Senin, 11 Februari 2008

Teguh Karya

Rabu, 11 Agustus 2004. BUDAYA

Mengenang Suhu Teater

''KALAU tidak ada Pak Teguh, saya tidak akan pernah menjadi seperti sekarang ini. Pak Teguh dan Teater Populer lah yang menjadikan saya seperti sekarang ini, sebelum akhirnya Slamet Rahardjo Djarot mematangkan akting saya dan Eros Djarot semakin membuka cakrawala saya. Ketiga orang itulah manusia-manusia yang berjasa dalam hidup saya''. Kalimat tersebut merupakan secuil nukilan kesaksian Christine Hakim atas jasa Teguh Karya. Ya, siapa yang tidak mengenal namanya. Laki-laki kelahiran 22 September 1937 di Pandeglang ini dianggap sebagai suhu teater dan film Indonesia saat ini.

Bersama komunitasnya, Teater Populer Hotel Indonesia, yang pada akhirnya berubah menjadi Teater Populer lahir para pekerja-pekerja kesenian andal di Tanah Air. Sebutlah nama Slamet Rahardjo Djarot, Nano Riantiarno, (alm) Tuti Indra Malaon, Eros Djarot, Christine Hakim, Franky Rorimpandey, George Kamarullah, Hengky Solaiman, Benny Benhardi, Niniek L Karim, Alek Komang, dan Ayu Azhari.
Dan atas jasa besar lulusan Akademi Seni Drama dan Film (Asdrafi) Yogyakarta dan Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) tersebut, Japan Foundation bekerja sama dengan Sinematek Indonesia dan Pusat Perfilman Haji Umar Ismail (PPHUI) menggelar Pameran Foto dan Film Teguh Karya. Agenda yang dipusatkan di hal Japan Foundation Jl Sudirman dan PPHUI Jl Rasuna Said Jakarta, 9-13 Agustus, ini didukung pula oleh Yayasan Teater Populer dan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).
Pemutaran Film

Teguh Karya yang akrab disapa Om Steve oleh orang-orang terdekatnya, wafat pada 11 Desember 2001. Karier dalam dunia film dirintisnya saat melakukan tugas praktik penulisan skenario film-film semi dokumenter pada Perusahaan Film Negara (kini PPFN). Semasa ngenger itulah, mantan anggota DKJ masa bakti 1968-1972 ini bekerja pada sutradara D Djajakusuma, Nyak Abbas Acup, Misbach Yusa Biran, Wim Umboh, dan Asrul Sani. Baik sebagai penata artistik, pemain, maupun assisten sutradara.

Di dalam dunia film inilah namanya identik dengan Piala Citra karena hampir semua karyanya meraih penghargaan tertinggi dalam berbagai kategori. Puluhan karya legendaris yang telah dia hasilkan antara lain Wajah Seorang Laki-laki (1971), Cinta Pertama (1973), Ranjang Pengantin (1974), Kawin Lari (1975), Perkawinan dalam Semusim (1976), Badai Pasti Berlalu (1977), Di Balik Kelambu (1982), Secangkir Kopi Pahit (1984), Doea Tanda Mata (1985), Ibunda (1986), dan Pacar Ketinggalan Kereta (1989).
Beberapa diantaranya meraih Piala Citra untuk Penyutradaraan Terbaik pada 1974, 1975, 1979, 1983, 1986 dan 1989. Bahkan di layar TV pun, karya sinema elektroniknya (sinetron) seperti Pulang (1988) dan Arak-arakan (1992) mendapat sambutan luar biasa. ''Bahkan jauh sebelum itu, dengan Teater Populer, banyak kritikus menilai beberapa lakon panggung yang disutradarainya mencapai puncak eksplorasi,'' terang Dian dari Japan Foundation.
Dian menyebutkan beberapa judul seperti Jayaprana (Jef Last), Pernikahan Darah (FG Lorca), Inspektur Jendral (Nikolai Gogol), Woyzeck (G. Buchner), dan Perempuan Pilihan Dewa (Bertolt Brecht). Selain diputar beberapa judul film seperti Di Balik Kelambu, Badai Pasti Berlalu, Secangkir Kopi Pahit, dan Pacar Ketinggalan Kereta, juga akan diadakan diskusi bertema ''Teguh Karya Dalam Perfilman Indonesia'' di PPHUI, Jumat (13/8). Pembicara yang dihadirkan Prof Dr Fuad Hasan, Slamet Rahardjo Djarot, dan Riri Riza. (Benny Benke-81)

Tidak ada komentar: