Rudi Sudjarwo (Ada Apa Dengan Cinta?).

Kategori Film Televisi:
1. Film Terbaik ; Sendal Bolong untuk Hamdani (PT Tripar Multivision Plus).
2. Penyutradaraan Terbaik ; Dedi Setiadi (Sendal Bolong untuk Hamdani).
3. Skenario Terbaik ; Prima Rusdi (Perayaan Besar).
4. Tata Videografi Terbaik ; Ical Tanjung (Perayaan Besar).
5. Editing Terbaik ; Sastha Sunu (Perayaan Besar).
6. Penata Suara Terbaik; Agus Lim (Sendal Bolong untuk Hamdani).
7. Penata Artistik Terbaik ; Ujang Jabo (Sendal Bolong untuk Hamdani).
8. Pemeran Pria Terbaik ; Epie Kusnandar (Sendal Bolong untuk Hamdani).
9. Pemeran Wanita Terbaik ; Ria Irawan (Sendal Bolong untuk Hamdani).


Penghargaan Khusus Aktor Masa Depan.
1. Rifat Sungkar (Doa Bilik Santri).
2. Ayushita WN (Bekisar Merah).
Film Dokumenter Terbaik; Student Movement in Indonesia (Tino Saroenggolo).
Penghargaan Khusus Dewan Juri untuk Film Dokumenter ; Erfan Agus Setiawan.
Kategori FIlm Pendek; Djedjak Darah "Surat Teruntuk Adinda" (M. Aprisiyanto).
Penghargaan Khusus Dewan Juri untuk Film Pendek; Ketok (Tintin Wulia).
Kritik Film; Bre Redana (Kami Merindukan Cinta / Kompas).
Penghargaan Khusus untuk Kesetiaan Profesi; Misbach Yusa Biran dan Nya' Abbas Acup (Almarhum).
Penhargaan Khusus untuk Film Penonton Terbanyak; Eiffel I'm in Love (Meraih lebih dari 3 juta penonton).
Penghargaan Khusu Njoo Han Siang; Untuk perusahaan film yang menggunakan jasa teknik dalam negeri. (Benny Benke/Saroni Asikin-78).

Garin Nugroho

Senin, 08 Nopember 2004. BUDAYA


Garin Nugroho Tak Lagi Berpuisi

DI sebuah pasar tradisional, lalu lintas persoalan dari orang-orang yang tinggal di dalamnya tidak pernah usai. Dari sana, tiga persoalan dari tiga bocah yang lugu dan lucu menawarkan perenungan. Tak ada yang pelik, tak ada pula tema yang ndakik-ndakik. Dengan bahasa gambar dan komposisi seting menawan, sebagaimana karya-karya Garin Nugroho sebelumnya, Rindu Kami PadaMu menawarkan sebuah alternatif tontonan yang layak bagi segala kalangan.

Sineas berbakat itu mengangkat kisah orang kebanyakan. Salah satunya adalah Asih (Putri Mulia), yang senantiasa membuat ayahnya, Pak Sabeni (Jaja Miharja), resah. Asih selalu menyisakan sebuah tempat kosong (shaf) di sebelahnya setiap kali dia sholat berjamaah di Masjid. ''Ini untuk Ibu?'' pekiknya setengah menghardik kepada setiap orang yang hendak merapatkan shaf. Dan akhirnya, shaf kosong yang selalu disisakan oleh Asih kepada ibunya yang pergi entah ke mana itu tetap dibiarkan kosong, meski ''akan mendatangkan setan''.


Tokoh yang lain adalah Rindu (Raisa Pramesi). Dia gemar menggambar masjid yang tak sempurna. ''Gambar masjid itu ada kubahnya,'' kata Ibu Imah (Neno Warisman) menasehati Rindu yang tuna rungu. Rindu bergeming dan terus menggambar masjid tanpa kubah. Pak Bagja (Didi Petet), guru ngajinya, berulang kali memberikan nasehat yang sama. Namun, Rindu tak peduli. Ia senantiasa bersikukuh menggambar masjid tanpa kubah.

Tokoh ketiga bernama Bimo (Sukarta Harapen Ginting) yang terus berbuat onar dan rusuh kepada Seno (Fauzi Baadila), kakak satu-satunya yang merawatnya. ''Kalau aku nakal dulu ibu tidak pernah memarahiku,'' katanya lantang ketika pada suatu siang ia mengamuk menggegerkan seisi pasar, dengan menghancurkan telur dagangan kakaknya.

Sosok yang Dirindu

Demikianlah film yang meski sarat dengan idiom-idiom pencarian para pelakonnya kepada sosok-sosok yang dirindukan dan dicintainya mengalir dengan ringan. Dengan kekayaan analogi yang akrab dengan kehidupan sehar-hari, unsur religius dalam film yang sepenuhnya digarap di studio ini malah sanggup mengharu biru penonton. Maka, tidaklah mengherankan ketika di akhir cerita, Asih yang terus bersetia menyisakan sebuah tempat kosong setiap kali ia sholat di masjid, akhirnya menjumpai shaf itu telah terisi oleh kehadiran orang yang dirindukan dan dicintainya.

Demikian pula Rindu, yang pada akhirnya sudi menggambar masjid dengan kubahnya, setelah akhirnya, kakaknya datang bersama kubah masjid yang telah ditunggu-tunggu seluruh warga pasar. Hal yang sama terjadi pada si bengal Bimo, yang menemukan sosok ibu dari Cantik (Nova Eliza) yang bersedia menerima bertelur-telur cinta dari Seno, kakaknya. Semuanya bahagia di sini. Dan air mata menjadi upahnya.

Garin Nugroho biasanya membuat film yang sangat personal dan puitis sehingga sulit ''berdamai'' dengan pasar. Namun, kali ini dia ingin bernarasi secara datar, ringan, cair dengan memprosakan gagasannya. Film ini akan diputar di bioskop-bioskop menyambut Hari Raya Idul Fitri 1425 H. ''Film ini memang saya persembahkan untuk Ibu saya dan semua ibu,'' katanya seusai pemutaran perdana film Rindu Kami PadaMU. Ah, pantas saja hampir semua ibu, perempuan atau bahkan penonton pria menyeka air matanya. Kali ini Garin memang tidak berpuisi. (Benny Benke-63)

Roedjito

Kamis, 04 Nopember 2004. BUDAYA

Anugerah Seni untuk Mestro Skenografi

JAKARTA - Dalam tata pentas sebuah panggung teater atau skenografi di Indonesia, tak ada nama yang berkibar selain almarhum Roedjito. Dedikasi laki-laki kelahiran Banyumas 21 Juli 1932 ini memang telah melegenda dalam jagad pemanggungan di Tanah Air. Karena itu, tidaklah heran jika hampir semua sutradara besar di negeri ini pernah bekerja sama dengan Roedjito. Sutradara teater seperti Teguh Karya (alm), Arifin C Noer (alm), WS Rendra, Putu Wijaya, Nano Riantiarno sampai Garin Nugroho pun ikut merasakan sentuhan estetis Roedjito.

Maka, tidaklah berlebihan jika Dewan Kesenian Jakarta memberi anugerah kepadanya. "Almarhum Roedjito mampu menerjemahkan gagasan-gagasan artistik dengan cemerlang,'' kata Ratna Sarumpaet, pimpinan Satu Merah Panggung di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, belum lama ini. Lulusan Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat UI ini yang dianggap sebagai maestro skenografi ini meraih Anugrah Seni dari Dewan Kesenian Jakarta. Pemberian penghargaan itu mendapatkan tanggapan yang sangat positif dari para sejawatnya.

''Tidak ada yang lebih indah dari sebuah kerendahhatian. Baik kerendahhatian dalam bentuk karya maupun persona,'' ujar Putu Wijaya, pimpinan Teater Mandiri yang meletakkan sosok Mbah Djito, demikian ia biasa disapa, sebagai seorang guru yang tidak pernah menggurui.

Guru Antropologis

Karya Roedjito memancarkan daya renung yang mendalam, sehingga sebagai sebuah kreasi ia telah memberikan kesan yang sangat mendalam. ''Pernah suatu kali saya bertutur panjang lebar kepada mbah Djito perihal konsep pemanggungan salah satu lakon saya. Setelah saya menjabarkan proses yang ndakik-ndakik, ternyata dia hanya menggambarkan sebuah sket panggung yang teramat sangat sederhana. Namun sket itu mampu mewakili semua yang ada di kepala saya,'' kenang Nano Riantiarno, pimpinan Teater Koma.

Kebesaran Roedjito yang pernah memperdalam pengetahuan seni di East West Center, Hawaii, Amerika Serikat (1970) ini juga sangat membekas di benak WS Rendra, dedengkot Bengkel Teater. ''Ketika kali pertama saya mementaskan Mini Kata di Bentara Budaya, mas Djito memberikan sambutan yang sangat baik. Dan sejak saat itulah ia menjadi guru antropologis saya,'' kenangnya. (G20-63).

Power Metal

Rabu, 03 Nopember 2004. BUDAYA

Meramu Album Religius Rasa Metal

MASIH ingat Power Metal? Grup band beraliran heavy metal asal Surabaya yang pernah menyabet Juara I Festival Rock se-Indonesia V (1989). Ya, Power Metal yang sekarang digawangi Ipunk (gitar), Endro (bas), Raymond Ariazs (kibor), Ekko Dinaya (drum), dan Arul Efansyah (vokal) kembali menyua pencinta musik di Tanah Air di bulan Ramadan ini. Dengan mengusung album anyar Kebesaran-Mu yang mereka klaim sarat dengan kandungan religiusitas. Grup band yang berdiri pada 1987 ini tampaknya mengusung misi khusus dibandingkan tujuh album mereka sebelumnya. ''Album ini lebih bertumpu pada rasa terima kasih kami kepada Tuhan atas perjalanan bermusik yang sekian lama telah kami lalui,'' terang Arul di News Kafe Kemang, Jakarta (29/10).

''Bukan itu saja. Menyikapi perkembangan musik di Tanah Air yang sedemikian dinamik. Kami pun meramu musik di album ini dalam nuansa yang baru,'' timpal Raymond menerangkan aliran musik grup bandnya. Dengan meramu nuansa speed metal yang kental, kata Raymond, Power Metal juga mengharmonisasikan dengan corak progressive rock tanpa harus kehilangan nuansa heavy metal-nya. ''Jadi, dalam album yang merangkum sepuluh tembang ini musik yang kami suguhkan adalah musik beraliran progressive metal,'' imbuhnya.

Pasang Surut

Dengan tembang andalan "Kebesaran-Mu" yang berlirik kepasrahan seorang anak manusia kepada sang Pencipta, sanggupkah Power Metal kembali menyeruak ke puncak kejayaannya? ''Pasar musik metal memang berjalan dengan pasang surut,'' terang Log Zhelebour, produser album ini. ''Namun, karena masih mempunyai fans yang fanatik, mereka masih layak untuk dilestarikan,'' katanya. Album itu dirilis sebanyak 100 ribu keping ke pasaran.

Memang, dengan kemampuan musikalitas yang masih mumpuni di tengah lahirnya berbagai nama anyar grup band di blantika industri musik Indonesia, Power Metal ternyata masih mempunyai stamina untuk bertahan. Apalagi dengan pengalaman bertahan lebih dari 15 tahun di jalur musik yang sama adalah sebuah prestasi tersendiri. Sanggupkah mereka mengulang kesuksesan album-album sebelumnya. ''Setiap album mempunyai peruntungannya sendiri-sendiri,'' ujar Log. Kita tunggu saja, apakah religiositas metal mereka mengena di hati masyarakar heavy metal Tanah Air? (Benny Benke-81)


Diskografi
Power One (1991)
Power Mission (1992)
Power Demons (1993)
Serigala (1995)
Pesta Dansa (1996)
Peace, Love & War (1999)
Topeng-Topeng Murka (2002)

The Notebok,

Selasa, 19 Oktober 2004. BUDAYA

Memori, Harta Karun Masa Tua

KETIKA masa tua menjelma, adakah harta karun yang lebih berharga selain sepotong ingatan tentang kecemerlangan masa lalu? Memori yang menostalgiakan keriangan dan kecemerlangan masa muda inilah yang (biasanya) kembali dikenangkan para orang tua kepada kita. Dan memori menjadi lebih berharga lagi ketika menjadi sebuah wahana untuk menjaga daya ingat serta merunut jejak langkah ingatan sejarah yang tersilap oleh ketuaan.

Lewat film The Notebook yang diangkat dari novel karya Nicholas Sparks yang diadaptasi menjadi skenario oleh Jeremy Leven inilah sebuah memori dikenangkan dengan mengharu biru. Dengan ramuan drama percintaan bersetting Amerika tahun 1940, sutradara Nick Cassavetes menyuguhkan sinema yang secara gambar menawan ini menjadi sebuah sajian yang tidak terjebak pada keklisean.

Namun, tetap ada sedikit kejanggalan terhadap alur skenario yang cenderung dipaksakan memuncak demi mencapai sebuah adegan yang membuat airmata berlinang. Cinta (lagi-lagi) dengan segala kekuatan dan romantikanya, sebagaimana sejak zaman purba, senantiasa menjadi sebuah keniscayaan yang paling elok untuk dikenangkan.

Tersebutlah Allie Hamilton (Rachel McAdams) seorang remaja putri di kota kecil Seabrook, Carolina Utara, Amerika Serikat. Dalam kebeliaanya, pada sebuah karnaval, ia bersua dengan Noah Calhoun (Ryan Gosling). Selanjutnya sebagaimana kisah kasih remaja, mereka berdua dimabuk cinta. Ketika jalinan asmara sedang mendidih, orang tua Allie yang kaya raya tidak merestui hubungan mereka. Bisa ditebak, hal itu lantaran Noah hanya seorang kuli pemotong kayu yang udik dan tidak sepatutnya bersanding dengan Allie yang berlatar belakang dari keluarga berada.

Bersamaan dengan itu meletuslah Perang Dunia II. Selanjutnya, bubarlah hubungan mereka. Allie bersama orang tuanya pindah ke New York dan Noah selama satu tahun penuh, 365 hari, tiada henti menyurati jantung hatinya. Dan tragisnya, tidak ada sepucuk surat pun yang berbalas. ''Meski kau telah pergi meninggalkanku, tapi tidak akan pernah meninggalkan hatiku,'' bisik Noah pada dirinya sendiri.

Berperang

Alih-alih mengisi kekosongan jiwa, Noah mendaftarkan diri menjadi sukarelawan untuk berperang ke medan laga. Ketika perang telah purna, Noah pun kembali ke kampung halamannya dan kembali mewujudkan impian lamanya. Dia membangun sebuah rumah yang diidamkan oleh Allie ketika masa berpacaran dulu. Tidak terasa beberapa tahun telah berlalu. Hingga pada suatu masa, Allie yang telah bertunangan dengan Lon (James Marsden), menyaksikan foto Noah di sebuah koran ketika sedang berikhtiar menjual rumah barunya.

Setelah itu, Allie dengan izin tunanganya kembali ke Seabrook dan merunut masa lalunya. Nah, beberapa dekade sesudahnya, seorang kakek-kakek (James Garner) dengan tekun senantiasa membacakan sebuah kisah dari notebook kepada seorang nenek-nenek (Gena Rowlands). Siapakah kakek tua renta yang tekun mengenangkan memori kepada nenek ayu yang telah terkena penyakit kepikunan itu? Dan siapa pula nenek pikun yang diklaim sebagai rumah peristirahatan terakhir satu-satunya oleh kakek renta itu? Disinilah sebuah memori menarasikan kekuatannya. (Benny Benke-63)

Ananda Sukarlan

Senin, 18 Oktober 2004. BUDAYA

Sinergi Intuisi yang Mapan

KECANGGUNGAN akan menjadi sebuah keniscayaan jika dua ranah kesenian yang berbeda disepanggungkan dalam sebuah pergelaran. Kondisi itu kemungkinan besar terjadi jika tidak ada pertalian yang memungkinkan terjadinya perkawinan di antara keduanya. Namun hal tersebut tampaknya bisa dihindari oleh maestro tari Sardono W Kusumo dan maestro piano Ananda Sukarlan saat berkolaborasi dalam ''Ananda dalam Hutan Plastik'' di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 14-15 Oktober lalu.

''Ini bukan masalah siapa yang akan menyesuaikan dengan siapa. Namun kami saling merespons dengan interpretasi masing-masing perihal tema yang kita sepakati,'' terang Sardono sebelum pertunjukan. Dan di atas panggung yang berlatang belakang gemawan plastik berukuran raksasa, Ananda Sukarlan pun mulai membuka pertunjukan selama 120 menit dengan komposisi ''Penghayatan Bulan Suci'' (Trisuci Kamal/1984). ''Komposisi ini sekaligus untuk menyambut datangnya Ramadan,'' katanya sebelum membawakan suita dalam tiga bagian: Ramadan, Malam Takbir, dan Idul Fitri.

Sampai di sini, repertoar yang menjual tiket termahalnya seharga Rp 250.000 ini masih berjalan dengan kewajaran. Hingga tiba saatnya Ananda mulai memainkan komposisi ''Jangan Lupa'' (Gareth Farr).

Melenakan

Dengan menarikan jari jemarinya di atas tuts piano dengan berbagai teknik, ia mulai menghantarkan sebuah peristiwa penikmatan musik yang melenakan. Sehingga tak ayal, arena pertunjukan yang nyaris disesaki penonton itu hening dan senyap hingga denting terakhir tuts piano menyudahi reportoarnya. Ya, di tangan alumnus Royal Conservatory of Music Den Haag, Belanda ini, musik telah sampai pada tataran yang mampu mengekspresikan hal-hal yang sudah tidak dapat lagi diungkapkan lewat kata-kata. ''Termasuk hal-hal spiritual yang tidak dapat diterjemahkan dengan akal. Ia hanya dapat dirasakan,'' katanya.

Menurut Ananda, intuisi lebih diutamakan dalam pertunjukan ini daripada sekedar logika. Apalagi ketika para penari yang menganalogikan keberadaan hutan mulai unjuk ke atas panggung. Dan puncaknya, ketika representasi kehidupan yang telah disesaki dengan segala hal berbau plastik menyeruak ke atas panggung: dari para penari yang berbalut plastik hingga para waria yang telah terkena dampak plastik (dengan operasi plastiknya).

Dan semua pergerakan para penari itu dibarengi dengan komposisi klasik seperti "Love Songs" (Gareth Farr), "Prelude in C, op 87 no 1" (Dmitri Shostakovic), "It's Snowin in Bali" (Polo Vallejo), "Invenciones", "Short Pieces for Children" (Jesus Rueda), dan "Alio Modo" (David del Puerto). Sungguh, sebagaimana paparan Ananda, pagelaran ini langsung dapat berkomunikasi dengan lubuk hati yang paling dalam, lepas dari segala kepercayaan, agama, dan latar belakang budaya penikmatnya.

Apalagi, Sardono yang sesekali menyeruak ke atas panggung, menggiring suasana menjadi sangat cair, penuh nuansa humor, ringan tanpa harus kehilangan ketakziman. Benar-benar sebuah pergelaran yang dihasilkan dari sinergi intuisi yang mapan. (Benny Benke-81)

Blue

Jumat, 24 September 2004. BUDAYA

Blue Membirukan Istora

SETELAH dibuka oleh Derek McDonald dan Delon yang masing-masing menembangkan tiga lagu selama 30 menit, tepat pukul 20.30 kelompok vokal Blue menyeruak di hadapan 3.000 penonton yang menyaksikan "The Best of Blue Concert" di Istora Bung Karno, Jakarta, semalam. Duncan James, Anthony Costa, Lee Ryan, dan Simon Webbe menghentak dengan tembang perdana "Get Down" yang dicomot dari album One Love dan di-medley-kan dengan single "Fly By" dan "Guilty".
Peraih penghargaan Best Newcomer dalam The Brit Award 2002 dan Best Newcomer The Smash Hits Award 2002 ini memang memaksa pencintanya yang sebagian besar remaja putri berdendang sepanjang konser atas gelaran Java Musikindo. "Setelah sempat tertunda beberapa kali, karena banyak kendala yang menghadang, kami berniat memberikan sebuah aksi panggung yang lain di Jakarta," ujar Duncan James dalam temu wartawan sebelum konser.

Dan di atas panggung berukuran 9 x 15 meter yang gemerlap dengan kekuatan cahaya 150.000 watt itu, Blue membuktikan sesumbarnya. "Lihatlah kami, Blue akan membirukan hati kalian semua," seru Simon Webbe sebelum bergoyang bersama ketiga rekannya. Dengan ramuan musik klasik, R&B, dan pop tunes, kelompok vokal asal London ini terbilang lebih awet dari pada kelompok vokal seangkatannya. "Kami tidak mempunyai rumusan yang spesifik. Kami hanya senantiasa terus memelihara komunikasi antarpersonel untuk menghasilkan sebuah karya," terang Duncan.

Memang benar, sebagai salah satu boys band yang mampu bertahan cukup lama dengan mengandalkan olah fisik, vokal, koreografi, dan gaya busana sebagai sebuah kesatuan aksi panggung. Grup vokal yang kali terakhir merilis album Best of Blue (2004) ini pantas diperkecualikan dengan boys band lainnya. "Kami berusaha sebaik mungkin memberikan yang terbaik dalam setiap penggarapan album dan setiap pergelaran konser. Bahkan demi kemajuan Blue kami berencana mengistirahatkan kelompok ini selama satu tahun ke depan," terang Lee Ryan.

Dia menjelaskan, langkah mengistirahatkan Blue selama setahun dimaksudkan agar para anggotanya dapat mensiasati psikologis kejemuan dan kemampatan berkreativitas. "Dan semoga saja setahun ke depan kami mampu menghasilkan kembali sebuah karya magnum dari hasil sebuah perenungan kami selama satu itu," harap Anthony Costa. Di atas panggung yang terkadang dimarakkan dengan tampilan empat penari latar dan iringan full band, Blue menyuguhkan sebuah peristiwa entertainment yang memikat. Apalagi ketika mereka membawakan nomor hit yang akrab di telinga pencintanya seperti "Sorry Seems to be the Hardest Word" dan "One Love". (Benny Benke-81).

International Java Jazz Festival 2004

Senin, 11 Oktober 2004. BUDAYA

International Java Jazz Festival
Kumpulkan Legenda Jaz Dunia

JAKARTA - Banyak cara untuk mengembalikan citra suatu bangsa dalam ranah pergaulan internasional. Salah satunya lewat media musik jaz. Sebagai salah satu negara yang dirundung berbagai persoalan kebangsaan, dari masalah korupsi, kemiskinan, pencemaran lingkungan hingga teror bom, nama Indonesia memang sangat terpuruk di pentas pergaulan internasional. Atas dasar keinginan untuk mengembalikan citra positif Indonesia, PFG/ Nepathya Production bekerja sama dengan Jakarta Jazz Society menyelenggarakan "International Java Jazz Festival".
"Even ini untuk mematahkan stigma bahwa negeri ini tidak aman. Sekaligus sebagai pembuktian bahwa para musisi jaz kita dapat menegakkan kepala di pergaulan pentas jaz dunia," jelas Peter F Gonta yang menggagas agenda spektakuler yang akan digelar di Jakarta Convention Center (JCC), 4-6 Maret 2005.

Menurut Peter, dengan mengundang sejumlah besar kelompok musisi jaz kenamaan dari berbagai negara dari Eropa, Australia, Asia, dan Amerika, ajang ini diupayakan juga sebagai wahana pertukaran kebudayaan antarbangsa. "Tentu saja juga bertujuan untuk meningkatkan apresiasi masyarakat Indonesia terhadap musik pada umumnya dan musik jaz pada khususnya," kata dia di Jamz Cafe, Jakarta, belum lama ini. Hajat yang melibatkan para pakat ahli jaz yang biasa terlibat di North Sea Festival di Belanda ini, juga akan melibatkan para legenda jaz dunia seperti James Brown, Diana Krall, Jamiroque, Incognito, Carlos Santana dan beberapa nama sohor lainnya.

"Kami sudah melakukan pendekatan terhadap perwakilan kebudayaan negara-negara sahabat yang para legenda jaznya hendak kami libatkan," ungkap Widodo Setyo, mantan Duta Besar Indonesia untuk Vatikan, yang bertindak sebagai International Director dalam even yang diperkirakan menelan biaya sekitar Rp 14 miliar ini. "Biaya ini sebenarnya terlalu murah jika dibandingkan dengan ongkos sekali mendatangkan Linkin Park ke Jakarta (beberapa waktu lalu) yang menelan pengeluaran hingga Rp 6 miliar. Bandingkan, jika kita mampu mendatangkan para legenda hidup jaz dunia dalam festival selama tiga hari berturut-turut ini. Selain tentu saja ada kepentingan yang lebih besar, yaitu mengembalikan citra negeri ini di pentas dunia," kata Peter F Gonta. Dengan merangkum berbagai genre musik jaz, dari mainstream, pop jaz, rock jaz, smooth jaz hingga dang dut jaz dan keroncong jaz, hajat ini juga diramaikan dengan workshop jaz yang akan dikelilingkan di kota Semarang, Surabaya, Makassar, Bandung dan kota besar lainnya. "Kami juga akan mengadakan even Indonesia Jaz Idol Search," tandasnya. (G20-63)

Sitor situmorang

Rabu, 06 Oktober 2004 .BUDAYA

"Lembah Kekal" Sitor Situmorang

JAKARTA- Setelah setahun berlalu sejak kumpulan buku puisinya "Kisah Surat dari Legian" diterbitkan (2003), di penghujung tahun ini, salah satu sastrawan terkemuka Tanah Air, Sitor Situmorang, kembali meluncurkan buku kumpulan puisinya yang teranyar, "Lembah Kekal". Dan sama persis dengan momentum peluncuran buku puisinya tahun lalu, pria kelahiran Tapanuli Utara, Sumatera Utara ini membarengkan prosesi peluncuran tersebut dengan hari jadinya yang ke-80. "Ini puisi lama, bercerita tentang hal-hal keseharian di lingkungan kita," katanya di Erasmus Huis, Kuningan, Jakarta, baru-baru ini. Meski puisi lama, kandungan sajak Sitor sebagaimana terangkum dalam seri sajak-sajak yang bernarasi tentang Danau Toba, masih bertutur dengan kuat perihal suasana. "Ya, seperti Pasar Senen, Candi Borobudur, dan Turki. Beberapa tempat yang menyisakan kesan di benak saya, tentu akan menginspirasi sebuah penciptaan," imbuh suami Barbara Brouwer ini. Dalam hajat yang juga diramaikan dengan kehadiran Djenar Maesa Ayu dan Rieke Dyah Pitaloka itu diputarkan juga film dokumenter tentang keseharian penyair berdarah Batak ini. (G20-81)

Guangzhou Arts Troupe China

Rabu, 25 Agustus 2004. BUDAYA

Keceriaan dari Negeri China

UMUR memang boleh lanjut tapi tidak berarti kebahagian ikut sirna setelah masa muda ditinggalkan. Mungkin begitulah moto ''Guangzhou Arts Troupe China'' ketika menampilkan pertunjukannya di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), Senin (23/8) malam. Betapa tidak, grup musik, tari tradisional, dan akrobat dari kota Guangzhou ini terdiri atas para pemain yang telah lanjut usia dan berumur 56 sampai 77 tahun.

Simaklah ketika Zhu Fengxian (56) selama 15 menit memamerkan akrobat memainkan tongkat sembari meliuk-liukkan tubuhnya. Bahkan di usianya yang lebih layak untuk menimang cucu di rumah itu, ia masih mampu melakukan gerakan stretching atau melempangkan kedua kaki di arena pertunjukan. Ya, penampilan rombongan kesenian dan hiburan yang sohor dan diperuntukkan bagi kalangan tua di daratan China ini, menjadi bagian dari Gedung Kesenian Jakarta International Festival (GKJIF) VII-2004.

Acara itu menampilkan para artis dari China, Amerika Serikat, Italia, Prancis, dan tuan rumah Indonesia. Dengan tema besar ''Kesenian untuk Persaudaraan yang Harmonis dan Perdamaian Dunia,'' hajad yang digelar 20 Agustus-5 September 2004 ini menggenapkan 17 tahun pengelolaan GKJ, Jakarta. Agenda tahunan yang mengiringi festival kesenian lainnya seperti Schouwburg Festival, Jakarta Anniversary Festival, Lomba Koreografi GKJ Award,dan Festival Teater Alternatif GKJ Award ini bertujuan untuk menghibur dan meningkatkan apresiasi kesenian masyarakat.

Bisnis Kesenian

Guangzhou Arts Troupe China sendiri didirikan oleh artis-artis seniman yang mencintai bisnis kesenian yang sehat dan positif. Di bawah pimpinan Rong Huaji, Tong Fugong, dan Fan Shengqi, mereka mengawali debut di Provinsi Huan sebelum memperoleh banyak penghargaan di daratan China. ''Kami memiliki prinsip yang sama, yakni kesatuan, kesetiaan, kesehatan, inisiatif, cinta pada negeri China, awet muda, dan mengikuti arah perkembangan budaya modern di China,'' terang Rong Huaji di atas panggung melalui penerjemah.

Cinta pada negeri China. Ya, kecintaan mereka terhadap Tanah Air mereka termaktub dalam setiap tembang yang mengiring hampir semua tarian yang mereka bawakan. Lihatlah ketika Sun Chunzi menembangkan '' I Love You Tiongkok'', ''My Motherland is Beijing'', dan ''The Beautiful Large Grassland''. Dan kecintaan mereka terhadap tumpah darahnya pun mereka apresiasikan pula ketika menembangkan secara solo lagu ''Bengawan Solo''. (Benny Benke-81)

Krakatau

Kamis, 02 September 2004. BUDAYA

Magma Krakatau yang Tetap Menganga

LUAR biasa. Mungkin hanya kata itulah yang patut kita sematkan kepada Krakatau Band dalam konser di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), semalam. Betapa tidak. Dengan mengusung musik jaz kontemporer yang berbasis pada warna musik tradisional karawitan Sunda, Jawa, dan Bali, grup band yang baru saja menggelar tur ke sepuluh kota di Amerika Serikat dan Kanada ini membuka mata dunia betapa musik kontemporer Indonesia dapat bersanding dengan musik internasional.

Pentas Krakatau semalam digelar dalam rangka memeriahkan Gedung Kesenian Jakarta International Festival VII-2004. Mereka tampil dengan formasi terkini, Dwiki Dharmawan (micro tuned keyboard), Pra B Dharma (slendro fretless bass), Ade Rudiana (kendang), Yoyon Darsono (terompet, suling, rebab), Zainnal Arifin (boning), Gery Herb (drum), dan Nyak Ina Raseuki / Ubiet (vokal).

Mereka benar-benar memukau penonton sehingga tidak syak ketika Krakatau yang dalam pergelaran kelilingnya di Amerika dan Kanada mendapat review positif dari Jazz Time Magazine dan Jazz On Line ini benar-benar menunjukkan tajinya sebagi salah sebuah grup jaz mapan Tanah Air. Maka tidak heran pula jika penonton yang memadati tempat duduk GKJ dengan penuh antusias, ketekunan, dan apresiasi menyimak setiap komposisi yang ditawarkan.

Simaklah ketika mereka menyuguhkan "Bubuka-Bancang Pakewuh", "Shufflendang", "Tugu Hegar", "Mystical Mist", "Bunga Tembaga", "Gendjring Party", dan "Uhang Jaeuh-Rhythm of Independence".

Menyihir Penonton

Dengan kemampuan teknis memainkan dan meracik komposisi musik pada taraf yang telah "rampung", mereka seolah menyihir penonton untuk tiada henti memberikan tepuk soraknya.
Apalagi ditingkahi dengan kemampuan olah vokal yang apik milik Nyak Ina Raseuki atau Ubiet, yang selama ini kita kenal sebagai salah seorang pengajar vokal di Akademi Fantasi Indosiar 2 dan 3.

Ya, Ubiet yang menembangkan "Sibur-Sibur", sebuah lagu berbahasa Melayu ini memang sengaja memamerkan kualitas lengkingan suaranya. Sungguh, Krakatau yang sebelumnya juga pernah tampil di Singapura, Malaysia, Jepang, China, Australia, Hungaria, Bulgaria, Sebia, Montonegro, Rumania, Republik Ceko, Republik Slovakia, dan Venezuela ini memang telah melangkah lebih jauh dibanding dengan grup jaz lainnya di Tanah Air.

Kendati ramuan yang dipadukan oleh Krakatau sebenarnya bukan sesuatu yang anyar dalam dunia musik yang memungkinkan akulturasi berbagai corak musik. "Krakatau hanya memadukan musik karawitan dan jaz. Dan membuka wacana baru tentang musik karawitan dalam perkembangan dunia musik modern," ujar Dwiki Dharmawan di atas panggung. Band mapan tersebut lagi-lagi menghantarkan komposisi yang membius telinga pendengarnya dengan komposisi jaz dalam balutan karawitan.

Ya, musik jaz di tangan Krakatau bukan semata menjadi sebuah komposisi yang gelap, privat, pelik dan segmented. Ia menjadi mudah untuk diapresiasi karena mengajak berinteraksi penikmatnya untuk, paling tidak, menghentakkan kakinya, meski sebenarnya musik yang ia tawarkan adalah magma jaz. (Benny Benke-81)

republik togog, koma

Kamis, 29 Juli 2004. BUDAYA

Republik Togog, Protes Kekinian Indonesia

Kuberi kau suara/ kau rampok jiwaku juga/ Kuberi kau percaya/ Tapi kau berfoya-foya// Kukira kau mengabdi/ Nyatanya malah menyakiti/ Kau tega buang nurani/ Tugas suci dikhianati...//Republik togog, republik togog/ Memaksa rakyat semakin goblok/ republik togog, republik togog/ dan masa depan di dalam batok//

TEMBANG pembuka berjudul ''Republik Togog'' yang menjadi pembuka lakon ke-103 Perkumpulan Kesenian Teater Koma di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), Selasa (27/7) malam, itu dinyanyikan dengan koor membahana. Lebih dari 30 pelakon awak kelompok teater yang berdiri sejak 1977 itu menari dan menyanyi dengan pola gerak serempak. Begitu tembang pertama purna, Kunti (Ratna Riantiarno), Parwita (Cornelia Agatha), dan Limbuk (Tuti Hartati) berbantah pendapat perihal keadaan kerajaan Amartapura dengan rajanya Samiaji (Budi Eros).

Selanjutnya, lakon berjudul Republik Togog yang berdurasi lebih dari tiga jam ini mulai menarasikan berbagai rona intriknya. Dan penonton yang menyesaki tempat duduk pun mulai disuguhi berbagai kelucuan dan anekdot khas Teater Koma dalam menyindir kondisi kekinian. Dan Nano Riantiarno sebagai penulis naskah dan sutradara tampaknya masih bersetia memegang teguh pola lamanya. Sebagaimana lakon-lakon besutannya sebelumnya seperti Opera Kecoa, Opera Julini, Opera Primadona, Sampek Engtay, Presiden Burung-burung, dan beberapa judul lainnya.

Salah seorang anak didik teaterwan besar Tanah Air, almarhum Teguh Karya ini, membungkus lakonnya dalam bentuk opera. ''Ini hanya masalah pilihan tafsir,'' katanya seusai pementasan perdana yang akan berlangsung hingga 6 Agustus 2004. ''Dan bagi saya, kesenian adalah seni menafsir alam dan kehidupan. Tujuannya hanya satu; berterima kasih kepada alam dan kehidupan. Apapun anugerah alam dan kehidupan kepada kita, buruk atau baik, tetap harus di sebut sebagai anugerah,'' imbuhnya.

Menurut Nano, lakon Republik Togog secara garis besar bernarasi tentang kemunafikan. ''Ini merupakan sinergi dari lakon Tartuffe karya Moliere dan lakon Sadewa Tumbal, Mahabharata,'' katanya. ''Dengan mengawinkan wayang Jawa dan wayang Prancis maka lahirlah wayang Teater Koma,'' imbuhnya.

Metafora

Ya, lakon yang berkisah tentang Samiaji, raja Amartapura yang terkena pengaruh Tejamantri (Togog) dan Kalika ini memang berpijak dari potret kekinian Indonesia. Sehingga tidak aneh jika berbagai sindiran berkenaan dengan kondisi sosial, ekonomi, dan politik berhamburan sepanjang pertunjukan meski disampaikan secara pengandaian (metafor). Dikisahkan dalam lakon wayang, Sri Kresna dan Semar menjadi tumpuan segenap harapan. Kedua tokoh itu akan muncul jika Pandawa Lima mengalami kesulitan.

Sri Kresna adalah pakar yang piawai mengatur berbagai urusan kenegaraan dan penafsir andal garis nasib yang dipatok para dewa. Sedangkan Semar, meski hanya seorang panakawan (pana= cerdik, kawan= sahabat) diakui punya kemampuan membimbing rohani Pandawa Lima. Dan dalam Republik Togog, kedua tokoh panutan Pandawa Lima ini menghilang. Sehingga Amartapura pun gunjang-ganjing di bawah cengkraman Tejamantri (Togog). Sehingga kemunculan Sri Kresna dan Semar untuk menghalau Togog atau Tejamantri menjadi sesuatu yang ditunggu-tunggu. (Benny Benke-81)

Roxx

Rabu, 28 Juli 2004. BUDAYA

Roxx Bergema Lagi

KEBANGKITAN cenderung diidentikkan dengan jelangnya sebuah kegairahan baru. Demikian pula dengan kebangkitan kembali Roxx, sebuah grup cadas era 80-an yang pernah menjadi fenomen pada masanya. Setelah meluncurkan album perdana Rock Bergema dengan sigle hit yang menjadi judul album, mereka meluncurkan album ''Nol''. Jika yang pertama menjadi semacam tembang wajib musik cadas, yang kedua ternyata justru menjadi titik awal 'kehancuran' mereka. Kini, dengan formasi Trison (lead vocal), Jaya (gitar, vokal), Toni (bas, gitar, vokal) dan Didie (bas, gitar). Serta dua personel additional player, Crow (gitar) dan Al (drum), mereka memberanikan diri bersaing dengan grup-grup band yang lahir sesudahnya.

''Waktu 17 tahun untuk mematangkan sebuah konsep bermusik adalah bukan tempo yang sebentar,'' kata Jaya di Warung Apresiasi, Bulungan, Jakarta, belum lama ini. Dengan album Bergema Lagi yang merangkum 11 tembang dengan lagu andalan ''Dari Dulu,'' mampukah Roxx mengembalikan memori para pencintanya? ''Roxx adalah salah satu alasan gue membentuk grup band,'' kata Bagus, vokalis Netral, yang mengaku fans berat Roxx.

''Sebenarnya gue juga fans berat Roxx. Tapi, karena posisi gue sebagai pemain band yang notabene bersaing dengan Roxx, saya musti malu-malu mengakuinya,'' kata Pay, mantan gitaris Slank dan sekarang lead guitar BIP.

Heavy Metal

Memang, sebagai sebuah grup band yang mengawali aliran musik heavy metal di Tanah Air, Roxx bahkan jauh lebih dulu melangkah dibandingkan Edane misalnya. ''Ya, mereka jauh lebih dulu mapan sebelum saya dan Ekky Lamoh membentuk Edane,'' kata Eet Syahranie, motor Edane. Sebagai catatan, Trison pernah bergabung dengan Edane sebelum kembali bergabung dengan Roxx, sehingga dalam launching album di komplek Bulungan, Jakarta, banyak personel band lain yang hadir di antara ratusan pencintanya. Dari Totok Tewel (Elpamas), Indra (BIP), Bjah (The Fly), Irang (mantan vokalis BIP), Baron dan beberapa nama lainnya.

''Kami bekerja keras untuk melahirkan album ini. Ketika kebanyakan orang pergi tidur kami bekerja, dan ketika orang kebanyakan bekerja kami semakin bekerja,'' kata Jaya, yang berkeyakinan mampu menyuguhkan nuansa baru dalam blantika musik cadas Indonsia. (Benny Benke-63)

Teguh Karya

Rabu, 11 Agustus 2004. BUDAYA

Mengenang Suhu Teater

''KALAU tidak ada Pak Teguh, saya tidak akan pernah menjadi seperti sekarang ini. Pak Teguh dan Teater Populer lah yang menjadikan saya seperti sekarang ini, sebelum akhirnya Slamet Rahardjo Djarot mematangkan akting saya dan Eros Djarot semakin membuka cakrawala saya. Ketiga orang itulah manusia-manusia yang berjasa dalam hidup saya''. Kalimat tersebut merupakan secuil nukilan kesaksian Christine Hakim atas jasa Teguh Karya. Ya, siapa yang tidak mengenal namanya. Laki-laki kelahiran 22 September 1937 di Pandeglang ini dianggap sebagai suhu teater dan film Indonesia saat ini.

Bersama komunitasnya, Teater Populer Hotel Indonesia, yang pada akhirnya berubah menjadi Teater Populer lahir para pekerja-pekerja kesenian andal di Tanah Air. Sebutlah nama Slamet Rahardjo Djarot, Nano Riantiarno, (alm) Tuti Indra Malaon, Eros Djarot, Christine Hakim, Franky Rorimpandey, George Kamarullah, Hengky Solaiman, Benny Benhardi, Niniek L Karim, Alek Komang, dan Ayu Azhari.
Dan atas jasa besar lulusan Akademi Seni Drama dan Film (Asdrafi) Yogyakarta dan Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) tersebut, Japan Foundation bekerja sama dengan Sinematek Indonesia dan Pusat Perfilman Haji Umar Ismail (PPHUI) menggelar Pameran Foto dan Film Teguh Karya. Agenda yang dipusatkan di hal Japan Foundation Jl Sudirman dan PPHUI Jl Rasuna Said Jakarta, 9-13 Agustus, ini didukung pula oleh Yayasan Teater Populer dan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).
Pemutaran Film

Teguh Karya yang akrab disapa Om Steve oleh orang-orang terdekatnya, wafat pada 11 Desember 2001. Karier dalam dunia film dirintisnya saat melakukan tugas praktik penulisan skenario film-film semi dokumenter pada Perusahaan Film Negara (kini PPFN). Semasa ngenger itulah, mantan anggota DKJ masa bakti 1968-1972 ini bekerja pada sutradara D Djajakusuma, Nyak Abbas Acup, Misbach Yusa Biran, Wim Umboh, dan Asrul Sani. Baik sebagai penata artistik, pemain, maupun assisten sutradara.

Di dalam dunia film inilah namanya identik dengan Piala Citra karena hampir semua karyanya meraih penghargaan tertinggi dalam berbagai kategori. Puluhan karya legendaris yang telah dia hasilkan antara lain Wajah Seorang Laki-laki (1971), Cinta Pertama (1973), Ranjang Pengantin (1974), Kawin Lari (1975), Perkawinan dalam Semusim (1976), Badai Pasti Berlalu (1977), Di Balik Kelambu (1982), Secangkir Kopi Pahit (1984), Doea Tanda Mata (1985), Ibunda (1986), dan Pacar Ketinggalan Kereta (1989).
Beberapa diantaranya meraih Piala Citra untuk Penyutradaraan Terbaik pada 1974, 1975, 1979, 1983, 1986 dan 1989. Bahkan di layar TV pun, karya sinema elektroniknya (sinetron) seperti Pulang (1988) dan Arak-arakan (1992) mendapat sambutan luar biasa. ''Bahkan jauh sebelum itu, dengan Teater Populer, banyak kritikus menilai beberapa lakon panggung yang disutradarainya mencapai puncak eksplorasi,'' terang Dian dari Japan Foundation.
Dian menyebutkan beberapa judul seperti Jayaprana (Jef Last), Pernikahan Darah (FG Lorca), Inspektur Jendral (Nikolai Gogol), Woyzeck (G. Buchner), dan Perempuan Pilihan Dewa (Bertolt Brecht). Selain diputar beberapa judul film seperti Di Balik Kelambu, Badai Pasti Berlalu, Secangkir Kopi Pahit, dan Pacar Ketinggalan Kereta, juga akan diadakan diskusi bertema ''Teguh Karya Dalam Perfilman Indonesia'' di PPHUI, Jumat (13/8). Pembicara yang dihadirkan Prof Dr Fuad Hasan, Slamet Rahardjo Djarot, dan Riri Riza. (Benny Benke-81)

Taufik Rahzen

Sabtu, 07 Agustus 2004. BUDAYA

Pelangi Indonesia ke Athena

JAKARTA- Setelah melewati proses kuratorial yang maraton dan mendalam, akhirnya 21 delegasi Pelangi Indonesia yang terdiri atas seniman, budayawan, kurator, dan pengelola pertunjukan akan berangkat ke Athena dalam rangka Cultural Olympiad 2004. Kegiatan olimpiade kebudayaan yang berbarengan dengan Olympic Games Athena 2004 ini diikhtiarkan sebagai ajang untuk menggagas dialog antarbudaya dan pentas kreativitas dengan semangat perdamaian dan kerekatan sosial.

''Olimpiade kali ini merupakan momentum penting untuk memulai dialog antarperadaban di tengah-tengah kegamangan politik internasional dan ancaman terorisme,'' terang Taufik Rahzen, Ketua Dewan Kurator Olimpiade Kebudayaan di TIM Jakarta, Kamis (5/8) petang. Bersama budayawan Romo Mudji Sutrisno, Garin Nugroho, Ary Sutedja, Sujiwo Tedjo, Nirwan Arsuka, dan Edward Hutabarat, Rahzen sebagai ketua kurator Komite Nasional Indonesia untuk Olimpiade Kebudayaan (KNIOK) akan bertolak bersama ke Athena pada Minggu (8/8) besok.

Dan untuk delegasi kali ini, Indonesia akan diwakili oleh grup pertunjukan dan seniman individual yang dibingkai dan dipengaruhi oleh tradisi wayang. ''Pilihan wayang sebagai titik tolak bukan saja karena kesenian ini telah diakui sebagai Masterpiece of World Heritage oleh UNESCO. Tapi juga karena wayang Yunani atau biasa dikenal dengan Karagiosis ternyata dipengaruhi wayang Jawa yang diperkenalkan pedagang Arab Turki pada abad ke-14,'' terang Mudji Sutrisno.

Selain wayang, Sanggar Seni Maha Bajra Sandhi dari Denpasar pimpinan Wayan Oka Granoka juga akan menampilkan serangkaian pertunjukan dari tradisi klasik melalui Yoga musik. ''Mereka akan menampilkan Wayang Beber Sliksajati oleh dalang cilik Ida Made Adnya Gentorang (12) yang akan melakonkan Sutasoma karya Mpu Tantular. Pertunjukan ini merupakan penjelahan aksara dan visual atas teks abad ke-14 yang melahirkan prinsip Bhineka Tunggal Ika,'' kata Edward Hutabarat.

Instalasi Multimedia

Sedangkan perupa konptemporer Heri Dono akan menyuguhkan karya instalasi multimedia Trojan Horse. Sebuah kreasi yang terinpirisai dari peristiwa 11 September. ''Saya akan memparalelkan kisah Kuda Troya oleh Homer dengan kisah pembebasan Sinta oleh Rama pada kisah Ramayana,'' terang Heri Dono. Baik Bajra Sandhi dan Trojan Horse (kuda troya) akan ditampilkan di Museum Benaki Athena, Ampitheater Olympia dan Indonesian Caravan.

Dan untuk mengelilingkan berbagai kesenian Indonesia di Yunani, kontingen Indonesia akan menggunakan Indonesian Caravan. Sebuah bus pertunjukan (stage bus) yang akan berkeliling dari kota Naplion, Patra, Pireaus, Pylos, Argos, Thesaloniki, dan Creta. ''Beberapa musisi Indonesia seperti pianis Ari Sutedja-Davis, Trisutji Kamal, violis Luluk Purwanto dan Helsedingen trionya, dalang Nanang Hape, Tatang Setiadi, dan teaterawan Sari Majid akan turut di bus tersebut,'' Kata Rahzen. Bersamaan dengan perjalanan itu juga akan diputar film-film keragaman anak-anak Indonesia terbaru karya Garin Nugroho serta sebuah film anyarnya, trilogi politik yang mengambil tema pertunjukan wayang orang. (G20-81)

Sawung Jabo

Rabu, 21 Juli 2004. BUDAYA

Indonesia - Australia dalam "Saga of Sawung Galing"

JAKARTA - Mewujudkan persaudaraan antardua kultur berbeda dapat ditempuh dengan berbagai cara. Salah satunya melalui pertunjukan kolaborasi seni kontemporer. Demikianlah yang terjadi dengan seniman Indonesia yang diwakili Sawung Jabo dan seniman Australia, Don Mamouney. Mereka akan menggelar pertunjukan akbar The Saga of Sawung Galing. Pertunjukan seni kontemporer yang akan dikelilingkan itu berikhtriar menjadi jembatan budaya antaraIndonesia dan Australia. ''Masih terlalu banyak orang Indonesia yang tidak tahu Australia, demikian pula sebaliknya,'' jelas Sawung Jabo di Kementerian Kebudayaan dan Pariswisata, Jakarta, Senin (19/7).

''Dengan agenda kebudayaan inilah kami ingin berbuat sesuatu agar hubungan Indonesia dan Australia menjadi semakin baik,'' kata Jabo, yang dalam pertunjukan ini akan bertindak sebagai music director. Pertunjukan yang akan digelar di Yogyakarta, Solo, Surabaya, Sidoarjo, Jakarta dan Bandung ini melibatkan 17 pemain, 4 di antaranya dari Australia. ''Sebagaimana di katakan Jabo, pertunjukan ini terjadi karena keprihatinan kami melihat banyak orang lebih mudah menciptakan perpecahan daripada perdamaian,'' kata Don Mamoney, sutradara komunitas Sidetrack Performance Group, yang bertindak sebagai performance director dalam pertunjukan ini.

Menurut I Gede Ardika, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, lewat pertunjukan The Saga of Sawung Galing menunjukkan bahwa peranan seniman dalam mengambil inisiatif hubungan antarmanusia sangat penting. ''Kemesraan antardua kebudayaan yang berbeda bisa dilakukan oleh person to person,'' katanya. Pementasan yang akan digelar 4-20 September 2004 ini juga disambut gembira oleh Duta Besar Australia untuk Indonesia, David Ritchie. ''Secara geografis letak Indonesia dan Australia sejatinya tidak berbatas. Dan, bagi kami proyek inilah contoh sempurna sebagai sarana komunikasi antardua negara yang teramat sangat efektif,'' katanya.

Berlatih Dua Bulan

Lakon The Saga of Sawung Galing yang diangkat dari mitos Sawung Galing dari Jawa Timur ini juga akan dipertontonkan di Komplek Gedung Teater Sidetrack di Addisson Road Center, Sydney Australia. ''Kami telah berlatih selama dua bulan. Dan selama pementasan di Tanah Air kami menggunakan bahasa Indonesia. Ketika manggung di Australia, tentu saja semua pelakon menggunakan dialog bahasa Inggris,'' kata Jabo, didampingi istrinya Susan Viper, yang juga bertindak sebagai co-producer/ cultural and linguistic translator & interpreter.

Lalu, kenapa pilihan lakonnya jatuh pada mitos Sawung Galing? ''Kebetulan saja Sawung Galing adalah simbol pahlawan yang menegakkan nilai-nilai kemanusiaan. Ini sesuai dengan semangat kami dalam berkesenian,'' kata Jabo. Dia menambahkan lakon sepanjang 2.5 jam ini telah didekontruksi sedemikian rupa oleh sutradara, Don Mamouney. ''Saya mengubah sosok Sawung Galing yang sebenarnya putra menjadi seorang perempuan. Ini agar stigma bahwa semua pahlawan adalah laki-laki dapat saya gugurkan,'' kata Don yang selama proses latihan di Yogyakarta giat belajar bahasa Indonesia. (G20-63)

Log Zhelebour

Selasa, 13 Juli 2004. BUDAYA

Log Kembali Gelar Festival Rock
Pendaftaran Jateng-DIY di Yogyakarta

JAKARTA-Untuk kali kesepuluh, Log Zhelebour, salah seorang promotor kondang Tanah Air, berencana kembali menggelar ajang akbar "Djarum Super Rock Festival X". Sebagai sebuah ajang festival rock se-Indonesia, kegiatan itu juga sekaligus menandai diakhirinya event dua tahunan yang memperebutkan hadiah total sebesar Rp 150 juta itu. "Aku kesel, lelah, dan capek karena stamina untuk menyelenggarakan festival tingkat nasional semacam ini bukan main menguras tenaga," kata Zhelebour di Hard Rock Cafe, Jakarta, baru-baru ini.

Namun demikian Log yang kini juga merangkap sebagai promotor yang menangani manajemen Nicky Astria, Jamrud, Power Metal, dan grup anyar U9, menyatakan tidak akan mundur dari hiruk pikuk musik rock Indonesia. "Meski wis tuwo (sudah tua), dan ajang ini menjadi hajat pamungkas saya, bukan berarti aku mundur dari blantika musik rock teristimewa konser-konser live rock di Indonesia," imbuhnya. Sebagaimana kita ketahui, selama dua dekade Log telah menggelar festival rock se-Indonesia sejak 1984.

Pendaftaran peserta Djarum Super Rock Festival X dibagi dalam 12 wilayah di seluruh Indonesia. Setiap peserta dikenakan biaya pendaftaran Rp 250 ribu dan Rp 200 ribu untuk wilayah tertentu. Untuk wilayah Jawa Tengah dan DIY, dapat mendaftar ke Kabare Yogya, Jl Pacar 67 A- Baciro, Yogyakarta. Dengan beberapa prasyarat wajib seperti peserta tidak sedang terikat kontrak dengan perusahaan rekaman manapun dan harus mengikuti penyisihan awal atau audisi.

Hingga akhirnya tersaring sepuluh peserta untuk maju di grand final yang akan digelar di Stadion Gelora 10 Nopember, Surabaya, Desember mendatang. Gelar yang diperebutkan antara lain The Best Rock Band 2004, serta juara I, II, III, harapan, dan favorit, serta penyanyi, gitaris, basis, drumer, dan musisi pendukung terbaik. "Sebagai juara pertama akan saya kontrak rekaman album, serta tour show sepuluh kali. Sedangkan bagi sepuluh peserta grand final akan masuk dapur rekaman album kompilasi sepuluh finalis Djarum Super Rock Festival X," janji Log. Para Jawara Djarum Super Rock: Harley Angels (Denpasar/1984), Elpamas (Pandaan, Malang/1985), Grass Rock (Surabaya/1986), Adi Metal Rock Band (Surabaya/1987), Power Metal (Surabaya/1989), Kaisar (Solo/1991), Andromedha (Surabaya/1993), Teaser (Temanggung/1996), U9 (Kediri/2001) (G20)