Senin, 11 Februari 2008

Virgin

Jumat, 12 Nopember 2004. BUDAYA

Potret Remaja Salah Asuhan

TIDAK ada yang lebih memprihatinkan dan menggetarkan perasaan ketika realita kehidupan mampu dinarasikan dengan sederhana, apa adanya dan mendekati kenyataan. Inilah yang terekam dalam film Virgin, Ketika Keperawanan Dipertanyakan. Film itu mampu menghadirkan sebuah potret buram kehidupan remaja metropolitan seperti Jakarta, dengan sangat apik dan realistik. Gagasan mengangkat tema keperawanan memang bukan sesuatu yang baru. Namun, ketika membenturkannya dengan gaya hidup remaja usia belasan, yang belum 17 tahun, tema itu menjadi sangat menyentuh perasaan. Apalagi sang tokoh dikisahkan dengan gampang mengumbar keperawanannya dengan siapa pun yang dikehendaki dengan dalih apa pun.

Hanny R.Saputra sebagai sutradara mampu memindahkan skenario bernas karya Armanto menjadi sebuah bahasa gambar dan tutur yang mencengangkan. Maka, sinergi antara skenario yang kuat dan penyutradaraan yang andal mampu melahirkan dramatisasi kuat didukung akting para pemeran yang menawan. Belum lagi dengan pelibatan efek bintang tamu tenar dalam peran kecil dan singkat, namun cukup memberi arti dan mengangkat citra sebuah film. Tengoklah, betapa Ayu Azhari, sebagai guru sastra/ drama, Unique Priscilia sebagai guru biologi, Ari Sihasale sebagai sutradara, Tio Pasukadewo sebagai gambler, Hanidar Amroe sebagai ibu Biyan sampai Jhody sebagai presenter, mampu memperkaya sinema produksi Star Vision ini.


Ditambah lagi dengan kekuatan ilustrasi musik yang mampu menjadi satu kesatuan yang padu hasil besutan Indra Qadarsih dan Erwin Prasetya. Tidaklah mengherankan jika film sepanjang 111 menit ini memang patut dicatat sebagai salah satu film layar lebar terbaik sepanjang 2004 ini.

Persahabatan

Film ini berkisah tentang persobatan antara tiga gadis remaja, Biyan (Laudya Cybthia Bella), Ketie (Angie) dan Stela (Ardina Rasti). Sebagai remaja putri yang masih duduk di bangku SMA, semangat mereka untuk mengenal dunia memang sangat berkobar. Maka, menjadi sangat riskan membiarkan mereka tanpa bimbingan orang tua atau siapa pun yang mampu mengawal dan memberi asuhan.

Mereka bertiga adalah potret remaja berseragam putih abu-abu yang salah asuhan. Maka, menjadi sebuah keniscayaan jika akhirnya mereka terjerumus ke dalam pemaknaan arti penting keperawanan yang tidak semestinya. ''Hari gini masih perawan?'' Kalimat itulah yang mengolok-ngolok keperawanan jika masih saja dipertahankan oleh remaja putri seperti mereka di kota metropolitan.

Sungguh, keperawanan yang diolok-olok dan tidak lagi menjadi simbol eksistensi harga diri menimbulkan polemik di film ini. Sungguh pun dalam komunitas dunia gaul, di mana kebebasan, pesta pora, dan keberanian yang keliru dalam mengekpresikan masa muda, keperawanan sudah tidak lagi menjadi tolok ukur perkawanan. Namun, Biyan yang terjepit di antara gaya hidup dua kawannya, yang dengan mudahnya berhubungan badan dengan siapa pun. Atau bahkan menjual diri demi segepok rupiah. Toh, akhirnya masih mampu menjadi hero dalam bentuk yang lain, yakni dalam memaknai keperawanan.

Ya, Hanny R Saputra memang mempunyai catatan yang membanggakan sebagai sutradara. Delapan Piala Vidia telah digenggamnya. Salah satu filmnya, Sepanjang Jalan Kenangan terpilih sebagai film terbaik FSI. Dia juga meraih Golden Award di Cairo International Film Festival for Children lewat film Nyanyian Burung, serta Best Cinematography dan Best Editor Asian Televisi Technical & Creative Award(lewat Lo Fen Koei. Dan, lewat film Virgin dia kembali membuktikan kepiawaiannya. (Benny Benke-63)

Tidak ada komentar: