Senin, 11 Februari 2008

Ananda Sukarlan

Senin, 18 Oktober 2004. BUDAYA

Sinergi Intuisi yang Mapan

KECANGGUNGAN akan menjadi sebuah keniscayaan jika dua ranah kesenian yang berbeda disepanggungkan dalam sebuah pergelaran. Kondisi itu kemungkinan besar terjadi jika tidak ada pertalian yang memungkinkan terjadinya perkawinan di antara keduanya. Namun hal tersebut tampaknya bisa dihindari oleh maestro tari Sardono W Kusumo dan maestro piano Ananda Sukarlan saat berkolaborasi dalam ''Ananda dalam Hutan Plastik'' di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 14-15 Oktober lalu.

''Ini bukan masalah siapa yang akan menyesuaikan dengan siapa. Namun kami saling merespons dengan interpretasi masing-masing perihal tema yang kita sepakati,'' terang Sardono sebelum pertunjukan. Dan di atas panggung yang berlatang belakang gemawan plastik berukuran raksasa, Ananda Sukarlan pun mulai membuka pertunjukan selama 120 menit dengan komposisi ''Penghayatan Bulan Suci'' (Trisuci Kamal/1984). ''Komposisi ini sekaligus untuk menyambut datangnya Ramadan,'' katanya sebelum membawakan suita dalam tiga bagian: Ramadan, Malam Takbir, dan Idul Fitri.

Sampai di sini, repertoar yang menjual tiket termahalnya seharga Rp 250.000 ini masih berjalan dengan kewajaran. Hingga tiba saatnya Ananda mulai memainkan komposisi ''Jangan Lupa'' (Gareth Farr).

Melenakan

Dengan menarikan jari jemarinya di atas tuts piano dengan berbagai teknik, ia mulai menghantarkan sebuah peristiwa penikmatan musik yang melenakan. Sehingga tak ayal, arena pertunjukan yang nyaris disesaki penonton itu hening dan senyap hingga denting terakhir tuts piano menyudahi reportoarnya. Ya, di tangan alumnus Royal Conservatory of Music Den Haag, Belanda ini, musik telah sampai pada tataran yang mampu mengekspresikan hal-hal yang sudah tidak dapat lagi diungkapkan lewat kata-kata. ''Termasuk hal-hal spiritual yang tidak dapat diterjemahkan dengan akal. Ia hanya dapat dirasakan,'' katanya.

Menurut Ananda, intuisi lebih diutamakan dalam pertunjukan ini daripada sekedar logika. Apalagi ketika para penari yang menganalogikan keberadaan hutan mulai unjuk ke atas panggung. Dan puncaknya, ketika representasi kehidupan yang telah disesaki dengan segala hal berbau plastik menyeruak ke atas panggung: dari para penari yang berbalut plastik hingga para waria yang telah terkena dampak plastik (dengan operasi plastiknya).

Dan semua pergerakan para penari itu dibarengi dengan komposisi klasik seperti "Love Songs" (Gareth Farr), "Prelude in C, op 87 no 1" (Dmitri Shostakovic), "It's Snowin in Bali" (Polo Vallejo), "Invenciones", "Short Pieces for Children" (Jesus Rueda), dan "Alio Modo" (David del Puerto). Sungguh, sebagaimana paparan Ananda, pagelaran ini langsung dapat berkomunikasi dengan lubuk hati yang paling dalam, lepas dari segala kepercayaan, agama, dan latar belakang budaya penikmatnya.

Apalagi, Sardono yang sesekali menyeruak ke atas panggung, menggiring suasana menjadi sangat cair, penuh nuansa humor, ringan tanpa harus kehilangan ketakziman. Benar-benar sebuah pergelaran yang dihasilkan dari sinergi intuisi yang mapan. (Benny Benke-81)

Tidak ada komentar: