Selasa, 19 Februari 2008

FFI (03)

Kamis, 01 Desember 2005. BUDAYA Nominasi Aktor-Aktris FFI 2005 (3-Habis)

Aktris Senior Juga Diunggulkan Raih Citra

SEPERTI halnya calon peraih Piala Citra untuk aktor terbaik, gelar aktris terbaik diperkirakan bakal diraih aktris senior. Dia adalah Cornelia Agatha. Lajang kelahiran 11 Januari 1973 ini memang lebih dikenal sebagai pemeran tokoh Sarah dalam sinetron Si Doel Anak Sekolahan. Namun sesungguhnya dia sudah lama malang melintang di bidang seni peran. Karena itu, rasanya tidak adil membandingkan pengalaman Cornelia Agatha dengan aktris-aktris muda yang masuk nominasi Pemeran Utama Wanita Terbaik dalam Festival Film Indonesia (FFI) 2005. Marcella Zalianti, Ludia Cinthia Bella, Angie dan Sigi Wimala memang punya potensi besar, namun pengalaman mereka masih sangat minim dibanding Cornelya Agatha. Cornelya memulai akting di film pada awal 1990-an lewat film Lupus I, Elegi untuk Nana dan Rini Tomboy. Sebagai bintang sinetron, namanya melejit lewat serial Si Doel dan cukup mendapat perhatian pemirsa layar kaca lewat sinetron Opera Tiga Zaman, Senja Merah Hati, Aku Ingin Pulang, Cintanya Cinta, Istri Kedua, dan Perempuan Pilihan. Penampilannya dalam sejumlah sinetron itu sudah menggambarkan kemampuan aktingnya. Belum lagi pengalamannya di panggung teater. Beberapa kali Lia, demikian panggilan akrab Cornelya Agatha, terlibat dalam lakon panggung seperti Bayi di Aliran Sungai, Saijah dan Adinda, Menembus Ruang dan Waktu, Wisanggeni Berkelebat, dan Dari Negeri Cinta. Meski demikian bukan berarti tidak ada kemungkinan bagi Marcella Zalianty untuk merebut Piala Citra untuk kategori Pemeran Wanita Terbaik film bioskop. ''Peran Marcella dalam film Brownies sangat unik sekali,'' tutur Riri Riza, sutradara Gie. Menurut Riri, akting Marcella sebagai seorang wanita dewasa dengan kompleksitas permasalahannya membutuhkan totalitas yang tidak main-main. ''Meski dalam film Detik Terakhir saya dengar Cornelya melakukan adegan ciuman (dengan sesama wanita),'' kata Riri, yang mengaku belum menonton film tersebut. Namun, menurut sutradara Eliana Eliana ini, akting ciuman sesama wanita itu tidak ada yang istimewa. ''Semua orang bisa melakukannya''. Karakter Unggulan. Riri menambahkan, puncak idealisme seorang aktor dan aktris di matanya adalah bila aktor atau aktris itu mampu menempatkan diri dala m peran itu, dan menemukan realita baru di luar pribadinya. ''Sebagai seorang sutradara, bila saya menemukan aktor atau aktris seperti itu, baru luar biasa rasanya. Dan menurut saya, Marcella telah melakukan itu dalam filmnya''. Marcella memang patut diperhitungkan. Apalagi karakter unggulan dalam sebuah festival sangat bergantung pada juri dan standar penilaian yang disepakati bersama. ''Karakter seperti Sigi di Tentang Dia, dan Bella di Virgin memang menantang. Tapi belum menujukkan sesuatu yang unik,'' kata Riri Reza. Terlepas dari siapakah yang akhirnya meraih gelar pemeran utama wanita terbaik maupun pemeran utama pria terbaik, Riri mengingatkan, aktor dan aktris dengan kualitas yang baik dapat diciptakan jika struktur perfilman nasional juga baik. Semua unsur film merupakan satu kesatuan yang utuh. Film akan menjadi baik jika dibuat berdasarkan skenario skenario yang kuat dan didukung oleh arahan sutradara baik dan totalias aktor-aktris dalam melakonkannya. ''Akting bisa menjadi bulat dan bagus, jika berada di film yang tepat,'' tandas pembuat film Petualangan Sherina itu. (Benny Benke-43)

FFI (02)

Rabu, 30 Nopember 2005. BUDAYA
Nominasi Aktor-Aktris FFI 2005 (2)
Terjebak Peran Tipikal dan Tema Monoton

TAK hanya Adisoerya Abdi yang secara implisit menjagokan Deddy Mizwar bakal meraih gelar aktor terbaik dalam Festival Film Indonesia (FFI) 2005. Sutradara berbakat Rudi Soedjarwo juga berpendapat serupa. Sineas yang meroket lewat film Ada Apa Dengan Cinta? ini secara terbuka mengatakan aktor kawakan itu sebagai nominator yang paling layak meraih Citra. "Bahkan, filmnya (Ketika) pun secara emosi adalah sebuah film yang lengkap," kata Sutradara Terbaik FFI 2004 itu. Menurut Rudi, ada alasan yang logis mengapa dia tidak menjagokan para bintang muda seperti Nicholas dan Bucek, apalagi Mike Mulardo. "Kemampuan keaktoran mereka, dimata saya, bahkan belum mencapai satu persen. Jam terbang serta tempaan peran yang cenderung tipikal membuat mereka belum teruji," katanya. Rudi berpendapat lingkaran aktor muda Indonesia hanya dari itu ke itu, dengan kemampuan yang pas-pasan. Kondisi itu diperparah oleh ketidakberagaman tema cerita. Film Indonesia saat ini melulu berputar dari cerita horor dan cinta segitiga. Para aktor generasi sekarang seolah terjebak dalam tema cerita film yang monoton dan peran tipikal. Mereka tak berkesempatan memainkan berbagai macam karakter. "Inilah yang membedakan kualitas aktor lama seperti Deddy Mizwar dengan aktor-aktor sesudahnya," tegas Rudi Soedjarwo. Meski demikian, baik Rudi maupun Adisoeryo Abdi, tidak menampik kemungkinan kejutan-kejutan yang akan terjadi, atau dalam bahasa Slamet Rahardjo Djarot, "Tidak akan ada yang benar-benar tahu selera dewan juri". Empat Citra. Rasanya memang tidak adil mempertandingkan Deddy Mizwar dengan aktor-aktor muda yang masih miskin pengalaman. Namun apa boleh buat, penilaian dalam festival film memang tak membedakan pengalaman pesertanya. Karena itu, ketika nama Deddy Mizwar muncul dalam daftar nominasi pemeran utama pria terbaik FFI 2005, sejumlah kalangan langsung menjagokannya. Betapa tidak, aktor kawakan kelahiran Jakarta 5 Maret 1955 ini telah 12 kali masuk nominasi FFI dan meraih empat Piala Citra serta dua Piala Vidya (untuk sinetron). Dia masuk nominasi aktor terbaik lewat film Bukan Impian Semusim (1982), Sunan Kalijaga (1984), Saat-saat Kau Berbaring di Dadaku (1985), Kerikil-kerikil Tajam (1985), Kejarlah Daku Kau Kutangkap (1986), Ayahku (1988), Putihnya Duka Kelabunya Bahagia (1989), Dua Dari Tiga Lelaki (1990), dan Jangan Renggut Cintaku (1990). Dia meraih Piala Citra untuk aktor terbaik lewat film Naga Bonar (1987) dan Arie Hanggara (1988), serta pemeran pembantu terbaik lewat Opera Jakarta (1986) dan Kuberikan Segalanya (1987). Deddy mengawali karier pada 1973 ketika aktif di Teater Remaja Jakarta. Dia mengasah kemampuan aktingnya di atas panggung teater. Hasilnya, dia pernah terpilih sebagai Aktor Terbaik Festival Teater Remaja di Taman Ismail Marzuki (TIM). Dia lalu belajar di Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ), yang sekarang menjadi IKJ, meski hanya bertahan dua tahun. Pada 1976, ia mengawali karier sebagai pemain film lewat Cinta Abadi (1976) arahan sutradara Wahyu Sihombing.Melihat pengalaman Deddy Mizwar, Nicholas Saputra nampaknya belum apa-apanya. Namun, tak sedikit pula yang menjagokan mahasiswa Universitas Indonesia itu yang bakal meraih Piala Citra untuk aktor terbaik. Apalagi dia diunggulkan lewat dua film sekaligus, Gie dan Janji Joni. Penonton usia muda, yang diyakini sebagai mayoritas penonton film Indonesia saat ini, bisa jadi lebih mengidolakan Nicho. Kondisi itu diakui atau tidak bakal mempengaruhi keputusan dewan juri FFI 2005. Tentu saja dengan catatan kekuatan akting Nicho dalam kedua film itu tak kalah jauh dari Deddy Mizwar. Ini demi tetap menjaga kualitas FFI. Slamet Rahardjo, yang beberapa kali meraih gelar aktor terbaik FFI, memuji keaktoran Nicholas Saputra dan para bintang muda lainnya. Dengan segala kelebihan dan kekurangan mereka, kehadiran para aktor dan sineas muda itu patut disyukuri. "Saya sering mendapat keluhan dari kawan-kawan, bahwa kualitas keaktoran dan film Indonesia saat ini menyedihkan. Buat saya itu tidak masalah. Lha wong yang ngritik juga nggak berbuat apa-apa!" katanya. (Benny Benke, bersambung-43)

FFI (01)

Selasa, 29 Nopember 2005. BUDAYA
Nominasi Aktor-Aktris FFI 2005 (1)
Keaktoran Para Bintang Muda Diragukan

NOMINASI calon peraih Piala Citra Festival Film Indonesia (FFI) 2005 telah diumumkan, Jumat (25/11) lalu. Kategori pemeran atau aktor/aktris merupakan salah satu kategori yang menarik perhatian penggemar film. Apalagi, kualitas keaktoran para bintang muda saat ini masih diragukan. Berikut rangkuman wartawan Suara Merdeka Benny Benke mengenai kualitas para bintang muda dan peluang mereka meraih Piala Citra dalam FFI 2005 yang puncak acaranya akan digelar di Jakarta Convention Centre, 5 Desember mendatang. (43)

KUALITAS keaktoran para bintang muda masih diragukan. Bahkan, sutradara Rudi Soedjarwo yang meroket lewat film Ada Apa Dengan Cinta? menganggap keaktoran para bintang muda saat ini belum mencapai 1 persen. Sebaliknya, aktor kawakan Slamet Rahardjo berpendapat kemampuan mereka dalam seni peran tetap layak dipuji. Setelah lama vakum, baru dua tahun terakhir ini Festival Film Indonesia (FFI) diselenggarakan. Ajang itu pada masanya dulu pernah dianggap sebagai tolok ukur kualitas para pekerja film di Tanah Air. Tanpa festival, film hanya dinilai oleh selera pasar. Kemunculan para bintang muda pun dianggap hanya bermodalkan tampang atau unsur-unsur komersial lainnya, bukan karena kemampuan berakting. Separah itukah kualitas para aktor film Indonesia? Beberapa bintang muda memiliki semangat tinggi untuk menekuni karier sebagai aktor. Ada yang hanya berkonsentrasi pada film bioskop dengan peran-peran selektif. Namun, tak sedikit pula yang menerima semua tawaran main yang disodorkan, baik untuk film bioskop maupun sinetron. Dua Film. Keseriusan lain dibuktikan para bintang muda dalam mempersiapkan diri sebelum memainkan sebuah peran, antara lain dengan studi pustaka, wawancara dan observasi. Hal itu dilakukan Nicholas Saputra sebelum memerankan tokoh Soe Hok Gie dalam film Gie. Di antara aktor muda, Nicho yang masuk nominasi lewat dua film sekaligus, Gie dan Janji Joni, paling diunggulkan. Dia akan mudah menyingkirkan Bucek (Brownies), dan Mike Mulardo (Detik Terakhir). Namun, apakah dia mampu bersaing dengan aktor kawakan Deddy Mizwar yang masuk nominasi pemeran utama pria terbaik lewat film Ketika? Beberapa pengamat dan pekerja film seperti Adisoerya Abdi, Slamet Rahardjo dan Rudi Soedjarwo memberikan pandangannya. Adisoeryo Abdi, selaku Ketua Panitia Pelaksana FFI 2005, menyatakan sangat percay a dewan juri yang terdiri atas para praktisi film dan pengamat akan bekerja sesuai dengan mekanisme yang ada. Mereka terdiri atas Sophan Sophiaan, Eros Djarot, Sarlito Wirawan, Tanate Pomasa, Angelina Sondhak, dan JB Kristanto. ''Yang pasti kualitas keaktoran, dengan segala dimensi yang mendukungnya, memegang peranan yang sangat penting untuk menjadi aktor yang baik,'' tutur Adi. Menurut Adi, ada kecenderungan para bintang muda sekarang ini merupakan hasil sebuah dunia yang serba instan. Akibatnya, keaktorannya belum benar-benar mencapai kualitas yang diharapkan dibandingkan bintang-bintang lama. ''Namun, apapun yang terjadi ini adalah sebuah proses panjang yang harus tetap kita hormati,'' katanya. Adi secara implisit menjagokan Deddy Mizwar bakal merebut Piala Citra tahun ini. (bersambung-43)

Nicolas

Senin, 28 Nopember 2005. BUDAYA
Nominasi FFI 2005
Nicolas dan Marcella Diunggulkan

JAKARTA-Nicolas Saputra, Deddy Mizwar, Bucek, dan Mike Mulardo masuk nominasi pemeran pria utama terbaik dalam Festival Film Indonesia (FFI) 2005. Nicolas yang mencuat namanya lewat film Ada Apa Dengan Cinta bahkan diunggulkan untuk meraih piala Citra untuk perannya dalam dua film yang berbeda, yaitu Gie dan Janji Joni. Aktor kawakan Deddy Mizwar diunggulkan lewat film Ketika yang diproduksi, ditulis, dan disutradarainya sendiri. Bucek diunggulkan lewat film Brownies yang disutradarai Hanung Bramantyo sementara Mike Mulardo lewat film Detik Terakhir. Marcella Zalianty, lawan main Bucek dalam film Brownies masuk nominasi pemeran utama wanita terbaik film cerita bioskop bersama empat artis lainnya, yaitu Laudya Chintya Bella (Virgin), Cornelia Agatha (Detik Terakhir), Angie (Virgin), dan Sigi Wimala (Tentang Dia). Lima sutradara muda yaitu Riri Reza (Gie), Hanny R Saputra (Virgin), Joko Anwar (Janji Joni), Rudy Soedjarwo (Tentang Dia), dan Hanung Bramantyo (Brownies) bersaing ketat dalam nominasi sutradara terbaik film cerita bioskop. Untuk nominasi pendukung wanita terbaik film bioskop nama Sauzan (Detik Terakhir) akan berebut menjadi yang terbaik dengan empat artis lainnya, yakni Adinia Wirasti (Tentang Dia), Elmayana Sabrenis (Brownies), Rachel Maryam (Janji Joni) dan Wulan Guritno (Gie). Dalam pengumuman pemenang di studio Indosiar Jumat (25/11) malam, nominasi film cerita bioskop terbaik adalah film Gie, Ketika, Virgin, Janji Joni, dan Brownies. Film Televisi. Sedangkan nominasi pemeran utama wanita terbaik untuk film cerita lepas televisi adalah Jivita AFI (Cinta Tak Harus Memiliki), Lia Chandra (Masih Ada Cinta di Tanah Rencong), Gita Slavina (Tikus dan Kucing Mencari Cinta), Sissy Priscilla (Juli di Bulan Juni), dan Widi Mulia (Sayekti dan Hanafi). Untuk nominasi pemeran utama wanita terbaik untuk film cerita berseri televisi adalah Dina Olivia (Bunda), Marcella Zalianty (Kapan Kita Pacaran Lagi), Merriam Bellina (Bunda), Raslina Rasyidin (Demi Masa), dan Zaskia Adyamecca (Kiamat Sudah Dekat). Ada pun nominasi pemeran utama pemeran pria terbak untuk film cerita berseri untuk televisi adalah Anjasmara (Mukjizat Allah), Andre Toulani Stinky (Kiamat Sudah Dekat), Deddy Mizwar (Kiamat Sudah Dekat), dan Marcell Siahaan (Kapan Kita Pacaran Lagi). (G20-45)

Jeihan

Sabtu, 26 Nopember 2005. BUDAYA
Kolaborasi Patung dan Teater
Jeihan Gandeng Ratna Sarumpaet

JAKARTA-Jeihan Sukmantoro, salah seorang maestro seni lukis Indonesia yang tersohor dengan lukisan mata bolongnya, menutup penghujung tahun 2005 dengan sebuah pameran patung terkininya. Pemilihan patung sebagai media ekspresi yang dilakukan Jeihan bukan tanpa alasan. Seniman serbabisa yang juga mengawali karier mematung sejak 1950 ini, bahkan melibatkan pekerja teater dari kelompok Satu Merah Panggung pimpinan Ratna Sarumpaet untuk menginterpretasikan sembilan patung dari tembaganya. Kolaborasi yang akan dipentaskan di Panti Prajurit Balai Sudirman, Jakarta pada 2 Desember mendatang akan mengangkat lakon Pelacur dan Sang Presiden karya Ratna Sarumpaet. Menurut Jeihan, ketertarikannya memamerkan karya patung karena rasa keprihatinannya terhadap perkembangan dunia seni patung saat ini yang cenderung mandeg dan malah kembali ke gaya tahun 60-an. "Dan kebetulan saya merasa gemes kepada patung-patung yang ada sekarang, karena cenderung kembali kepada style tahun 60-an," katanya kepada wartawan di Galery Soka, Kemang, Jakarta. Patung yang mencitrakan sosok-sosok tidak sempurna secara fisik itu berketinggian dua sampai tiga meter dengan tahun pembuatan 2005. Kebebasan Ekspresi. Ratna Sarumpaet sendiri, yang pernah sukses mementaskan Marsinah: Nyanyian dari Bawah Tanah (1994), tetap mempunyai kebebasan ekspresi untuk membaca karya-karya Jeihan. Sedangkan Jeihan sendiri yang mengaku belum pernah membaca sekalipun naskah Pelacur dan Sang Presiden, sebenarnya lebih tertarik kepada sosok Ratna Sarumpaet daripada karya teaternya. Lakon Pelacur dan Sang Presiden yang berdurasi 50 menit dan terdiri atas enam babak itu, menurut Jeihan cocok dengan kondisi kekinian dengan maraknya pelacuran dengan berbagai macam kedoknya. "Dari pelacuran intelektual, kesenian, kebudayaa, dan pelacuran dalam arti yang sebenarnya memang bersimaharaja saat ini. Untuk itulah sajian Ratna akan menjadi sesuatu yang menarik," ujar Jeihan. (G20-45)

Rendra

Sabtu, 26 Nopember 2005. BUDAYA
Kumpul Seniman di Ultah Rendra

JAKARTA-Puluhan seniman dan sastrawan terkemuka akan turut meramaikan ulang tahun WS Rendra. Mereka antara lain Iwan Fals, Jockie Soeryoprayogo, Setiawan Djodi, Totok Tewel, Sawung Jabo, Trie Utami, Aning Katamsi, Innisisri, Nano Riantiarno, Jose Rizal Manua, Butet Kartaredjasa, Putu Wijaya, Chaerul Uman, Amak Baldjun, Syubah Asa, Adi Kurdi, dan Goenawan Muhamad. Kemarakan hari jadi Willibrodus Surendra Broto atau WS Rendra yang digagas oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) itu, bertajuk "70 Tahun Rendra: Menimbang Gerakan Kebudayaan Rendra". Kegiatan yang akan berlangsung mulai tangal 27 hingga 29 November ini akan dipusatkan di Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta. "Meletakkan Rendra sebagai seorang sosok untuk kita kenang dan kita peringati menurut kami teramat sangat layak sekali," ujar Harris Pribadi Bah, Ketua Komite Teater DKJ, di Galeri Cipta III, TIM, kemarin. Menurut Harris, acara selama tiga hari berturut-turut ini akan mempertontonkan kepada publik semua karya si Burung Merak, demikian julukan yang disematkan kepada WS Rendra yang lahir 7 November 1935. Sebut saja pembacaan syair-syair puisi, pemutaran film-film yang pernah dibintanginya, dan dramatic reading penggalan naskah drama Panembahan Reso. "Selain kami memajang memorabilia Mas Willy (Rendra), kami juga mengadakan seminar sehari, pembacaan cerpen oleh alumni Bengkel Teater, dan pertunjukan musik," imbuh Malamang Zamzam, Ketua Panitia Acara. Sebagai seorang seniman dan sastrawan lintasbatas, suami Ken Zuraida ini telah memberikan sumbagan besar bagi kemajuan kesenian, kesusastraan, dan kebudayaan Indonesia. "Selain tentu saja dia telah melahirkan tradisi sastra dan teater yang berpengaruh, hasil pemikirannya juga sangat masih bisa untuk dijadikan acuan generasi masa kini," imbuh Eep Saefullah Fatah. Sarasehan. Eep yang bertindak juga sebagai koordinator sarasehan, juga akan memandu sarasehan yang akan berlangsung selama sehari penuh dengan menghadirkan pembicara-pembicara yang berkompeten dalam bidangnya masing-masing. Sesi 1 sarasehan akan mengambil tema Rendra dan Teater Modern Indonesia yang dipandu Syubah Asa. Kemudian disusul tema Rendra dan Kesusastraan Mutakhir Indonesia (Ajip Rosidi, Sapardi Djoko Damono dan Leila S Chudori). Sesi 2 mengambil tema Rendra dan Perlawanan terhadap Pembangunan (M Chatib Basri), Rendra dan Pemberdayaan Warga Negara (Eep Saefullah Fatah). Sementara sesi 3 menghadirkan Gerakan Kebudayaan Rendra oleh Goenawan Mohamad. Untuk sesi film-film yang pernah dibintangi Rendra akan diputar film layar lebar seperti Cintaku Jauh di Pulau, Al-Kautsar, Terminal Cinta, dan Yang Muda Yang Bercinta. Rendra sendiri, selama prosesi perayaannya tidak akan turut ambil bagian dalam setiap sesi. Mantan suami almarhumah Sunarti dan mantan suami Sitoresmi itu akan duduk manis dan menjadi apresian sekaligus menikmati suasana kemeriahan yang ada. (Benny Benke-45)

Jiffest 2005

Kamis, 24 Nopember 2005. BUDAYA
Dua Ratus Film Ramaikan Jiffest 2005
JAKARTA-Jiffest atau Jakarta International Film Festival akan kembali digelar di Jakarta, 9-18 Desember 2005. Jiffest yang tahun ini memasuki tahun penyelenggaraan ke-7 dibuka di Graha Bhakti Budaya, 9 Desember 2005, pukul 19.00 dengan film Le Grand Voyage, arahan Ismael Ferroukhi (Maroko-Prancis). Festival akan ditutup dengan film box office yang bercerita tentang hari-hari terakhir kejatuhan Adolf Hitler Der Untergang (The Downfall), arahan Oliver Hirschbiegel (Jerman). Penyelenggaraan Jiffest akan berlangsung di Djakarta Teater, Graha Bhakti Budaya (GBB), TIM 21, Galeri Cipta 3, Teater Kecil, Istituto Italiano di Cultura, Goethe Haus, Erasmus Huis, dan Hotel Nikko. Bertempat di Hotel Nikko Jl MH Thamrin, Jakarta, kemarin Orlow Seunke selaku director Jiffest menyatakan festival film yang bertujuan untuk turut menggairahkan, merangsang, dan mendorong iklim industri perfilman Indonesia ini diharapkan akan semakin membuat Indonesia diperhitungkan dalam dunia perfilman. ''Sebagaimana berbagai film festival di mancanegara, di mana puluhan film dari berbagai penjuru dunia diputar, dalam Jiffest 2005 ini pun film-film terbaru dan berkualitas dari seluruh penjuru dunia diapresiasi,'' ujarnya. Dengan menyajikan sekitar 201 film, termasuk film pendek, dari 35 negara yang dirilis antara tahun 2003-2005, sebagian besar film yang akan diputar telah memenangkan penghargaan dari sejumlah festival ternama, seperti Cannes Film Festival, Venice Film Festival, Sundance Film Festival, IDFA, dan Academy Awards (Oscar). Kategori,. Jiffest memilah ratusan film terpilih ini ke dalam sejumlah kategori. Beberapa di antaranya adalah World Cinema. Segmen ini terdiri atas film-film yang dibuat oleh para pembuat film ternama, seperti 2046 (Wong Kar Wai), The Sea Inside (Alejandro Amenabar), dan Taegukgi (Kang Je-gyu). Sementara film-film yang belum terkenal namun berkualitas sama, bisa ditemukan di dalam kategori Panorama se-perti Noi Albinoi (Dagur Kari), Vital (Shinya Tsukamoto), dan Old Boy (Park Chan-Wook). Sedangkan untuk film dokumenter seperti Five Obstructions (Lars Von Trier), Metallica (Joe Berlinger dan Bruce Sinofsky), Comandante (Oliver Stone), Shape of the Moon (Leonard Retel Helmrich) dan berbagai judul anyar lainnya, akan melengkapi kategori film cerita layar lebar. Khusus untuk kategori film dokumenter pilihan akan diputar secara gratis. Mulai tahun ini, Jiffest menyediakan workshop dan master class bagi para pekerja film untuk meningkatkan kemampuannya. Empat workshop penulisan skenario diisi tutor mancanegara, seperti penulis skenario David Howard, produser Curtis Levy dan Graeme Isaac serta pembuat film dokumenter Leonard Retel Helmrich. Sementara enam sesi master class akan diisi Aline Bonetto, production designer film Amelie, Robby Mller (sinematografer), Tony Rayns (kritikus film), Wouter Barendrecht, Chris Masters (reporter senior ABC TV Australia), dan Donna Smith (mantan Senior Vice President, Universal Pictures). ''Dengan adanya workshop semacam ini, paling tidak standar kerja para insan film mancanegara akan tertularkan, atau menjadi bahan pembelajaran,'' ujar Santi Hairmain mewakili Yayasan Masyarakat Mandiri Film Indonesia, penyelenggara Jiffest 2005. (G20-45)

Jiffest 2005

Kamis, 24 Nopember 2005. BUDAYA
Dua Ratus Film Ramaikan Jiffest 2005
JAKARTA-Jiffest atau Jakarta International Film Festival akan kembali digelar di Jakarta, 9-18 Desember 2005. Jiffest yang tahun ini memasuki tahun penyelenggaraan ke-7 dibuka di Graha Bhakti Budaya, 9 Desember 2005, pukul 19.00 dengan film Le Grand Voyage, arahan Ismael Ferroukhi (Maroko-Prancis). Festival akan ditutup dengan film box office yang bercerita tentang hari-hari terakhir kejatuhan Adolf Hitler Der Untergang (The Downfall), arahan Oliver Hirschbiegel (Jerman). Penyelenggaraan Jiffest akan berlangsung di Djakarta Teater, Graha Bhakti Budaya (GBB), TIM 21, Galeri Cipta 3, Teater Kecil, Istituto Italiano di Cultura, Goethe Haus, Erasmus Huis, dan Hotel Nikko. Bertempat di Hotel Nikko Jl MH Thamrin, Jakarta, kemarin Orlow Seunke selaku director Jiffest menyatakan festival film yang bertujuan untuk turut menggairahkan, merangsang, dan mendorong iklim industri perfilman Indonesia ini diharapkan akan semakin membuat Indonesia diperhitungkan dalam dunia perfilman. ''Sebagaimana berbagai film festival di mancanegara, di mana puluhan film dari berbagai penjuru dunia diputar, dalam Jiffest 2005 ini pun film-film terbaru dan berkualitas dari seluruh penjuru dunia diapresiasi,'' ujarnya. Dengan menyajikan sekitar 201 film, termasuk film pendek, dari 35 negara yang dirilis antara tahun 2003-2005, sebagian besar film yang akan diputar telah memenangkan penghargaan dari sejumlah festival ternama, seperti Cannes Film Festival, Venice Film Festival, Sundance Film Festival, IDFA, dan Academy Awards (Oscar). Kategori . Jiffest memilah ratusan film terpilih ini ke dalam sejumlah kategori. Beberapa di antaranya adalah World Cinema. Segmen ini terdiri atas film-film yang dibuat oleh para pembuat film ternama, seperti 2046 (Wong Kar Wai), The Sea Inside (Alejandro Amenabar), dan Taegukgi (Kang Je-gyu). Sementara film-film yang belum terkenal namun berkualitas sama, bisa ditemukan di dalam kategori Panorama se-perti Noi Albinoi (Dagur Kari), Vital (Shinya Tsukamoto), dan Old Boy (Park Chan-Wook). Sedangkan untuk film dokumenter seperti Five Obstructions (Lars Von Trier), Metallica (Joe Berlinger dan Bruce Sinofsky), Comandante (Oliver Stone), Shape of the Moon (Leonard Retel Helmrich) dan berbagai judul anyar lainnya, akan melengkapi kategori film cerita layar lebar. Khusus untuk kategori film dokumenter pilihan akan diputar secara gratis. Mulai tahun ini, Jiffest menyediakan workshop dan master class bagi para pekerja film untuk meningkatkan kemampuannya. Empat workshop penulisan skenario diisi tutor mancanegara, seperti penulis skenario David Howard, produser Curtis Levy dan Graeme Isaac serta pembuat film dokumenter Leonard Retel Helmrich. Sementara enam sesi master class akan diisi Aline Bonetto, production designer film Amelie, Robby Mller (sinematografer), Tony Rayns (kritikus film), Wouter Barendrecht, Chris Masters (reporter senior ABC TV Australia), dan Donna Smith (mantan Senior Vice President, Universal Pictures). ''Dengan adanya workshop semacam ini, paling tidak standar kerja para insan film mancanegara akan tertularkan, atau menjadi bahan pembelajaran,'' ujar Santi Hairmain mewakili Yayasan Masyarakat Mandiri Film Indonesia, penyelenggara Jiffest 2005. (G20-45)

Skenario

Rabu, 23 Nopember 2005. BUDAYA
233 Skenario Masuk Tahap Seleksi
JAKARTA - Sebanyak 223 naskah skenario film cerita telah masuk sebagai peserta Lomba Penulisan Naskah Skenario Film Cerita yang diselenggarakan Panitia Film Kompetitif Direktorat Film, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar). Pendaftaran peserta ditutup Jumat pekan lalu. Dewan Juri mulai melakukan penilaian Senin (21/11) lalu. Mereka terdiri atas Titi Said Sadikun, Nano Riantiarno, Yudhistira ANM Massardi, Arswendo Atmowiloto, Armantono, Jujur Prananto, dan Djenar Maesa Ayu. ''Naskah skenario yang masuk berasal dari penulis-penulis di berbagai wilayah Indonesia, di antaranya ada yang dari Nusatenggara, Bali, Sumatera, hingga dari Batam,'' papar Akhlis Suryapati, salah seorang Panitia Film Kompetitif di Gedung Film, Jl MT Haryono, Jakarta, kemarin. Jumlah peserta lomba ntuk tahun ini, menurut Akhlis, lebih sedikit dibandingkan penyelenggaraan pertama tahun 2004. ''Tahun lalu naskah yang masuk mencapai 257. Namun nampaknya naskah yang masuk untuk tahun ini adalah naskah-naskah yang relatif baru, bukan stok yang sudah lama ditulis,'' katanya. Selain itu, kata dia, banyak peserta yang menelepon dan meminta agar naskahnya ditunggu lantaran masih kurang beberapa halaman lagi. Dirjen Nilai Budaya, Seni dan Film Dr Sri Hastanto mengatakan, program film kompetitif diselenggarakan secara berkelanjutan sebagai upaya pemerintah mendorong terus tumbuh dan berkembangnya kreativitas bidang perfilman di masyarakat. ''Ternyata ketika lomba semacam ini kita selenggarakan, potensi perfilman kita di seluruh Indonesia sangat luar biasa. Potensi inilah yang perlu difasilitasi agar mendapatkan media untuk tumbuh dan berkembang,'' katanya.(G20-43)

Garin

Rabu, 23 Nopember 2005. BUDAYA
Garin: Unsur Sentimental Masih Dibutuhkan
JAKARTA-Garin Nugroho adalah salah satu pekerja film yang sangat berbahagia dengan maraknya peredaran film Indonesia dewasa ini. Menurut dia, kemarakan film Indonesia akan memberikan dampak yang bagus bagi perkembangan film Indonesia itu sendiri. ''Tentu saja, dengan catatan tidak melupakan kualitas film yang diproduksi,'' katanya. Menurut sutradara yang sedang dalam proses editing film Sinta Obong ini, kualitas sebuah hasil karya merupakan sebuah harga yang tidak bisa ditolak. ''Bayangkan jika hampir setiap bulan ada empat film layar lebar sekaligus,tapi tidak meninggalkan kesan apa-apa, kecuali hanya turut meramaikan produksi film Indonesia,'' imbuh dia. Garin yang mengaku hampir hapal betul dengan gaya penyutradaraan para sutradara muda seperti Arya Kusumadewa, Riri Riza, Rudy Sudjarwo, Hanung Bramantyo, sampai sejawatnya seperti Nan T Achnas dan Sekar Ayu Asmara, bahkan mengibaratkan dirinya layaknya pemain bulu tangkis kawakan. ''Saya hampir pasti bisa membaca langkah pergerakan mereka,'' tuturnya, sembari menyebut istilah yang terdapat di olahraga bulu tangkis. ''Bahkan kadang saya juga merasa kena smash tajam mereka''. Menggetarkan . Untuk menjaga intensitas dan mengasah ketajaman dalam dunia film, Garin pun tak segan-segan mendatangi setiap proses syuting film yang baru diproduksi. ''Diam-diam saya lihat bagaimana mereka menggunakan lighting, dan bagaimana men-direct pemainya''. Hanya saja, kritiknya, ada kecenderungan para sutradara muda itu abai dan kesulitan untuk menciptakan adegan-adegan yang mengena di benak penontonnya, tan pa harus menyimpang dengan tuntutan skenario. ''Walau bagaimanapun unsur-unsur seperti heroisme, sentimental, dan romansa m asih sangat dibutuhkan oleh penonton kita,'' katanya. Penonton Indonesia, menurut Garin, meski sedikit berbeda bahasa visualnya dengan penonton luar (Barat), tetap membutuhkan sesuatu yang menggetarkan untuk didapatkannya ketika mereka mendatangi gedung bioskop. ''Mereka tidak akan datang ke gedung bioskop jika tidak mendapatkan apa-apa, seperti rasa keharuan dan kegembiraan''. (Benny Benke-45)

Mike

Jumat, 18 Nopember 2005. BUDAYA
Mike Akan Tetap Mengamen

APA rencana ke depan Michael Prabawa Mohede setelah album perdananya bertajuk Semua untuk Cinta dirilis? ''Saya akan tetap ngamen kiri kanan atas bawah,'' ujarnya bercanda ketika merilis album perdananya di Hard Rock Cafe, Jakarta, baru-baru ini. Sebagai sosok yang dikenal low profile dan religius, pria bertubuh tambun yang lebih dikenal dengan panggiulan Mike ini, kemudian mengisahkan perjalanan hidupnya. ''Saya mememulai belajar menyanyi ketika umur enam tahun. Puji Tuhan, keinginan saya menjadi penyanyi benar-benar terealisasi ketika saya menginjak umur 22 tahun,'' katanya. Mike yang juga dikenal dengan kelembutan dan kemerduan suaranya ini, kemudian memamerkan aksinya dengan melantunkan tembang "Cintakan Membawamu" karya Ahmad Dhani yang penah dilantunkan pula oleh grup band Dewa dan penyanyi Reza Artamevia. ''Lagu ini tentu saja saya nyanyikan dengan versi saya sendiri,'' katanya sebelum membuai ratusan wartawan yang menekuni kemerduan suaranya. Begitu lagu perdana usai dan mendapat sambutan tepuk sorak, Mike yang menyanyi dengan iringan organ itu, meneruskannya dengan single hit andalannya, "Semua utuk Cinta". ''Pesan dalam lagu ini adalah, bila kita melakukan sesuatu berdasar atas nama cinta, pasti semua bisa kita lakukan''. Tembang yang menurut dia menjadi lagu andalannya ketika konser result reunion bersama Judika itulah yang membuatnya yakin betapa besar kekuatan sebuah cinta. (G20-45)

Sitok

Sabtu, 12 Nopember 2005. BUDAYA
Air Cucuran Sitok Jatuh ke Laire
JAKARTA-Like father like daughter. Air cucuran akhirnya jatuh ke pelimbahan juga. Demikian halnya dengan Sitok Srengenge dan Laire Siwi Mentari, putri semata wayangnya. Sitok, penyair kelahiran Ndorolegi, Purwodadi, Grobogan karena karier kepanyairannya, akhirnya memang menurunkan bakat kepenulisannya kepada putrinya, Laire, buah cintanya dengan Farah Maulida. Bertempat di salah sebuah kafe di bilangan Kemang Jakarta, Kamis lalu (10/11), Laire yang genap berusia 17 tahun dan masih duduk dikelas III SMA Negeri 1 Depok meluncurkan novel keduanya Aphrodite. Novel setebal 203 halaman yang disunting oleh Zen Hae dan Jan Cornall itu, tak tanggung-tanggung, langsung dicetak oleh penerbit Kata Kita sebanyak 6.000 eksemplar. Jika menilik pada pengalaman novel pertama Laire berjudul Nothing But Love (Semata Cinta) (2004) yang meraih angka penjualan hingga 25.000 eksemplar, bukan tidak mungkin novel kedua Laire yang juga turut membangun skenario film Apa Artinya Cinta dengan Riheam ini, akan mendapat sambutan hangat pencinta novel remaja atau teenlit. Hal itu tidak berlebihan mengingat tren pembaca teenlit setelah booming karya seperti Eifel I'm in Love, Me Vs High Heel, dan Dealova meraih pembaca yang sangat signifikan. Hal ini paling tidak dibuktikan dengan telah difilmkannya ketiga karya teenlit tersebut. Terlepas apakah Aphrodite akan mendapat sambutan hangat pembaca teenlit atau tidak, kebahagiaan Sitok sebagai orang tua memang sangat kentara di binar parasnya. Mengingat penyair yang telah dua kali diundang membacakan puisi pada The Indisch Winternacht-event di Den Haag serta Universitas Hamburg itu, telah melahirkan "seterunya" yang tak lain adalah "mentari"-nya sendiri. Dan Laire pun membalas tantangan "romo"-nya ketika diundang menjadi peserta termuda Ubud Writers and Readers Festival 2005, di Ubud Bali, baru-baru ini. Akankah pada masanya Laire menyalip kematangan, kedalaman, dan kecemerlangan Sitok? Atau hanya akan sepanjang budaya pop di usia kepenulisan Laire sebagaimana dua karya teenlit-nya?. ''Setiap anak mempunyai nasibnya sendiri,'' ujar Sitok berbijak bestari. (Benny Benke-45)

''Surat Kepada Setan''

Sabtu, 12 Nopember 2005. BUDAYA
Surat Putu kepada Setan
''Setan yang baik hati. Di mana pun kini kau berada, aku menyampaikan salam hormat dan cinta/Mari akhiri permusuhan, bergotong-royong menggarap kesempatan demi masa depan mapan anak-cucu kita seratus keturunan/Selama kita saling dengki dan curiga mencurigai, hasilnya akan kurang mamadai /Masa lalu yang tidak produktif harus diakhiri/Mulai detik ini, kita bahu-membahu dalam satu barisan yang padu/Semua laba kita bagi rata/Kalau perlu kau sembilan puluh persen, aku sisanya/Aku tunggu balasanmu secepatnya, Setan!''

JAKARTA-Monolog Putu Wijaya yang ditujukan kepada setan itu, dinarasikan dengan irama yang datar, santun, namun penuh kedalaman parodi yang menggelitik. Selanjutnya, Putu Wijaya yang dikenal sebagai sutradara, sastrawan, dan aktor kawakan itu melanjutkan monolognya yang berjudul ''Surat Kepada Setan'' dengan nuansa ironi yang mencekam. ''Surat aku masukkan ke pos tanpa membubuhkan nama ataupun alamat/ Tukang pos pasti tahu ke mana harus dibawa/Siapa yang tidak tahu rumah setan/Kalau toh tukang posnya bego, setan sendiri pasti akan langsung mengambil surat itu, sebab dia tahu apa yang harus dia lakukan/Namanya juga setan.'' Sejurus kemudian, dramawan pimpinan teater Mandiri itu merai h sebuah pensil raksasa dari balik backdrop yang memantulkan warna merah di belakangnya. Sembari melakukan gerakan menulis, Putu yang sudah tampak berkurang staminanyan itu mempertontonkan kemampuan keaktorannya di hadapan penonton di Bentara Budaya Jakarta (BBJ), baru-baru ini. Meski sesekali terpeleset dialognya, ''Surat Kepada Setan'' yang kuat dari segi naskah tetap mampu diantarkan oleh Putu dengan apik dan menarik. Ekstrem. Masih dengan skema andalan teater Mandiri, yaitu mengandalkan mobilitas lighting yang ekstrem, plus permainan layar putih yang memantulkan berbagai warna cahaya, dan iringan musik minus one yang menghentak-hentak, pepaklah ''Surat Kepada Setan'' menjadi repertoar khas teater Mandiri. Lakon berdurasi lebih dari 45 menit yang, menurut Putu, ia ikhtiarkan karena keprihatinan atas kondisi kekinian di Indonesia itu, sebenarnya ia maksudkan untuk menyindir orang agar tetap mau dan mampu mengusahakan rasa damai di dunia. Hal ini paling tidak tercemin dari narasi kelanjutannya yang mengharapkan manusia mampu menghadirkan surga di dunia. ''Tuhan, ini tidak adil, aku kan makhluk ciptaan-Mu. Tak mungkin Kau tidak mencintai yang Kau ciptakan sendiri. Lindungi aku/Jangan biarkan setan menang. Aku bersumpah kalau manusia yang menang, aku jamin dunia ini akan lebih indah/Orang tidak perlu mati sebelum masuk surga, sebab dunia bisa kami bikin jadi surga oleh rasa cinta yang pada dasarnya juga adalah karunia-Mu kepada kami juga!''. (Benny Benke-45)

Retno Maruti

Jumat, 11 Nopember 2005. BUDAYA
Retno Maruti Terima Penghargaan Akademi Jakarta
JAKARTA- Seniman tari Theodore Retno Maruti menerima penghargaan Akademi Jakarta atas pencapaian seumur hidup (life achievement) serta pengabdiannya di bidang kesenian dan humaniora. Dalam penyerahan berhargaan yang berlangsung semalam di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Retno menyisihkan 72 kandidat dari 23 kota. ''Nominator telah mengajukan 72 kandidat dari 23 kota yang oleh dewan juri disaring menjadi 17 nama dari berbagai bidang seperti seni rupa, teater, film, sastra, tari dan kajian humaniora,'' ujar Abu Hasan, salah seorang panitia Akademi Jakarta. Dari 17 nama tersebut, dewan juri kembali menyeleksi dan mendapatkan sembilan nama yang dinilai ulang. Hingga tersisa tiga nama dan akhirnya menetapkan Retno Maruti sebagai penerima Akademi Jakarta. Dewan juri yang diketahui Prof Dr Edi Sedyawati dan beranggotakan Prof Dr Taufik Abdullah, Prof Dr Budi Darma, G Sidharta Soegijo, dan Suka Hardjana mengadakan seleksi penerina penghargaan Akademi Jakarta 2005 sejak Juni 2005. Retno Maruti yang dilahirkan di Solo, 8 Maret 1947 yang mendirikan sanggar Tari Padnecwara sejak 1976 telah mementaskan puluhan karya. Di antaranya Damarwulan (1976), Roro Mendut (1977), Abimanyu Gugur (1978), Sekar Pembayun (1979), Keong Emas (1981), Surapati (2001), Alap-alapan Suksesi (2004), dan Potraits of Javanase Dance (2005). Selain itu, Retno juga telah menerima sejumlah penghargaan atas dedikasinya di dunia tari Tanah Air, seperti Penghargaan Teknologi Seni Budaya Kalyana Utama dari Menristek BJ Habibie (1997), Citra Adhikarsa Budaya dari Citra Beauty Lotion dan SCTV (1994), Anugerah Kebudayaan dan Departemen Kesenian dan Budaya RI (2003), Perempuan Pilihan dan Maestro dari Metro TV (2003), dan Nomine Women of the Year dari ANTV (2004). Sampai tahun 2004, Akademi Jakarta telah memberikan penghargaan kepada lima seniman dan budayawan terbaik dari seluruh Nusantara. Mereka adalah WS Rendra (1975), Zaini KM (1978), G Shidarta Seogijo (2003), Nano S, dan Gusmiati Suid (2004). (G20-45)

Holiday on Ice

Jumat, 11 Nopember 2005. BUDAYA
Holiday on Ice
Tontonan Keluarga yang Memanjakan Mata
JAKARTA-Alexander dan Natalia, dua skaters yang diboyong Holiday On Ice ke Jakarta, tadinya hanya melakukan gerakan standar memutari arena seluas 18 x 30 meter di tengah arena Istora, Gelora Bung Karno, Jakarta, yang telah disulap menjadi arena ice skating. Tak berapa lama kemudian, ketika lebih dari 50 skaters lainnya menepi, duduk bersimpuh, dan memutari arena pertunjukan, keduanya yang berasal dari Rusia, melakukan gerakan rotasi 360 derajat tepat di tengah arena. Lebih dari tiga menit mereka mempertontonkan aksi atraktif tersebut. Tubuh Alexander yang tinggi besar "mempermainkan" tubuh Natalia yang lebih kecil darinya. Setelah usai memutar-mutar tubuh Natalia dengan berbagai macam posisi dan aksi, ratusan wartawan yang menjadi saksi preview perdana nukilan (sequence) Holiday on Ice, memberikan tepuk sorak yang bergemuruh. Ya, para pemain Holiday on Ice, sebuah nama jaminan mutu pertunjukan keluarga yang telah malang melintang di benua Amerika dan Eropa, untuk kali pertama menginjakkan kaki mereka di Jakarta. "Setelah beberapa kali nyaris batal lantaran berbagai sebab, seperti isu bom dan flu burung, akhirnya mereka telah benar-benar di depan mata kita," tutur Eno Sigit mewakili Mata Seni dan D Production sebagai penyelenggara.
Eno Sigit yang tak lain adalah putra Sigit Hardjojudanto, atau cucu mantan presiden Soeharto ini, akhirnya mampu memboyong Holiday On Ice dari Eropa ke Jakarta. Istora Senayan. Dengan melibatkan lebih dari 76 personel, Holiday on Ice yang telah berada di Jakarta sejak 29 Oktober lalu itu, akan memamerkan aksi mereka di Istora mulai 11 hingga 14 November 2004.
"Dengan akumulasi pertunjukan sebanyak sepuluh kali selama empat hari, rasanya Holiday on Ice akan menjadi tontonan yang spektakuler," ujar Eno yang enggan menyebutkan angka persis yang telah ia keluarkan untuk memboyong para skaters Eropa itu ke Jakarta. Tontonan spektakuler yang dijanjikan Eno memang tidak berlebihan. Lima puluh lima skaters, meski hanya iringan musik minus one namun didukung tata cahaya computerized dan kereografis yang apik, tampaknya akan benar-benar menyajikan sebuah tontonan keluarga yang menyenangkan.
"Ini memang kami skema sebagai tontonan keluarga. Apalagi, mereka akan menyajikan nukilan penokohan dalam adegan film-film Hollywood. Tokoh-tokoh seperti Charlie Chaplin, James Bond, Titanic, Bolero, The Mission, dan lebi dari 14 karakter lainnya akan mereka pamerkan," ujar Eno. Untuk mewujudkan alur cerita pertunjukan yang akan bergulir selama dua jam, dengan waktu jeda 15 menit di tengah acara untuk istirahat, tak tanggung-tanggung mereka mempersiapkan 30 ton es di sekitar areal Istora Senayan. Bahkan lebih dari 250 kostum yang diangkut 21 kontainer ukuran 20 feet, menjadi pendukung kesuksesan pertunjukan yang akan digelar mulai pukul 15.15 dan 19.15 setiap harinya itu. (G20-45)

Boomerang

Senin, 07 Nopember 2005. BUDAYA
Pentas Akbar di Penghujung Tahun
Konser Salam Lebaran

GRUP rock Boomerang, kemarin menutup konser Gudang Garam Salam Lebaran di GOR Trilomba Juang Semarang dengan melantunkan lagu ''Mentari''. Sekitar 5.000 penonton pun menyambutnya dengan tepuk sorak. Konser serupa juga digelar di 35 kota lainnya di Indonesia ini. Rangkaian konser itu melibatkan lebih dari 400 grup band dan penyanyi solo, 1.000 kru pertunjukan dan ditaksir meraih perhatian tak kurang dari 1 juta penonton di seluruh penjuru Nusantara. Konser yang digelar secara gratis ini digagas 18 Production dan PT Gudang Garam Tbk. ''Ikhtiar kami hanya ingin menyemarakkan dan memajukan permusikan di Tanah Air. Tidak lebih dari itu,'' jelas Hari Koko, salah seorang panitia. Pertunjukan hari terakhir kemarin digelar serentak di 12 kota. Atas prestasinya menggelar konser serentak di 12 kota selama tiga hari berturut-turut, Museum Rekor Indonesia (Muri) mencatat prestasi ini sebagai rekor tersendiri. ''Menggalang lebih dari 400 grup band dan musisi untuk menghibur penonton serentak di penjuru Indonesia di hari Raya Idul Fitri memang bukan hal mudah,'' ujar Roy Jeconiah, vokalis Boomerang, sebelum naik panggung yang bermandikan cahaya itu. Benar saja. Konser yang dibuka pukul 16.30 dengan penampilan Blue Savana, Syndrome, Sunset, JPI (Jhon Paul Ivan) Trio, ROXX, dan Sukcerhead, meski melelahkan tetap berjalan lancar dan menyenangkan. Apalagi, Boomerang yang beranggotakan Roy Jeconiah Isoka Wurangian (vokal), Farid Martin Badjeber (drum), Hubert Henry (bas), Tommy (gitar), dan Oi (gitar) benar-benar mampu memposisikan keberadaannya sebagai pencipta klimaks dalam arti yang sebenarnya. Mereka tampil perkasa sebagai band penutup konser. Kunci Sukses. Band asal Surabaya bentukan 8 Mei 1994 ini pernah menjadi 10 Besar Festival Rock Se-Indonesia ke-7 (1993) versi Log Zhelebour. Mereka mampu berkomunikasi dengan baik dan cair dengan Boomers (fans fanatik Boomerang) sehingga tembang-tembang mereka yang terangkum dalam album Generasiku, Urbanoustic dan album hits lainnya mengalir lancar. Tengoklah ketika Roy hampir di setiap tembangnya senantiasa mengajak Boomers menyanyi. Karena itu, sebagai bagian dari pertunjukan, penonton pun dilibatkan dalam skema pemanggungan yang apik. ''Melibatkan penonton menjadi satu kesatuan pertunjukan dengan tidak hanya menempatkan mereka sebagai penonton belaka, adalah salah satu kunci sukses sebuah pertunjukan,'' papar Roy. Konser pada hari yang sama di Surabaya (menghadirkan Dewa, Ratu, Saint Loco), di Gresik (Ari Lasso, Element), Jember (God Bless, Edane), Pekanbaru (Pass, Netral), Pangkal Pinang (Iyeth Bustami, Kiki KDI, Aidil KDI), Palu (/Rif, Cokelat), Pontianak (Iis Dahlia, Rita Hasan, Ratna Anjani), Serang (Slank, Seuriues), dan Sukabumi (Iwan Fals, Jikustik, Clun Eightis). ''Meski tidak sedikit kendala dan biaya yang kami keluarkan, atas nama dunia musik Indonesia, kami akan berusaha menggelar Konser Salam Lebaran setiap tahun,'' jelas Agus Tanto, mewakili 18 Production.(Benny Benke-43)

Garin

Kamis, 27 Oktober 2005. BUDAYA
Karya Garin Kembali Didiskusikan di Luar Negeri
JAKARTA-Garin Nugroho akan menghadiri forum The House of World Culture Programme di Berlin, Jerman yang diselenggarakan pada 20 Oktober sampai 20 November 2005. Forum tersebut adalah media dialog antara praktisi kebudayaan Jerman dengan kebudayaan di luar Jerman, khususnya yang terkonsentrasi di luar unsur-unsur kebudayaan Eropa. Garin Nugroho akan berada di sana atas undangan pemutaran dua film karyanya, yaitu Puisi Tak Terkuburkan (The Poet) dan Rindu Kami padaMu (Of Love and Eggs) pada 28 dan 30 Oktober 2005. Pemutaran film-film yang dilanjutkan dengan sesi tanya jawab itu bertajuk ''Whose Terorist is It Anyway'' yang akan dikuratori oleh Philip Cheach dari Singapore International Film Festival. Film terakhir SET Film Workshop yang berjudul Rindu Kami padaMu yang diproduksi pada akhir tahun 2004 telah menerima undangan dan mengikuti banyak festival internasional. Di antaranya 34th International Film Rotterdam, 18th Singapore International Film Festival, San Francisco International Film Festival, Cinemaya Film Festival, Brisbane International Film Festival, Vancouver International Film Festival, 10th Pusan International Film Festival, Cinemanila International Film Festival, dan Haifa International Film Festival (Israel). Saat ini film Rindu Kami padaMu dengan judul bahasa Inggris Of Love and Eggs sedang diputar di 49th London Film Festival dan akan dilanjutkan di Taipei Golden Horse Film Festival, Asitica Film Mediale, dan Tokyo International Film Festival. Dalam perjalanannya, Rindu Kami padaMu telah menerima beberapa penghargaan internasional dan nasional seperti Best Film Cinemaya Film Festival, India, Best Director MTV Indonesia Movie Award, Best Crying Scene MTV Indonesia Movie Award, Best Art Director Festival Film Bandung, dan Best Music Director Festival Film Bandung.Saat ini, SET Film Workshop sedang memmpersiapkan dua buah film terbarunya, yaitu Serambi bersama Christine Hakim Film (Desember 2005) dan Requiem dari Jawa (Juli 2006) sebagai bagian perayaan 250 tahun Mozart. (G20,P3-45)

Mirror

Rabu, 26 Oktober 2005. BUDAYA
Horor Psikologis dari Sebuah Cermin
HANYA berselang sehari setelah Missing dirilis pekan lalu, satu lagi film horor produksi Indonesia diputar di bioskop. Judulnya Mirror, garapan sutradara Hanny R Saputra. Dia mengklaim karyanya sebagai film horor psikologis. Hanny sebelumnya dikenal sebagai penggarap film Virgin; Ketika Keperawanan Dipertanyakan. Berbeda dengan Missing yang alur ceritanya, sebagaimana kebanyakan film Indonesia, cenderung meminggirkan logika, Mirror lebih logis. Bahkan, cenderung sangat dekat dengan realita. Skenario film tersebut ditulis Armanto berdasarkan ide cerita M Leo Sutanto, yang selama ini dikenal sebagai paranormal. Cerita film ini ditampilkan dengan sangat mendetail dan membumi. Hasilnya, film yang diproduseri Novi Christina dibawah bendera SinemArt ini menghadirkan sebuah jalinan cerita yang saling mengkait serta menghadirkan ketegangan yang mencekam. Menurut Hanny, filmnya merupakan cerita horor yang menghadirkan kesunyian dalam nuansa puitik. ''Hantu tidak memburu dan melulu menghantui dalam film ini. Horor dihadirkan dalam nuansa yang minimalis dan puitik, tetapi secara psikologis justru semakin meneror,'' tuturnya seusai pemutaran perdana Mirror yang dihadiri sejumlah pemeran film tersebut seperti Nirina Zubir, Jonathan Mulia, dan Hanidar Amroe. Film berdurasi 110 menit ini mempergunakan format 35 mm. Syuting 95 persen dilakukan di Bandung. Nirina Zubir yang selama ini dikenal sebagai prensenter yang cengengesan disulap menjadi sosok yang lain. Demikian halnya dengan Jonathan Mulia, yang pernah memerankan tokoh Gie muda dalam film Gie, cukup mampu mengimbangi Nirina sebagai pemeran utama. Cermin Kematian. Mirror berangkat dari kemampuan mendadak yang dimiliki Kikan (Nirina Zubir) yang mampu membaca kematian dari cermin yang dilihatnya. Jika bayangan seseorang tidak terpantul di cermin yang dilihatnya, dipastikan yang bersangkutan akan mati dengan berbagai macam cara. Korban pertama adalah Pak Soleh, seorang penjaga sekolah SMA-nya yang tidak tampak sosoknya dalam pantulan cermin. Sejurus kemudian Pak Soleh mati dengan cara gantung diri. Malamnya, arwah Pak Soleh, lengkap dengan tali yang mengait di lehernya menghampiri Kikan. Korban berikutnya, tetangga dekat Kikan, ayah, ibu dan ke dua anak tercinta mereka. Keluarga tetangganya tidak tampak dicermin yang dilihat Kikan. Tak lama kemudian, satu keluarga tersebut meninggal bersamaan dalam sebuah kecelakaan. Berbagai peristiwa aneh itu membuat Kikan resah. Suatu ketika tanpa sengaja dia tidak melihat pantulan Ibu Yani (Hanidar Amroe), guru fisikanya, di cermin tersebut. Seketika itu, dia mencegah niat Ibu Yani yang hendak ke Surabaya, dengan dalih kematian akan menghampirinya. Dugaannya terbukti, guru itu meninggal karena kecelakaan. Kikan pun akhirnya tidak dapat melihat pantulan dirinya sendiri di cermin itu.(Benny Benke-43)

Missing.

Selasa, 25 Oktober 2005. BUDAYA
Hantu Lagi, Hantu Lagi
INILAH film Indonesia terbaru yang ber-genre horor dengan tema lama yang dibungkus nuansa baru. Setelah booming film horor yang dipelopori Jelangkung (2000), film-film horor pun bermunculan di bioskop, antara lain Tusuk Jalangkung, Kafir, Di Sini Ada Setan, AM 12, Ada Hantu di Sekolah, dan Soul . Semuanya menampilkan hantu sebagai tokoh sentralnya. Starvision tampaknya yakin tema hantu masih laku. Maka, produser Chand Parwez Servia kembali merilis film hantu dengan judul Missing. Film berdurasi 95 menit yang diputar di bioskop mulai pekan lalu itu dibuat berdasarkan skenario karya Dini Radja dan Ery Sofid. Sutradara Chiska Doppert memvisulisasikannya sebagaimana lazimnya film horor. Dengan ilustrasi musik yang mengagetkan di tengah kesunyian, teriakan pelakon yang kaget plus loncatan adegan dalam sepersekian detik, lengkaplah sudah Missing sebagai film horor standar. Tidak buruk, tetapi juga bukan film istimewa. Tidak ada yang baru dalam film ini, baik dari segi alur cerita, sinematografi maupun seting. Alur ceritanya tidak logis. Bahkan, akting para pemainnya masih jauh di bawah rata-rata. Film ini dibintangi Endhita, Restu Sinaga, Marchela Zalianty, Inong, Robertino, Galang, dan Rizal. Satu-satunya unsur yang menonjol dalam film ini adalah editing. Satine Natranda sebagai editor mampu mengemas film ini menjadi enak dinikmati. Film ini berkisah tentang Maya (Endhita), yang mempunyai indra keenam, yaitu kemampuan supranatural untuk berkomunikasi dengan roh orang yang meninggal. Kemampuannya inilah yang justru membuatnya tidak tenang dalam menjalani hidup. Suatu ketika ada seorang anak terjebak di bagasi mobil mereka tanpa sepengetahuan Maya dan Steven. Setelah sekian lama, Vega (Essa Elok Pujilestari), bocah malang itu dinyatakan hilang. Namun betapa kagetnya Maya dan Steven, ketika mengetahui Vega yang awalnya bermain petak umpet di bagasinya dan dinyatakan telah hilang dan mati, ternyata masih hidup. Disinilah keklisean kisah hantu bermula. Alih-alih lapor ke polisi, karena takut kejujurannya diabaikan, pasangan muda itu malah menyekap Vega. Tanpa sengaja pula Vega mati saat Steven membungkam mulut bocah malang itu. Mereka pun panik dan menguburkan Vega jauh di pedalaman hutan. Dari sinilah, hantu Vega meminta keadilan kepada kedua pasangan itu.(Benny Benke, P1-43)

F Widayanto

Selasa, 18 Oktober 2005. BUDAYA
Keajaiban "Lempung dalam Fan-tastic Lady"
SIAPA yang menyangka jika lempung atau lumpur tanah liat di tangan F Widayanto menjadi barang yang dihargai hingga mencapai angka ratusan juta rupiah. Ya, seniman lumpur tanah liat lulusan Seni Rupa ITB (1981) itu untuk kali ke-10 kembali menggelar pameran. Kali ini bertajuk "Wanita dan Kipas (Fan-tastic Lady)" dengan tema ''Gores Garis Liris''. Bertempat di galerinya di Setia Budi II, Jakarta, dan akan dilanjutkan di Galeri Nasional Jakarta (18-22/10), salah seorang perupa keramik terkemuka Indonesia ini memajang 46 patung dan 100 lukisan keramik teranyarnya. Sebagaimana trade mark-nya selama ini, Widayanto masih mengeksplorasi perempuan dengan pemujaan kecantikan sebagai objek karya keramik patungnya. ''Selain tidak ada yang lebih indah selain mengeksplorasi kecantikan, keanggunan, ketenangan, dan kemahsyuran perempuan, sosok perempuan yang kali ini saya satupadukan dengan kipas yang pasti sangat menjual,'' tuturnya di Jakarta kemarin ketika membuka pamerannya. Menurut dia, sosok patungnya kali ini yang didominasi perempuan dengan dandanan oriental (China), Eropa, hingga Jawa itu tetap menomorsatukan estetika dalam pengerjaannya. ''Semua hand-made atau built-up, dan saya kerjakan dengan kejelian tangan saya sendiri,'' tuturnya sembari menceritakan proses pembakaran tungku yang mencapai suhu 1250 derajat Celsius. Mewah. Dengan ukuran patung yang bervariasi dari 50 cm hingga 150 cm, plus berbagai kipas buah karya Rinaldy A Yunardi, desainer permata, patung Widayanto memang tidak hanya tampak hidup dan mewah. Hingga tidak mengherankan jika patungnya yang dikerjakan di studionya di Tapos, Jabar dihargai dari angka Rp 35 juta hingga Rp 135 juta per buahnya. ''Fenomena konsumerisme yaitu mengejar kecantikan, dalam patung Widayanto dirayakan dan sekaligus diparodikan. Inilah yang menarik dari patung-patungnya,'' tutur Asikin Hasan, kurator pameran. Sedangkan Agus Dermawan T, pengamat dan kritikus Seni Rupa Indonesia dalam tulisannya ''Mengipas-ngipas Kipas'' sebagai pengantar buku Fan-tastic Lady mengatakan: ''Kipas (pada masanya dan berkecenderungan) menjadi aksesori elite atau must have item jika dipadukan dengan sosok wanita''. Keindahan sinergisitas antara kipas dan wanita inilah oleh Widiyanto lewat media lumpur lempung disulap menjadi barang yang berharga menjadi ratusan juta rupiah. (Benny Benke-45)