Senin, 11 Februari 2008

The Notebok,

Selasa, 19 Oktober 2004. BUDAYA

Memori, Harta Karun Masa Tua

KETIKA masa tua menjelma, adakah harta karun yang lebih berharga selain sepotong ingatan tentang kecemerlangan masa lalu? Memori yang menostalgiakan keriangan dan kecemerlangan masa muda inilah yang (biasanya) kembali dikenangkan para orang tua kepada kita. Dan memori menjadi lebih berharga lagi ketika menjadi sebuah wahana untuk menjaga daya ingat serta merunut jejak langkah ingatan sejarah yang tersilap oleh ketuaan.

Lewat film The Notebook yang diangkat dari novel karya Nicholas Sparks yang diadaptasi menjadi skenario oleh Jeremy Leven inilah sebuah memori dikenangkan dengan mengharu biru. Dengan ramuan drama percintaan bersetting Amerika tahun 1940, sutradara Nick Cassavetes menyuguhkan sinema yang secara gambar menawan ini menjadi sebuah sajian yang tidak terjebak pada keklisean.

Namun, tetap ada sedikit kejanggalan terhadap alur skenario yang cenderung dipaksakan memuncak demi mencapai sebuah adegan yang membuat airmata berlinang. Cinta (lagi-lagi) dengan segala kekuatan dan romantikanya, sebagaimana sejak zaman purba, senantiasa menjadi sebuah keniscayaan yang paling elok untuk dikenangkan.

Tersebutlah Allie Hamilton (Rachel McAdams) seorang remaja putri di kota kecil Seabrook, Carolina Utara, Amerika Serikat. Dalam kebeliaanya, pada sebuah karnaval, ia bersua dengan Noah Calhoun (Ryan Gosling). Selanjutnya sebagaimana kisah kasih remaja, mereka berdua dimabuk cinta. Ketika jalinan asmara sedang mendidih, orang tua Allie yang kaya raya tidak merestui hubungan mereka. Bisa ditebak, hal itu lantaran Noah hanya seorang kuli pemotong kayu yang udik dan tidak sepatutnya bersanding dengan Allie yang berlatar belakang dari keluarga berada.

Bersamaan dengan itu meletuslah Perang Dunia II. Selanjutnya, bubarlah hubungan mereka. Allie bersama orang tuanya pindah ke New York dan Noah selama satu tahun penuh, 365 hari, tiada henti menyurati jantung hatinya. Dan tragisnya, tidak ada sepucuk surat pun yang berbalas. ''Meski kau telah pergi meninggalkanku, tapi tidak akan pernah meninggalkan hatiku,'' bisik Noah pada dirinya sendiri.

Berperang

Alih-alih mengisi kekosongan jiwa, Noah mendaftarkan diri menjadi sukarelawan untuk berperang ke medan laga. Ketika perang telah purna, Noah pun kembali ke kampung halamannya dan kembali mewujudkan impian lamanya. Dia membangun sebuah rumah yang diidamkan oleh Allie ketika masa berpacaran dulu. Tidak terasa beberapa tahun telah berlalu. Hingga pada suatu masa, Allie yang telah bertunangan dengan Lon (James Marsden), menyaksikan foto Noah di sebuah koran ketika sedang berikhtiar menjual rumah barunya.

Setelah itu, Allie dengan izin tunanganya kembali ke Seabrook dan merunut masa lalunya. Nah, beberapa dekade sesudahnya, seorang kakek-kakek (James Garner) dengan tekun senantiasa membacakan sebuah kisah dari notebook kepada seorang nenek-nenek (Gena Rowlands). Siapakah kakek tua renta yang tekun mengenangkan memori kepada nenek ayu yang telah terkena penyakit kepikunan itu? Dan siapa pula nenek pikun yang diklaim sebagai rumah peristirahatan terakhir satu-satunya oleh kakek renta itu? Disinilah sebuah memori menarasikan kekuatannya. (Benny Benke-63)

Tidak ada komentar: